Suara yang ditimbulkan kotak makan membuat Rajendra dan wanitanya terkejut. Keduanya sontak memisahkan diri setelah tadi larut dalam ciuman panas yang membara.
Rajendra menggeram kesal menyadari Livialah yang datang. Apalagi perempuan itu langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Tadi saking asyik berciuman ia tidak tahu bahwa Livia sudah mengetuk pintu. "Mau apa?" tanya lelaki itu dingin pada Livia yang berdiri membatu. Segala pertanyaan yang tersusun runut di benak Livia buyar begitu saja mengetahui perbuatan Rajendra dan wanita yang berciuman dengannya adalah Utary. "Kamu lagi!" seru Utary jengkel. "Ndra, kenapa kamu biarkan perempuan itu datang ke sini? Tadi di rumah kamu dia mengaku-ngaku jadi istrimu. Tapi Tante Marina bilang dia hanya pembantu. Jadi mana yang benar?" "Ya, dia hanya pembantu," kata Rendra menjawab sambil memandang Livia dengan tatapannya yang tajam. Ia benci Livia yang selalu saja datang ke kantornya untuk mengantar makanan. Hancur sudah hati Livia mendengar suaminya mengucapkan sendiri kalimat tersebut. Tidak masalah jika perkataan tersebut asalnya dari mulut orang lain. Tapi ini suaminya sendiri. "Saya hanya ingin mengantar makanan," jawab Livia lirih sambil berusaha menahan bulir-bulir bening yang berdesakan di pelupuk matanya. "Siapa yang menyuruhmu mengantarnya? Bawa lagi! Aku nggak sudi memakan makanan itu." Meskipun Rajendra sudah menolaknya dengan kasar, Livia tetap bersikeras meninggalkan makanan itu di sana. Diletakkannya kotak makanan berisi menu makan siang tersebut di atas meja. Tepat di hadapan Rajendra. "Saya tahu kamu sibuk dan nggak sempat untuk keluar. Jadi terimalah." PRANG!!! Rajendra menyingkirkan kotak makanan dari aluminum itu hingga jatuh ke lantai. Membuat isinya tumpah dan berserakan ke mana-mana. "Sekarang pergi dari sini. Itu pintu keluarnya kalau kamu lupa!" hardik pria itu sembari mengarahkan telunjuknya ke arah pintu. Dengan membawa hati yang hancur dan perasaan kecewa yang dalam Livia menarik diri, pergi meninggalkan ruangan suaminya. "Ndra, sebenarnya siapa dia? Kenapa nggak sopan banget sama kamu?" ucap Utary geram. "Bukan siapa-siapa." Rajendra menjawab tanpa mampu menatap wajah Utary. "Kalau memang dia bukan siapa-siapa dan hanya pembantu, kenapa sikapnya aneh?" Utary merasa ragu. Tadi, sebelum Livia datang ia juga meminta penjelasan pada Rajendra mengenai jati diri Livia. Rajendra mengatakan perempuan itu hanya pembantu di rumahnya. Namun entah kenapa Utary melihat Rajendra terkesan gugup. "Sudah, Tar, nggak usah bahas orang lagi," ucap Rajendra dan bersiap mengangkat gagang telepon untuk memanggil office boy agar membersihkan lantai yang kotor. "Jujur sama aku, Ndra. Siapa dia sebenarnya?" tuntut Utary mencekal pergelangan tangan Rajendra hingga lelaki itu urung menelepon. "Aku kan sudah bilang dia hanya pembantu." "Nggak mungkin. Kalau memang dia pembantu kenapa tadi di rumah dia mengaku sebagai istrimu?" Utary menatap Rajendra lekat, meminta kejujuran laki-laki itu. Rajendra menghela napas. Lelaki itu mengusap mukanya frustrasi. Ia tidak mungkin terus menyembunyikan fakta tersebut dari Utary. Kekasihnya itu adalah gadis yang pintar dan tidak bisa dibodohi begitu saja. "Oke, aku akan jujur sekarang." Utary memandang Rajendra dengan muka yang semakin tegang. "Dua tahun yang lalu aku mengalami kecelakaan. Aku menabrak mobil orang sampai dia meninggal. Lalu anak orang itu kakinya lumpuh. Keluarga orang tersebut meminta pertanggungjawabanku dengan menikahi anaknya. Daripada masalahnya jadi panjang dan dipenjara, jadi kuputuskan untuk bertanggung jawab. Dan anak orang itu adalah Livia, perempuan yang tadi." Sekujur tubuh Utary mengejang mendengar pengakuan Rajendra. Ternyata lelaki itu sudah membohonginya. Mereka sudah lama menjalin hubungan. Tapi sejak awal Utary tidak tahu kalau Rajendra sudah beristri. Ia hanya tahu bahwa Rajendra lelaki single yang gagah, tampan dan kaya-raya. Kini setelah mendengar sendiri dari Rajendra, Utary merasa dikhianati. "Kenapa kamu nggak jujur sama aku, Ndra? Kenapa kamu tega membohongiku?" tuntut perempuan itu dengan emosi yang membludak di dadanya. "Sudahlah, Tar. Sekarang kamu kan sudah tahu. Jangan dijadiin masalah," jawab Rajendra ringan yang membuat Utary semakin sakit. "Gampang banget kamu ngomong begitu. Lalu gimana dengan anak ini? Semakin lama perutku semakin besar. Orang-orang akan tahu kalau aku hamil tanpa suami. Aku malu, Ndra!" "Kamu tutupi dulu pakai baju yang agak longgar. Nggak usah pakai baju ngepas body biar orang-orang nggak tahu." "Tapi aku nggak mungkin selamanya pakai baju longgar. Kalau kandunganku udah enam bulan ke atas aku udah nggak bisa menutupinya lagi, Ndraaa ..." Utary merengek menderaikan air mata. "Nggak usah dibikin ribet, Tar. Sekarang kandungan kamu kan masih tiga bulan. Enam bulan itu masih lama." Jawaban Rajendra masih seringan tadi. Seakan yang dialami Utary saat ini bukanlah masalah yang besar baginya. "Pokoknya kamu harus tanggung jawab. Aku nggak mau tahu. Kamu ceraikan perempuan itu lalu kita menikah." "Pasti aku akan tanggung jawab, tapi aku nggak bisa menceraikan Livia sekarang. Aku bisa dipenjara kalau sampai itu terjadi," jawab Rajendra menolak keinginan kekasihnya. "Jadi kapan? Gimana denganku?" Utary mendesak tidak sabar. Ia sudah tidak tahan ingin menikah dengan Rajendra dan menjadi bagian dari keluarga Geraldy yang kaya-raya. "Pokoknya kamu sabar dulu. Kaki Livia masih pincang. Tunggu sampai kakinya sembuh total. Setelah itu aku akan ceraikan dia, jadi aku bebas dari tuntutan apa pun," janji Rajendra, walaupun ia tidak tahu kapan kaki istrinya itu akan sembuh sepenuhnya. *** Selepas dari kantor Rajendra, Livia tidak langsung pulang ke rumah nerakanya. Perempuan itu menaiki taksi menuju rumah orangtuanya. Rumah tempat tinggalnya dulu sebelum sang ayah tiada. Rumah berwarna putih itu tampak lengang. Livia langsung menekan bel. Setelah cukup lama barulah pintu dibuka. Seorang perempuan separuh baya dengan banyak bintik di wajahnya keluar dari sana. Ia terkejut melihat kedatangan Livia. "Kamu ternyata. Kenapa ke sini?" Jihan melipat tangan di depan dada melihat kedatangan anak tirinya. "Ma, izinkan aku menginap di sini. Satu malam saja, Ma," pinta Livia begitu memelas. "Apa?" Jihan terkejut mendengar permintaan Livia. "Kenapa mau menginap di sini? Tempatmu bukan di sini. Sekarang pergilah!" usir Jihan yang tidak sudi merawat orang cacat seperti Livia. "Ma, aku mohon. Hanya satu malam. Besok aku akan pergi," pinta Livia lirih. Ia sedang tidak ingin pulang ke rumah nerakanya. Rajendra membuatnya kecewa. Ia butuh waktu dan tempat yang bisa menenangkannya. "Tidak ada kamar di sini. Semuanya penuh. Sekarang pergilah. Mama sedang sibuk!" BRAAAK!!! Daun pintu dibanting tepat di depan hidung Livia, membuat perempuan itu berjengit karena terkejut. "Mamaaa!!! Mamaaa!!! Tolong buka pintunya, Ma!!!" Livia berteriak memanggil Jihan sambil terus menggedor-gedor pintu rumah. Rumah yang adalah miliknya, peninggalan ayahnya yang seharusnya diwariskan untuk Livia. Semestinya Livialah yang lebih berhak atas rumah tersebut. Nyatanya ia diusir dari rumahnya sendiri. ***Rumah besar Livia dan Rajendra kini terasa sunyi. Anak-anak sudah besar dan berkeluarga. Tapi di setiap akhir pekan rumah mereka selalu ramai oleh tawa canda cucu dan cicit mereka. Anak-anak selalu menawarkan Rajendra dan Livia untuk tinggal bersama mereka tapi keduanya menolak. Mereka lebih memilih untuk tinggal berdua saja dan menghabiskan masa tua bersama.Rajendra dan Livia saat ini sedang berada di kamar mereka. Rajendra sudah berumur 90 tahun sedangkan Livia 3 tahun di bawahnya. Keduanya berbaring di tempat tidur."Hujannya lama ya, Ndra, dari tadi nggak berhenti-henti," kata Livia sembari memandang ke luar jendela, pada titik-titik hujan yang terus berjatuhan."Iya, Sayang. Sekarang kan lagi musim hujan.""Dingin ..." Rajendra merengkuh Livia, memberi lengannya untuk istrinya itu berbaring sedangkan satu tangannya lagi memeluk tubuh Livia. Meski rambut mereka sudah sepenuhnya memutih dan wajah mereka sudah keriput tapi cinta mereka begitu kuat.Livia tersenyum. "Berada di peluk
Hari-hari setelah kehamilannya terasa berat bagi Gadis. Setiap hari ia mengalami morning sickness yang menyebabkan susah makan.Randu yang biasanya pagi-pagi berangkat ke kedutaan kini harus mengurus Gadis lebih dulu sebelum pergi ke kantornya."Makan dikit ya, Abang bikinin sup hangat atau maunya roti coklat aja?" kata Randu sambil mengelus pundak Gadis yang terduduk lemas di sofa.Gadis menggelengkan kepalanya. "Adis nggak mau apa-apa, Bang. Adis nggak selera makan apa pun.""Tapi setidaknya Adis harus makan sedikit biar ada isi perutnya. Ingat, Dis, anak kita juga butuh asupan."Gadis tersenyum melihat perhatian Randu dan kepanikannya di waktu yang sama. "Ya udah, Adis mau minum teh hangat aja sama roti coklat," putusnya walau kemudian kembali berakhir dengan muntah.Malam harinya saat video call dan mengetahui keadaan Gadis, Livia langsung mengambil keputusan."Ndra, aku harus berangkat.""Ke mana?" tanya Rajendra."Ke Turki. Aku harus nemenin Gadis. Dia butuh aku saat ini. Ini ke
Gadis dan Randu memulai kehidupan mereka sebagai suami istri begitu tiba di Ankara, ibukota Turki. Kota itu terasa begitu berbeda dengan suasana di Indonesia. Udara dingin menusuk di musim gugur. Arsitektur Eropa bercampur dengan sentuhan Ottoman serta hiruk pikuk kehidupan yang begitu asing bagi Gadis.Randu sebagai diplomat muda langsung disibukkan dengan pekerjaannya di kedutaan besar Indonesia. Seringkali ia harus menghadiri rapat dengan pejabat Turki, menerima delegasi dari Indonesia, atau menghadiri acara-acara diplomatik. Sementara itu gadis masih beradaptasi dengan kehidupan barunya. Awalnya ia merasa canggung tinggal di negeri orang. Namun Randu selalu berusaha membuatnya nyaman. Mereka tinggal di sebuah apartemen yang luas dengan pemandangan kota Ankara yang indah.Setiap pagi Randu berangkat ke kedutaan, sementara gadis mulai membangun rutinitasnya sendiri. Ia mengambil kursus bahasa Turki agar bisa lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang sekitar. Selain itu ia juga se
Hari keberangkatan Gadis dan Randu ke Turki semakin dekat. Di rumah keluarga Rajendra suasana haru kian terasa.Livia sibuk memastikan semua keperluan Gadis sudah siap. Ia berulang kali memeriksa koper putrinya hanya demi memastikan tidak ada barang penting yang tertinggal."Adis, kamu yakin semuanya udah lengkap? Paspor, obat-obatan, udah?" tanya Livia dengan suara bergetar.Gadis tersenyum tipis, ia mencoba menenangkan perasaan ibunya. "Udah, Bunda. Tenang aja, Adis udah cek berkali-kali, sama kayak Bunda."Namun, Livia tetap terlihat cemas. Tangannya gemetar saat merapikan baju-baju Gadis di koper."Nda, udah. Jangan kayak gini. Nanti Adis bakal sering nelepon dan video call sama Bunda kok," kata Gadis menenangkan sang bunda.Livia mengangguk tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia belum siap berpisah dengan Gadis, namun juga tidak mungkin menahan Gadis agar tetap bersamanya karena Gadis sudah menikah.Rajendra juga mencoba untuk tegar. Ia diam saja, memerhatikan semua persiapan denga
Akad nikah Gadis dan Randu sudah selesai dilaksanakan. Acara disambung dengan resepsi pernikahan.Acara tersebut tampak meriah. Para tamu yang datang terlihat puas. Baik oleh penyelenggaraan acaranya maupun dari hidangan yang disajikan. Wedding singer yang berada di atas panggung yang berada tidak jauh dari pelaminan tidak ada hentinya menyanyikan lagu romantis, membuat atmosfer penuh cinta semakin terasa."Liv, aku mau nyanyi boleh nggak?" kata Rajendra tiba-tiba."Hah?" Mata Livia melebar mendengarnya. "Emang kamu bisa nyanyi?""Bisa dong walau suara aku pas-pasan," kekeh Rajendra.Livia ikut tertawa. "Ya udah gih, nyanyi sana biar anak-anak tahu kalau papanya ada bakat terpendam.""Kamu mau ikutan nyanyi sama aku?""Aku ngeliat dari sini aja."Rajendra berjalan ke belakang panggung, berbicara dengan seseorang lalu naik ke atas panggung. Mikrofon yang tadinya ada di tangan wedding singer berpindah ke tangan Rajendra."Bang, itu Papa mau ngapain?" tanya Gadis yang duduk di pelaminan
Begitu mendapatkan restu dari Erwin, persiapan pernikahan Gadis dan Randu segera disiapkan.Livia yang paling sibuk. Ia memastikan bahwa semua berjalan lancar dan sempurna untuk anak perempuannya. Begitu pula dengan Rajendra. Ia lebih disibukkan dengan urusan administratif.Gadis menginginkan pernikahan yang sederhana tapi tetap elegan. Setelah berdiskusi panjang akhirnya mereka memutuskan menyewa gedung yang memiliki nuansa taman di dalamnya dengan lampu-lampu gantung. Sementara untuk dekorasinya sendiri dihiasi nuansa putih dan hijau yang menyimbolkan kesan alami dan damai.Untuk pakaian pengantin Randu mengenakan beskap putih klasik. Sedangkan Gadis memilih gaun putih gading dengan detail bordir yang lembut. Saat pertama kali mencobanya ia termenung di depan cermin, menyadari bahwa sebentar lagi hidupnya akan berubah.Mengenai undangan mereka mencetak undangan simpel dengan desain minimalis. Gadis dan Randu memutuskan hanya mengundang orang-orang terdekat. Meskipun begitu Rajendra