Share

5 : Sebentar lagi

last update Last Updated: 2025-04-18 14:43:13

"Anda yakin tidak ingin mencari Nona Nara, Tuan Muda?" Keenan masih berharap Alvano akan berubah pikiran.

"Tidak akan, tidak ada lagi tempat untuk wanita pembohong itu di rumah saya." Alvano benar-benar terlihat sudah tidak peduli lagi pada Nayara.

Keenan pun diam, asisten pribadi Alvano itu hanya bisa berharap Nayara baik-baik saja di luar sana. Wanita itu telah pergi selama tujuh bulan dan entah di mana dia sekarang.

Keenan pun juga berharap Alvano selalu baik-baik saja. Pasalnya, Alvano terus kerja gila-gilaan dan tak tau waktu, lupa makan, dan kurang istrahat sejak Nayara tidak ada lagi di sisinya.

'Ngakunya tidak peduli lagi, tapi masih enggan menandatangani surat cerai padahal sudah tujuh bulan berlalu.' Keenan tidak abis pikir dengan kisah rumah tangga atasannya itu.

Sudah pukul sembilan malam. Lantai tertinggi gedung milik Alvano masih menyala terang. Meja kerjanya dipenuhi berkas, laptop yang belum mati, serta beberapa catatan yang ditulis tangan. Pria itu duduk tegak di kursinya, wajahnya datar tanpa emosi seperti biasa. Kemeja putihnya telah berganti menjadi biru gelap, dasi sudah dilepas sejak satu jam lalu, namun tangannya masih terus menari di atas keyboard.

Keenan masuk membawa secangkir kopi hitam.

“Ini kopi keempat, Tuan Muda,” ucap Keenan pelan.

“Taruh saja di meja.”

Keenan menghela napas pelan. “Anda belum makan sejak pagi.”

Tak ada jawaban.

Keenan hanya menatap Alvano yang tampak tenggelam dalam dunia kerjanya. Raut wajahnya tetap tenang, tapi Keenan tahu, ini bukan tentang kerja. Ini tentang seseorang yang tak lagi di sisi pria itu. Nayara.

Belum sempat Keenan bicara lagi, suara ketukan pelan terdengar dari pintu. Keenan membuka sedikit dan mendapati seorang wanita berdiri dengan mantel panjang warna pastel.

"Permisi ... Kak Alvano ada?" tanya wanita itu dengan suara manja yang dibuat-buat.

Keenan menegang. “Nona Vanya.”

Alvano menghentikan ketikannya. Matanya menatap Vanya yang perlahan masuk dan melepas mantelnya, memperlihatkan gaun malam merah dengan belahan tinggi dan punggung terbuka. Sepasang high heels mengiringi langkahnya mendekati meja Alvano.

“Sedang sibuk ya, Kak?” tanya Vanya sambil tersenyum menggoda.

Alvano tak menjawab. Ia hanya menatap Vanya dengan tatapan datar, seolah wanita itu hanyalah angin lalu. Tapi Keenan tahu, dia tidak akan mengusirnya. Sama seperti malam-malam sebelumnya.

“Ada yang kamu butuhkan?” suara Alvano terdengar dingin, namun tak ada penolakan.

“Aku kangen,” jawab Vanya centil, duduk di sofa panjang yang terletak tak jauh dari meja kerja Alvano, “kita sudah seminggu nggak makan malam bareng.”

“Aku sibuk,” jawab Alvano singkat.

Vanya tertawa kecil. “Aku tahu. Makanya aku bawain makanan dari restoran favorit kita. Aku pesen menu yang Kakak suka.”

“Letakkan saja di meja kecil.”

Vanya melirik Keenan sekilas, mengisyaratkan agar pria itu keluar. Keenan ragu, tapi saat Alvano tidak menegur, ia memilih pergi. Sebelum menutup pintu, Keenan sempat menoleh—mata Alvano kosong, tubuhnya seolah tak benar-benar hadir di ruangan itu.

Di dalam, Vanya berjalan mendekat. Ia menyentuh bahu Alvano, tapi pria itu menepisnya halus.

"Jangan sentuh aku saat aku bekerja."

“Kenapa Kakak selalu menjaga jarak?” tanya Vanya manja, “padahal aku satu-satunya yang masih setia di sisi Kakak setelah semua orang ninggalin.”

“Termasuk Nayara?” Alvano menoleh dengan tatapan tajam. “Dia tidak meninggalkanku. Aku yang mengusirnya.”

Senyum Vanya menipis, lalu dengan cepat kembali memasang wajah manis. “Justru itu ... bukankah dia wanita yang tega ninggalin Kakak sebelum kalian resmi bercerai ? Lagian, sudah tujuh bulan, Kak. Mungkin sekarang dia sudah di pelukan pria lain.”

Suasana jadi dingin. Tatapan Alvano menggelap, tapi dia tidak mengatakan apapun.

Vanya tahu itu tandanya dia bisa melangkah lebih jauh. Ia duduk di pangkuan Alvano tanpa permisi, tangannya melingkar di leher pria itu. “Biar aku yang temani Kakak sekarang. Aku bisa isi kekosongan itu.”

Alvano tak membalas. Tapi yang mengejutkan, dia tak menolak. Hanya diam. Memandang kosong ke layar laptop, membiarkan Vanya berada di pangkuannya, mencium lehernya, membelai pipinya.

Tapi tidak ada respon.

Vanya mencoba meraih bibirnya, dan saat bibir mereka hampir bersentuhan, Alvano memalingkan wajah.

“Cukup.”

“Kak—”

“Pergi, Vanya.”

Suara itu datar, tapi tegas. Vanya menggigit bibir, mencoba tetap tenang. “Aku hanya ingin dekat dengan Kakak."

“Kamu ingin mendekat karena kamu tahu aku sedang kosong. Tapi aku bukan boneka untuk dijadikan pelampiasan obsesi."

Vanya terkekeh, walau wajahnya kaku. “Lalu kenapa Kakak nggak pernah benar-benar mengusirku?”

Alvano bangkit dari kursinya, membuat Vanya terpaksa berdiri juga. Ia menatap wanita itu, dan untuk sesaat, kelelahan terpancar dari sorot matanya.

“Karena kamu adalah orang yang pernah menyelamatkan nyawanya ku, Vanya," balas Alvano.

Vanya terdiam. Ia paham maksudnya—Alvano tidak benar-benar menginginkannya. Ia hanya butuh pelarian dari bayang-bayang Nayara yang terus menghantui pikirannya.

“Aku bisa jadi lebih dari sekadar pelarian, Kak.”

“Kau bukan dia, Vanya. Dan tidak akan pernah jadi dia.”

---

Setelah Vanya pergi, Alvano berdiri di depan jendela besar kantornya. Lampu-lampu kota terlihat seperti ribuan bintang di kejauhan. Hening.

Ia membuka laci meja, menarik satu foto yang sudah mulai kusam.

Foto itu menampilkan dirinya dan Nayara, sedang tersenyum di pinggir pantai. Tawa Nayara begitu nyata, mata wanita itu bersinar seperti cahaya matahari. Dan dirinya—dulu masih bisa tertawa.

Sekarang?

Yang tersisa hanya bayangan.

Ia menatap foto itu lama. Lalu meletakkannya kembali, tidak di dalam laci, tapi di atas meja, menghadap ke arahnya.

"Aku benci kamu karena kamu bohong." Tapi suaranya nyaris tak terdengar.

Di ruang istirahat lantai bawah, Keenan memijit pelipisnya. Ia baru saja menyuruh Vanya pulang dengan alasan Alvano harus menyelesaikan pekerjaan penting. Wanita itu akhirnya pergi—dengan wajah kesal.

.

.

.

Gerobak bubur itu bergoyang pelan setiap kali Nayara mendorongnya melewati jalanan kecil pemukiman padat. Perutnya yang besar—delapan bulan lebih usia kandungannya—tidak menghalangi semangatnya. Walau sesekali ia harus berhenti karena kram kaki atau nyeri pinggang, Nayara tetap tersenyum ramah kepada setiap pembeli yang menyapanya.

“Bubur ayam, Bu Lilis?” tanya Nayara sambil mengatur mangkuk.

“Iya, seperti biasa ya, Nak. Banyakin kuahnya,” jawab Bu Lilis sambil memandangi perut Nayara yang hampir jatuh ke depan, "ya ampun, kamu masih aja jualan ... bukannya istirahat?”

Nayara hanya tertawa kecil. “Belum bisa, Bu. Kalau saya tidak jualan, siapa yang biayain lahiran nanti?”

Perempuan paruh baya itu menghela napas. “Kamu tuh ya, kuat sekali. Padahal suami atau keluargamu ke mana? Dudah hampir waktunya melahirkan, lho!”

Nayara tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum tipis dan menyerahkan mangkuk bubur ke tangan Bu Lilis.

---

Satu jam kemudian, gerobak bubur itu kembali ke depan kontrakan kecil berwarna krem pudar. Di sisi kanan, berdiri sebuah warung mini yang sekaligus menjadi tempat berkumpul warga kontrakan.

Nayara duduk di bangku panjang, mengelap keringat sambil meneguk air putih. Di sekelilingnya, para ibu-ibu mulai duduk merubunginya.

“Nara, kamu sudah bulan keberapa sih?” tanya salah satu ibu-ibu.

“Delapan bulan, Bu,” jawab Nayara sambil tersenyum.

“Ya Allah … terus kamu tinggal sendirian di sini? Keluargamu mana? Paling tidak kan ada yang jagain pas kamu lahiran nanti?”

Nayara menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya dengan senyum yang teduh. Matanya terlihat tenang meskipun hatinya mungkin tidak.

“Saya hidup sendiri, Bu. Tidak ada keluarga.”

Jawaban itu membuat suasana hening sejenak. Para ibu saling berpandangan, sebagian menatapnya dengan rasa iba, sebagian lagi mencoba menyembunyikan keterkejutan mereka.

“Maaf ya, Nara. Kami tidak bermaksud—”

“Tidak apa-apa, Bu,” potong Nayara lembut, “saya sudah biasa. Lagian ... saya masih punya rezeki buat makan hari ini, dan Alhamdulillah bayi saya sehat.”

Tatapan itu, senyuman itu—tidak menyiratkan keluhan. Tidak juga dendam atau kesedihan yang mencolok. Nayara menerima takdirnya dengan lapang, walau tak seorang pun tahu, setiap malam dia menatap langit dan berbisik nama pria yang dulu pernah bersumpah tak akan meninggalkannya.

Hingga kini, Nayara tak tahu apakah pria itu masih menyimpan rasa benci ataukah sesekali, ia teringat akan dirinya.

“Nara, kalau lahiran nanti kamu jangan sungkan minta tolong kami ya,” ucap Bu Yuyun, pemilik warung.

“Iya, Nara. Kontrakan ini sudah seperti keluarga. Jangan merasa sendiri.”

Nayara mengangguk pelan. Hatinya hangat. Ia tidak punya siapa-siapa. Tapi hari ini, setidaknya, ia masih punya orang-orang baik yang peduli.

Ia memandangi perutnya, membelai lembut. “Sebentar lagi kita ketemu ya, Nak. Mama akan kuat demi kamu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Istri yang Kau Sengsarakan   Bab 6 : Melupakan masalalu

    Sore itu langit mendung, udara sedikit pengap. Setelah berkeliling menjajakan buburnya sejak pagi, Nayara memutuskan untuk berhenti sejenak di pelataran taman kota. Ia duduk di bangku yang menghadap air mancur, membelai perutnya yang semakin berat. Bayi di dalam kandungannya bergerak pelan, seolah memberi tanda bahwa ia ikut merasakan kelelahan sang ibu.“Sebentar lagi kita pulang ya, Nak,” bisiknya lirih sambil tersenyum lembut.Nayara menoleh ke arah keramaian di sisi lain taman. Sebuah mobil hitam mengilap baru saja berhenti di depan restoran mahal yang berdiri mewah di seberang jalan. Dari dalam mobil, turun seorang pria tinggi bersetelan jas, rambutnya tersisir rapi, dan posturnya tak berubah sedikit pun sejak terakhir kali Nayara melihatnya.Dia Alvano, Langkah Nayara membeku melihat pria itu.Pria itu berjalan tenang, diikuti seorang wanita bergaun krem muda dengan heels tinggi yang mencolok. Wajahnya terlihat berseri-seri, tangannya menggandeng lengan Alvano seolah mereka sepa

    Last Updated : 2025-04-30
  • Istri yang Kau Sengsarakan   7. Rumah sakit

    Hujan turun dengan deras di luar jendela, membasahi jalanan dan menciptakan riuh samar di tengah keheningan malam. Pukul dua lewat dua puluh lima menit pagi, Naraya terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Perutnya mengeras, nyeri yang familiar menjalar dari tulang belakang hingga ke pusar. Ia mengerang pelan, menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sakit yang datang bertubi-tubi.“Tidak ... bukan sekarang.”Namun tubuhnya tak bisa dibohongi. Kontraksi itu nyata, lebih kuat dan intens dari sebelumnya. Dengan susah payah, ia meraih ponsel yang tergeletak di meja kecil dekat kasurnya. Ia menggulir daftar kontak, tapi tak satu pun nama yang bisa ia andalkan. Tidak ada keluarga. Tidak ada teman dekat. Dan pria yang seharusnya berada di sampingnya pun tidak bisa Nayara harapkan.Dengan napas yang tersengal, Naraya bergegas keluar kamar, tubuhnya bergetar karena rasa sakit. Ia mengetuk pintu tetangganya, Bu Ningsih—seorang ibu paruh baya yang selama ini sesekali menawarinya makanan han

    Last Updated : 2025-04-30
  • Istri yang Kau Sengsarakan   8. Merawat bayi seorang diri

    "Aku beri dia nama, Reyhan Samudra." Nayara menggenggam telapak tangan mungil putra kecilnya. Setelah 2 hari di rumah sakit, akhirnya Nayara bisa pulang lagi ke kontrakan kecilnya. Untungnya, Nayara memiliki tabungan yang cukup dari hasil berjualan bubur selama ini untuk makannya sehari-hari pasca pemulihannya. "Kamu tidak usah berkecil hati, Sayang. Meskipun tanpa siapapun, Mama pasti bisa membesarkan kamu dengan baik dan mendidik kamu supaya kelak kamu menjadi orang yang bisa menghargai orang lain," ujar Nayara dengan senyum tulusnya. Perlahan-lahan Nayara sudah mulai bisa berdamai dengan dirinya sendiri, Nayara akan merasa baik-baik saja Karena sekarang ada malaikat kecil yang harus dia jaga dan besarkan seorang diri. 'Aku pasti bisa menjadi sosok Ibu sekaligus ayah yang baik untuk anak ini,' ucap Nayara dalam hati. Nayara masih bisa tersenyum di saat dunia seakan menghimpitnya, bayangkan saja Nayara yang baru saja melahirkan dua hari yang lalu harus mengurus bayi itu sendiria

    Last Updated : 2025-04-30
  • Istri yang Kau Sengsarakan   9 : Setelah 5 Tahun

    Lima tahun kemudian!Setelah lima tahun berlalu, Nayara masih tinggal di kontrakan sepetak nya bersama putra kecilnya yang kini sudah berusia lima tahun.Tidak banyak yang berubah, Nayara masih berjualan bubur untuk dicukupi kebutuhan sehari-hari. Bedanya sekarang bubur yang dijual oleh Nayara sudah banyak dikenal oleh orang-orang sehingga Nayara hanya fokus penjualan di depan kontrakan tidak diselingi dengan berkeliling lagi. Selama 5 tahun ini, hidup Nayara sangat tentram. Jauh dari orang-orang jahat yang tidak punya hati, dan juga sangat bahagia karena karena putra kecilnya tumbuh menjadi anak yang pintar dan penurut.Nayara berhasil mendidik anak itu dengan baik.Seperti kali ini contohnya, Nayara sedang mencuci piring setelah berjualan seharian. Rayhan begitu tenang duduk di samping Nayara.Raihan sangat tampan, tak jauh berbeda dengan ayah kandungnya."Mama, kapan bisa temani Ray main?" Anak berusia lima tahun itu

    Last Updated : 2025-05-03
  • Istri yang Kau Sengsarakan   10 : Paksaan menyakitkan

    "Sudah lima tahun, Nara. Sudah lima tahun kamu menyembunyikan diri dariku," bentak Alvano."Alvano, kamu ...." Nayara menatap Alvano lalu beralih menatap Dokter tadi. "KAMU TIDAK BENAR-BENAR SAKIT?" Nayara meninggikan nada suaranya dan sadar dirinya telah ditipu."Kamu tega menipu aku, Al?" Suara Nayara berubah lirih.Alvano tertawa sinis. "Benar, aku menipu kamu. Kalau tidak begitu." Alvano menarik kasar tangan Nayara sampai membentur dadanya. "Kami tidak akan pernah muncul lagi, Nara." Alvano mendorong Nayara dengan kasar."Untuk apa kamu melakukan semua ini? Bukankah kita sudah bercerai?" Mata Nayara berkaca-kaca."Cerai ya?" Alvano menatap tajam Nayara. "Apa kamu pikir aku sudah menyetujui perceraian itu? Kamu memang tidak tau diri, belum menebus semua hutang-hutang kamu padaku, tapi sudah berani kabur selama lima tahun."Nayara sudah terbiasa dengan kata-kata pedas yang Alvano katakan padanya.Nayara hampir menangis

    Last Updated : 2025-05-03
  • Istri yang Kau Sengsarakan   11 : Tindakan tiba-tiba

    "Aku tidak butuh persetujuanmu, Nara. Asal kamu tahu, kamu tidak berhak menolakku." Alvano berdiri tegak. "Coba selidiki lebih jauh lagi, dari mana para perawat tadi menemukan dia?" Alvano menatap Keenan.Mendengar itu, Nayara langsung panik. Nayara langsung berdiri sambil menatap Alvano."Apa lagi yang kamu inginkan?" tanya Nayara yang mencoba menyembunyikan rasa paniknya. "Apa yang aku inginkan?" Alvano mengulang pertanyaan Nayara. "Mungkin saja ada pria hidung belang di luar sana yang mau menampung istriku selama 5 tahun, bukankah aku harus berterima kasih kepada mereka?" Alvano tersenyum miring.Sejak awal Alvano sudah yakin kalau Nayara pasti hidup dengan seseorang, Alvano lebih yakin lagi karena selama ini Nayara itu adalah anak manja yang tidak bisa hidup sendiri dan sangat bergantung kepada harta keluarga Widjaya.Nayara semakin panik, bukan karena apa yang dipikirkan Alvano itu benar. Tapi karena masih ada hal besar yang dia se

    Last Updated : 2025-05-03
  • Istri yang Kau Sengsarakan   12. Permohonan Nayara

    Sadar dengan tindakannya, Alvano langsung mendorong kepala Nayara sampai wanita itu terbentur ke dinding mobil.“Kamu jahat, Al.” Nayara yang merasa dilecehkan pun menghapus bekas ciuman Alvano.Setelah itu mereka tidak terlibat percakapan apa pun lagi, Nayara menatap keluar jendela selama perjalanan, sedangkan Alvano sibuk dengan pikirannya sendiri.Alvano menyesal telah kelepasan mencium Nayara.Satu jam kemudian, Nayara meminta berhenti di pinggir jalan yang lumayan jauh dari kontrakannya. Nayara sengaja turun di sini agar Alvano tidak bertemu dengan Rayhan.“Tunggu!” Alvano masih menahan Nayara saat wanita itu hendak pergi.“Apalagi?” tanya Nayara lirih.“Aku sarankan kamu jangan kabur lagi! Jika sampai kamu tidak bisa ditemukan lagi, aku tidak akan segan-segan benar-benar membuat kamu hancur.” Setelah mengatakan itu, mobil Alvano berjalan meninggalkan Nayara dengan rasa sakitnya.“Sejauh ini kamu sudah memb

    Last Updated : 2025-05-04
  • Istri yang Kau Sengsarakan   13 : Mulai curiga

    “Aku jadi penasaran, dia itu anak haram dari pria brengsek yang mana sampai kamu rela sampai seperti ini.” Alvano menunjuk Nayara yang masih berlutut.Vanya muncul di tempat itu dengan langkah tertatih dan pakaian rumah sakit yang melekat di tubuhnya, gadis itu baru saja sadar setelah mendapatkan transfusi darah dari Nayara.“Tolong jangan panggil dia anak haram, dia bukan anak haram, Al. Dia anak hasil dari pernikahan yang sah,” desis Nayara.“Kalau begitu katakan siapa ayahnya!” titah Alvano.“Sebenarnya dia anak kam—”“Kak, Alvano! Ada apa ini?” Suara Vanya membuat Nayara menelan kata-katanya kembali.Alvano langsung khawatir melihat kedatangan gadis itu. “Kenapa kamu datang ke sini?”“Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih pada Kak Nara karena dia sudah melakukan transfusi darah untukku,” jawab Vanya sambil menatap Nayara, “terima kasih banyak, Kak Nara,” lanjutnya dengan suara yang begitu lembut mendayu-dayu.

    Last Updated : 2025-05-04

Latest chapter

  • Istri yang Kau Sengsarakan   21 : Harapan terakhir

    “Maafkan aku, Nyonya. Aku salah, aku akan menampar diriku sendiri.”Pelayan itu benar-benar menampar dirinya sendiri berkali-kali sampai wajahnya membengkak dan memerah.“Sudah cukup, sekarang kamu boleh pergi dan katakan kepada Kak Nara kalau Mama dan Papa tidak mau menemuinya,” titah Vanya.“Kenapa kamu masih membela anak itu? Apa jangan-jangan dia sudah memberimu jampi-jampi agar tetap simpati padanya?” Clarissa jadi semakin berpikiran buruk tentang Nayara. “Padahal Vanya sudah tinggal selama 5 tahun dengan kita, tapi kamu masih saja tidak bisa melupakan anak itu.” Clarissa benar-benar marah pada suaminya.“Bukan begitu maksudku.” Dimas begitu dilema sekarang.Di satu sisi dia ingin bertemu dengan Nayara, tapi di sisi lain dia takut pada Clarissa kalau dia berani menemui Nayara.“Pa, aku tidak tahu seperti apa kedekatanmu dengan Kak Nara. Kalian sudah hidup bersama selama dua puluh tahun lamanya, tapi Papa tidak pantas berlaku seperti itu pada Kak Nara.” Vanya tidak terima melihat

  • Istri yang Kau Sengsarakan   20 : Rumah itu lagi

    “Selamat pagi, Dokter Ardian.” Nayara tersenyum ramah pada seorang dokter paruh baya yang Nayara kira sudah menghubunginya.“Terima kasih banyak sudah menyisakan satu kamar untuk Rayhan,” ujar Nayara.“Kamar apa?” Dokter Ardian terlihat bingung menanggapi pertanyaan Nayara.“Kamar untuk Rayhan, bukankah Anda yang membantuku?” Nayara terlihat begitu bahagia.Sepertinya Dokter Ardian tidak tahu apa-apa tapi juga tidak berani mengatakan apa pun. Tentu saja, kamar itu disediakan oleh Alvano, jelas Dokter Ardian tidak akan tahu apa-apa.“Sudahlah, berhubung Anda ada di sini, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.” Dokter Ardian memberikan sebuah kertas. “Ini laporan kesehatan Rayhan, kondisinya semakin menurun. Hal ini sangat tidak baik, tidak bisa kalau hanya memakan obat-obatan saja.”Nayara memejamkan mata, sebelumnya dia sudah menduga hal ini akan terjadi.“Dokter, tolong bantu selamatkan putraku. Dia baru berusia lima tahun, tolong, Dok,” pinta Nayara.“Segera urus semua biayanya, Nyon

  • Istri yang Kau Sengsarakan   19 : Semakin membenci

    “Uhuk!” Rayhan batuk-batuk sampai hidungnya mengeluarkan darah.Tapi anak itu tidak mengatakan apa pun, dia cuma fokus bermain dengan Ultraman baru yang dibekali oleh ibunya.“Astaga, kamu mimisan lagi?” Nayara mengambil selembar tisu. “Sini biar Mama lap darahnya.” Nayara menghapus darah dari hidung Rayhan.“Ray, waktunya minum obat. Kamu mau sembuh kan, Sayang?” Nayara mengeluarkan obat-obatan yang begitu banyak yang harus dikonsumsi anak sekecil Rayhan.“Ray tidak mau, Mama. Obatnya sangat pahit,” tolak Rayhan sambil menutup mulutnya.“Kamu ingin mendengar sebuah cerita?” Nayara mencari akal untuk membujuk Rayhan agar mau meminum obat.“Cerita apa, Mama?” Mata polos Rayhan berkedip-kedip lucu menatap Nayara.“Dulu Ultraman ini juga sakit, dia baru sembuh setelah minum obat.” Nayara mengarang cerita yang menarik untuk anak-anak.“Benarkah?” Dan sesuai dengan harapan Nayara, Rayhan tertarik dan percaya dengan a

  • Istri yang Kau Sengsarakan   18 : Mirip

    Setelah semua masakannya selesai, Nayara menata semuanya di atas meja makan yang di sana sudah dihuni oleh Alvano dan Vanya.Nayara menyiapkan semuanya dengan hati-hati, jangan sampai dia membuat kesalahan yang berakhir dirinya menerima kekerasan lagi dari Alvano ataupun Vanya yang licik.Gadis itu manipulatif, jadi Nayara harus berhati-hati dengan gadis yang saat ini bersama suaminya.“Tuan Alvano, Nona Vanya, silakan menikmati hidangannya!” Nayara benar-benar sangat profesional dan sadar diri dengan statusnya di tempat ini.Alvano terdiam dan tampak begitu murung, hati kecilnya sangat tidak rela melihat Nayara berada di posisi seperti ini. Sementara itu, egonya mengatakan bahwa wanita itu pantas menerima perlakuan seperti ini.Alvano mulai makan, mata terpejam menikmati sensasi makanan khas buatan Nayara yang sudah lama tidak ia makan.Jujur saja, Alvano merindukan masakan ini. Tapi bahasa bancinya pada Nayara mengalahkan segal

  • Istri yang Kau Sengsarakan   17 . Penyemangat

    Nayara memberikan surat-surat yang sudah dia tandatangani pada Alvano.“Selesai, Tuan. Apalagi yang harus saya lakukan?” Nayara begitu sabar dan pasrah menghadapi Alvano.Alvano menerima surat itu lalu berkata, “Besok pagi jam delapan kamu harus sudah ada di sini, harus tepat waktu tidak boleh terlambat.” Kali ini Alvano berbicara baik-baik pada Nayara.“Baiklah, Tuan.” Nayara membungkuk hormat layaknya para pelayan pada umumnya. “Kalau begitu saya izin pamit dulu.”Alvano mengangguk sehingga Nayara bisa pergi dari tempat itu.Alvano menatap surat-surat di tangannya cukup lama, raut wajah pria itu begitu sulit untuk dijelaskan. Entah apa yang ada di dalam pikiran Alvano saat ini....“Mama, rumah ini sangat besar.” Mata Rayhan berbinar menatap rumah mewah yang dia pijaki sekarang.Nayara hanya tersenyum mendengar itu, Nayara tidak tega jika harus meninggalkan Rayhan yang sedang sakit sendiria

  • Istri yang Kau Sengsarakan   16 : Menjadi pembantu

    “Kak!” Vanya memanggil Alvano dengan suaranya yang lembut mendayu-dayu itu."Ini sudah malam, sebaiknya kamu istirahat lagi ke kamarmu. Kata dokter besok kamu sudah boleh pulang, siap-siap dan besok akan aku jemput." Alvano mengusap pipi Vanya dengan begitu perhatian di depan muka Nayara.Tidak bisa dibayangkan sesakit apa perasaan Nayara saat ini.“Baiklah,” balas Vanya dengan patuh.Alvano pergi dari sana karena masih ada urusan lain, sebagai orang penting tentunya Alvano memiliki banyak pekerjaan dan jadwalnya sangat padat.Vanya menatap Alvano sampai pria itu benar-benar menghilang, setelahnya Vanya melirik Nayara yang tengah memeluk Reyhan.“Kamu benar-benar wanita tidak tahu diri, Kak Nara. Kamu itu hanya anak dari seorang pelakor, kenapa kamu masih berani ngerayu Kak Alvano yang jelas-jelas adalah milik aku? Kamu pasti belajar dari ibumu yang pelakor itu kan?” Vanya memaki Nayara habis-habisan.“Aku bahkan nggak p

  • Istri yang Kau Sengsarakan   15. Bersimpati lagi

    Plak!“Argh!”Tubuh Nayara langsung terhempas ke dinding hanya karena satu tamparan keras dari Alvano.Pria itu langsung marah melihat Vanya yang terduduk di lantai dan seperti di dorong oleh Nayara padahal kenyataannya tidak begitu.Vanya buru-buru berdiri. “Kak Alvano, dia mendorongku.” Vanya mengadu dan memasang wajah yang terluka.Nayara hanya diam dipojokkan sambil menahan rasa perih di pipinya akibat tamparan Alvano.“Nayara, kamu cari mati,” desis Alvano yang sangat marah.“Dasar paham jahat! Jangan menyakiti ibuku!” Si kecil Rayhan memasang badan untuk membela ibunya.Rayhan yang biasanya diajari sopan santun pada orang dewasa itu, kini mendorong Alvano sekuat tenaga karena telah berani menampar ibunya.Gyut!Secara tiba-tiba Rayhan membalas Alvano dengan cara menggigit punggung tangan pria itu.“Arghh!” Alvano yang merasak

  • Istri yang Kau Sengsarakan   14. Dari ujung koridor

    Setelah menunggu semalaman, akhirnya Rayhan sadar juga pagi ini.“Ayo makan satu suap lagi, Sayang!” Nayara menyodorkan sendok berisi bubur putih pada putranya itu.Nayara menggigit bibir bawahnya menahan tangis saat teringat apa yang dikatakan dokter setelah hasil lab kesehatan Rayhan keluar tadi pagi.Flashback on.“Rayhan mengalami penyakit leukemia yang sudah sangat parah, dia butuh transfusi sumsum tulang belakang.”Dunia Nayara terasa runtuh saat itu juga, anak yang dia jaga sepenuh hati sejak dalam kandungan seorang diri tanpa bantuan siapa pun—kini menderita sakit separah itu.“Dokter, tolong pikirkan cara untuk menyelamatkan anak saya, Dokter.” Nayara sampai tidak bisa membendung air matanya saat itu juga.“Anda jangan cemas dulu, Nyonya. Kami akan bantu mencarikan pendonor sumsum tulang belakang yang cocok untuk anak Anda.”Nayara sedikit merasa lega mendengar itu.“Hanya saja … Anda perlu mem

  • Istri yang Kau Sengsarakan   13 : Mulai curiga

    “Aku jadi penasaran, dia itu anak haram dari pria brengsek yang mana sampai kamu rela sampai seperti ini.” Alvano menunjuk Nayara yang masih berlutut.Vanya muncul di tempat itu dengan langkah tertatih dan pakaian rumah sakit yang melekat di tubuhnya, gadis itu baru saja sadar setelah mendapatkan transfusi darah dari Nayara.“Tolong jangan panggil dia anak haram, dia bukan anak haram, Al. Dia anak hasil dari pernikahan yang sah,” desis Nayara.“Kalau begitu katakan siapa ayahnya!” titah Alvano.“Sebenarnya dia anak kam—”“Kak, Alvano! Ada apa ini?” Suara Vanya membuat Nayara menelan kata-katanya kembali.Alvano langsung khawatir melihat kedatangan gadis itu. “Kenapa kamu datang ke sini?”“Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih pada Kak Nara karena dia sudah melakukan transfusi darah untukku,” jawab Vanya sambil menatap Nayara, “terima kasih banyak, Kak Nara,” lanjutnya dengan suara yang begitu lembut mendayu-dayu.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status