LOGINDengan bekal uang tabungannya semala ini, Nayara pergi ke luar kota dan tinggal di kontrakan sepetak yang sangat kecil.
Tidak ada perabotan apapun di dalam kontrakan sepetak itu, untuk tidur pun Nayara hanya bisa membeli kasur tipis dengan harga seratus ribuan. Nayara harus bisa menghemat uang tabungannya yang tidak seberapa untuk biaya hidupnya menjelang mendapatkan pekerjaan. Sungguh miris nasib Nayara, dalam keadaan hamil dia harus hidup sendiri tanpa bantuan siapapun. "Aku pasti bisa." Nayara tersenyum dan menyemangati dirinya sendiri. "Kamu harus kuat, Nak. Mama janji akan memberikan yang terbaik untuk kamu." Nayara selalu mengajak bayi dalam kandungannya berkomunikasi kasi. Nayara mulai membersihkan kontraknya sampai rapi, Nayara juga membeli beberapa perabotan yang akan dia butuhkan selama tinggal di sini. Tidak banyak yang Nayara beli, hanya beberapa saja dan itupun yang harganya murah-murah. Setelah kontrakannya terlihat sedikit lebih layak huni, Nayara mulai menyusun rencana untuk mencari pekerjaan. Ia mengenakan pakaian yang paling rapi yang ia miliki, menyisir rambut panjangnya dengan sederhana, dan membawa map berisi beberapa dokumen penting. Setiap pagi, ia berjalan dari satu tempat ke tempat lain, menyusuri toko-toko, kafe, hingga kantor kecil yang membuka lowongan. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya, walau tubuhnya lelah dan perutnya mulai membesar. Namun, jawaban yang ia terima hampir selalu sama. “Maaf, kami mencari karyawan yang bisa bekerja cepat dan lincah. Kondisi kamu ... sepertinya belum memungkinkan,” ujar seorang manajer toko dengan nada sopan namun jelas menolak. “Kalau kamu melahirkan nanti, siapa yang akan menggantikan kamu? Kami butuh yang siap kerja full time,” ucap HR sebuah kantor percetakan. “Aduh, Maaf banget ya, Mbak. Kalau kamu hamil, nanti malah kami yang repot,” kata seorang pemilik kafe sambil tersenyum kaku. Setiap penolakan itu menusuk hati Nayara seperti duri. Tapi ia tetap berusaha tersenyum dan membesarkan hatinya. “Gapapa, mungkin belum rezeki. Tapi aku yakin, akan ada jalannya,” gumamnya sambil mengusap perutnya yang semakin hari semakin terlihat. Hari-hari berlalu. Nayara pulang dengan langkah gontai, tapi matanya tetap memancarkan harapan. Ia tahu, hidup tidak akan mudah. Tapi ia juga tahu, bahwa ia tidak sendiri. “Kita pasti bisa, Nak. Mama janji tidak akan menyerah,” bisiknya lembut sambil menatap langit senja dari jendela kontrakannya yang sempit tapi penuh semangat. Ayah dari anak yang sedang Nayara kandung adalah seorang pengusaha muda, tapi Nayara justru harus berusaha keras untuk mempertahankan dan memberikan yang terbaik untuk anak itu. "Semoga kamu hidup dengan baik, Al." Sorot mata teduh Nayara begitu tenang, meskipun sangat sakit tapi Nayara tidak menyimpan dendam pada siapapun. Bukankah Nayara itu terlalu baik? . . . "Apa Anda tidak berniat mencari nyonya, Tuan?" Keenan memberanikan diri bertanya pada Alvano. Bukan tanpa alasan, sudah hampir tiga bulan Nayara pergi tanpa kabar, namun Alvano hanya cuek dan terlihat biasa saja. "Sudah berapa kali saya katakan, saya tidak tertarik lagi mencari wanita pembohong itu," jawab Alvano dengan ketegasan yang tidak bisa lagi Keenakan bantah. Ponsel Alvano berdering ada panggilan masuk dari Vanya, Alvano menerimanya dan langsung mengiyakan saja saat Vanya mengajaknya bertemu di suatu tempat. Alvano duduk di sebuah kafe elegan dengan interior modern, tepat di seberang meja tempat Vanya sudah menunggunya. Gadis itu tersenyum manis, dengan dandanan yang jelas disiapkan khusus untuk pertemuan ini. Namun, meski semua terlihat sempurna, Alvano tak bisa fokus. Matanya memandangi Vanya, tapi pikirannya ... entah mengapa terus kembali ke wajah Nayara. "Kak Al, Kakak dengerin aku nggak sih?" tanya Vanya sambil sedikit mengernyit. Alvano tersentak ringan, kembali sadar dari lamunannya. "Hah? Maaf, kamu bilang apa tadi?" Vanya tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Aku bilang, kamu keliatan makin sibuk. Tapi jujur, aku seneng bisa bertemu kamu lagi." Alvano hanya mengangguk tipis. "Ya, aku memang sibuk akhir-akhir ini." Vanya menggigit bibir bawahnya, mencoba membaca ekspresi dingin pria itu. "Kamu masih kepikiran Kak Nayara, ya?" Pertanyaan itu menghantam tepat di dadanya, tapi Alvano tidak menunjukkan apapun selain ketegasan yang biasa ia pakai sebagai tameng untuk dirinya. "Untuk apa aku mikirin wanita yang pergi setelah berbohong?" Nada suaranya datar, tajam, dan terdengar sangat meyakinkan—bahkan mungkin bisa meyakinkan orang lain. Tapi tidak dirinya sendiri. Karena faktanya, setiap malam saat ia sendiri, wajah Nayara selalu hadir di ingatannya. Senyumnya. Tatapannya yang penuh harapan. Dan ... pengakuannya yang saat itu ia anggap sebagai kebohongan besar. Padahal jauh di dalam hatinya, ia tahu, Nayara tak seperti itu. Tapi egonya terlalu tinggi. Luka dari masa lalu terlalu dalam. Ia terlalu takut untuk percaya lagi. Vanya menatap Alvano dengan penuh perhatian. "Kamu tahu, kan, kamu bisa saja mencari dia. Tapi kamu milih untuk diam, karena kamu takut jawabannya justru membuat kamu nyesel setengah mati." Alvano menatap Vanya dengan tajam, tapi hanya sesaat sebelum matanya beralih ke jendela. Pandangannya kosong, tapi hatinya terasa sesak. "Dia yang pergi. Dia yang menyembunyikan sesuatu penting dariku. Aku tidak akan pernah memohon orang seperti itu untuk kembali." Vanya tersenyum miring, memang itu yang dia inginkan. Mengambil semua milik Nayara. Pagi itu, matahari belum sepenuhnya naik saat Nayara sudah duduk di depan kontrakannya, menyiapkan gerobak kecil yang ia sulap dari meja bekas. Uap dari panci besar bubur yang ia masak sendiri semalam mulai mengepul, menyebar aroma gurih yang menggoda. Ia mengenakan celemek sederhana, rambutnya dikuncir rapi, dan senyum hangat terpancar dari wajahnya. “Bismillah!” bisiknya pelan sambil membuka termos besar berisi bubur ayam buatannya. Dengan modal pas-pasan, Nayara memutuskan untuk berjualan bubur. Ia belajar resep dari internet, mencoba beberapa kali sampai akhirnya menemukan rasa yang pas. Ia percaya, makanan yang dibuat dengan niat tulus pasti akan membawa keberkahan. Tak butuh waktu lama, beberapa tetangga kontrakan mulai mendekat. “Wah, baunya enak banget, Mbak. Ini bubur ayam, ya?” tanya seorang ibu sambil membawa anak kecilnya. “Iya, Bu. Baru buka nih, semoga cocok ya rasanya,” Nayara menyambut ramah. Setelah mencoba satu porsi, sang ibu tersenyum lebar. “Enak sekali! Besok saya beli lagi, ya. Anak saya juga suka.” Dari mulut ke mulut, bubur buatan Nayara mulai dikenal warga sekitar. Setiap pagi, orang-orang datang membeli, bahkan ada yang memesan untuk dibawa ke kantor. Rejeki perlahan mengalir, membuat Nayara bisa tersenyum lega meskipun tubuhnya mulai terasa berat di usia kandungan lima bulan. “Alhamdulillah, hari ini habis lagi,” gumamnya sambil menghitung uang hasil jualan. Matanya berbinar. Ada harapan yang mulai tumbuh kembali di hati yang sempat hancur. Di sore hari, Nayara duduk di depan kontrakan dengan segelas teh hangat dan perut yang membuncit. Ia mengusap perutnya dengan lembut. “Kamu bangga sama Mama, kan? Walau capek, Mama senang. Kita bisa bertahan, kita bisa bahagia, tanpa harus bergantung sama siapapun.” Saat angin sore menyapa wajahnya, Nayara merasa lebih kuat dari sebelumnya. Ia bukan lagi perempuan yang menunggu diselamatkan—ia sedang menyelamatkan dirinya sendiri. Dan anaknya. Sementara itu, di tempat berbeda, Alvano kembali menatap layar ponselnya. Jari-jarinya ragu-ragu membuka galeri tempat ia menyimpan satu-satunya foto Nayara diam-diam. Tatapan Nayara yang hangat di foto itu membuat dadanya kembali sesak. Namun ia tetap diam, tetap keras kepala. Tak tahu bahwa Nayara di sana sedang bangkit perlahan tapi pasti, membuka lembaran baru dalam hidupnya. Dan tanpa ia sadari, dunia Nayara sudah mulai berubah … tanpa dirinya.Setelah kebenaran DNA diumumkan dan Vanya diusir dari ruangan itu, suasana berubah drastis. Namun semuanya belum benar-benar selesai. Rumah sakit membuat laporan resmi atas upaya manipulasi berkas yang dilakukan Vanya dan rekannya di bagian administrasi. Tidak butuh waktu lama sampai pihak berwajib turun tangan.Malam itu juga, Vanya ditahan untuk dimintai keterangan. Tangisannya meledak ketika borgol mengekang pergelangan tangannya, tapi kali ini tidak ada simpati, tidak ada sandaran. Semua orang yang dulu ia manfaatkan tak lagi memihak.Sementara itu, Nayara membawa Rayhan pulang ke apartemen kecil mereka. Malamnya, Rayhan tidur di pangkuannya, sementara pikirannya tak bisa berhenti memutar kejadian hari itu. Hatinya lega, tapi luka-luka lama ikut bangkit. Kata-kata kasar, pengkhianatan, malam-malam menangis sendirian, dan tatapan hina keluarga Alvano dulu, semua itu masih menyisakan bekas.Namun di antara kekacauan perasaannya, ada kalimat lembut putranya yang terus menempel di ben
Hari pemeriksaan DNA akhirnya tiba. Rumah sakit swasta yang terkenal dengan kerahasiaan pasiennya menjadi saksi langkah-langkah berat yang membawa masa lalu dan masa depan bertabrakan.Nayara duduk di ruang tunggu bersama Rayhan yang sudah mulai membaik, meski tubuhnya masih ringkih. Ia menggenggam tangan kecil putranya erat-erat, seakan tak ingin ada satu detik pun terlepas darinya. Mata Nayara sembab, namun sorotnya penuh keyakinan. Ia tahu kebenaran akan berpihak padanya.Di sisi lain, Alvano duduk dengan rahang mengeras, mencoba menahan badai emosi yang bergolak di dadanya. Ia masih terbayang kata-kata Nayara malam itu, juga tatapan mata Rayhan yang terasa familiar. Namun egonya menolak untuk langsung percaya. Satu-satunya jalan adalah hasil tes DNA.Dan tentu saja, Vanya ada di sana. Wanita itu tidak bisa melepaskan tangannya dari lengan Alvano, meski lelaki itu tampak jengah. Senyum tipisnya penuh perhitungan. Dalam benaknya, hasil tes DNA harus dimanipulasi. Ia tidak boleh memb
Alvano berdiri dengan tangan terkepal, napasnya memburu, matanya berkilat seperti singa yang siap menerkam mangsanya. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti belati yang menusuk jantung Nayara.“Kenapa kau masih di sini, Nayara?” suaranya dingin dan penuh ejekan. “Kalau kau benar-benar peduli dengan anak itu, seharusnya kau pergi jauh-jauh dariku. Jangan terus menempel hanya untuk mencari perhatian. Aku muak!”Nayara menahan perih di dadanya, kedua tangannya menggenggam erat tubuh kecil Rayhan yang masih panas. Air mata terus menetes, membasahi rambut anaknya. “Alvano… tolong, hentikan kata-kata itu. Kau tidak tahu betapa aku sudah berusaha.”“Berusaha?” Alvano menyeringai sinis. “Berusaha apa? Berusaha mengais sisa-sisa simpati dariku? Atau berusaha menjatuhkan Vanya dengan cerita murahanmu itu?”Nama Vanya lagi. Nayara menggigit bibirnya, darah hampir keluar. Hatinya mencelos setiap kali mendengar wanita itu disebut-sebut. Ia sudah lelah. Sungguh lelah.“Aku tidak perna
“Gimana jika aku memberitahumu satu hal, kalau dulunya adalah aku orang yang menyelamatkanmu, bukan Vanya.”Deg!Kalimat itu menghantam dada Alvano lebih kuat daripada pukulan apa pun. Wajahnya langsung menegang, matanya menyipit menatap Nayara. Hawa dingin seketika merambat di udara.“Ulangi kata-katamu barusan.” Suara Alvano rendah, tapi penuh ancaman.Nayara menatapnya dengan sorot mata yang penuh keberanian meski tubuhnya gemetar. “Aku yang menyelamatkanmu, Al. Bukan Vanya. Semua yang kamu tahu selama ini salah.”Senyum miring terbentuk di bibir Alvano. Namun itu bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyum sinis yang dipenuhi amarah. “Kau… benar-benar lancang, Nayara.”“Aku tidak sedang berbohong,” Nayara bersikeras. “Aku ada di sana waktu itu. Aku yang menolongmu, bukan Vanya. Aku tidak peduli kalau kamu tidak percaya, tapi itu kenyataannya.”BRAK!Tangan Alvano menghantam meja di sebelahnya sampai gelas-gelas di atasnya berjatuhan. “Cukup, Nayara! Jangan pernah kau sebut-sebut na
Nayara termenung membayangkan betapa marahnya Alvano pada Eko saat pria itu menyakitinya. Bayang-bayang Alvano memukul habis Eko membuat Nayara ingin menangis.Bukan karena merasa kasihan dengan nasib Eko, namun Nayara sedih karena ternyata Alvano bukan membantu dirinya tapi hanya melindungi Vanya.“Jadi waktu itu dia bukan tulus menolong aku, tidak bisa diam biarkan. Aku harus menanyakan hal ini padanya.” Nayara meremas tas yang dia pakai.Dengan mengumpulkan semua keberanian yang ada, Nayara berniat masuk ke dalam ruangan VIP di klub langit untuk mencari Alvano.Namun baru selangkah Nayara ingin masuk, tapi langkahnya terpaksa terhenti karena seseorang menahannya. “Hai cantik, aku sangat merindukanmu.” Dia adalah Tuan Ari yang sengaja menahan langkah Nayara.“Tuan, sekarang bukan jam kerjaku. Mohon jaga sikapmu.” Nayara bersikap dingin, berbanding terbalik dengan seperti apa sikapnya saat di hadapan Alvano tadi.“Justru aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi,” jawab Tuan Ari, “aku
“Tak kusangka, di klub langit ternyata ada wanita secantik ini. Tuan Alvano memang hebat, aku sangat menyukai gadis ini.” Tuan Ari berkepala botak begitu senang disodorkan Nayara oleh Alvano.Alvano sendiri terlihat santai sambil menuangkan minuman ke dalam gelas kecil, Nayara justru duduk diam dengan perasaan berkecamuk di samping Tuan Ari.“Syukurlah kalau Anda menyukainya, malam ini gadis ini adalah milikmu.” Alvano menatap Nayara. “Layanilah Tuan Ari dengan baik, aku akan memberikan bonus yang besar padamu.” Terlihat jelas bahwa Alvano sedang merendahkan Nayara.Nayara tersenyum, dia tidak terpengaruh sama sekali. “Mari, Tuan Ari.” Nayara justru akan melakukan tugasnya bekerja di sini dengan baik. “Aku akan tuangkan minuman, mari kita berselang sebentar.” Nayara mengajak pria gendut berkepala botak itu untuk minum-minum lebih dulu.“Baiklah, kamu sangat bagus. Aku memang tidak salah menilai, kamu ini sungguh membuatku sangat senang.” Tuan Ari sangat merasa puas dengan keberadaan







