"Jena, bangun. Makan dulu, Sayang.""Erngh ...." Jena mengerang tertahan karena Anita mengusap puncak kepalanya dengan lembut. Wajah gadis itu terlihat pucat, badannya pun agak sedikit demam."Kita ke dokter ya, Sayang?" tawar Anita untuk yang kesekian kalinya. Namun, Jena terus saja menolak."Wajahmu terlihat sangat pucat, Sayang. Badanmu juga agak demam. Ibu takut nanti terjadi sesuatu sama kamu dan calon cucu ibu. Kita ke dokter, ya?"Jena lagi-lagi menggeleng. "Tidak perlu, Bu. Jena cuma butuh istirahat.""Tapi, Sayang ....""Ibu jangan khawatir karena Jena baik-baik saja. Jena cuma merasa sedikit pusing."Anita menghela napas panjang. "Baiklah, ibu tidak akan memaksa kamu lagi. Tapi kamu makan dulu, ya?"Anita membantu Jena untuk bangun lantas menata beberapa buah bantal di ujung tempat tidur agar Jena bisa makan dengan nyaman. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu kemudian meraih semangkok bubur yang ada di atas meja."Kamu mau makan sendiri atau ibu suapi?""Jena mak
Kristal bening itu akhirnya jatuh membasahi pipi Jena. Padahal gadis itu sudah berusaha keras menahan air matanya agar tidak jatuh di depan Abi."Jena hanya butuh penjelasan dari Mas Abi. Kenapa Mas Abi malah bersikap kayak gini sama Jena?" Air mata itu jatuh berderai-derai membasahi pipi Jena. Sedikit pun dia tidak pernah menyangka Abi akan bersikap seperti ini pada dirinya. Padahal di awal pernikahan Abi sangat sayang dan perhatian pada dirinya.Abi memperlakukannya dengan sangat baik seolah-olah dirinya hal terindah yang Tuhan ciptakan di dunia ini. Namun, semuanya berubah semenjak Abi pulang dari Semarang. Lelaki itu sekarang bersikap acuh tak acuh pada dirinya. Abi bahkan tidak pernah bertanya lagi tentang perkembangan calon buah hati mereka."Jena minta maaf kalau salah. Tolong maafin Jena, Mas." Jena seperti seorang pengemis yang mengharapkan belas kasihan dari Abi. Jena merasa sangat menyesal dan berharap Abi mau memaafkan kesalahannya.Namun, air mata dan penyesalannya tidak
"Tumben sekali kau membuat macaron. Apa suasana hatimu sedang baik?"Elrangga hanya tersenyum menanggapi ucapan temannya barusan. Dia sengaja membuat macaron karena kue warna-warni itu tidak mudah basi sehingga dia bisa mengirimnya ke tanah air untuk Jena."Kelihatannya sangat enak. Apa aku boleh mencicipinya?""Jangan!" Elrangga menepis tangan temannya dengan sedikit kasar karena ingin mencomot macaron yang dia buat khusus untuk Jena.Perempuan berambut pirang yang berdiri di sebelah Elrangga itu mengerucutkan bibir kesal. "Kau ini pelit sekali!""Biarin," sahut Elrangga cuek. Dia mengambil satu keping macaron lantas mengisinya dengan krim vanila."Waktu berlalu begitu cepat ya, Ga? Nggak terasa sudah enam bulan kau berada di sini. Apa kau tidak ingin pulang?"Tangan Elrangga sontak berhenti mengisi krim macaron karena mendengar ucapan temannya barusan. Sebenarnya Elrangga ingin sekali pulang. Namun, dia takut perasaannya akan jatuh semakin dalam jika bertemu lagi dengan Jena.Elrang
"Tumben sekali Nyonya membuat puding mangga? Apa hari ini ada acara penting?""Tidak ada. Aku sengaja membuat puding mangga ini karena Jena akhir-akhir ini agak malas makan. Semoga Jena mau memakannya." Anita menuang puding yang sudah matang ke dalam loyang lantas meminta tolong pelayan tersebut untuk memasukkannya ke dalam lemari es jika sudah dingin."Kenapa nona Jena akhir-akhir ini sering murung ya, Nyonya? Apa nona Jena sedang bertengkar dengan tuan Abi?"Anita sontak menatap pelayan yang berdiri tepat di sebelahnya dengan tajam. "Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu? Jena tidak mungkin bertengkar dengan Abi karena hubungan mereka baik-baik saja."Pelayan tersebut memilin kesepuluh jemari tangannya karena gugup. "Maafkan saya, Nyonya. Saya cuma ingin menyampaikan apa yang ada di dalam pikiran saya. Sekali lagi tolong maafkan saya," ucapnya takut-takut.Anita menghela napas panjang. "Baiklah, kamu aku maafkan. Tapi lain kali jangan bicara sembarangan tentang Abi dan Jena. Mengert
"Nona Jena sepertinya mengalami tekanan yang sangat berat hingga mempengaruhi kandungannya. Karena itu kami harus mengeluarkan bayinya sekarang demi menyelamatkan nyawa keduanya."Kaki Elrangga mendadak lemas, darah di dalam tubuhnya seolah-olah berhenti mengalir. Padahal usia kandungan Jena baru tujuh bulan, tapi dokter ingin mengeluarkan bayinya sekarang. Bayi Jena masih terlalu kecil dan tidak mungkin kuat jika keluar ke dunia sekarang. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk pada Jena dan calon buah hatinya?Ya Tuhan ...."Apa tidak ada cara lain, Dokter?" Setitik air mata jatuh begitu saja membasahi pipi Elrangga. Dia merasa sangat khawatir dan takut terjadi sesuatu yang buruk dengan Jena.Dokter menggeleng pelan membuat harapan di dalam diri Elrangga seketika lenyap."Karena itu saya ingin meminta persetujuan pada suami nona Jena sebelum melakukan tindakan operasi," jelas dokter tersebut.Tidak hanya Elrangga yang merasa terpukul setelah mendengar penjelasan dokter tetsebut.
"Dea, kalung ini bagus, ya?" Rahayu menunjukkan sebuah kalung emas yang dihiasi batu berlian pada sang anak. "Ibu pengen, deh."Mulut Dea sontak mengaga lebar karena kalung tersebut harganya lima belas juta. "Kalung itu terlalu mahal, Ibu. Dea akan membelikannya tapi tidak sekarang.""Tapi ibu suka sekali sama kalung ini, Dea. Kalau kita tidak membeli sekarang nanti keduluan sama orang lain.""Dea tahu, Bu. Tapi—""Dea, sudah. Biar aku yang membelikan kalung itu untuk ibumu." Abi mengeluarkan sebuah black card dari dompetnya, lantas memberikan kartu tersebut pada petugas. Dia akan membayar semua perhiasan yang Dea dan Rahayu inginkan. Dia bahkan akan membeli toko perhiasan itu jika perlu."Tapi, Mas ...." Dea berusaha menahan, tapi Abi tetap kekeh ingin membayar kalung tersebut.Rahayu tidak bisa menahan senyum karena Abi akan membayar kalung tersebut untuknya. Abi benar-benar baik dan tidak suka perhitungan. Rasanya dia sudah tidak sabar sekali ingin menjadikan Abi sebagai menatunya.
Buah hatinya tidak akan terlahir prematur andai saja dia bisa menjaga kandungannya dengan baik. Rasanya Jena ingin sekali menggantikan posisi sang buah hati agar tidak merasakan sakit. Namun, dia tidak mungkin bisa melakukannya."Maafin ibu ya, Nak. Maafin ibu ...," gumam Jena menahan sesak yang begitu menghimpit di dalam dada. Air mata itu pun jatuh semakin deras membasahi pipinya. Jena merasa sangat menyesal dan bersalah pada buah hatinya. Rasanya Elrangga ingin sekali memeluk Jena lalu mengatakan kalau semua akan baik-baik saja. Namun, dia tidak mempunyai cukup keberanian untuk melakukannya karena Jena masih istri sah kakaknya. Dia hanya bisa mengusap bahu Jena yang berguncang hebat dengan lembut agar perasaan gadis itu sedikit lebih tenang."Seharusnya ibu menjagamu dengan baik, tapi ibu malah membuatmu tersiksa seperti ini. Ibu benar-benar minta maaf, Nak. Tolong maafin ibu ...."Air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipi Elrangga. Dia seolah-olah bisa merasakan kesedihan yan
"Maaf, Pak. Kita sudah sampai." Abi tergagap mendengar ucapan sopir taksi yang mengantarnya langsung dari bandara menuju rumah sakit karena dia terus memikirkan Dea di sepanjang jalan. Sedikit pun Abi tidak pernah menyangka kalau Dea sekarang sedang mengandung buah hatinya. Padahal dia selalu berhati-hati saat berhubungan badan dengan wanita itu dan mengeluarkan spermanya di luar. Akan tetapi Tuhan malah membuat Dea hamil.Abi benar-benar bingung sekarang. Entah kenapa dia tiba-tiba merasa sangat bersalah sudah menyakiti Jena hingga membuat istrinya itu melahirkan buah hati mereka lebih cepat. Rasanya Abi ingin sekali menebus semua kesalahan yang sudah dia lakukan pada Jena dan memperbaiki hubungan mereka agar kembali harmonis seperti dulu. Namun, dia tidak mungkin meninggalkan Dea karena wanita itu sedang mengandung anaknya.Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia menceraikan Jena lalu menikah dengan Dea?Abi tanpa sadar menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran konyolnya barusan