Part 4
"Pak, Tuan Hadi dari tadi menelpon anda, apakah akan anda angkat?""Huh, angkatlah!"Hembusan napas kesal terdengar dari lelaki yang duduk di bangku belakang. Mata lelaki itu menatap ke luar jendela mobil, kota ini masih sama seperti lima tahun yang lalu, belum ada perubahan yang signifikan. Jalanan masih saja macet, hanya saja moda transfortasi publik cukup mengurangi kemacetan, tidak selama lima tahun yang lalu."Halo, iya, Pak ... Iya, beliau ada di sini," ujar lelaki yang duduk di sebelah kemudi."Pak, ini ... Tuan Hadi ingin bicara." Lelaki itu mengangsurkan ponselnya ke arah atasannya yang duduk di belakang."Iya, ada apa, Ayah?" jawab lelaki itu setelah menerima telepon."Dari tadi ayah telepon, kenapa kau tidak mengangkatnya?""Aku tidak dengar, ponselnya ku silent kalau rapat.""Diaz, setelah kau pulang dari luar negeri, kau belum pernah mengunjungi Ayah.""Aku baru tiga hari di sini, lima tahun aku di luar, ayah juga tidak pernah mengunjungi ku.""Dasar anak tak tahu diri kamu! Malam ini cepat pulang ke rumahku!""Malam ini aku akan bertemu dengan klien.""Batalkan saja! Atur ulang jadwalnya. Awas saja kalau kau tidak datang!"Tuts ... Tuts ... Tuts ....Diaz menatap ponsel ditangannya, lelaki tua di seberang sana sudah memutuskan sambungan telepon. Lelaki itu hanya menghela napas kasar, sejak kematian ibunya lima tahun yang lalu, rasanya malas sekali dia menemui ayahnya.Bagaimana tidak malas, bahkan sepercik kebencian yang terus tumbuh di hatinya pada lelaki itu sulit untuk membuangnya. Ibunya selama ini sudah menderita karena ulah lelaki itu, sepuluh tahun di selingkuhi, hingga akhirnya wanita paling dikasihinya itu tidak kuat lagi, sakit-sakitan dan akhirnya menghembuskan napas terakhirnya.Diaz selalu meminta ibunya untuk melepaskan lelaki itu, tetapi dengan dalih tidak ingin membuatnya kehilangan sosok ayah, ibunya terus bertahan. Padahal dia juga tidak butuh ayah yang seperti itu. Setelah kematian ibunya, Diaz memutuskan untuk pergi ke luar negeri, kembali melanjutkan studi S2, sambil bekerja sebagai akuntan di salah satu perusahaan internasional, hingga sebulan yang lalu, dia mendengar kabar, istri muda ayahnya meninggal karena kanker, ayahnya memintanya pulang, dia baru mau kembali."Rais, langsung saja ke rumah pak tua itu.""Baik, Pak."Rais menatap sekilas dari spion tengah ke arah bosnya itu, walaupun sudah lama menjadi supir di perusahaan, tetapi dia baru tiga hari menjadi supir pribadi bos barunya ini. Wajah angkuh lelaki muda itu membuatnya sedikit takut, bagaimana dia menyebut ayahnya hanya dengan lelaki tua?Sekitar empat puluh menit, mobil yang Rais kendarai sampai di sebuah rumah besar bergaya eropa ini. Rumah yang sudah dia tinggali bersama ibunya hingga sisa usia wanita itu. Ketika dia turun dari mobil, sosok kecil berlari menyambutnya."Om Diaz! Om Diaz!""Farel! Jangan lari-lari!"Dengan sigap sosok kecil itu memeluk kaki panjangnya, wajahnya mendongak dengan binar terang di matanya."Om Diaz baru datang ya dari LA?"Diaz tersenyum menatap mata bulat keponakannya ini, selama ini hanya Kanaya dan putranya ini yang selalu mengunjunginya di luar negeri, sehingga bocah tujuh tahun ini masih mengingatnya dengan akrab."Iya, Om baru datang."Ada nada bersalah dalam suara Diaz, dia sudah kembali tiga hari, tetapi baru mengunjungi keponakannya ini sekarang, itupun karena ayahnya memaksa. Dengan sigap lelaki itu menarik tubuh kecil ini dan menggendong dengan tangan kanan."Kok rumah kakek ramai banget? Ada siapa di dalam?""Ada banyak tamu, kata Tante Dini, yang datang calon istri Om Diaz.""Ha?"Diaz kembali menatap halaman, lima mobil terparkir di sana, sementara mobil ayah dan kakaknya ada di garasi. Berarti cukup banyak tamu yang berkunjung ke rumah ayahnya ini.Diaz segera membawa Farel dalam dukungannya ke dalam rumah. Ketika dia sampai di pintu masuk, serentak semua orang menatap ke arahnya. Ayahnya yang tengah duduk di sofa tunggal bangkit menyambutnya dengan bangga."Nah, ini dia. Orang yang kita tunggu-tunggu sudah datang."Lelaki itu, Kusuma Hadi Adiguna menepuk punggung putranya dengan antusias, semua orang bertepuk tangan dengan bahagia. Diaz menurunkan Farel dan menuntun anak itu, Hadi langsung mengajak Diaz bergabung bersama mereka. Para pelayan sudah menyiapkan kursi khusus untuk Diaz di samping Tuan Hadi. Pelayan itu langsung menuangkan teh herbal ketika Diaz sudah duduk. "Diaz, ini Pak walikota, Pak Malik Ibrahim. Kamu masih ingat, kan?" tanya tuan Hadi.Diaz menatap lelaki paruh baya di hadapannya, bagaimana dia lupa? Ternyata dia masih menjabat sebagai walikota?"Dia menang lagi pemilu di periode kedua ini lima bulan yang lalu, kamu masih ingat Tania? Putri pak walikota ini?" ujar tuan Hadi lagiDiaz hanya terdiam, pandangannya beralih pada wanita muda di samping istri pak walikota, di sebelahnya Dini terlihat menempel pada wanita muda itu. Dini kini sudah tumbuh menjadi gadis remaja, wajah gadis itu mengingatkan pada wanita pelakor yang merebut ayahnya dari ibunya, gara-gara kehadiran gadis ini di rahim wanita itu, ayahnya terpaksa menikahi wanita itu, sehingga ibunya kesakitan luar biasa.Melihat Diaz diam saja dengan wajah datar, tidak ada seulas senyum yang dia tampilkan membuat Kusuma Hadi sangat keki. Memang Diaz selalu bersikap jutek seperti itu, tetapi putranya ini memang memiliki kualitas yang bisa diandalkan."Diaz, usiamu sudah matang, sudah tiga puluh satu tahun. Sudah saatnya menikah. Kamu jangan terlna dengan pekerjaan, hidup itu harus seimbang ...."Diaz hanya memiringkan kepalanya mendengar perkataan ayahnya, menganggap bahwa ucapan itu adalah hal yang remeh. Membuat Hadi semakin kesal."Jadi kami bermaksud untuk menjodohkanmu dengan Tania. Kalian terlihat sangat serasi, Tania cantik, usianya selisih empat tahun denganmu, kariernya juga bagus di dunia modeling, dari take record keluarganya juga sudah terjamin. Apa lagi yang akan kau cari, Diaz?""Aku sudah memiliki pilihan sendiri, maaf semuanya ... Aku pergi dulu karena ada acara penting yang harus aku hadiri."Tidak memikirkan semua orang, Diaz langsung beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke arah pintu. Semua orang terperangah dengan tingkah pola lelaki itu, sungguh orang yang sombong dan tidak menghargai orang lain."Diaz!! Kita belum selesai membicarakan ini!" teriak Hadi pada putranya yang menurutnya sangat kurang ajar itu, beraninya dia bertingkah seperti ini di depan walikota dan keluarganya? Mau ditaruh di mana mukanya ini."Ayah, sudah aku bilang, aku tidak mau dijodohkan sama siapapun. Urusan mencari pasangan adalah hak kemerdekaanku sepenuhnya. Ayah tidak perlu ikut campur.""Kalau begitu mana? Bawa perempuan itu ke hadapan ayah, sudah sekian lama kami menantinya tapi tak kunjung kau bawakan kami menantu.""Mencari pasangan hidup itu tidaklah segampang membalikkan telapak tangan, kalau dengan wanita sembarangan ya , banyak. Tetapi aku mencari teman hidup untuk selamanya, cukup ayah dan kakak Kanaya saja yang gagal dalam rumah tangga."Tak perlu mendengar perkataan ayahnya lagi, Diaz langsung pergi menuju mobil Ford Everest yang terparkir di halaman rumah mewah itu."Rais, kita pulang sebentar ke rumah, baru kita ke pesta undangan Hilman Widayanto.""Baik, Pak."Mutiara dan Renita turun dari mobil kijang Innova yang disupiri Mang Karman, supir perusahaannya. Mobil yang dikendarainya juga mobil dinas perusahaan. Selama bekerja sebagai general manager di PT Sanjaya Sejahtera ini, Mutiara tidak memiliki mobil pribadi, hanya mobil perusahaan yang menemaninya ke setiap acara perusahaan maupun acar pribadinya. "Kita akan mencari gaun pesta di sini saja, Ren." Renita menatap bangunan ruko sederhana di hadapannya ini. Jelas ini adalah toko baju kelas menengah ke bawah, sebagai seorang istri direktur, kenapa Mutiara memilih pakaian dari kalangan seperti ini? Renita bahkan beberapa kali melihat Tommy membawa wanita-wanita simpanannya ke butik mahal. "Di sini pakaiannya juga bagus-bagus. Tidak perlu mahal untuk mendapatkan barang bagus, uangnya bisa kita sisihkan untuk yang lain," ujar Mutiara seperti paham yang dipikirkan oleh bawahannya ini. "Oh, iya Bu. Saya juga terbiasa belanja di toko seperti ini." Ketika masuk ke toko, ternyata toko itu menye
"Ada apa ini?" Suara bariton yang cukup berwibawa menghentikan tangan Evita yang sempat akan melayang ke pipi Mutiara. Semua orang menoleh ke asal suara, tampak lelaki dengan wajah tegas dan sombong memandang ke arah Evita dengan sengit, beberapa orang tampak segan dan mundur pelan-pelan. Mutia sendiri hanya diam, dia sedikit heran kapan pula lelaki ini datang ke sini? biasanya juga tidak mau menghadiri acara apapun yang diadakan oleh keluarga Mutia."Kak Tommy? eh, anu ... Kapan datang?" tanya Evita dengan gugup."Aku sudah dari tadi, tampaknya kau akan melakukan sesuatu pada istriku, ya?" tanya Tommy dengan sorot mata mengintimidasi "Eh, nggak kok, kita hanya mengobrol biasa saja, iya kan, Mutia?" jawab Evita dengan takut-takut.Mutia yang dibawa-bawa namanya hanya melengos, dia bahkan pergi ke stand makanan seperti yang akan dia lakukan tadi."Aku akan mengambil makanan," ujar Mutia dengan nada tidak peduli."Kalau begitu, silahkan nikmati pestanya kak Tommy, aku akan menyapa tem
Akhirnya Diana hanya bisa menahan amarahnya pada putranya ini. Selama ini Diana berharap agar Tommy mau tinggal bersamanya agar hubungan suami istri ini bisa harmonis, tetapi ternyata putranya sudah membeli tempat tinggal, sehingga Diana tidak bisa sepenuhnya mengendalikan putra dan menantunya."Baiklah, Mama tunggu kehadiran kalian di rumah Mama besok. Jangan mengelak lagi!" Pesta anniversary Hilman masih berlangsung dengan meriah, dipanggung kedua pasangan paruh baya itu tengah memotong kue ulang tahun, disusul tepuk tangan yang meriah. Semua anggota keluarga diminta Hilman ke atas panggung tak terkecuali Mutiara dan Tommy. Semua anggota keluarga menerima suapan cake dari tangan lelaki paruh baya itu. "Mutia, aku minta maaf. Ini, kuberikan minuman soda ini sebagai tanda maaf dariku. Kita ini saudara, sudah seharusnya aku berterima kasih padamu, tetapi selama ini aku selalu memusuhimu."Mutiara cukup terkejut mendengar perkataan Evita. Gadis itu sengaja mendatanginya dan memberikan
Suara berisik dan lenguhan terdengar dari kamar mandi. Mutiara sudah tidak tahan, guyuran air dingin dari kran tidak dapat meredakan rasa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya, justru semakin membuatnya tersiksa. Kamar ini hanya dilengkapi dengan shower, tidak ada bath tub-nya. Tubuh Mutia sudah kedinginan, tetapi rasa aneh itu malah semakin menjadi-jadi. "Ouh!" lenguh wanita itu sambil meraba seluruh tubuhnya. "Ouh, aku kenapa? Ah ...."Ada perasaan nyaman ketika tangannya meraba bagian sensitifnya, perasaan itu menimbulkan sensasi tersendiri yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.BrakTiba-tiba pintu kamar mandi terbuka lebar, tentu saja Mutia terkejut luar biasa. Sesosok lelaki dengan tubuh tegap, rahang tegas dan di tumbuhi bulu-bulu halus, berdiri di pintu dengan mata menyipit menatapnya intens."Hei, siapa kamu? ke_ kenapa masuk ke ... ke sini?" tanya Mutia dengan gugup manakala lelaki itu melangkahkan kakinya dengan perlahan."Pergi ... pergi ...."Dengan tubuh gem
Diaz duduk termenung di kursi kebesarannya, jarinya tak lepas menjepit sebuah rokok, menghisapnya perlahan, asap mengepul di ruangan ini menggumpal, lalu menyebar. Rais terpaksa membuka jendela, sudah sering diingatkan agar atasannya jangan merokok dalam ruangan ber-AC, tetapi lelaki itu mana peduli, akhirnya membuka jendela dan mematikan AC yang bisa Rais lakukan.Sejak pagi Diaz tampak galau dan gelisah, sudah hampir dua bungkus rokok yang dibakar sia-sia. Ketika ditawari makan siang, lelaki itu juga menolak. "Kenapa masih di sini? bukankah kau mau makan siang?" tegur Diaz yang melihat Rais masih berdiri di ruangannya."Apa anda mau memesan sesuatu? Nanti saya bawakan.""Ya, bawakan saja aku makanan yang bisa dimakan!" perintah Diaz dengan asal Kembali asap rokok memenuhi ruangan ini, rasanya Diaz benar-benar bisa gila memikirkan kejadian tadi malam. Malam tadi sebenarnya adalah malam impiannya, bagaimana tidak? Sudah lima tahun dia memimpikan wanita itu dalam rengkuhannya, tetapi
Sampai ruangan Tommy, lelaki itu masih sibuk mengurusi dokumen di tangannya. Ketika melihat Mutiara, lelaki itu langsung meletakkan dokumen dan menatapnya dengan tajam."Kemarin kamu ke mana?" tanya lelaki itu dengan mata tajam.Mutiara sebenarnya gugup mendengar pertanyaan suaminya ini, namun sebisa mungkin dia menampilkan sikap wajar di hadapannya."Aku menginap di rumah Renita," ujarnya dengan nada biasa."Kenapa kau menginap di rumahnya?" buru Tommy dengan tidak puas."Aku bosan! di rumah juga tidak ada orang. Aku akan menginap di rumah mama, tetapi mama belum pulang juga. Aku hanya butuh teman ngobrol dan nonton drama bersama.""Setidaknya kau hubungi aku atau tinggalkan pesan.""Buat apa? selama ini kutelpon kamu juga tidak mengangkat, kukirim pesan juga tidak dibalas. Aku juga punya titik jenuh dan bosan. Bukankah kau melarangku ikut campur masalahmu? seharusnya kau juga seperti itu padaku.""Aku ini suamimu!""Hanya suami di atas kertas. Apa kau memanggilku demi ini?"Tommy te
Siska Artamevia, hanya karena wanita itulah Tommy menjadi orang yang kehilangan kepribadian. Sekarang yang menanggung akibatnya adalah Mutiara. Kewarasan Tommy tergerus semua karena wanita ini. Mutiara memang belum pernah bertemu langsung dengan wanita ini, tetapi dia selalu melihat penampilan wanita ini yang wara-wiri di layar kaca. Sudah tiga tahun wanita ini menetap di luar negeri, bersama suaminya. Tetapi kenapa dia kembali? Mutiara tidak mengikuti berita tentang wanita ini, buat apa juga? Mereka hanya mantan. Tetapi detik ini, Mutiara merasa meremehkan wanita ini mana kala pegangan tangannya di lengan lelaki ini diurai perlahan, sorot mata lelaki ini begitu berbinar menatap ke arah panggung.Apa lagi yang diharapkan pada lelaki ini? Bukankah dia juga sering diselingkuhi dengan banyak wanita? Bertambah satu lagi mantannya, apa bedanya? Mutiara hanya berdecak, selanjutnya dia berjalan perlahan bergabung dengan istri Rio Dewanto, sambil sesekali mengamati pergerakan suaminya.Memang
Sesuai dugaan Mutiara, Tommy memang tidak pulang. Bahkan sampai dua hari. Dia juga tidak pergi ke kantor, pasti mengencani artis itu. Mutiara bersikap biasa saja, dia bekerja seperti biasa, pulang ke rumah seperti biasa. Tidak ada yang berubah di hidupnya. Tommy bahkan pernah pergi selama sebulan waktu berkencan dengan seorang foto model, mereka berlibur ke Pulau Hawai. Ini baru dua hari belum ada apa-apanya. Tetapi yang membuat gerah, pagi ini Clarisa sudah menunggu di ruangannya dengan wajah congkak, seolah-olah dia istri sahnya Tommy."Mau apa kamu ke sini?!" tanya Mutiara dengan nada tidak suka "Kenapa Pak Tommy tidak ke kantor dua hari ini?" tanya Clarisa dengan mengintimidasi."Loh, aku pikir dia pergi ke tempatmu?" "Apa?" Clarisa menyipitkan matanya heran melihat Mutiara yang biasa saja mendapat cercaan darinya."Anda kan istrinya, Bu! tapi anda kok tidak tahu ke mana Pak Tommy pergi, gimana sih?""Aku memang istrinya, tetapi kamu kan kekasihnya? kekasih ... itu artinya orang