Ujian ekonomi tengah menimpa keluarga Danu dan Gina. Mereka baru dua tahun menikah dan dikaruniai seorang putri yang cantik bernama Putri. Gina bukan tidak bersyukur ketika menerima uang dari Danu. Akan tetapi, harga kebutuhan sudah sangat mencekik; uang itu tidak cukup. Gina berpikir untuk bekerja ke luar negeri untuk memperbaiki ekonomi rumah tangganya. Akan tetapi, malapetaka justru datang dari sepasang suami dan istri itu saat Gina sudah bekerja menjadi TKI. Berita tentang aib Gina saat tersebar luas. Tak berbeda dengan Gina, Danu pun sebenarnya berselingkuh. Mendadak Gina pulang ke Indonesia dan mengejutkan semua orang. Lantas, apakah mereka akan tetap mempertahankan rumah tangga mereka? Atau lebih baik menjalani kehidupan masing-masing?
Lihat lebih banyakMas, kamu tahu nggak, semua harga kebutuhan kita naik semua. Beras, minyak, gas, token, bahkan tahu dan tempe juga ikan asin ikutan naik. Kamu usaha dong kerja lebih keras lagi! Kalo misal hanya jualan buah keliling saja nggak akan cukup. Lihat, mangga yang kamu bawa ke sana ke mari itu bahkan mau busuk!" Omelan Gina membuat Danu hanya bisa mengelus dada setiap pulang bekerja.
Suara Gina menggelegar memenuhi rumah petak yang sengaja mereka sewa itu. Pertengkaran mereka sudah menjadi langganan. Tetangga hanya bisa diam karena tidak bisa memberikan solusi apa pun. Gina hanya ingin semua kebutuhan terpenuhi. "Ya, kamu sabar dulu. Aku juga udah usaha maksimal." Danu berusaha tenang menanggapi omelan sang istri. Danu kini berusaha mengambil alih Putri semata wayangnya dari gendongan Gina. Anak mereka berusia satu setengah tahun dan sedang aktif-aktifnya. Gina dulu bekerja di pabrik, tetapi akhirnya memutuskan berhenti bekerja untuk mengasuh anak mereka. Orang tua Gina merasa keberatan jika Putr--anak Gina dititipkan. "Sabar? Kalo anakmu nangis karena lapar apa masih bisa sabar kamu, Mas? Tolong pakai otak kamu sedikit!" Ucapan kasar Gina sudah tidak terbendung lagi saat ini. Keuangan mereka saat ini bukan hanya menipis, tetapi sudah sangat minus. Orang tua Danu tidak mau membantu dengan alasan masih ada adik bungsu Danu yang masih sekolah. Suami Gina juga bukan dari kalangan keluarga kaya. Danu berasal dari keluarga ekonomi sulit, sama halnya seperti Gina. Malam semakin larut, sejak pertengkaran sore tadi, terpaksa Danu harus menahan lapar. Gina hanya menggoreng satu butir telur dan itu pun untuk lauk putri mereka. Entah, Gina makan malam dengan lauk apa, karena nasi juga sudah habis. Danu terbiasa tidak makan malam ketika Gina marah-marah. "Gin, bisa kita bicara sebentar?" tanya Danu sambil mengguncang tubuh sang istri dengan lembut. Gina hanya melirik sang suami. Sudah menjadi kebiasaan Gina, ketika marah pasti tidak akan bisa tidur. Terdengar dengan jelas helaan napas panjang yang keluar dari mulut Danu. Danu tampak menatap langit-langit kamar mereka. Hatinya sangat sakit karena tidak bisa memenuhi kebutuhan sang istri. Pagi datang dengan cepat, Gina sudah bangun dan sibuk berkutat di dapur. Ia membuat tungku dadakan karena gas habis. Beras yang tinggal satu gelas itu dibuatnya menjadi bubur agar bisa untuk makan hingga sore. Tak lupa, Gina menyiapkan telur mata sapi untuk lauk Putri. "Doakan aku supaya dapat rezeki lebih, ya," kata Danu yang pagi ini sudah siap hendak berjualan keliling. Akhir-akhir ini, dagangan Danu sepi pembeli. Pembeli yang kebanyakan adalah ibu-ibu lebih memilih mengalokasikan uang belanja mereka untuk keperluan membeli sembako. Maklum, semua harga sedang meroket. Belum lagi, masih banyak kebutuhan untuk anak sekolah. "Percuma aku doa setiap hari kalo kamu nggak niat jualannya!" Gina membentak sang suami yang saat ini sedang berdiri di depan pintu dapur. "Gina, kamu bisa nggak jangan kasar sama aku. Suara kamu itu selalu pakai nada tinggi. Ya, aku tahu memang belum bisa ngasih lebih sama kamu. Tapi, aku udah usaha." Danu pagi ini mulai terpancing emosi karena ulah Gina. "Terserah! Aku nggak peduli lagi! Kalo ada uang, aku akan masak. Kalo nggak, aku hanya akan masak buat Putri. Terserah, kamu mau makan apa. Mau makan angin silakan!" Gina tidak terima mendengar ucapan sang suami. Hari masih pagi dan pertengkaran dalam rumah Danu sudah terdengar. Kasak-kusuk tetangga bisa terdengar dengan jelas. Danu hanya bisa bersabar saat ini. Ia tidak mau membalas ucapan sang istri. Saat Gina memutuskan berhenti dari pekerjaannya menjadi buruh pabrik, Danu justru sebaliknya. Ia diberhentikan karena ada pengurangan pegawai. Hal ini jelas menjadi pukulan mereka berdua. Perlahan, tabungan mereka menipis. Uang tabungan Gina sudah ludes untuk menyambung hidup sehari-hari. Gina merasa sangat tertekan karena kebutuhan hidup harus dipenuhi. Mininal untuk makan saja mereka juga kesulitan. Gina tidak tahu lagi harus bagaimana saat ini. "Aku berangkat dulu, Gin. Doakan semoga aku ada rezeki," kata Danu yang saat ini menahan segala rasa dalam dada. Bukan salah Gina jika marah. Danu sadar belum bisa menjadi ayah dan suami yang baik. Gina sudah banyak berjuang sejak mereka menikah. Hanya saja cobaan yang mereka alami sangat luar biasa. Tiga puluh menit setelah Danu berangkat, Gina mendengar suara Putri merintih. Ia pun segera mematikan kompor dan menuju ke kamar. Gina dengan cepat menggapai sang putri. Nahas, tubuh mungil Putri demam tinggi. "Ya, Allah, kamu demam, Nak." Gina kini meneteskan air mata. Tidak ada uang sama sekali yang dipegangnya. Putri sudah mengompol dan harus diganti diapers-nya. Sisa satu buah diapres dan itu membuat Gina harus menahan rasa sesak luar biasa. Tanpa pikir panjang, Gina menggendong sang putri setelah diganti diapers-nya dan pergi menuju ke rumah salah satu tetangga. "Permisi, Bu Salma," kata Gina sambil mengetuk pintu rumah salah satu tetangga kontrakannya. "Ada apa, Mbak Gina? Lho? Ini Putri kenapa?" tanya Salma yang sudah siap hendak berangkat kerja di pabrik. "Bu, saya boleh pinjam uang? Saya mau bawa Putri ke puskesmas. Anak saya demam," kata Gina yang kini menahan air matanya. "Sebentar," Salma menjawab sambil merogoh tas dan mengambil dua lembar uang kertas berwarna merah. "Ini, Mbak Gina bisa pakai uang saya. Nanti kembalikan ketika sudah punya uang," lanjut Salma sambil tersenyum lebar. "Terima kasih, Bu Salma. Saya pasti akan kembalikan secepatnya." Gina tidak bisa menahan rasa haru. Hanya Salma yang masih mau meminjami uang atau memberikan makanan ketika kekurangan. Wanita berusia tiga puluh delapan tahun itu hidup seorang diri. Suaminya pergi bersama dengan wanita lain. Salma juga belum punya anak. "Sama-sama, Mbak Gina. Gimana kalo ke puskesmasnya bareng saja. Kita searah kok?" tawar Salma yang saat ini mengangsurkan helm pada Gina. Gina mengerjab beberapa kali karena menerima kebaikan Salma. Sungguh wanita di depannya itu seperti malaikat penolong bagi Gina. Tangan Gina meraih dengan cepat helm yang diberikan oleh Salma. Salma sadar, Gina tidak membawa selimut untuk menutupi tubuh mungil Putri. "Sebentar, Mbak." Salma kembali membuka pintu rumah dan mengambil selimut kecil. "Pakai ini, biar Putri nggak makin demam," lanjutnya sambil memberikan selimut berwarna biru muda itu. "Terima kasih, Bu Salma." Gina langsung memasang selimut itu pada sekujur tubuh Putri. Salma pun melajukan motor menuju ke puskesmas. Gina harus mengantre dan Putri sangat rewel. Gina bahkan belum memberikan sarapan untuk anak perempuannya. Ia hanya fokus harus segera ke puskesmas. "Udah sarapan belum anaknya?" Putri menggeleng saat ada salah satu orang tua pasien anak yang bertanya. "Ya, kasih sarapan dululah, lapar itu anaknya. Lagian, antrean kamu masih lama," lanjutnya dengan ketus.Hujan turun deras malam itu, menampar atap kamar kontrakan tempat Gina tinggal. Suasana sunyi dan gelap, hanya disinari lampu temaram dari pojok ruangan. Gina duduk di pojok ranjang, memeluk lutut, tubuhnya terbungkus sweater lusuh warna abu. Raut wajahnya terlihat sendu, matanya sembab, bekas air mata masih tampak di pipinya.'Ternyata otak dan hati nggak sinkron. Mas Danu sama sekali tidak berubah.' Gina mengatakan dalam hati dengan sangat pilu. Gina masih sempat berpikir jika Danu akan berubah saat ia berangkat kerja ke luar negeri. Akan tetapi, justru Danu semakin parah. Entahlah apa yang ada di otak Danu saat ini. Cinta dalam hati Gina kini berubah menjadi sebuah kebencian mendalam. Sudah satu minggu berlalu sejak ia terakhir kali melihat wajah Danu. Satu minggu penuh dengan pergolakan batin, antara rindu, dan benci, antara luka dan keinginan untuk melupakan. Seharusnya ia bisa hidup tenang setelah lepas dari pernikahan pura-pura itu. Namun, kenangan tentang Danu terus berputa
Malam telah jatuh dengan sempurna saat Gina melangkah keluar dari gedung restoran tempatnya bekerja. Lampu-lampu jalan menyinari aspal yang sedikit basah akibat hujan sore tadi. Langkahnya pelan, lelah menguasai setiap inci tubuhnya. Mata wanita itu sayu, wajahnya pucat, dan napasnya terdengar berat. Hampir dua bulan sudah ia hidup terpisah dari sang anak, Putri. Rindu itu tak pernah surut, malah semakin hari semakin menyesakkan.Gina selalu menaiki bus umum untuk mengantarnya sampai ke flat tempatnya mengontrak. Di dalam bus, ia merindukan sang anak--Putri. Ia butuh semangat, butuh kehangatan yang hanya bisa didapat dari suara dan wajah kecil yang sangat dirindukan. Putri adalah alasan Gina mau bekerja keras saat ini. “Assalamualaikum, Bunda!” sapa ceria Putri dari layar.Wajah mungil itu muncul dengan senyum lebar. Matanya berbinar, rambutnya ditata rapi dengan jepit warna merah muda. Di latar belakang, terlihat ruang tamu rumah Reza—kakaknya, tempat Putri sementara tinggal. Putri
Malam itu, suasana di kantor polisi sangat berbeda dari biasanya. Lampu-lampu neon yang terpasang di langit-langit memantulkan cahaya terang yang terasa dingin, hampir seolah-olah menguatkan nuansa suram yang menyelimuti ruangan itu. Di sudut ruangan, Guntara duduk di kursi kayu keras, tangan terborgol, wajahnya tampak lelah dan kosong. Tidak ada sedikit pun ekspresi penyesalan yang terlukis di wajahnya, hanya kelelahan yang tampak menghantui setiap gerak-geriknya.Salma sudah tidak ada di sana. Ia menolak memberikan kesaksian atau bertemu dengan Guntara. Setelah kejadian tadi malam, Salma memilih untuk meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumah salah satu warga. Meski di dalam dirinya masih ada rasa sakit yang mendalam, ia merasa lebih tenang di tempat yang jauh dari Guntara. Ia tahu, apapun yang terjadi, ia harus mengakhiri semua ini—kehadirannya di rumah itu, pertemuan mereka yang penuh amarah, dan hubungan yang sudah lama mati.Sementara itu, di kantor polisi, kegaduhan akibat p
"Kamu benar-benar gila, Mas!" Salma berteriak dengan sangat kencang saat mereka berada di dalam rumah."Ya, aku memang gila!" bentak Guntara tak kalah keras dari Salma.Angin malam menyusup dari celah jendela kayu rumah bergaya minimalis yang berdiri di pinggiran kota. Rumah itu sunyi, hanya diisi oleh kenangan masa lalu yang tak pernah benar-benar mati. Dinding-dindingnya masih menyimpan gema tawa dan tangis, jejak-jejak cinta yang dulu pernah menyala, lalu padam tanpa aba-aba.Salma berdiri di ruang tengah, tubuhnya kaku, matanya menatap Guntara penuh kecurigaan. Ia masih mengenakan setelan santai, jaket krem menutupi gaun tidurnya. Rambutnya digerai, sebagian menutupi pipinya yang kini mulai memerah karena emosi yang tertahan. Laki-laki itu memang tidak bisa ditebak dan membuat Salma kehabisan kesabaran.“Kenapa kau bawa aku ke sini?” tanyanya, suaranya dingin, nyaris tanpa intonasi. “Kenapa bukan ke hotel atau tempat lain saja?”Guntara berdiri beberapa langkah darinya, tubuh tega
"Ibu dan yang lainnya sama saja. Mereka tidak akan membantu setiap masalahku, tapi sebaliknya, hanya menambah masalah!" Guntara sangat marah saat ini.Pekerjaan di kantor hari ini sangatlah banyak. Guntara bahkan melupakan jam istirahatnya. Ia tidak keluar untuk makan siang. Meski sudah bekerja dari pagi, tetap saja, pekerjaan itu belum selesai. Senja mulai menyelimuti langit dengan semburat jingga yang perlahan memudar. Udara di sekitar pabrik terasa penuh dengan debu dan bau besi yang khas. Para pekerja satu per satu keluar dari pintu produksi, wajah mereka tampak lelah setelah seharian bergulat dengan mesin dan pekerjaan berat. Lelah setelah bekerja seharian tampak pada wajah para pekerja itu. Di antara kerumunan itu, seorang pria tegap berdiri bersandar pada kap mobil hitamnya. Sorot matanya tajam, menelusuri wajah-wajah yang keluar dari dalam pabrik. Guntara menunggu dengan sabar, meski dadanya berdegup kencang. Dia tahu apa yang akan terjadi setelah ini tidak akan mudah, tetap
"Ibu bukan nggak tahu kegilaanmu, Gun. Hanya saja, selama ini, Ibu diam dan sengaja menunggu kamu berubah. Tapi, ternyata tidak. Kamu justru semakin gila! Salma dan laki-laki itu sudah menikah!" Yulianti berbicara dengan nada penuh amarah pada sang anak. "Apa yang kamu harapkan dari wanita pelakor itu? Dia sengaja membuat istri laki-laki itu pergi!" bentak Yulianti dengan kasar dan keras."Ibu tahu dari mana mereka sudah menikah?" tanya Guntara yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Yulianti menoleh lalu tersenyum sinis. Ia menertawakan sang anak yang tampak bodoh itu. Yulianti lantas mengatakan kalimat pedas yang membuat Guntara terdiam seketika. Fakta itu memang menyakitkan."Sejak lama Ibu sudah tahu. Kamu saja yang menutup mata dan telinga. Sudah benar membuang batu kali dan mendapatkan berlian, kamu malah memilih mengambil batu kali. Di mana otak kamu?" Yulianti mengatakan dengan nada keras. Ruangan rumah mewah itu terasa begitu tegang. Yulianti berdiri di tengah ruang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen