Sinopsis: Aku menumpahkan rujak pedas ke muka istriku karena geram dia ngidam tengah malam. Aku pikir dia hanya akan menangis, ternyata dia membuatku panik karena melakukan ini ....
Lihat lebih banyak“Mas ... Mas Adrian. Tolong ....” Anaya menggoyang-goyangkan tubuhku. Suaranya terdengar memelas membuatku semakin kesal.
“Diam, Ana! Mas mau tidur.” Aku bergumam sambil memejamkan mata, berharap dia menyerah.
“Tapi Ana ingin banget rujak, Mas. Rasanya udah di lidah. Tolong dong, Mas. Ana mau sekarang.”
“An, ini udah malam. Mana ada yang jual rujak malam-malam begini?”
“Coba aja cari dulu, ya.”
Aku memutar badan, membelakangi Ana. Malam ini dia benar-benar menyebalkan. Aku hanya ingin tidur, tapi dia terus mengganggu dengan rengekannya. Aku tahu ini soal ngidam, tapi tetap saja, mana mungkin ada yang jual rujak sekarang?
“Mas, Ana mohon. Sekali ini aja, ya? Demi baby....”
Aku mendengus kesal. Suaranya semakin panas di telingaku. Nada melasnya terasa seperti paku yang menghunjam kepala. Jantungku berdegup kencang, tapi bukan karena kasih sayang, melainkan amarah.
Tanpa sepatah kata, aku bangkit dari tempat tidur. Meraih jaket dan kunci motor di atas meja.
“Mau ke mana, Mas?” tanya Ana dengan mata berbinar.
“Beli rujak,” jawabku pendek sambil lalu.
“Jangan terlalu pedas ya, Mas. Makasih.” Dia tersenyum lebar, seolah lupa betapa kesalnya aku tadi.
Aku hanya menggumamkan “Hem” sebelum menutup pintu. Bersama rasa kesal yang memuncak, kuhidupkan motor dan melaju tanpa tujuan.
*
Jarak satu kilometer dari rumah, rengekan Ana masih terngiang di telinga. Aku tahu, aku tidak benar-benar keluar untuk mencari rujak. Aku hanya ingin menenangkan diri. Hidupku sudah cukup rumit tanpa tambahan drama seperti ini.
Aku menikahi Anaya Sarah Azzahra bukan karena cinta. Hanya permintaan orang tua yang tak bisa kutolak. Sebelumnya, aku sudah memiliki kekasih, Ketrin , tapi ibuku tak pernah menyukainya. Baginya, Ketrin terlalu modern, tidak cocok menjadi menantunya. Saat ibu menjodohkanku dengan Ana, aku sempat menolak. Namun, melihat kondisi kesehatan Ibu yang terus menurun, aku akhirnya menyerah.
Menyerah bukan berarti menerima. Meskipun kata orang-orang Ana cantik dan salihah, aku tak pernah mencintainya. Bahkan setelah kami menikah, rasa itu tak pernah tumbuh. Ketika dia hamil setelah satu tahun pernikahan, aku tahu aku harus bertanggung jawab. Tapi rasa sayang itu tetap tak ada.
Aku terus mengendarai motor tanpa arah. Hingga di salah satu sudut kota, aku melihat pedagang rujak yang masih buka. Entah ini keberuntungan atau justru bencana, aku tiba-tiba punya ide.
“Pak, saya pesan rujak yang sangat pedas. Level seratus sekalian,” kataku dengan nada tegas.
“Segini cukup, Mas?” tanya pedagang itu sambil menunjukkan cabai yang sudah ia siapkan.
“Kurang. Tambah lagi.” Aku mengambil segenggam cabai dari wadahnya dan menaruhnya di atas ulekan.
“Mas, kalau terlalu banyak bisa bahaya.”
“Gak apa-apa. Bapak tinggal buat saja. Saya bayar berapa pun.”
Pedagang itu menggeleng pelan, tapi tetap mengulek rujak pesananku. Beberapa menit kemudian, sebungkus rujak super pedas ada di tanganku. Aku kembali ke rumah dengan perasaan puas yang aneh.
*
“Mas, dapat?” tanya Ana begitu aku masuk. Wajahnya penuh harap.
Tanpa bicara, aku menyerahkan bungkusan itu padanya. Dia buru-buru membukanya dengan sangat antusias. Ana mencicipi sepotong mangga muda.
“Bweeeh!” Ana memuntahkan potongan itu. “Pedas banget, Mas!”
“Kenapa? Tidak suka?” tanyaku dengan nada dingin.
“Ini pedas banget. Ana nggak bisa makan, Mas.”
“Pedas mulutmu!” Aku melemparkan sisa rujak itu ke wajahnya. Potongan mangga dan sambal berhamburan, sebagian mengenai rambut dan bajunya.
“Ah, panas ... panas ....” Ana mengusap mata, lantas buru-buru pergi ke dapur. Suara keran terdengar kemudian, sepertinya Ana sedang mencuci mukanya.
Aku tak peduli. Dengan kasar, aku berbalik menuju kamar. Langkahku berat, bukan karena penyesalan, tapi karena kemarahan yang belum surut. Aku membanting pintu dan merebahkan diri di atas kasur, mencoba memaksa tidur di tengah gejolak yang terus membakar dada.
Malam itu, aku tidur dengan hati yang penuh amarah, tanpa sedikit pun rasa bersalah.
*
Esok paginya, aku bangun kesiangan. Tidak ada suara Ana yang membangunkan. Jendela kamar bahkan masih tertutup rapat padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh. Ke mana Ana, biasanya dia sudah bawel dari subuh.
“An, Ana? Kenapa tidak membangunkan? Ini sudah siang, Mas bisa kesiangan.” Aku buru-buru ke dapur. Mencari Ana dan mau mandi juga.
Dadaku mencelos saat mendapati rumah terlalu sepi. Tidak ada suara orang yang sedang masak seperti biasanya. Lampu rumah masih menyala, dan jendela pun tertutup rapat.
“An ... Ana....” Aku mencari Ana ke semua tempat. Aku merasa dada agak berat. Entah karena apa.
“Ana ... Anaya ....”
Aku kembali ke kamar. Membuka ponsel dan mengecek pesan.
“Mas, Ana pergi. Ana sekarang sadar bahwa Mas Adrian tidak pernah dan tidak akan mungkin mencintai Ana. Ana tidak ingin semakin banyak dosa atas hubungan yang tidak Mas inginkan ini. Ana izin membawa pergi buah hati kita. Ana akan mencukupkan cinta kasih untuknya. Semoga Mas menemukan kebahagiaan yang selama ini Mas harapkan.”
Aku terpaku membaca pesan itu. Tangan dan kaki mendadak lemas. Dadaku tiba-tiba nyeri dan berat. Beberapa ketakutan membayang dalam pelupuk mata.
Tidak, Ana! Kamu jangan pergi!
Bersambung ....
Bab 45. Rujak PedasSesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan. Ayat itu diulang dua kali. Salah satu guruku pernah bilang, diulanginya ayat itu memiliki makna kalau setelah kesulitan kita akan mendapat kebahagiaan yang berlipat.Ayat itu dari Allah—yang menciptakan kehidupan ini, tapi aku pernah ada di titik ragu. Seolah masalahku tak ada akhirnya. Sekarang, aku hanya bisa tersenyum melihat ujian yang sangat berat itu. Ini bukan hanya tentang aku, bahkan kisah para penghuni yayasan pun sama. Banyak yang datang dalam keadaan menangis, dan sekarang mereka bisa tertawa.Aku pernah mengharapkan Mas Adrian mencintaiku, setelah aku ikhlas melepaskannya dan tak berharap lagi, aku malah mendapatkannya sekarang. Suamiku tak pernah melewatkan satu hari pun tanpa mengatakan cinta atau sayang.“Sayang celana dalam yang ini kekecilan.”Aku sedang mencari pakaian untuk pergi siang ini, jadi tak melihat apa maksudnya. Aku sudah tahu pasti bercanda. Mem
Bab 44: LoveAna selalu memimpikan tanah suci. Hatinya selalu sedih setiap kali melihat teman-temannya yang bisa umroh. Rindu tak terhingga Ana pada tempat itu. Minimal sekali seumur hidup, Ana ingin sekali menginjakkan kaki di sana. Haji mungkin sulit digapai, kalau tahun ini daftar, entah kapan dapat giliran. Minimal umroh saja dulu. Ana sangat ingin melihat rumah Allah, juga persinggahan terakhir Baginda Nabi.Hari ini, suaminya, memberikan hadiah tiket haji. Ana tidak bisa menahan tangis. Hatinya penuh syukur. Dari milyaran manusia, Ana terpilih untuk menyempurnakan agamanya tahun ini.Rafasya mendekati wanita yang baru saja sujud syukur dan langsung melantunkan doa itu. Rafasya duduk di samping Ana. Mengusap pucuk kepala istrinya. Rafasya merasa tak pernah melihat Ana sebahagia ini. Hati Rafasya ikut hangat.Ana meraih tangan Rafasya. Diciumnya punggung tangan dan telapak suaminya berkali-kali. "Terima kasih, Mas. Terima kasih." Tatapan Ana berkaca-kaca.Rafasya mengangguk dan te
Bab 43: Sujud SyukurUlang tahun Kaidan dan Nadhifa hanya beda dua minggu saja. Adik kakak yang terpaut dua tahun itu merayakan ulang tahunnya bersama. Mereka mengadakan syukuran bersama yatim piatu dan semua penghuni yayasan. Diadakan makan-makan dan aneka hiburan anak-anak.Malamnya Ana memberikan hadiah. Sebuah CD pemberian Diana. Mereka menonton CD itu bersama-sama sambil berbaring di atas kasur. Di kamar Rafasya.Pada rekaman itu, Diana mengucapkan selamat ulang tahun untuk Kaidan dan Nadhifa. Selamat untuk ulang tahun hari ini dan ulang tahun yang selanjutnya. Diana berharap anak-anaknya kelak menjadi anak-anak yang bermanfaat bagi banyak orang.Rekaman itu diambil ketika Diana sudah sangat lemah. Diana mungkin sedang menahan kesakitan hari itu, tapi bibirnya tetap tersenyum seraya menyampaikan beberapa pesan. Pesan seorang ibu yang berharap anaknya sukses menjalani kehidupan di dunia yang fana ini.Semua orang meneteskan air mata. Rafasya mengusap kepala Kaidan yang sedang mena
Bab 42: Kita SekarangSentuhan semalam seperti sebuah klarifikasi bahwa rumah tangga kami bukan rumah tangga yang aneh, melainkan rumah tangga pada umumnya. Ketika kami berjalan-jalan menyusuri Tokyo, aku tak segan menautkan tangan pada lengannya saat menyeberang. Atau ketika berbelanja, aku berani melingkarkan tangan di pinggang Mas Rafa saat dia memilih boneka kokeshi.“Umma suka yang mana?” Mas Rafa melirik.“Untuk di mana?”“Meja kantor.”“Umma suka yang ini.” Aku menunjuk boneka kayu dengan bentuk tubuh yang bulat dan kepala besar yang ada di tangan kanan Mas Rafa. Mas Rafa setuju dan langsung membayarnya.Setelah belanja bermacam oleh-oleh, dan makan, Mas Rafasya pamit pergi sebentar. Katanya dia ada urusan. Aku dan anak-anak dipinta menunggu di restoran. Mas Rafasya kembali sekitar 15 menit kemudian. Dia menjinjing paper bag yang berisi sebuah kotak.“Apa itu, Papa?” tanya Nadhifa.“Bukan apa-apa.”“Aku mau lihat.”“Ini hanya kado untuk teman Papa.”“Aku mau lihat!”“Tidak bole
Bab 41: Malam PertamaAku baru tahu kalau jatuh cinta itu sangat indah. Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan yang seperti ini sebelumnya. Pagi, ketika aku bertemu tatap dengan Mas Rafasya, pipiku langsung menghangat. Aku tak kuasa memandangnya. Aku lebih banyak menunduk.Kaidan dan Nadhifa kujadikan sebagai pengalihan atas grogiku. Aku fokus pada mereka meski hati rasanya ketar-ketir.Aku tak tahu apa yang Mas Rafasya pikirkan. Mungkin sebuah kecupan hal biasa baginya. Beliau terbentuk dari lingkungan yang heterogen. Mungkin saja mewajarkan hal itu. Mas Rafa terlihat biasa saja, tidak nampak grogi atau sungkan."Umma, hari ini kita pindah ke Kyoto," katanya sambil duduk dan memakai kaus kaki.Aku sangat senang setiap kali Mas Rafa memanggilku Umma. Aku selalu merasa diakui."Di sana ada apa, Mas?""Di sana banyak kuil dan kastel yang memukau. Banyak tempat indah untuk berfoto.""Terus ke Disneylandnya kapan? Anak-anak katanya mau ke Disneyland.""Habis dari Kyoto kita ke Tokyo."Har
Bab 40: Sebuah KecupanKami berangkat menuju Jepang. Sepanjang perjalanan Mas Rafasya banyak menerima telepon. Meski tak bicara, aku tahu pasti ada masalah. Mungkin ada hubungannya dengan kejadian semalam.Ketika menunggu penerbangan, aku menyempatkan untuk bertanya.“Kenapa kita mendadak pergi, Mas. Ini tidak ada hubungannya sama kejadian semalam kan?”Pria yang sedang menatap ponsel itu langsung menengok padaku. “Freyza yang menyabotaseku semalam.”Aku mengingat nama itu. Semalam kami berkenalan dan dia terlihat tidak menyukaiku.“Menyabotase bagaimana?”“Dia yang mengunciku semalam dan meminta MC memanggilmu.”“Aku tidak masalah kok, Mas. Acara semalam berhasil kan? Mas yang bilang sendiri tak mau aku disepelekan Ayah. Semoga saja kejadian semalam bisa membuat ayah berubah.”“Aku tidak akan memaafkan mereka hanya karena kamu berhasil. Bagaimana kalau kamu tidak bisa membawa presentasi semalam? Aku sangat panik takut kamu malu dan malah nangis di sana. Mas tidak bisa membayangkan ka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen