Inara merasa hancur saat sang suami lebih memprioritaskan mantan kekasihnya di atas dirinya dan putri mereka. Namun ketika Inara mulai lelah dengan rumah tangganya dan memilih berpisah, Damian justru berusaha mempertahankan keluarga kecil mereka agar tetap utuh! Lantas, akankah Inara bertahan atau tetap memilih pergi demi menyelamatkan hati dan mentalnya?
Lihat lebih banyak“Mas, kamu ini bagaimana? Aku memintamu agar menjemput Alma, tapi kenapa tak dijemput?” Suara Inara yang tak bisa menahan rasa kecewa dan marah langsung menyerang telinga Damian begitu masuk ke rumah.
Suami Inara itu membuang napas berat, menaruh tas kerjanya di meja, sebelum menghempaskan tubuh ke sofa, lalu berkata dengan santai. “Aku tadi ada urusan mendesak, Ra. Maaf.” “Urusan mendesak yang lebih penting dari anakmu sendiri?!” Nada suara Inara sedikit meninggi kali ini. Raut wajah yang biasanya tenang kini memerah, menahan emosi yang siap meledak kapan saja. “Sebelumnya kamu bilang bisa. Aku sudah percaya padamu.” Damian mengusap wajahnya dengan kasar. “Iya, aku tau, tapi ....” Suaranya tercekat. Ingin menjelaskan, tetapi kata-katanya terasa terhenti di tenggorokan. “Padahal aku hanya minta tolong karena harus ke rumah sakit.” Inara menggeleng kecewa. Jika kakinya tak tertusuk paku yang cukup dalam, ia jelas akan menjemput putrinya tanpa harus meminta bantuan sang suami, tapi apa ini? “Untung saja gurunya Alma meneleponku karena dia menangis tak ada yang jemput,” tambah Inara kembali. Damian tampak menunduk. “Aku tau aku salah, Ra. Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud mengabaikan Alma, tapi tadi ... saat perjalanan ke sekolah Alma, Selena tiba-tiba meneleponku. Dia panik karena anaknya hilang di mal. Aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja.” Inara tertawa sinis, jelas itu sebuah ejekan. Matanya berkilat tajam mendengar pengakuan suaminya. “Oh, jadi kamu lebih khawatir anak orang lain hilang, sampai-sampai kamu tidak memikirkan bagaimana kalau anakmu yang hilang jika terlambat dijemput?” “Ra, kamu terlalu berlebihan.” Damian menatap Inara dengan tatapan memohon. “Tolong, tidak usah diperpanjang. Aku sudah minta maaf tadi, kan? Lagi pula, Alma tidak kenapa-kenapa.” Kalimat itu seperti cambuk bagi Inara. Ia terdiam beberapa saat, berusaha menguasai emosinya yang hampir meledak. Dia tak menyangka kalau Damian akan mengeluarkan kalimat seperti itu. Apakah putri mereka tak lebih penting dari putra wanita itu? Inara tersenyum masam, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba saja menghalangi pandangannya. Sayangnya, ia tak bisa menahan getaran pada suaranya. “Iya, kamu benar. Alma baik-baik saja karena yang kamu takutkan kenapa-kenapa itu hanya Selena dan anaknya.” Air mata wanita itu akhirnya jatuh, tetapi buru-buru memalingkan pandangan dan diam-diam menghapusnya sedikit kasar. Tanpa berkata lagi, dia memilih pergi dengan langkah tertatih karena kakinya sakit akibat tertusuk paku berkarat tadi pagi. Di sisi lain, Damian hanya duduk di sofa dan memandangi punggung Inara yang makin menjauh hingga pintu ditutup dengan keras. Pria itu memegang kepala, frustrasi, seketika menyesali telah berbicara seperti tadi pada istrinya. Damian tahu dirinya bersalah, tetapi ia tak bermaksud lalai menjemput sang putri. Namun, dia juga merasa tak bisa mengabaikan Selena yang membutuhkan pertolongannya. Setelah beberapa saat saling mendiamkan, Damian membuka pintu kamar dengan perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada Inara yang duduk di tepi ranjang. Punggungnya sedikit membungkuk, kedua tangan terlipat di pangkuan, menatap pada lantai dengan tatapan kosong. Tanpa ragu, Damian mendekat dan duduk di sampingnya. Dia memperhatikan kaki Inara yang terbungkus perban dan tampak sedikit bengkak. “Bagaimana dengan kakimu?” tanyanya dengan suara yang sarat kekhawatiran. Inara mengangkat wajahnya sedikit, lalu menjawab dengan nada datar. “Baik-baik aja, Mas.” “Lain kali, kamu harus lebih hati-hati lagi.” “Iya, Mas. Terima kasih sudah peduli padaku,” ucap Inara yang membuat Damian mengernyit, merasa ada sesuatu yang tidak bisa dipahami dari kalimat itu. “Loh, kamu ini bicara apa? Aku ini suamimu, sudah pasti aku peduli padamu.” Damian berkata tegas. Inara sendiri hanya mengangguk pelan, mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia tak bisa begitu saja mengabaikan sisi lain hatinya yang terluka dengan perkataan sang suami beberapa saat lalu, yang secara tidak langsung menganggapnya sudah tak begitu penting. Tanpa berkata-kata lagi, Inara mengangkat kaki ke atas ranjang dan berbaring membelakangi suaminya. Damian juga hendak berbaring ketika suara pelan Inara terdengar. “Besok ulang tahun Alma. Aku harap kamu bisa pulang lebih awal dan kita sama-sama merayakan ulang tahunnya.” Damian menoleh, menatap punggung istrinya. “Pasti, aku tidak akan melewatkannya.” Kali ini, Inara bisa sedikit bernapas lega mendengar respons sang suami. Setidaknya, dia berharap Damian tak mengecewakannya lagi. *** “Bunda, kenapa Papa lama sekali?” Alma mengangkat kepala, menatap Inara penuh tanya tanpa bisa menyembunyikan kesedihan. Wanita itu perlahan berjongkok di hadapan sang putri, tersenyum seolah-olah tak ada beban. “Papa mungkin masih sibuk, Sayang. Jadi, terlambat datang.” Kata-katanya begitu ringan, tetapi sungguh di dalam sana dadanya cukup sesak. Saat ini, ulang tahun kelima Alma, putrinya dengan Damian, seharusnya bocah perempuan itu hanya boleh bahagia, bukan malah kecewa karena salah satu orang tuanya malah tak hadir di hari pentingnya. Berkali-kali, Inara memeriksa Ponsel. Namun, tidak ada pesan ataupun panggilan lagi dari Damian, sejak pria itu bilang sudah pulang dari kantor 2 jam yang lalu. Akan tetapi, hingga kini ujung rambutnya belum tampak ada di rumah. “Ke mana dia tersesat?” Inara membatin kesal. “Bunda, Papa pasti datang, kan?” tanya Alma, mulai cemberut. Cukup lama Inara bergeming, bingung harus menjawab apa. Sebenarnya, ia juga tak begitu yakin kalau Damian akan segera datang. Terlebih, ini bukan kali pertama dia menghilang tanpa kabar di saat penting. ‘Selena?’ batin Inara curiga pada satu sosok yang selalu membuat suaminya lupa segala hal.Inara membuka matanya perlahan. Tak tidur, hanya sekadar menutup mata. Lampu tidur masih menyala, menerangi sebagian kamar dengan cahaya lembut kekuningan. Di sampingnya, Alma sudah terlelap dengan napas beraturan. Ekspresinya damai, setelah tadi memelas minta tidur bareng sang bunda. Senyum tipis terbit di bibir Inara ketika dengan penuh kasih ia menyentuh pipi putrinya pelan. Perlahan, ia bangkit dari ranjang, menyelimuti tubuh kecil Alma hingga dada, lalu menunduk mencium kening bocah itu. Dia melangkah ringan menuju sudut kamarnya yang luas itu. Sebuah meja kerja kecil berada di sana. Sambil mengusap tengkuk yang terasa sedikit pegal, ia beralih duduk Ia duduk di kursi ergonomisnya. Hari ini cukup melelahkan. Meeting sepanjang siang, revisi desain untuk klien besar, dan laporan strategi branding yang belum sempat ia review tadi di kantor karena harus meluangkan waktu menemani Alma jalan-jalan dan jajan.
Cukup lama Selena menunggu. Namun, tak kunjung ada balasan dari Daffa, padahal pesannya sudah terbaca. Ia mulai panik, terlebih jam bergulir cepat, hingga hari berganti Daffa masih tak kunjung memberikan reaksi. Pria itu seolah memilih menghilang dan tak mau tahu.Tak ingin menunggu dalam diam dan marah yang makin menumpuk, akhirnya Selena memutuskan untuk mendatangi langsung rumah Daffa. Ia tak tahan lagi menanggung semua itu sendirian. Hidupnya jadi apes juga karena kebejatan Daffa.Hanya saja, sebelum keluar rumah, ia disambut putranya yang berada di ruang tamu. Tengah duduk di kantai sambil makan buah yang dipotong rapi oleh pengasuhnya. Tentunya, pengasuh Vano itu juga Daffa yang menyiapkan.“Ma, mau ke mana?” tanya Vano polos, matanya menatap Selena yang baru keluar dari kamar sambil menentang kunci mobil.Selena tersenyum tipis, mencoba menahan gundah yang membuncah di dadanya. “Mama mau keluar sebentar, Sayang. Ada sedikit urusan
Pertemuan tanpa sengaja itu ternyata menjadi pemantik. Dua orang yang punya misi sama tersebut mulai lebih sering saling berkomunikasi, seolah tanpa sadar telah menjadi rekan dalam senyawa racun. Selang beberapa lama, hingga keduanya memutuskan untuk kembali bertemu, kali ini dengan maksud untuk menyusun rencana dimulainya kehancuran Damian dan Inara yang sebenarnya sudah hancur ulah Selena sebelumnya.Mereka bertemu di salah satu club malam ternama yang ada di Jakarta. Keduanya dudu berdampingan di sofa VIP yang agak tersembunyi dari keramaian.Dari kejauhan, keduanya tampak seperti pasangan biasa yang tengah menikmati malam membahagiakan, tetapi jika dilihat dari dekat, sorot mata mereka menyiratkan hal yang jauh lebih dalam dari sekadar menikmati malam.Lampu warna-warni menari liar. Irama musik menghentak pelan. Aroma alkohol bercampur parfum mahal menguar bercampur udara pada malam itu.Di atas meja, dua gelas koktail dengan warna m
Dicengkeramnya jemarinya gugup. Wajah wanita itu mulai pucat pasi. Ia bisa merasakan tatapan Daffa menusuk dari ujung kepala hingga kaki, seolah menguliti apa yang ada pada dirinya itu, termasuk kebohongannya.Tak lama, Daffa berdiri dari duduknya dan mulai mengitari ibu dan anak itu, tubuh Selena sontak menegang dibuatnya. Ia sangat takut, pria-pria itu akan membawanya pada polisi.Dengan cepat, ia menunduk dan memeluk Vano. “Maaf, Pak ...,” ucapnya dengan suara bergetar. “Kalau Bapak keberatan kami ada di sini, kami akan segera pergi.”Jelas, Selena mengatakan itu karena buru-buru ingin menghindar. Salahnya, karena minta tolong pada orang yang tak dikenal.Ia menggandeng tangan Vano berbalik. Langkah mereka terburu-buru, seperti kucing yang tertangkap basah mencuri ikan di meja makan.Hanya saja, belum sampai mereka keluar dari pintu, suara Daffa menggema lantang di seluruh ruangan.“Berhenti di situ!”Suara itu bukan
Beberapa bulan yang lalu ....“Cepat, Vano! Ayo lari!” Dengan menggandeng tangan kecil Vano, Selena terus berlari. Napasnya tersengal dan wajahnya panik.Sementara itu, suara langkah kaki terus mengejarnya. “Berhenti! Jangan mempersulit keadaan!”Langkah dua pria berseragam polisi itu makin dekat. Namun, Selena tidak boleh lengah. Kalau sampai tertangkap, maka dia akan dipenjara karena dengan sengaja membakar rumah Damian dan Inara.Tiba di jalan besar, pandangan Selena menyapu sekeliling, mencari tempat yang aman ketika tatapannya menangkap sebuah mobil hitam yang berhenti di seberang jalan.Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju mobil itu dengan Vano yang masih dalam gandengannya. Cepat, membuka pintu belakang dan membantu Vano masuk lebih dulu. Setelah itu, barulah ia menyusul tanpa memedulikan pemilik mobil yang tengah menelepon di samping mobilnya.Pria yang mengenakan masker dan topi hitam itu tersentak mendengar
“Apa yang kamu lakukan sampai Damian bisa tau semuanya, hah?!” Suara Daffa melengking tajam, memantul memenuhi ruangan megah nan luas itu. Selena terkejut dengan pertanyaan yang dilayangkan Daffa. Jelas-jelas ia tidak melakukan apa pun. Dan, ia sendiri tidak tahu mengapa Damian bisa mengetahuinya. “Aku? Aku tidak ngapa-ngapain! Damian tiba-tiba aja membatalkan pernikahan kami dan bilang kalau mengetahui ayah dari janin dalam kandunganku. Aku juga tidak mengerti semuanya, Daffa.” Selena mencoba berkata jujur. Namun, sepertinya kejujurannya seperti tak ada gunanya bagi Daffa. Pria yang berdiri di dekat jendela besar yang memperlihatkan gemerlap kota itu perlahan berbalik. Matanya menyala marah seperti kucing yang hendak membunuh mangsa. “Jangan bohong!” bentaknya, mendekat dengan rahang mengeras. “Kamu itu terlalu ceroboh, Selena! Selalu aja blunder! Ngomong tidak mikir, gerak tidak hati-hati! Seperti kemarin, kamu menculik Alma tanpa mikir
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen