Share

5 : Sebentar lagi

last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-18 14:43:13

"Anda yakin tidak ingin mencari Nona Nara, Tuan Muda?" Keenan masih berharap Alvano akan berubah pikiran.

"Tidak akan, tidak ada lagi tempat untuk wanita pembohong itu di rumah saya." Alvano benar-benar terlihat sudah tidak peduli lagi pada Nayara.

Keenan pun diam, asisten pribadi Alvano itu hanya bisa berharap Nayara baik-baik saja di luar sana. Wanita itu telah pergi selama tujuh bulan dan entah di mana dia sekarang.

Keenan pun juga berharap Alvano selalu baik-baik saja. Pasalnya, Alvano terus kerja gila-gilaan dan tak tau waktu, lupa makan, dan kurang istrahat sejak Nayara tidak ada lagi di sisinya.

'Ngakunya tidak peduli lagi, tapi masih enggan menandatangani surat cerai padahal sudah tujuh bulan berlalu.' Keenan tidak abis pikir dengan kisah rumah tangga atasannya itu.

Sudah pukul sembilan malam. Lantai tertinggi gedung milik Alvano masih menyala terang. Meja kerjanya dipenuhi berkas, laptop yang belum mati, serta beberapa catatan yang ditulis tangan. Pria itu duduk tegak di kursinya, wajahnya datar tanpa emosi seperti biasa. Kemeja putihnya telah berganti menjadi biru gelap, dasi sudah dilepas sejak satu jam lalu, namun tangannya masih terus menari di atas keyboard.

Keenan masuk membawa secangkir kopi hitam.

“Ini kopi keempat, Tuan Muda,” ucap Keenan pelan.

“Taruh saja di meja.”

Keenan menghela napas pelan. “Anda belum makan sejak pagi.”

Tak ada jawaban.

Keenan hanya menatap Alvano yang tampak tenggelam dalam dunia kerjanya. Raut wajahnya tetap tenang, tapi Keenan tahu, ini bukan tentang kerja. Ini tentang seseorang yang tak lagi di sisi pria itu. Nayara.

Belum sempat Keenan bicara lagi, suara ketukan pelan terdengar dari pintu. Keenan membuka sedikit dan mendapati seorang wanita berdiri dengan mantel panjang warna pastel.

"Permisi ... Kak Alvano ada?" tanya wanita itu dengan suara manja yang dibuat-buat.

Keenan menegang. “Nona Vanya.”

Alvano menghentikan ketikannya. Matanya menatap Vanya yang perlahan masuk dan melepas mantelnya, memperlihatkan gaun malam merah dengan belahan tinggi dan punggung terbuka. Sepasang high heels mengiringi langkahnya mendekati meja Alvano.

“Sedang sibuk ya, Kak?” tanya Vanya sambil tersenyum menggoda.

Alvano tak menjawab. Ia hanya menatap Vanya dengan tatapan datar, seolah wanita itu hanyalah angin lalu. Tapi Keenan tahu, dia tidak akan mengusirnya. Sama seperti malam-malam sebelumnya.

“Ada yang kamu butuhkan?” suara Alvano terdengar dingin, namun tak ada penolakan.

“Aku kangen,” jawab Vanya centil, duduk di sofa panjang yang terletak tak jauh dari meja kerja Alvano, “kita sudah seminggu nggak makan malam bareng.”

“Aku sibuk,” jawab Alvano singkat.

Vanya tertawa kecil. “Aku tahu. Makanya aku bawain makanan dari restoran favorit kita. Aku pesen menu yang Kakak suka.”

“Letakkan saja di meja kecil.”

Vanya melirik Keenan sekilas, mengisyaratkan agar pria itu keluar. Keenan ragu, tapi saat Alvano tidak menegur, ia memilih pergi. Sebelum menutup pintu, Keenan sempat menoleh—mata Alvano kosong, tubuhnya seolah tak benar-benar hadir di ruangan itu.

Di dalam, Vanya berjalan mendekat. Ia menyentuh bahu Alvano, tapi pria itu menepisnya halus.

"Jangan sentuh aku saat aku bekerja."

“Kenapa Kakak selalu menjaga jarak?” tanya Vanya manja, “padahal aku satu-satunya yang masih setia di sisi Kakak setelah semua orang ninggalin.”

“Termasuk Nayara?” Alvano menoleh dengan tatapan tajam. “Dia tidak meninggalkanku. Aku yang mengusirnya.”

Senyum Vanya menipis, lalu dengan cepat kembali memasang wajah manis. “Justru itu ... bukankah dia wanita yang tega ninggalin Kakak sebelum kalian resmi bercerai ? Lagian, sudah tujuh bulan, Kak. Mungkin sekarang dia sudah di pelukan pria lain.”

Suasana jadi dingin. Tatapan Alvano menggelap, tapi dia tidak mengatakan apapun.

Vanya tahu itu tandanya dia bisa melangkah lebih jauh. Ia duduk di pangkuan Alvano tanpa permisi, tangannya melingkar di leher pria itu. “Biar aku yang temani Kakak sekarang. Aku bisa isi kekosongan itu.”

Alvano tak membalas. Tapi yang mengejutkan, dia tak menolak. Hanya diam. Memandang kosong ke layar laptop, membiarkan Vanya berada di pangkuannya, mencium lehernya, membelai pipinya.

Tapi tidak ada respon.

Vanya mencoba meraih bibirnya, dan saat bibir mereka hampir bersentuhan, Alvano memalingkan wajah.

“Cukup.”

“Kak—”

“Pergi, Vanya.”

Suara itu datar, tapi tegas. Vanya menggigit bibir, mencoba tetap tenang. “Aku hanya ingin dekat dengan Kakak."

“Kamu ingin mendekat karena kamu tahu aku sedang kosong. Tapi aku bukan boneka untuk dijadikan pelampiasan obsesi."

Vanya terkekeh, walau wajahnya kaku. “Lalu kenapa Kakak nggak pernah benar-benar mengusirku?”

Alvano bangkit dari kursinya, membuat Vanya terpaksa berdiri juga. Ia menatap wanita itu, dan untuk sesaat, kelelahan terpancar dari sorot matanya.

“Karena kamu adalah orang yang pernah menyelamatkan nyawanya ku, Vanya," balas Alvano.

Vanya terdiam. Ia paham maksudnya—Alvano tidak benar-benar menginginkannya. Ia hanya butuh pelarian dari bayang-bayang Nayara yang terus menghantui pikirannya.

“Aku bisa jadi lebih dari sekadar pelarian, Kak.”

“Kau bukan dia, Vanya. Dan tidak akan pernah jadi dia.”

---

Setelah Vanya pergi, Alvano berdiri di depan jendela besar kantornya. Lampu-lampu kota terlihat seperti ribuan bintang di kejauhan. Hening.

Ia membuka laci meja, menarik satu foto yang sudah mulai kusam.

Foto itu menampilkan dirinya dan Nayara, sedang tersenyum di pinggir pantai. Tawa Nayara begitu nyata, mata wanita itu bersinar seperti cahaya matahari. Dan dirinya—dulu masih bisa tertawa.

Sekarang?

Yang tersisa hanya bayangan.

Ia menatap foto itu lama. Lalu meletakkannya kembali, tidak di dalam laci, tapi di atas meja, menghadap ke arahnya.

"Aku benci kamu karena kamu bohong." Tapi suaranya nyaris tak terdengar.

Di ruang istirahat lantai bawah, Keenan memijit pelipisnya. Ia baru saja menyuruh Vanya pulang dengan alasan Alvano harus menyelesaikan pekerjaan penting. Wanita itu akhirnya pergi—dengan wajah kesal.

.

.

.

Gerobak bubur itu bergoyang pelan setiap kali Nayara mendorongnya melewati jalanan kecil pemukiman padat. Perutnya yang besar—delapan bulan lebih usia kandungannya—tidak menghalangi semangatnya. Walau sesekali ia harus berhenti karena kram kaki atau nyeri pinggang, Nayara tetap tersenyum ramah kepada setiap pembeli yang menyapanya.

“Bubur ayam, Bu Lilis?” tanya Nayara sambil mengatur mangkuk.

“Iya, seperti biasa ya, Nak. Banyakin kuahnya,” jawab Bu Lilis sambil memandangi perut Nayara yang hampir jatuh ke depan, "ya ampun, kamu masih aja jualan ... bukannya istirahat?”

Nayara hanya tertawa kecil. “Belum bisa, Bu. Kalau saya tidak jualan, siapa yang biayain lahiran nanti?”

Perempuan paruh baya itu menghela napas. “Kamu tuh ya, kuat sekali. Padahal suami atau keluargamu ke mana? Dudah hampir waktunya melahirkan, lho!”

Nayara tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum tipis dan menyerahkan mangkuk bubur ke tangan Bu Lilis.

---

Satu jam kemudian, gerobak bubur itu kembali ke depan kontrakan kecil berwarna krem pudar. Di sisi kanan, berdiri sebuah warung mini yang sekaligus menjadi tempat berkumpul warga kontrakan.

Nayara duduk di bangku panjang, mengelap keringat sambil meneguk air putih. Di sekelilingnya, para ibu-ibu mulai duduk merubunginya.

“Nara, kamu sudah bulan keberapa sih?” tanya salah satu ibu-ibu.

“Delapan bulan, Bu,” jawab Nayara sambil tersenyum.

“Ya Allah … terus kamu tinggal sendirian di sini? Keluargamu mana? Paling tidak kan ada yang jagain pas kamu lahiran nanti?”

Nayara menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya dengan senyum yang teduh. Matanya terlihat tenang meskipun hatinya mungkin tidak.

“Saya hidup sendiri, Bu. Tidak ada keluarga.”

Jawaban itu membuat suasana hening sejenak. Para ibu saling berpandangan, sebagian menatapnya dengan rasa iba, sebagian lagi mencoba menyembunyikan keterkejutan mereka.

“Maaf ya, Nara. Kami tidak bermaksud—”

“Tidak apa-apa, Bu,” potong Nayara lembut, “saya sudah biasa. Lagian ... saya masih punya rezeki buat makan hari ini, dan Alhamdulillah bayi saya sehat.”

Tatapan itu, senyuman itu—tidak menyiratkan keluhan. Tidak juga dendam atau kesedihan yang mencolok. Nayara menerima takdirnya dengan lapang, walau tak seorang pun tahu, setiap malam dia menatap langit dan berbisik nama pria yang dulu pernah bersumpah tak akan meninggalkannya.

Hingga kini, Nayara tak tahu apakah pria itu masih menyimpan rasa benci ataukah sesekali, ia teringat akan dirinya.

“Nara, kalau lahiran nanti kamu jangan sungkan minta tolong kami ya,” ucap Bu Yuyun, pemilik warung.

“Iya, Nara. Kontrakan ini sudah seperti keluarga. Jangan merasa sendiri.”

Nayara mengangguk pelan. Hatinya hangat. Ia tidak punya siapa-siapa. Tapi hari ini, setidaknya, ia masih punya orang-orang baik yang peduli.

Ia memandangi perutnya, membelai lembut. “Sebentar lagi kita ketemu ya, Nak. Mama akan kuat demi kamu.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri yang Kau Sengsarakan   26 : Kebenaran yang terungkap

    Hari pemeriksaan DNA akhirnya tiba. Rumah sakit swasta yang terkenal dengan kerahasiaan pasiennya menjadi saksi langkah-langkah berat yang membawa masa lalu dan masa depan bertabrakan.Nayara duduk di ruang tunggu bersama Rayhan yang sudah mulai membaik, meski tubuhnya masih ringkih. Ia menggenggam tangan kecil putranya erat-erat, seakan tak ingin ada satu detik pun terlepas darinya. Mata Nayara sembab, namun sorotnya penuh keyakinan. Ia tahu kebenaran akan berpihak padanya.Di sisi lain, Alvano duduk dengan rahang mengeras, mencoba menahan badai emosi yang bergolak di dadanya. Ia masih terbayang kata-kata Nayara malam itu, juga tatapan mata Rayhan yang terasa familiar. Namun egonya menolak untuk langsung percaya. Satu-satunya jalan adalah hasil tes DNA.Dan tentu saja, Vanya ada di sana. Wanita itu tidak bisa melepaskan tangannya dari lengan Alvano, meski lelaki itu tampak jengah. Senyum tipisnya penuh perhitungan. Dalam benaknya, hasil tes DNA harus dimanipulasi. Ia tidak boleh memb

  • Istri yang Kau Sengsarakan   Rencana tes DNA

    Alvano berdiri dengan tangan terkepal, napasnya memburu, matanya berkilat seperti singa yang siap menerkam mangsanya. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti belati yang menusuk jantung Nayara.“Kenapa kau masih di sini, Nayara?” suaranya dingin dan penuh ejekan. “Kalau kau benar-benar peduli dengan anak itu, seharusnya kau pergi jauh-jauh dariku. Jangan terus menempel hanya untuk mencari perhatian. Aku muak!”Nayara menahan perih di dadanya, kedua tangannya menggenggam erat tubuh kecil Rayhan yang masih panas. Air mata terus menetes, membasahi rambut anaknya. “Alvano… tolong, hentikan kata-kata itu. Kau tidak tahu betapa aku sudah berusaha.”“Berusaha?” Alvano menyeringai sinis. “Berusaha apa? Berusaha mengais sisa-sisa simpati dariku? Atau berusaha menjatuhkan Vanya dengan cerita murahanmu itu?”Nama Vanya lagi. Nayara menggigit bibirnya, darah hampir keluar. Hatinya mencelos setiap kali mendengar wanita itu disebut-sebut. Ia sudah lelah. Sungguh lelah.“Aku tidak perna

  • Istri yang Kau Sengsarakan   40 : Pria berhenti iblis

    “Gimana jika aku memberitahumu satu hal, kalau dulunya adalah aku orang yang menyelamatkanmu, bukan Vanya.”Deg!Kalimat itu menghantam dada Alvano lebih kuat daripada pukulan apa pun. Wajahnya langsung menegang, matanya menyipit menatap Nayara. Hawa dingin seketika merambat di udara.“Ulangi kata-katamu barusan.” Suara Alvano rendah, tapi penuh ancaman.Nayara menatapnya dengan sorot mata yang penuh keberanian meski tubuhnya gemetar. “Aku yang menyelamatkanmu, Al. Bukan Vanya. Semua yang kamu tahu selama ini salah.”Senyum miring terbentuk di bibir Alvano. Namun itu bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyum sinis yang dipenuhi amarah. “Kau… benar-benar lancang, Nayara.”“Aku tidak sedang berbohong,” Nayara bersikeras. “Aku ada di sana waktu itu. Aku yang menolongmu, bukan Vanya. Aku tidak peduli kalau kamu tidak percaya, tapi itu kenyataannya.”BRAK!Tangan Alvano menghantam meja di sebelahnya sampai gelas-gelas di atasnya berjatuhan. “Cukup, Nayara! Jangan pernah kau sebut-sebut na

  • Istri yang Kau Sengsarakan   39 : Terkejut

    Nayara termenung membayangkan betapa marahnya Alvano pada Eko saat pria itu menyakitinya. Bayang-bayang Alvano memukul habis Eko membuat Nayara ingin menangis.Bukan karena merasa kasihan dengan nasib Eko, namun Nayara sedih karena ternyata Alvano bukan membantu dirinya tapi hanya melindungi Vanya.“Jadi waktu itu dia bukan tulus menolong aku, tidak bisa diam biarkan. Aku harus menanyakan hal ini padanya.” Nayara meremas tas yang dia pakai.Dengan mengumpulkan semua keberanian yang ada, Nayara berniat masuk ke dalam ruangan VIP di klub langit untuk mencari Alvano.Namun baru selangkah Nayara ingin masuk, tapi langkahnya terpaksa terhenti karena seseorang menahannya. “Hai cantik, aku sangat merindukanmu.” Dia adalah Tuan Ari yang sengaja menahan langkah Nayara.“Tuan, sekarang bukan jam kerjaku. Mohon jaga sikapmu.” Nayara bersikap dingin, berbanding terbalik dengan seperti apa sikapnya saat di hadapan Alvano tadi.“Justru aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi,” jawab Tuan Ari, “aku

  • Istri yang Kau Sengsarakan   38 : Perintah Vanya

    “Tak kusangka, di klub langit ternyata ada wanita secantik ini. Tuan Alvano memang hebat, aku sangat menyukai gadis ini.” Tuan Ari berkepala botak begitu senang disodorkan Nayara oleh Alvano.Alvano sendiri terlihat santai sambil menuangkan minuman ke dalam gelas kecil, Nayara justru duduk diam dengan perasaan berkecamuk di samping Tuan Ari.“Syukurlah kalau Anda menyukainya, malam ini gadis ini adalah milikmu.” Alvano menatap Nayara. “Layanilah Tuan Ari dengan baik, aku akan memberikan bonus yang besar padamu.” Terlihat jelas bahwa Alvano sedang merendahkan Nayara.Nayara tersenyum, dia tidak terpengaruh sama sekali. “Mari, Tuan Ari.” Nayara justru akan melakukan tugasnya bekerja di sini dengan baik. “Aku akan tuangkan minuman, mari kita berselang sebentar.” Nayara mengajak pria gendut berkepala botak itu untuk minum-minum lebih dulu.“Baiklah, kamu sangat bagus. Aku memang tidak salah menilai, kamu ini sungguh membuatku sangat senang.” Tuan Ari sangat merasa puas dengan keberadaan

  • Istri yang Kau Sengsarakan   37 : Klub Langit

    Alvano yang sedang tidur tampak begitu gelisah, dahinya mengernyit dan kepalanya bergerak tak tenang. ‘Dasar brengsek, cepat lepaskan dia’ Alvano mengalami mimpi buruk dan melihat anak kecil berbicara dalam mimpinya. ‘Dasar penjahat, lepaskan dia!’ Alvano semakin gelisah dalam tidurnya. Dalam mimpi itu, Alvano melihat seorang pria berpakaian serba hitam dan juga memakai masker hitam keluar dari mobil BMW. Pria itu hendak melukai anak laki-laki dengan sebilah pisau, tapi anak perempuan yang pemberani menangkis pisau itu sampai anak perempuan itu yang akhirnya terluka. Anak laki-laki itu terkejut sampai berteriak kencang. “Aaaaaa!!!” Alvano berteriak sampai terduduk dan terbangun dari tidurnya. Nafas Akan memburu, dadanya naik turun karena lagi dan lagi dia memimpin cuplikan masa kecilnya. Alvano menatap kedua tangannya bergetar dan berkeringat dingin. “Vanya, apa aku sudah berpikir berlebihan tentang kamu?” Alvano jadi kepikiran dengan Vanya gadis yang Alvano anggap seba

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status