Nyaris saja kaki Eyang terbentur, anak tangga yang bisa dihitung jari itu terasa sangat panjang saat lengan Eyang kuseret masuk. Tak peduli lagi dengan omongan orang yang katanya aku sedang berhalusinasi, karena demi Allah, di ujung halaman itu memang ada sosok yang menyerupai Bagas.“Cepat sedikit, Yang!”Saat itu, aku tidak tahu apakah Eyang menyadari ada yang datang atau memang beliau tidak melihatnya sama sekali. “Kamu tuh kenapa, Neng? Duh, ss!”Eyang masih menengok ke belakang sembari mengeluhkan lengannya. Sementara bang Oar hanya kebingungan, tidak juga banyak tanya. Untung saja lelaki itu tak banyak protes sampai aku mencapai pintu rumah.“Abang pasti juga enggak percaya kalau dia itu kawan bang Hasim.”“Yang kamu maksud itu ada dimana?” tanyanya terheran. Keningnya turut mengerut, sama seperti Eyang. Tidak kusangka, bang Oar juga tidak percaya denganku. Pintu segera kukunci, lalu bergegas ke arah jendela. Kesekian kali aku ingin yakinkan mereka jika sosok Bagas memang ada
Saat penulis memberi QnA, dia pernah bilang hanya aku yang bisa memecahkan siapa di balik sosok bermukenah putih itu. Sejujurnya, ada seseorang yang paling kunanti-nanti selama setahun belakangan ini. Putri, anak Mbak Yauya, anak manis itu pasti punya sebuah cerita dari peristiwa yang menimpaku di masjid dulu. Sayang sekali, dia dibawa pulang ke Bandung dan kami tak sempat bertemu lagi.*Kita kembali lagi pada suatu hari saat kami menuju pulang dibawa oleh dua buah andong. Pagi sebelum Ibu Desi datang menjengukku ke Siliwangi.Sepanjang jalan Rere sibuk mencungkil kacang tanah rebus dari kulitnya sembari menyeletuk percakapanku dengan Kang sopir. Luas perkebunan kopi membuat kelopak mataku enggan berpaling. Jika siang ia memberi nuansa rindang, tak tahu kalau malam.Banyak orang yang bilang padaku kalau aku teramat bodoh harus manut Eyang pulang ke Siliwangi. Mereka tidak tahu kalau hatiku sudah mengikrarkan diri agar ikut kemana Eyang pergi. Sepanjang percakapan kami menjadikan momen
"Jangan percaya takhayul!"Eyang menahan Rere dengan suara tegas, rahangnya yang mulai keriput terlihat menegang saat aku hendak mencari kebenaran tentang apa Rere lihat. Benarkah Pakde datang? Bagaimana bisa Pakde (saudara Eyang) datang kemari?"Kok Eyang marah gitu? Rere serius! Kalau enggak percaya lihat saja sendiri." Rere beranjak menjauh sembari menghempaskan nafas kasar. Baru kali ini aku melihat Rere seperti itu pada Eyang. "Pakdemu sedang bekerja. Luar kota, jauh. Mana mungkin dia bisa datang kemari? Kalaupun dia mau datang, pasti ngirim surat dulu jauh-jauh hari.""Sudah-sudah. Imel akan periksa sendiri."Dengan menenteng pijar di meja belajar Rere aku segera meluruskan langkah. Menuju pintu dengan tatapan nyalang. Di luar sana angin berhembus seperti biasa, dingin, tapi tidak mampu menembus dinding rumah ini. Karena penasaran, aku berjalan menuju ujung teras. Kugoyangkan pelita ke segela arah agar cahayanya menyoroti halaman rumah. Namun, tidak ada tanda-tanda Pakde datang
Malam itu beberapa kali Eyang terbangun. Beliau memeriksa keadaan Rere yang sesekali meringis, sesekali mengigau. Sementara itu, gerimis membawa keheningan sepanjang waktu. Rasa cemas bercampur dengan ketakutan seperti tali pada ranting yang saling menjerat satu sama lain."Tidur saja. Jangan sampai kamu ikut sakit. Eyang mau nunggu subuh.""Enggak bisa merem, Yang. Imel mau cepat-cepat ketemu pagi. Kalau tidur takut mimpi.""Kamu jangan kerasa kepala, Neng. Kamu sakit juga Eyang yang repot," Eyang bersikukuh. Akhirnya, aku merebahkan diri di samping Rere sementara Eyang, dia melangkah ke sudut ruang, mungkin ingin tadarus lagi.Benar. Soal mimpi. Kalau aku coba mengulang dari awal. Mimpi yang beruntun seperti serial film terus datang, lebih lagi saat aku tidur dalam tubuh kelelahan. Mimpi yang seperti menarikku dalam sebuah masa lalu seseorang, sangat suram dan penuh penderitaan. Mimpi yang seolah-olah bisa menjadikan keadaan di sekelilingku seperti sangat nyata. "Yang, apa sering
‘Watri? Siapa Watri?’ Aku tak tahu apa maksud istri Pak Yono menyebutku dengan nama Watri. Suaranya begitu berat dan aku yakin saat itu aku tidak salah dengar.“Saya Imel, bukan Watri, Bukde.”“Watri. Wis teka.”(Watri. Sudah datang).“Siapa Watri?” tanyaku semakin merasa heran saat mendengar ia berbisik-bisik. Dia menyahut namun tak menoleh sedari tadi, wanita paruh baya di sampingku itu terus memandang bacaannya dengan mata tertunduk. Kutunggu beberapa saat tak ada jawaban. Semua orang seperti sedang khusuk membaca Al-Quran.“Imel mau ketemu Eyang dulu ke belakang. Permisi,” ucapku dengan bibir bergetar.Di detik itu, aku merasakan hal berbeda dalam diriku, semakin aku berjalan semakin tubuhku terasa ringan. Pekat salivaku, tegang urat di sekujur lenganku. Tubuhku tiba-tiba seperti helai kain yang terbang. Sementara, wanita yang menyebutku Watri tadi terlihat kembali acuh, dia sama sekali tidak menghiraukanku. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat dari penjuru sudut ruang. Termasuk
Manis sekali dipandang. Namun, ada yang aneh saat aku mendengarnya berbisik. Aku tidak berani menatap nenek itu lebih lama, hanya mencuri pandang. Surat yang tadi masih ada di tanganku segera kumasukkan ke dalam saku. Sejenak hening, terasa mencekam kala tubuh rentah di hadapanku itu bergumam pelan."Mlebu, Cah." Sembari tersenyum.(Masuk, Nak.)"Nggih, Nek."Tidak sadar bibirku mengucap dan membalas. Kemudian aku melihat ia berjalan dan berbungkuk. Namun saat aku membalas ucapannya, tiba-tiba nenek itu terseot-seot ke belakang hingga ia menembus dinding rumah Bang Oar. Aku tercekat, sekujur tubuhku gemetar hebat. Baru sedetik saja aku mengambil nafas, kembali lagi terdengar suara derap langkah di dalam rumah, menuju pintu. Saat itu, aku seperti seorang tamu yang menunggu lama agar dibukakan pintu. Suara langkahnya sangat terburu-buru. Hal itu membuat tungkai lututku semakin lemas."Ya Allah, demit," umpatku sebelum aku akhirnya berlari terbirit-birit. Sialnya lagi, satu sendalku ya
"Imel hanya nemu di kolom meja. Enggak tahu isinya apa."Tak ada jawaban.Saat itulah aku merasa duniaku berhenti. Aku bisa merasakan sentuhan tangan, deru nafas yang berat dari Bibi Lija saat ia memilin-milin lenganku hingga aliran darahku terasa memanas. Darah di dalam tubuhku menjalar seolah berlabu di ubun kepala. Bulir bening menembus pelipisku tanpa bisa kuhalau. Detik ini, aku sedang ditatap Bibi, tidak … Aku tidak yakin dengan siapa aku bertatapan sekarang. Manusia? Jin atau aku hanya kembali berhalusinasi?‘Jangan Imel.’‘Berhenti berlagak tahu.’‘Kamu bukan tandingan bagi sesosok mayit yang bangkit di hadapanmu ini. Lihat dan perhatikan sekali lagi. Dia ... ‘"Lihat, sebentar lagi. Aku bisa hidup bersama denganmu." Tiba-tiba Bibi berbisik-bisik. Suaranya teramat dingin.“Deleng, ing menit. Aku iso manggon karo sampeyan,” sambung suara lirih yang lain.Sekali tarikan nafas bisa membuat dia menyerangku. Seolah aku sedang berada dalam ujung tanduk. Suara yang seperti berasal
"A--apa maksudnya?" Aku tercekat lantas segera berdiri. Merinding, itulah yang aku rasakan. "Duduk dulu, Neng. Eyang bukannya mau nakutin. Sekarang ini, ketakutan itu pantasnya sudah jadi kebiasaan. Kamu harus cari tahu sedikit demi sedikit opo persoalannya, termasuk setiap mimpi yang Eyang lihat.""Mimpi? Eyang mimpi apa tentang aku?""Bukan kamu, tapi iki adikmu. Dia jalan jauh sekali tapi tidak pernah berhenti. Bayangannya hilang, sering muncul tapi kebalek. Rere jalan ke kanan, bayangannya jalan ke kiri. Itu, menandakan kalau adikmu benar-benar sudah dikuasai oleh perempuan itu. Kamu kirim surat ke Utami, suruh ke sini. Pakdemu, Pur juga."Eyang terlihat lengah, ucapan dan tugas kecilku itu seakan-akan adalah jadi kalimat yang paling berat untuk aku terima. Aku tahu bahwa kini, Eyang Ratu sudah berada dalam kondisi yang lemah. Tapi, dia tidak mampu berbuat banyak. Sama seperti aku yang hanya bisa meredam semuanya. "Imel pengen samperin Bang Oar, Yang. Tapi Rere enggak bisa ditin