Share

3_ Hancurkan saja perusahaannya

Part 3

"Bu, kenapa ibu masih bertahan dengan Pak Tommy?" tanya Renita

Saat ini mereka sedang berada di perjalanan menemui Rio dewanto dari Adiguna Group.

"Maksud kamu apa, Ren?"

"Gak usah pura-pura, Bu. Aku tahu ibu selama ini menderita. Apalagi Pak Tommy sekarang sedang asyik berselingkuh dengan Clarisa. Kenapa ibu tidak membebaskan diri dari lelaki seperti itu?"

Renita benar-benar geram dengan sikap Mutiara. Bagaimana wanita ini bisa bertahan dengan pernikahan toxic seperti ini

"Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Ren. Siapa yang tidak ingin bahagia, siapa yang tidak ingin bebas dari suami yang seperti itu? Tetapi tidak segampang itu bicara. Jika aku sampai meminta cerai pada Tommy, aku harus membayar dendanya. Bukan main-main, jumlahnya satu miliar. Dari mana aku punya uang segitu?"

"Ha? Kok bisa?"

"Ah, sudahlah. Tidak perlu memikirkan masalah itu. Sebaiknya kita bicarakan masalah pekerjaan. Apakah kamu pernah bertemu pak Rio sebelumnya?"

Renita menghela napas kesal, sungguh penasaran rasanya dengan apa yang terjadi pada atasannya ini. Kenapa kalau menggugat cerai Tommy akan didenda satu milyar? Tetapi apa daya, atasannya ini selalu menutup diri, tidak mau membicarakan masalah pribadi dengannya.

"Ren? Kamu kan sudah lama bekerja di sini, apa kamu pernah bertemu dengan Pak Rio Dewanto?"

Mutiara mengulang lagi pertanyaannya tadi. Dia tahu pasti, Renita pasti memikirkan tentang masalah hidupnya, bukan hanya Renita sebagai orang terdekat Mutiara sekarang, mungkin semua karyawan Sanjaya Sejahtera pasti tengah membicarakannya dan memikirkannya.

"Belum, Bu. Ini pertama kali saya akan menemuinya."

Tak berapa lama, mereka tiba di hotel Novotel, mereka langsung pergi ke restoran yang ada di lantai dua, langkah terkejutnya mereka karena Rio Dewanto sudah menunggu di sana.

"Selamat sore pak Rio? Maaf jika anda sudah menunggu, kita janjian akan bertemu pukul empat, tetapi ini masih kurang tujuh menit lagi," ujar Mutiara.

Mutiara melihat ke arah arlojinya setelah menyalami lelaki di hadapannya. Rio Dewanto, seorang lelaki dewasa dan matang. Usianya sudah empat puluh lima tahun, seorang eksekutif di perusahaan Adiguna Grup. Orang yang terkenal dengan dedikasi dan loyalitas pada perusahaan dan juga pria penyayang keluarga. Pamornya di dunia bisnis yang positif inilah yang membuat Mutiara segan dan menghormati lelaki ini.

"Saya sudah biasa on time, Bu Mutia. Lagipula, saya habis menghadiri rapat di hotel ini," jawab Rio dengan senyum elegannya.

"Kenapa anda datang sendiri? Bukankah saya sudah mengatakan ingin bertemu dengan Pak Tommy langsung?"

Mutiara tidak tahu harus berkata apa, toh selama setahun ini, dia yang menghandle perusahaan ini sendiri sedangkan Tommy? Dia hanya terima bersih dan terima untung saja, bahkan apa yang sudah dia lakukan tidak pernah lelaki itu hargai.

"Maaf, Pak. Pak Tommy sedang banyak kesibukan yang tidak bisa ditunda," jawab Mutiara diplomatik.

"Sibuk apa? Apa sibuk dengan perempuan-perempuan simpanannya?"

Mutiara terlonjak mendengar tuduhan sarkas lelaki ini, penampilannya yang elegan, dibalut dengan jas mewah ini bisa berkata seperti ini, kenapa dia begitu?

"Bu Mutia jangan kaget seperti itu. Hal itu sudah bukan rahasia umum, bahkan berita tujuh bulan yang lalu, ketika Pak Tommy memiliki hubungan dengan Tamara Anastasya beritanya tercetak di tabloid baik online maupun cetak."

Mutiara hanya menghembuskan napas dengan sesak, rasanya sangat malu mendengar orang kalangan atas seperti Rio membahas kebusukan suaminya, dia menyesal benar-benar menjadi seorang istri yang gagal.

"Bu Mutia tidak perlu merasa malu, bukan Bu Mutia yang salah. Seharusnya lelaki seperti itu Bu Mutia tinggalkan saja, kenapa masih saja bekerja keras untuk perusahaannya?"

"Maaf, Pak Rio ... Saya ke sini mau bicara bisnis dengan anda, bukan membicarakan hal pribadi saya. Soal saya bekerja keras, itu memang loyalitas saya sebagai karyawan perusahaan, dimana tempat saya mencari makan," jawab Mutia dengan nada kalem, dia tidak perlu merasa marah dengan semua ucapan lelaki ini demi gol kesepakatan kerjasama ini.

"Aduh, semakin kasihan saya pada anda, Bu Mutia. Ternyata anda juga tidak diberi nafkah oleh lelaki itu, yang membesarkan perusahaan anda, yang dapat nafkah dan hadiah perempuan lain. Sayang saja saya sudah menikah, jika saya lelaki singel, saya tentu akan tertarik dengan wanita cerdas, pintar dan sangat cantik seperti anda."

Mutiara benar-benar jengah mendengar perkataan Rio Dewanto, tetapi dia menganggap positif saja dengan perkataan lelaki itu, toh apa yang dikatakan lelaki itu memang fakta sebenarnya. Mutiara malah kagum dengan lelaki ini, dia sepertinya memang tipe lelaki yang menjaga komitmen dalam rumah tangga.

"Terima kasih atas pujian Bapak. Tentu saja saya akui jika saya berdedikasi, jadi anda tidak akan rugi bekerja sama dengan saya sebagai penanggung jawab projek."

Rio Dewanto tertawa mendengar perkataan Mutia. Sungguh wanita yang menarik, tidak mudah terpancing emosi.

"Baiklah ... Mana proposal itu? Akan saya pelajari dulu, jika saya tertarik, saya akan hubungi anda. Bagaimana?"

"Oh, baiklah, Pak. Saya akan menunggu jawaban Bapak."

Renita dengan sigap memberikan dokumen yang diminta Mutiara, dengan senyum kalem, mutiara memberikan map tersebut pada Rio.

Rio mengambil dokumen itu dan meletakkan di meja makan. Tentu saja dia tidak akan terburu-buru membaca proposal itu, dia juga harus membicarakan dengan staf dan atasannya langsung.

"Baiklah, nanti saya pelajari proposal ini dengan para staf saya, saya akan mengabari Bu Mutia dalam waktu tiga hari ke depan."

"Kalau begitu, saya pamit dulu ya, Pak. Saya menunggu kabar dari Bapak."

"Oh ya, kenapa kita tidak makan malam dulu? Ya walaupun hari masih sore," tawar Rio.

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa, lain kali saja. Saya ada urusan keluarga setelah ini."

"Oh, baiklah. Sampai jumpa lagi," ujar Rio sambil menyodorkan tangannya yang disambut Mutia dengan senang hati.

"Mau ke mana setelah ini, Bu?" tanya Renita ketika mereka berjalan ke luar gedung hotel itu.

"Aku mau ke rumah Om Hilman. Sebaiknya aku datang, walaupun hanya sebentar."

"Apa ibu perlu saya temani?"

"Apa kau tidak ada urusan lagi?"

"Tidak, Bu. Setelah ini saya free."

"Baiklah, ikutlah bersamaku. Ayo kita ke butik dulu mencari gaun pesta."

******

"Bagaimana?" tanya seorang lelaki yang duduk di sofa sebuah kamar hotel kelas president suite.

"Beres, Pak. Sepertinya dia ingin agar kita bekerja sama dengan perusahaan mereka."

"Apa yang dia tawarkan?"

"Sebuah kerjasama biasa sebenarnya. Dia meminta menjadi supplier produk makanan ke supermarket kita."

"Produknya bagus?"

"Cukup bagus, Sanjaya Sejahtera selama ini unggul pada produk bumbu masak instans. Saya dulu menduga bumbu masak itu diracik oleh perempuan itu, ternyata memang benar. Setelah perempuan itu menjalankan perusahaannya, keuntungan perusahaan melesat dengan pesat."

"Tolak saja kerjasama itu."

"What? Kenapa, Pak?"

"Kita tidak butuh produknya. Kita butuh otak pembuatnya! Kalau perlu hancurkan perusahaan itu, sehingga perempuan itu bisa kita dapatkan. Kalau tidak hancurkan perusahaan itu, kita akuisisi. Perempuan itu masih bebas menjalankan perusahaannya."

"Saya lebih setuju opsi terakhir, Pak. Sepertinya itu lebih rapi dan manusiawi."

"Kalau begitu, segera buat rencana. Jalankan pelan-pelan, jangan terburu-buru. Buat senatural mungkin, jangan sampai perempuan itu curiga kita dibalik semua ini."

"Baik, Pak. Akan segera saya laksanakan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status