Sepuluh tahun bahtera rumah tangga Fadilah Muhammad, seorang CEO sukses, dan Fahira Dewi Puspita terasa hampa tanpa kehadiran seorang anak. Berbagai upaya medis dan tradisional telah mereka tempuh, namun garis keturunan tak kunjung hadir. Tekanan semakin berat dirasakan Fahira tatkala ibunda Fadil tak henti menyindir dan bahkan mencelanya. Setiap pertemuan menjadi momok yang menggerogoti ketenangan batin Fahira. Label mandul seolah menjadi hantu yang terus menghantuinya, membuatnya terpuruk dalam kesedihan dan stres yang mendalam. Di tengah perjuangan melawan takdir dan tekanan keluarga, akankah cinta Fadil dan Fahira mampu bertahan? Mampukah mereka menemukan kebahagiaan sejati di tengah penantian yang tak berujung, ataukah tekanan dari orang terdekat justru akan merenggut segalanya?
Lihat lebih banyakMatahari belum sepenuhnya condong ke barat, namun Fadilah sudah mengemasi berkas-berkasnya. Rapat siang ini berjalan lancar, dan entah mengapa, bayang-bayang wajah Fahira terus menari di benaknya. Ada kerinduan yang tiba-tiba menyeruak, membuatnya ingin segera pulang dan melihat senyum istrinya.
Dengan ponsel di tangan, Fadil menekan nomor Fahira. Nada sambung berdering beberapa kali sebelum akhirnya terdengar suara lembut di ujung sana. "Assalamu'alaikum istriku yang cantik," sapa Fadil dengan nada ceria. "Waalaikumsalam mas," jawab Fahira, terdengar sedikit terengah. "Kamu sudah selesai meeting?" tanyanya, diiringi bunyi denting mangkuk dan sendok. "Sudah, sepertinya aku pulang cepat karena nanti teman-temanku akan ke rumah. Aku mau bantu kamu untuk persiapkan semuanya. Bagaimana?" tawar Fadil. Ia membayangkan Fahira yang pasti sedang berkutat dengan tepung dan oven. "Benarkah? Tentu saja boleh, Mas. Aku sedang mencoba resep kue baru. Senang sekali kalau kamu bisa bantu," ujar Fahira, antusiasmenya terasa hingga seberang telepon. "Baiklah, sayang. Aku segera pulang. Jangan terlalu lelah ya," pesan Fadil lembut. "Iya, Mas. Hati-hati di jalan," balas Fahira. Fadil tersenyum lega setelah menutup telepon. Ia jadi tak sabar untuk segera sampai rumah dan melihat Fahira. Selain rindu, ia juga bangga dengan semangat istrinya yang kini tengah menekuni dunia bakery. Ia tahu, di tengah kesepian menanti buah hati, Fahira berusaha mencari kesibukan positif. Setibanya di rumah, aroma manis langsung menyambut Fadil. Ia melihat Fahira di dapur, wajahnya sedikit berlumuran tepung, namun matanya berbinar penuh semangat. Beberapa loyang kue tampak sudah tertata di meja. "Wah, aromanya menggoda sekali," puji Fadil sambil menghampiri istrinya dan mengecup keningnya lembut. Fahira tersenyum bahagia. "Ini kue vanila dengan taburan almond, Mas. Aku sedang mencoba membuatnya lebih lembut dari sebelumnya." "Pasti enak. Ada yang bisa kubantu?" tanya Fadil, siap menggulung lengan kemejanya. "Tolong siapkan minuman saja ya, Mas. Aku masih harus membuat beberapa adonan lagi," jawab Fahira sambil kembali fokus pada adonannya. Fadil dengan senang hati menyiapkan teh hangat dan beberapa camilan ringan. Ia memperhatikan Fahira dengan penuh kasih. Di mata Fadil, Fahira bukan hanya seorang istri yang cantik, tetapi juga wanita hebat yang tak pernah menyerah dalam menghadapi cobaan. Ia berharap, suatu hari nanti, rumah mereka akan semakin ramai dengan kehadiran buah hati, melengkapi kebahagiaan yang kini tengah mereka rajut bersama. Senja mulai merayap, mewarnai langit Jakarta dengan gradasi jingga dan ungu. Di taman belakang rumah, Fahira dan Fadil bahu-membahu menata meja makan. Taplak putih bersih terhampar, di atasnya tertata rapi piring, gelas, dan alat makan. Beberapa lilin aromaterapi diletakkan di tengah meja, siap menciptakan suasana hangat dan romantis. Lampu-lampu hias kecil dengan cahaya temaram mereka gantungkan di antara pepohonan, menambah kesan magis pada taman yang asri itu. Saat Fahira sedang membenarkan letak serangkaian bunga di vas, Fadil menghampirinya dari belakang. Lengannya melingkari pinggang ramping istrinya, dan sebuah kecupan lembut mendarat di pipi kanan Fahira. "Sayang, kamu cantik sekali," bisik Fadil tepat di telinga Fahira, suaranya sarat akan kekaguman. "Hahaha ih apa sih mas. Malu tau ada bibi," sahut Fahira seraya menggeliat kecil dalam pelukan Fadil. Pipinya merona tipis saat matanya melirik ke arah Bi Ida, asisten rumah tangga mereka, yang tampak sedang membersihkan area kolam renang sambil tersenyum-senyum melihat kemesraan majikannya. Bi Ida yang menyadari lirikan Fahira, terkekeh pelan. "Udah tuan, nyonya. Anggap saja saya nyamuk di sini. Nggak apa-apa kok," candanya, membuat suasana semakin cair. Fadil dan Fahira pun tertawa lepas mendengar celotehan Bi Ida. Kehadiran Bi Ida memang seringkali mencairkan suasana di rumah itu. Setelah tawa mereda, mereka kembali fokus pada dekorasi taman, sesekali saling bertukar ide dan senyuman. Kerinduan yang sempat menggelayuti hati Fadil kini terobati dengan kehadiran Fahira di sisinya. Sementara bagi Fahira, perhatian dan kasih sayang Fadil adalah pelipur lara di tengah tekanan yang ia rasakan. Mereka berharap, malam ini akan menjadi malam yang indah, dipenuhi kehangatan dan kebersamaan bersama teman-teman terdekat. Fahira mengusap tangannya pada celemeknya yang sedikit bertepung. Ia menoleh pada Fadil yang sedang memasang untaian lampu di dahan pohon mangga. "Kira-kira teman-temanmu kapan datang, Mas? Oh iya," lanjutnya dengan nada sedikit ragu, "kamu sudah coba kuenya? Aku takut nggak enak." Fadil turun dari tangga kecil yang dipijaknya dan menghampiri Fahira. Ia meraih kedua tangan istrinya dan menatapnya dengan lembut. "Enak kok, Sayang. Sungguh. Aku percaya sama istriku yang paling jago bikin kue sedunia." Fahira terkekeh mendengar pujian suaminya. "Lebay deh kamu. Masih banyak tahu chef-chef di luar sana yang lebih jago." Fadil mendekat dan kembali mengecup kening Fahira. "Tapi kan cuma kamu chef yang paling aku cinta," bisiknya dengan senyum jail. Pipi Fahira kembali merona. Ia memukul pelan lengan Fadil. "Gombal!" "Beneran, Sayang. Setiap kue yang kamu buat selalu terasa istimewa karena dibuat dengan cinta," balas Fadil, kali ini dengan nada yang lebih serius namun tetap penuh kasih. Ia menggenggam erat tangan Fahira, seolah ingin menyalurkan ketenangan dan keyakinannya pada sang istri. "Semoga teman-teman kita juga suka ya," gumam Fahira, masih sedikit merasa tidak percaya diri. "Pasti suka. Mereka tahu seleraku, dan seleraku selalu yang terbaik, yaitu kamu dan semua yang kamu lakukan," jawab Fadil mantap. Ia kembali merangkul Fahira dan menatap taman yang kini semakin cantik dengan hiasan lampu temaram. "Sebentar lagi juga pasti datang. Kamu tenang saja ya." Fahira menyandarkan kepalanya di bahu Fadil, merasa sedikit lebih tenang mendengar kata-kata suaminya. Kehadiran Fadil memang selalu menjadi sumber kekuatannya, terutama di saat-saat ia merasa ragu dan cemas. Dalam pelukan hangat suaminya, ia berharap malam ini akan berjalan lancar dan kue buatannya akan disukai oleh teman-teman Fadil. "Mas aku mandi dulu ya. Aku bau telor dan tepung nih. Oh iya, jangan lupa keluarin camilannya ya," ucap Fahira sambil membelai pipi Fadil. Fadil pun mengangguk. Fahira tersenyum manis pada Fadil sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah. Ia merasa sedikit lebih segar setelah mendengar pujian dan dukungan dari suaminya. Meskipun masih ada sedikit rasa gugup, ia berharap malam ini akan berjalan lancar. Fadil menghela napas panjang dan menatap ke sekeliling taman. Lampu-lampu hias sudah menyala, menciptakan suasana yang hangat dan romantis. Meja makan tertata rapi dengan lilin-lilin aromaterapi yang mulai dinyalakan. Aroma kue vanila dan teh hangat bercampur menjadi satu, menciptakan suasana yang nyaman dan mengundang. Fadil tersenyum. Ia bangga dengan Fahira, istrinya yang cantik dan berbakat. Ia yakin, malam ini akan menjadi malam yang indah, dipenuhi kebersamaan dan kebahagiaan bersama teman-teman terdekat mereka. Fadil pun mulai mengeluarkan camilan-camilan yang sudah disiapkan Fahira, menatanya di atas meja, sambil menunggu teman-temannya datang.Usai makan malam yang diwarnai kehangatan dan sedikit ketegangan, Bu Nika dan Fatah dengan sigap membantu Bi Ida membereskan sisa-sisa hidangan. Sementara itu, Bu Rara sudah berpamitan pulang lebih awal. Di kamar mereka, Fadil dan Fahira khusyuk menunaikan sholat Isya berjamaah, memanjatkan rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan.Di dapur, saat mereka sedang mencuci piring, Fatah menghela napas panjang. "Bun," celetuknya pelan, "kenapa sih mamanya Kak Fadil kayak gitu? Kayak si paling oke aja." Nada bicaranya menunjukkan ketidakmengertian dan sedikit kekesalan.Bu Nika mengusap lembut kepala putranya. "Nak... sudah, kamu jangan bicara seperti itu ya. Mungkin beliau juga khawatir sama Kakakmu dan cucunya. Setiap ibu punya cara sendiri untuk menunjukkan perhatiannya, meskipun terkadang caranya tidak selalu tepat di mata kita." Bu Nika berusaha memberikan pengertian, meskipun ia sendiri juga merasakan sikap kurang menyenangkan dari ibu mertua Fahira. Ia berharap Fatah tidak
Sabrina berdiri termenung di balkon vila yang menghadap pemandangan pegunungan Bandung yang asri. Angin sepoi-sepoi menerpa rambutnya yang tergerai. Kamila, sahabatnya sejak kuliah, menghampirinya dengan membawa secangkir teh hangat. "Kenapa, Na? Mikirin Pak Fadil lagi?" tanya Kamila dengan nada sedikit malas, sudah hafal dengan topik yang seringkali memenuhi pikiran sahabatnya itu. Sabrina di luar kantor, menunduk dan menghela napas panjang. "Gue sebenarnya udah interest sama beliau dari sebelum nikah," ujarnya lirih, menerawang jauh. "Dia kan nggak pernah publish siapa perempuan yang lagi dekat sama dia. Tiba-tiba aja dia nikah. Padahal gue udah jadi sekretaris dia udah lama. Gue pikir... ada kesempatan." Nada suaranya terdengar menyesal. Kamila menghela napas dan meletakkan cangkir teh di meja balkon. "Gue ngerti perasaan lo, Na. Nggak enak emang, udah lama suka, eh taunya dia udah punya istri. Tapi sekarang situasinya beda. Pak Fadil udah bahagia sama Mbak Fahira. Udah jelas, N
"Sayang, nanti sore aku ada Family Gathering ke Bandung sama rekan kerja aku. Kamu ikut ya?" Ujar Fadil sambil menuangkan air mineral ke gelasnya. Fahira duduk di kursi ruang makan dan mengoleskan selai ke rotinya. "Mas, itu kan acara kamu. Aku nggak akan ikut campur." "Tapi kan 2 hari sayang, nanti kalau mama kesini dan ngerecokin kamu lagi gimana? Mendingan kamu ikut aku aja ya." Fadil mulai memohon dan memeluk leher Fahira dari belakang dan mencium ujung kepala Fahira. "Nih, mas makan dulu. Nanti lapar loh kerjanya." Fahira memberikan roti selai kepada Fadil. Fadil pun menghela nafas. Tiba-tiba Fahira merasa mual dan pusing. "Mas... Kok kepala aku pusing banget ya? Aku... huekk." Fahira berlari ke kamar mandi dan ia muntah-muntah. "Kamu kenapa sayang?" Fadil mengusap punggung Fahira dengan lembut. Fahira masih lemas setelah muntah. Wajahnya pucat dan keringat dingin membasahi dahinya. "Nggak tahu, Mas... tiba-tiba aja perut aku nggak enak banget," jawab Fahira dengan suara le
Fadil menghela napas panjang, berusaha meredam gejolak emosi yang masih berkecamuk di dadanya. Ia menangkup wajah Fahira dengan kedua tangannya, menatap matanya dengan lembut namun penuh kesungguhan. "Fahira..." Fadil mulai menurunkan suaranya, berusaha berbicara dengan tenang dan bijak. "Duduklah, Sayang. Kita bicarakan ini baik-baik. Oke?" Ia menuntun Fahira untuk duduk di tepi ranjang, lalu berlutut di hadapannya, menggenggam erat kedua tangan istrinya. "Begini, Sayang. Kamu itu istriku. Kamu yang selalu ada di sampingku, dalam suka maupun duka. Kamu yang selalu mendoakan aku, mendukung setiap langkahku. Aku memang ingin berbakti kepada ibuku, dan aku sudah berusaha untuk bersikap adil. Tapi kamu adalah istriku. Kamu adalah amanah yang Allah titipkan padaku. Kamu yang seharusnya aku lindungi, aku sayangi lebih dari siapapun setelah ibuku." Fadil mengusap lembut punggung tangan Fahira. "Dan seharusnya ibuku lah yang menghargai kamu, Sayang. Karena kamu selalu berusaha menghargai
Fahira duduk di sebuah cafe. Jari telunjuknya berputar di bibir cangkir kopi. Ia mengangkat tangan kepada seorang wanita berjilbab dan cantik yang sedang kebingungan mencarinya. Wanita itu segera menghampiri Fahira. Ia menyapa Fahira dengan sopan. "Mbak Fahira, maaf kalau buat mbak menunggu." Ucap wanita itu. Fahira hanya tersenyum dan mempersilahkan wanita itu duduk."Rissa, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan dan sampaikan kepada kamu." Fahira menghela nafas dan menatap Rissa dengan senyuman pahit. Rissa hanya menatap Fahira dengan tatapan yang penuh tanda tanya."Maaf sebelumnya, Ris. Apa kamu sudah punya pacar?" Tanya Fahira dengan suara yang lembut.Rissa menyandarkan punggungnya dan tersenyum, "Belum sih, Mbak. Memangnya ada apa?""Tapi sudah ingin menikah belum?" Tanya Fahira lagi. Suasana cafe yang ramai, kini tampak sepi setelah Rissa mendengar pertanyaan Fahira. "Saya... Mau menjodohkan kamu dengan seseorang. Boleh?" Lanjut Fahira."Sebenarnya, saya menyukai seseorang.
Sore hari menjelang senja, setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor, Fadil memutuskan untuk mampir ke rumah ibunya. Ia sengaja membeli beberapa makanan kesukaan ibunya dan sebuah kain batik halus sebagai hadiah kecil. Ia berharap, kehadirannya bisa sedikit menghibur ibunya dan meredakan suasana tegang yang mungkin masih terasa setelah percakapan pagi tadi dengan Fahira.Fadil mengetuk pintu rumah ibunya dengan sopan. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Bu Rara menyambutnya dengan wajah yang tidak terlalu cerah, namun tidak juga terlihat marah."Fadil? Tumben kamu mampir sore-sore begini," kata Bu Rara tanpa senyum, namun mempersilakan anaknya masuk."Iya, Bu. Ini Fadil bawakan makanan kesukaan Ibu. Sama ini, ada sedikit hadiah," jawab Fadil sambil menyerahkan kantong makanan dan bungkusan kain batik kepada ibunya.Bu Rara menerima pemberian anaknya dengan tanpa ekspresi. Ia meletakkan bungkusan batik di meja dan membuka kantong makanan, melihat isinya sekilas. "Terima kasih," uca
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen