Share

3_ Hancurkan saja perusahaannya

Author: Nainamira
last update Last Updated: 2024-02-01 09:17:18

Part 3

"Bu, kenapa ibu masih bertahan dengan Pak Tommy?" tanya Renita

Saat ini mereka sedang berada di perjalanan menemui Rio dewanto dari Adiguna Group.

"Maksud kamu apa, Ren?"

"Gak usah pura-pura, Bu. Aku tahu ibu selama ini menderita. Apalagi Pak Tommy sekarang sedang asyik berselingkuh dengan Clarisa. Kenapa ibu tidak membebaskan diri dari lelaki seperti itu?"

Renita benar-benar geram dengan sikap Mutiara. Bagaimana wanita ini bisa bertahan dengan pernikahan toxic seperti ini

"Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Ren. Siapa yang tidak ingin bahagia, siapa yang tidak ingin bebas dari suami yang seperti itu? Tetapi tidak segampang itu bicara. Jika aku sampai meminta cerai pada Tommy, aku harus membayar dendanya. Bukan main-main, jumlahnya satu miliar. Dari mana aku punya uang segitu?"

"Ha? Kok bisa?"

"Ah, sudahlah. Tidak perlu memikirkan masalah itu. Sebaiknya kita bicarakan masalah pekerjaan. Apakah kamu pernah bertemu pak Rio sebelumnya?"

Renita menghela napas kesal, sungguh penasaran rasanya dengan apa yang terjadi pada atasannya ini. Kenapa kalau menggugat cerai Tommy akan didenda satu milyar? Tetapi apa daya, atasannya ini selalu menutup diri, tidak mau membicarakan masalah pribadi dengannya.

"Ren? Kamu kan sudah lama bekerja di sini, apa kamu pernah bertemu dengan Pak Rio Dewanto?"

Mutiara mengulang lagi pertanyaannya tadi. Dia tahu pasti, Renita pasti memikirkan tentang masalah hidupnya, bukan hanya Renita sebagai orang terdekat Mutiara sekarang, mungkin semua karyawan Sanjaya Sejahtera pasti tengah membicarakannya dan memikirkannya.

"Belum, Bu. Ini pertama kali saya akan menemuinya."

Tak berapa lama, mereka tiba di hotel Novotel, mereka langsung pergi ke restoran yang ada di lantai dua, langkah terkejutnya mereka karena Rio Dewanto sudah menunggu di sana.

"Selamat sore pak Rio? Maaf jika anda sudah menunggu, kita janjian akan bertemu pukul empat, tetapi ini masih kurang tujuh menit lagi," ujar Mutiara.

Mutiara melihat ke arah arlojinya setelah menyalami lelaki di hadapannya. Rio Dewanto, seorang lelaki dewasa dan matang. Usianya sudah empat puluh lima tahun, seorang eksekutif di perusahaan Adiguna Grup. Orang yang terkenal dengan dedikasi dan loyalitas pada perusahaan dan juga pria penyayang keluarga. Pamornya di dunia bisnis yang positif inilah yang membuat Mutiara segan dan menghormati lelaki ini.

"Saya sudah biasa on time, Bu Mutia. Lagipula, saya habis menghadiri rapat di hotel ini," jawab Rio dengan senyum elegannya.

"Kenapa anda datang sendiri? Bukankah saya sudah mengatakan ingin bertemu dengan Pak Tommy langsung?"

Mutiara tidak tahu harus berkata apa, toh selama setahun ini, dia yang menghandle perusahaan ini sendiri sedangkan Tommy? Dia hanya terima bersih dan terima untung saja, bahkan apa yang sudah dia lakukan tidak pernah lelaki itu hargai.

"Maaf, Pak. Pak Tommy sedang banyak kesibukan yang tidak bisa ditunda," jawab Mutiara diplomatik.

"Sibuk apa? Apa sibuk dengan perempuan-perempuan simpanannya?"

Mutiara terlonjak mendengar tuduhan sarkas lelaki ini, penampilannya yang elegan, dibalut dengan jas mewah ini bisa berkata seperti ini, kenapa dia begitu?

"Bu Mutia jangan kaget seperti itu. Hal itu sudah bukan rahasia umum, bahkan berita tujuh bulan yang lalu, ketika Pak Tommy memiliki hubungan dengan Tamara Anastasya beritanya tercetak di tabloid baik online maupun cetak."

Mutiara hanya menghembuskan napas dengan sesak, rasanya sangat malu mendengar orang kalangan atas seperti Rio membahas kebusukan suaminya, dia menyesal benar-benar menjadi seorang istri yang gagal.

"Bu Mutia tidak perlu merasa malu, bukan Bu Mutia yang salah. Seharusnya lelaki seperti itu Bu Mutia tinggalkan saja, kenapa masih saja bekerja keras untuk perusahaannya?"

"Maaf, Pak Rio ... Saya ke sini mau bicara bisnis dengan anda, bukan membicarakan hal pribadi saya. Soal saya bekerja keras, itu memang loyalitas saya sebagai karyawan perusahaan, dimana tempat saya mencari makan," jawab Mutia dengan nada kalem, dia tidak perlu merasa marah dengan semua ucapan lelaki ini demi gol kesepakatan kerjasama ini.

"Aduh, semakin kasihan saya pada anda, Bu Mutia. Ternyata anda juga tidak diberi nafkah oleh lelaki itu, yang membesarkan perusahaan anda, yang dapat nafkah dan hadiah perempuan lain. Sayang saja saya sudah menikah, jika saya lelaki singel, saya tentu akan tertarik dengan wanita cerdas, pintar dan sangat cantik seperti anda."

Mutiara benar-benar jengah mendengar perkataan Rio Dewanto, tetapi dia menganggap positif saja dengan perkataan lelaki itu, toh apa yang dikatakan lelaki itu memang fakta sebenarnya. Mutiara malah kagum dengan lelaki ini, dia sepertinya memang tipe lelaki yang menjaga komitmen dalam rumah tangga.

"Terima kasih atas pujian Bapak. Tentu saja saya akui jika saya berdedikasi, jadi anda tidak akan rugi bekerja sama dengan saya sebagai penanggung jawab projek."

Rio Dewanto tertawa mendengar perkataan Mutia. Sungguh wanita yang menarik, tidak mudah terpancing emosi.

"Baiklah ... Mana proposal itu? Akan saya pelajari dulu, jika saya tertarik, saya akan hubungi anda. Bagaimana?"

"Oh, baiklah, Pak. Saya akan menunggu jawaban Bapak."

Renita dengan sigap memberikan dokumen yang diminta Mutiara, dengan senyum kalem, mutiara memberikan map tersebut pada Rio.

Rio mengambil dokumen itu dan meletakkan di meja makan. Tentu saja dia tidak akan terburu-buru membaca proposal itu, dia juga harus membicarakan dengan staf dan atasannya langsung.

"Baiklah, nanti saya pelajari proposal ini dengan para staf saya, saya akan mengabari Bu Mutia dalam waktu tiga hari ke depan."

"Kalau begitu, saya pamit dulu ya, Pak. Saya menunggu kabar dari Bapak."

"Oh ya, kenapa kita tidak makan malam dulu? Ya walaupun hari masih sore," tawar Rio.

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa, lain kali saja. Saya ada urusan keluarga setelah ini."

"Oh, baiklah. Sampai jumpa lagi," ujar Rio sambil menyodorkan tangannya yang disambut Mutia dengan senang hati.

"Mau ke mana setelah ini, Bu?" tanya Renita ketika mereka berjalan ke luar gedung hotel itu.

"Aku mau ke rumah Om Hilman. Sebaiknya aku datang, walaupun hanya sebentar."

"Apa ibu perlu saya temani?"

"Apa kau tidak ada urusan lagi?"

"Tidak, Bu. Setelah ini saya free."

"Baiklah, ikutlah bersamaku. Ayo kita ke butik dulu mencari gaun pesta."

******

"Bagaimana?" tanya seorang lelaki yang duduk di sofa sebuah kamar hotel kelas president suite.

"Beres, Pak. Sepertinya dia ingin agar kita bekerja sama dengan perusahaan mereka."

"Apa yang dia tawarkan?"

"Sebuah kerjasama biasa sebenarnya. Dia meminta menjadi supplier produk makanan ke supermarket kita."

"Produknya bagus?"

"Cukup bagus, Sanjaya Sejahtera selama ini unggul pada produk bumbu masak instans. Saya dulu menduga bumbu masak itu diracik oleh perempuan itu, ternyata memang benar. Setelah perempuan itu menjalankan perusahaannya, keuntungan perusahaan melesat dengan pesat."

"Tolak saja kerjasama itu."

"What? Kenapa, Pak?"

"Kita tidak butuh produknya. Kita butuh otak pembuatnya! Kalau perlu hancurkan perusahaan itu, sehingga perempuan itu bisa kita dapatkan. Kalau tidak hancurkan perusahaan itu, kita akuisisi. Perempuan itu masih bebas menjalankan perusahaannya."

"Saya lebih setuju opsi terakhir, Pak. Sepertinya itu lebih rapi dan manusiawi."

"Kalau begitu, segera buat rencana. Jalankan pelan-pelan, jangan terburu-buru. Buat senatural mungkin, jangan sampai perempuan itu curiga kita dibalik semua ini."

"Baik, Pak. Akan segera saya laksanakan."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri yang Kau Sia-siakan, Dilamar CEO Tampan   212

    Diaz menghela napas berat, mana bisa dia memberi ijin seperti itu, sudah jelas-jelas terlihat di mata lelaki bernama Setiaji itu sangat tertarik dengan istrinya. Itu namanya bunuh diri Tetapi melihat tatapan memohon Mutia membuatnya luluh, memang tidak seharusnya dia mematahkan hati seorang anak kecil, jika punya anak nanti, dia juga tidak ingin anaknya sedih. "Baiklah, nanti setelah dua Minggu aku akan menjemputmu. Aku juga akan menjenguk mu kapan saja aku mau, sekarang aku akan menginap di sini, ya? aku sudah sangat rindu denganmu." "Tentu saja." "Mulai sekarang, jika kamu punya masalah apapun cerita sama Mas. Jadi mas tidak salah paham, coba kalau kau cerita kalau nenek meninggal, tentu aku tidak akan salah paham begini. Di manapun aku berada, cerita! tidak ada yang lebih penting selain dirimu, soal kerjaan itu hanyalah Rizki saja, kalau memang masih rezeki tidak akan kemana." "Iya, Mas. aku juga minta maaf. Niat hati aku tidak ingin membebani pikiranmu, tetapi malah just

  • Istri yang Kau Sia-siakan, Dilamar CEO Tampan   211

    "Untuk apa mas mencari ku? bukankah mas Diaz sudah menceraikan aku? Buat apa, Mas?" tanya Mutia dengan napas yang mulai tersengal, ternyata dia tidak sekuat itu, cairan bening tetap jebol dari mata indahnya. "Tidak semudah itu bercerai, pernikahan kita sudah didaftarkan di KUA, mana bisa kita bercerai hanya dengan kata talak. harus menyelesaikan prosedur perceraian lewat pengadilan." "Apa? jadi mas Diaz datang ke sini mau menyelesaikan prosedur perceraian di pengadilan agama? apa mas datang untuk membawa surat panggilan sidang?" Mutia yang memang pernah bercerai tentu tahu betul bagaimana prosedur perceraian resmi di pengadilan, dia tidak perlu menanyakan hal ini dan itu, jika memang sudah mendaftarkan perceraian, tinggal menunggu panggilan sidang. "Apa kau begitu ingin kita bercerai agar kau terus dipanggil bunda oleh anak kecil itu? kita belum bercerai secara resmi tapi kau sudah bersama lelaki dengan seorang anak?" "Apa? Mas menuduhku kembali?" Diaz tercekat dengan uc

  • Istri yang Kau Sia-siakan, Dilamar CEO Tampan   210

    "Apa Rani sudah memilih pakaian yang akan dibeli?" tanya Setiaji ketika dua wanita beda usia menuju ke arahnya dengan membawa tentengan masing-masing. "Sudah, Ayah. Bunda Mutia memilih baju cantik-cantik sekali buat Rani, Rani suka. Ini juga ada sepatu dan juga sandal buat Rani," seru gadis itu dengan suara gembira. "Apakah Bu Mutia ingin memilih barang? biar saya yang membayar," tawar Setiaji. "Tidak usah, Pak. Saya belum membutuhkan barang apapun." Setiaji sudah menduga jawaban Mutia akan seperti itu, melihat dari gestur wanita itu jelas bukan wanita yang matre dan mau-mau saja dibelikan ini dan itu. "kalau begitu kita bayar, sudah itu kita pulang dan mengantar ibu guru Mutia ke rumahnya, ya?" ujar Setiaji pada putrinya. "Namanya bunda Mutia, kenapa ayah memanggilnya ibu guru? panggil bunda, Ayah." Setiaji hanya tersenyum canggung dan mengelus putrinya sambil mengangguk, sudit matanya melirik ke arah Mutiara dengan perasaan yang tidak enak. Setelah membayar semua barang

  • Istri yang Kau Sia-siakan, Dilamar CEO Tampan   209

    "Gaji dan bonus ibu sudah saya kirim ke rekening," ujar Setiaji ketika salam perjalanan menuju mall. "Loh, Pak? ini kan baru dua Minggu, kenapa sudah gajian?" "Saya baru saja menerima bonus dari proyek yang saya kerjakan." Mutia memang memberikan nomor rekeningnya seminggu yang lalu mana kala Setiaji menelponnya untuk mengirim biaya hidup Rani. Tidak disangka sekarang dia sudah menerima gaji, dengan cekatan Mutia memeriksa mobile banking nya dan melihat mutasi rekening terbarunya. "Ha? kok sepuluh juta? ini tidak kebanyakan, Pak?" protes Mutia tidak percaya dengan transaksi di M-banking nya "Itu gaji ibu lima juta, buat biaya Rani sehari-hari dua juta dan sisanya bonus menemani Rani hari ini." "Hanya menemani ke mall dapat bonus tiga juta? yang benar saja, Pak?" "Itu hanya uang bonus, siapa tahu nanti di mall ibu ingin membeli sesuatu." Mutia tidak lagi protes, karena sepanjang jalan Rani selalu mengajaknya berbicara dengan menanyakan setiap apa saja yang dia lihat, sement

  • Istri yang Kau Sia-siakan, Dilamar CEO Tampan   208

    "Ya, saya terserah ibu mana baiknya." "Kok, terserah saya? anda orang tuanya." "Anda kan gurunya?" Mutia tidak bisa berkata-kata lagi, dia menatap lelaki itu dengan canggung, sementara lelaki itu juga menatapnya bergeming. selama beberapa detik tidak ada yang bersuara diantara mereka, hingga lelaki itu bersuara, "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang perhatian terhadap putri saya. Saya selalu berangkat pagi dan pulang malam, ini sudah menjadi resiko pekerjaan." "Memangnya apa pekerjaan anda?" "Saya seorang teknik sipil yang sekarang tengah mengerjakan pengerjaan jalan di luar kota, memang tidak terlalu jauh dari kota Surabaya, tetapi memang jarak tempuhnya lumayan tiga jam. Bisakah saya menitipkan Rani pada ibu ketika saya pergi?" Mutia kembali terperangah mendengar perkataan lelaki itu, bagaimana dia bisa? "Saya akan membayar untuk jasa-jasa itu, saya tidak percaya pada pengasuh. Dulu saya memiliki pengasuh, tetapi setiap hari Rani dicekoki obat tidur

  • Istri yang Kau Sia-siakan, Dilamar CEO Tampan   207

    Mutia juga mencari data-data Rina siapa tahu ada nomor telepon orang tuanya, tetapi tidak ada. Bagaimana ini guru yang menerima pendaftaran murid, kenapa tidak dimintai data-data lengkap? Mutia hanya menghela napas berat. Setelah jam lima sore, terpaksa Mutia membawa Rina pulang, dia juga sempatkan mampir di toko baju untuk membelikan baju harian anak yang murah saja karena uangnya juga sedikit. Rina hanya mengikuti Mutia tanpa protes, tentu saja Mutia sangat mengkuatirkan keadaan anak ini, dia tentu saja jengkel. Dia juga mengadu pada rekan kerja dan kepala sekolah di telpon, mengirim pesan di wa grup kelas, meminta orang tua dari Rina untuk menjemput anaknya di rumahnya dan berpesan pada satpam yayasan untuk memberitahu orang tua Rina kalau mencarinya. Mutia sesekali mengintip grup kelas ada orang tua Rina yang merespon dan menanggapi keberadaan Rina, tetapi di grup hanya ada tanggapan orang tua murid lain yang juga terheran-heran kenapa ada anak yang belum dijemput se sore ini

  • Istri yang Kau Sia-siakan, Dilamar CEO Tampan   206

    Sudah seminggu lamanya Diaz menyewa jasa detektif swasta tetapi sama sekali belum membuahkan hasil. Kata Rais mereka adalah detektif swasta terbaik, tetapi mana hasilnya? Diaz benar-benar tidak sabaran. Akhirnya Diaz memutuskan untuk pergi ke Austria dan mencari keberadaan Fahri. Diaz tidak tahu di mana alamat tempat tinggal lelaki itu, tetapi tahu tempat kerjanya di kedutaan. Siang itu Diaz menemui Fahri di kantor konsulat tersebut dan membuat Fahri terkejut menerima kedatangannya. ."Pak Diaz? apa yang membuat pak Diaz jauh-jauh menemui saya?" Diaz hanya menghela napas berat, dia sesap kopi panas yang terhidang di hadapannya. "Pak Fahri, saya mencari istri saya Mutiara. Sejak tiga bulan yang lalu, dia pergi dan saya tidak menemukan dia dimanapun. Saya yakin pak Fahri tahu keberadaannya." Fahri memicing heran, sebenarnya Fahri ingin memaki Diaz yang benar-benar sudah menelantarkan Mutia yang kini sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, tetapi Fahri hanya bisa menahan dir

  • Istri yang Kau Sia-siakan, Dilamar CEO Tampan   205

    Diaz tercengang mendengar kata-kata Fadil, benarkah situasinya seperti itu? tetapi mereka terlihat begitu akrab, tatapan Mutia ke arah Fahri bahkan seperti wanita yang sangat merindukan lelaki itu. "Harusnya kamu berterima kasih pada Fahri, lelaki itu datang tepat waktu. dia membantu Mutia mengurus jenazah nenek, dia bahkan rela disibukkan oleh Mutia yang seharusnya kamu yang melakukannya. Mereka berinteraksi di depan banyak orang, aku yang mengantar nenek sampai kuburan bahkan melihat lelaki itu sampai turun ke liang kubur membantu perkuburan. Kenapa kau tidak tanya dulu dibalik cerita foto itu?" "Melihatnya aku langsung terbakar cemburu." "Aish, cemburu memang bisa mengumpulkan otak orang secerdas apapun. Kamu tahu, bahkan Mutia cerita sama Tasya kalau Fahri sudah dianggap kakak oleh Mutia. bahkan lelaki itu sekarang sudah pergi ke Austria, pindah berkerja di sana. Emang dasar bego kamu ini, ya!" kesal Fadil sambil melempar sendok ke arah Diaz. Diaz yang terkena lemparan di

  • Istri yang Kau Sia-siakan, Dilamar CEO Tampan   204

    "Sejak kapan kamu pulang dari Dubai?" "Sudah semingguan lah." "Jadi, waktu nenek Mutia meninggal dunia kamu sempat hadir, dong ya?" "APA? KAMU BILANG APA?!" Fadil yang mengangkat cangkir kopi dan akan menyeruputnya sampai terkejut mendengar teriakan Diaz, bahkan air kopi itu sebagian tumpah ke meja dan sedikit ke celananya. "Apa sih? teriak-teriak, kaget tahu!" gerutu lelaki itu sambil meraih tissue dan menyeka celananya. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Diaz dengan nada suara yang sudah diturunkan. "Bilang apa? aku cuma nanya kapan kamu balik ke Indonesia, itu aja." "Bukan yang itu, kamu bilang nenek Mutia meninggal dunia?" Fadil yang kembali akan menyeruput kopi, tangannya jadi bertahan di udara, dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan heran. "Kamu sudah seminggu balik ke Indonesia jangan bilang kamu nggak datang ke makam nenek," ujar lelaki itu dengan tatapan menelisik. "Apalagi sampai kamu nggak tahu kalau nenek Rosida meninggal dunia," tambah Fadil sambil me

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status