Share

JSO 7

Selesai rutinitas malam, Ratih merebahkan diri di kamar. Ia membuka ponsel yang sudah beberapa saat terabaikan. Pesan dari Damar yang sudah masuk dari tadi baru sempat ia buka.

Tidak membalas pesan itu, Ratih justru membuat story w******p. “Terima kasih untuk hari ini, hari yang sangat melelahkan.“

[Belum tidur?] Selang dua menit, Damar mengirimkan pesan lagi.

[Sebentar lagi.]

[Aku yang harusnya mengucapkan terima kasih. Terima kasih sudah mau menemuiku.] Damar menambahkan emoticon tangan saling bertautan.

[Sama-sama. Aku juga mau ngucapin makasih. Makasih sudah membawaku ke Dokter. Tapi ....]

[Tapi kenapa lagi?]

[Kenapa kamu bayar taksinya mahal sekali?]

[Hahaha, aku kira apa. Biar saja, itu rezekinya bapak sopir taksi. Kasihan, dia kerja sampai malam.]

[Gajiku satu minggu saja nggak sampai segitu.]

[Memangnya berapa gajimu di toko?]

[Sudah nggak usah dibahas. Aku tidur dulu, ya!]

[Sebentar!]

[Apa lagi?]

[Apa kamu nggak punya keinginan menikah lagi?]

Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba bayangan almarhum suaminya melintas. Rea dan Kinar sangat dekat dengan bapaknya. Bahkan setelah tiga tahun, Kinar masih sangat rutin mengunjungi makam bapaknya. Ratih tidak akan mungkin tega menggantikan sosok cinta pertama mereka dengan orang lain.

[Kenapa tidak dibalas?]

[Aku belum kepikiran sampai ke sana. Bahkan belum pernah berpikir untuk hal itu.]

[Kamu butuh seseorang untuk membantumu mencari nafkah. Masa depan Rea dan Kinar butuh banyak biaya.]

[Kenapa kamu sangat ingin tahu kehidupanku. Sementara satu pertanyaanku saja tidak pernah kamu jawab.]

[Pertanyaan yang mana?]

[Apakah kamu punya keluarga? Maksudku, punya istri? Aku tidak mau satu hari nanti dilabrak orang karena membalas chat suaminya.]

Membaca chat dari Ratih, Damar mengerutkan kening, lalu ia tersenyum. Damar mencari foto Clarisa lalu mengirimkannya ke Ratih.

[Cantik, 'kan?]

[Sangat cantik, dia siapa? Istrimu?]

[Bukan, dia ... namanya Clarisa, dia putriku satu-satunya. Sekarang sudah berumur 19 tahun, dia kuliah di Itali.]

Ratih menutup mulutnya. Ia terkejut dengan pengakuan Damar. Damar punya seorang anak perempuan yang sudah berusia 19 tahun. Ratih mulai menerka berapa usia Damar saat ini. Jika dilihat secara langsung kemarin, usianya belum ada empat puluhan.

[Istrimu?] Ratih mengulangi pertanyaan tentang istri Damar. Namun sampai sekian menit Damar baru membalas chatnya.

[Besok kalau kita ketemu lagi, aku akan ceritakan semuanya. Besok aku sudah janji jalan-jalan sama Clarisa, dia di Indonesia hanya satu minggu dan aku hanya cuti tiga hari.]

[Memangnya kita akan ketemu lagi?] tanya Ratih sebal. Hanya menjawab satu pertanyaan saja, Damar terus menerus menunda. Seperti ada yang ia sembunyikan.

’Jangan-jangan dia memang suami orang.’ Ratih membatin.

[Memangnya kamu nggak mau ketemu aku lagi?]

[Tergantung. Sebelum aku tahu statusmu, aku tidak mau menemuimu. Aku tidak mau menganggu rumah tangga orang.]

[Baiklah, aku tidak akan mengganggumu lagi!] jawab Damar singkat.

[Itu artinya kamu punya istri, 'kan?] Ratih kembali bertanya. Namun, tak ada jawaban lagi dari Damar.

Sampai lima belas menit berlalu. Satu balasan kembali masuk ke ponsel Ratih. Damar mengirimkan foto rumah Ratih yang diambilnya tadi, dan itu membuat Ratih refleks terduduk.

"Hah, berarti tadi ...?“ Ratih berucap lirih sambil menepuk keningnya.

[Kamu mengikutiku?] tanya Ratih cepat. Kembali tak ada jawaban, Ratih mengirim pesan lagi [Nggak usah kamu ikuti, aku tetap akan membayar hutangku, nggak usah khawatir!]

Sepanjang malam Ratih kembali bergelut dengan pikirannya. Ia ingin sekali memblokir nomor Damar, tetapi kalau ia blokir, bagaimana nanti cara ia membayar hutang? Kalau tidak diblokir, Ratih takut kalau Damar benar-benar suami orang. Clarisa adalah bukti kalau Damar memiliki seorang perempuan, entah itu sudah menjadi masa lalu, atau masih ada sampai detik ini.

Ratih membuang napas kasar. Matanya menatap genting rumah. Ia mulai berhitung, berhitung hingga ratusan, sampai matanya mengatup. Menutup lelah hari ini.

***

“Bagaimana kemarin, Tih? Damar orang baik, 'kan?“ tanya Mirna saat Ratih sudah sampai di tempat kerja.

“Iya, dia orang baik,“ jawab Ratih singkat.

“Kalian pergi ke mana saja?“

“Dia membawaku ke Dokter. Membayariku taksi, lalu aku pulang. Sudah cuma itu.“

“Apa iya cuma begitu?“ cecar Mirna.

“Kamu boleh tanya sendiri ke Damar. Aku nggak bohong.“

“Dia nggak ngajak kamu makan apa gitu?“

“Kami makan, kok. Makan angin!“ Jawaban Ratih mengundang tawa Mirna. Ia menepuk-nepuk bahu sahabatnya.

“Tapi dia tampan banget, Tih. Seperti artis. Perawakannya seperti orang kaya. Tapi kenapa dia pelit sekali, ya? Masak ngajak perempuan pergi nggak ngajak makan apa-apa. Huh, payah!“

Kali ini, Mirna yang mendapat tepukan dari Ratih. Temannya yang satu ini kalau bicara memang suka kelewatan.

“Dia memang tidak mengajakku makan, tapi dia membayariku ongkos Dokter dan taksi. Kamu tahu berapa dia membayar taksi untukku?“

Mirna menggeleng. Ia mengerutkan kening.

“lima ratus ribu,“ imbuh Ratih yang seketika membuat mata Mirna membulat sempurna.

“Dia terlalu baik atau sakit jiwa, sih, Ratiiih?“ Mirna menepuk-nepuk kepalanya.

Ratih tidak menjawab lagi, karena di saat yang sama Galuh datang.

“Ratih, tolong turunkan barang yang ada di mobil, ya! Nanti kalau agak senggang dikemas sekalian kasih harga. Oiya, nanti siang aku mau ke Semarang, uang toko antar ke rumah, ya, Mir. Jangan dibawa pulang!“

Ratih dan Mirna gegas mengangkati barang yang ada di mobil. Mengangkat barang yang berat-berat, dengan medan yang naik turun dan kondisi kaki yang masih sakit, Ratih meringis menahan sakit.

“Ratih, maaf sebelumnya. Mulai minggu ini gaji kamu aku potong sedikit-sedikit untuk membayar hutangmu, ya. Sebentar lagi aku mau bayar sewa toko, uang sewa toko masih kurang. Kalau aku minta semua kamu juga pasti nggak punya, 'kan?“

Ratih mengangguk. Ia memang masih punya hutang sama Galuh, totalnya hampir satu juta. Kalau gaji Ratih dipotong, itu artinya ia harus lebih berhemat biar sisa gajinya cukup untuk makan dan uang saku anak-anak.

“Iya, Luh. Potong saja nggakpapa. Aku yang harusnya minta maaf, sudah lama belum bisa bayar hutang.“

"Iya nggakpapa, ini kalau juga nggak terpaksa nggak aku tagih juga.“ Usai mengucapkan itu Galuh pamit pergi. Kebetulan pembeli lumayan ramai, sampai-sampai Ratih dan Mirna melewatkan makan siang.

Sudah pukul dua siang. Seorang sopir ojek online datang mengantarkan makanan.

“Benar ini toko Galuh? Mbak Ratihnya ada?“

“Iya, saya, Pak. Ada apa, ya?“

“Ini pesanannya!“

“Apa, Pak? Tapi saya nggak merasa order makanan, Pak.“

“Tapi ini ada namanya Mbak Ratih dan ini alamatnya juga benar. Sudah dibayar, kok, Mbak. Ini barangnya!“

“Tapi saya nggak pesan, Pak!“

“Berarti ini rejeki, Mbak Ratih. Ada yang berbaik hati mengirimkan makanan. Ya sudah, Mbak. Saya permisi, ya!“ Sopir ojek online itu gegas pergi usai meletakkan makanan di meja kasir.

Karena penasaran, Ratih dan Mirna membuka isinya. Dua bungkus nasi ayam geprek, dan dua cup kopi capucino.

"Dari siapa, Tih?“ tanya Mirna.

"Entahlah!“

Ponsel Ratih bergetar, ada sebuah pesan masuk.

[Makan dulu! Jam makan siang sudah lewat, jangan biarkan cacing di perut kalian kelaparan!]

Ratih berlari keluar, ia menengok ke kanan dan kiri berharap melihat si pengirim makanan sekaligus pengirim pesan itu. Namun, hasilnya nihil.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status