Erica tidak sengaja bertemu dengan Mr. Jaxx, pria tampan dan memesona dengan segala kepunyaannya. Namun, siapa sangka wajah rupawan itu banyak menyimpan rahasia mengerikan yang bahkan tak pernah Erica bayangkan? Bahkan saat mencoba memastikannya, Mr. Jaxx justru menyeringai. “Sama atau tidaknya aku dengan mereka, kau tetap tak bisa lari dariku. Katakan kalau kau melupakan sesuatu, Erica. Aku bisa membantumu mengingat semuanya lagi.”
Lihat lebih banyak“Aku mendengar kalau tanah yang kubeli kemarin, tidak jadi dibangun menjadi kompleks perumahan, akan beralih fungsi menjadi galeri seni. Apa itu benar, Mr. Scott?”
Mr. Scott terkekeh sebelum menjawab pertanyaan itu, “Kurasa semua itu di luar tugasmu. Apakah kau cukup senggang akhir-akhir ini?”
“Tidak. Aku hanya kawatir kalau galeri seni tidak banyak menghasilkan uang, di zaman seperti ini semua orang ingin memiliki rumah sendiri dari pada pergi ke galeri seni. Aku kawatir Mr. Scott tidak teliti sampai pindah haluan begitu cepat.”
Mr. Scott terkekeh lagi, “Sepertinya aku terlalu memanjakanmu sampai kau berani tidak sopan padaku. Apa pun keputusan yang kuambil, sepenuhnya memang keinginanku, kerugian sekecil apa pun, juga tanggung jawabku. Jadi, lakukan saja tugasmu dengan benar dan kau akan mendapatkan bayaran dariku. Bukankah itu cukup jelas?”
Menutup sambungan telepon begitu saja dan membuang ponsel ke kursi belakang. “Aku butuh kopi sekarang.”
Sopir menatap kaca di atas untuk melihat bosnya, “Baik, Mr. Jaxx.” dan menepikan mobil ketika melihat kedai kopi terdekat.
Seseorang yang duduk di samping kemudi, segera turun dan masuk kedai kopi, “Americano satu.”
Gadis muda dengan pita merah muda besar itu pun tersenyum, “Akan siap sebentar lagi.”
Wanita lain, pemilik kedai kopi, ikut tersenyum juga saat pembeli menoleh, “Silakan duduk.”
Pria itu hanya mengangguk tanpa bergerak ke mana pun dan mengeluarkan buku agenda untuk membaca jadwal Mr. Jaxx, “Galeri Aganta. Kuharap tidak terlambat.”
“Silakan kopi Anda.”
Pria itu langsung membayar dan pergi tanpa peduli dengan kembalian jika ada. Di luar, Mr. Jaxx baru saja turun dari mobil, dia langsung memberikan kopi itu, “Kita harus segera ke Galeri Aganta sebelum jam empat.”
“Ya, karena itu aku menyusulmu. Apa kopinya disangrai dulu sampai selama ini?” Jaxx langsung meneguk kopinya. Lidahnya seperti baru saja bertemu dengan air comberan. Dia ingin memuntahkannya, memandang sekeliling untuk mencari tempat yang pas, dan malah bertemu dengan dinding kaca besar dengan gadis yang menatapnya melongo. Melihat gadis itu ada di belakang meja, dia yakin kalau kopi ini buatannya, Jaxx pun membuka penutup kopi dan menuang semua isinya keluar, “Ayo!” Melempar gelas kopi yang sudah kosong begitu saja dan masuk mobil.
“Erica!” Jessie, pemilik kedai kopi, berteriak saat Erica berlari ke luar, “Apa dia belum membayarnya?”
Erica yang masih melihat ke arah mobil, menggeleng, dan segera berbalik, “Bu Jessie, apa aku boleh izin hari ini? Ada hal penting yang harus kuurus. Aku akan datang lebih awal besok.”
Jessie mengerutkan kening, “Apa ada masalah? Kamu baik-baik saja?”
Erica tersenyum, “Ya, aku ... aku hanya ... perlu mengurus sesuatu.”
Jessie ikut tersenyum, “Pergilah. Jaga dirimu.”
Erica langsung masuk untuk melepas celemek dan mengambil tas, lalu berlari ke Galeri Aganta, “Aku tidak boleh kehilangan dia. Aku harus cepat.” Sesampainya di Galeri Aganta, Erica mencari pria tadi sambil menata napas, dan mendekat. Tak hanya itu, bahkan dia berdiri di samping pria tadi, ikut menatap apa yang tengah dilihat, dan tersenyum saat lukisan telanjang nan indah, tertangkap sempurna oleh matanya juga.
“Galeri Aganta akan tutup jam empat. Pengunjung dihimbau segera keluar dan datang kembali besok. Kami mohon maaf dan terima kasih.”
Jaxx menghela napas mendengar himbauan itu. Dia menoleh, melihat siapa yang berdiri di sampingnya, tersenyum, dan berkata, “Kau bahkan bisa merasakan gejolak yang sama saat melihatnya, meski terkesan canggung atau bahkan malu, kau tetap harus menikmatinya.” Menoleh lagi ke lukisan di depannya.
Erica mengangguk, “Ya, aku juga begitu. Bagaimana denganmu?” tanyanya sambil menoleh.
Jaxx menghela napas lagi, “Aku tidak tahu. Aku tidak mengerti seni. Orang-orang mengatakan kalau lukisan ini sangat detail dan hidup, tetapi aku tidak yakin dengan apa yang mereka bicarakan. Bagiku, lukisan ini hanya karya telanjang yang tidak pantas. Semua orang seolah memuja Cleopatra, harus bangga dan berharap bisa melayani sekali seumur hidup, padahal dia sendiri tak menyadari sebesar apa dirinya hanya menjadi budak nafsu saja. Apa kau sepikiran denganku kali ini?” Merasa cukup memandangi lukisan Cleopatra dengan dikelilingi lelaki yang sama-sama tanpa busana, Jaxx menoleh ke gadis itu untuk menunggu jawaban atas pertanyaan yang baru saja diajukan.
Erica tersenyum, “Semua lukisan memiliki makna yang indah. Meski mereka telanjang, pelukis sengaja melukis seperti itu agar orang yang melihatnya langsung mengenali Cleopatra. Tak hanya itu, semua lukisan di galeri ini, pasti memiliki ceritanya sendiri, terkadang apa yang terlihat dengan mata, hanya ada di permukaan, banyak yang berbanding terbalik dengan hati.”
"Sepertinya aku juga harus melihat hatimu." Jaxx mengisyaratkan anak buahnya agar menyergap Erica.
“Akh!” Erica berusaha melihat siapa orang yang mendorong dan mengunci tangannya, tetapi dagunya ditarik hingga dirinya hanya menghadap ke pria rupawan di depannya.
Jaxx tersenyum, “Bukankah kau barista tadi? Apa yang kau cari di sini? Kau bekerja untuk seseorang? Apa kau mata-mata?”
Erica jadi gugup oleh pertanyaan itu, “Bukan! Aku mahasiswa yang bekerja paruh waktu ... aku hanya ... tertarik padamu.”
Jaxx tersenyum semakin lebar, “Lalu kau mengejarku untuk melihat apa pun yang kumiliki atas ketertarikanmu?”
Erica mengangguk, “Kau ... sangat tampan, karena itulah aku ingin melihatmu lagi.”
Jaxx tertawa, “Kau sangat sesuatu, ya? Sayang sekali, itu tidak cukup untuk merayuku.” Jaxx melepaskan dagu gadis itu dan mengisyaratkan agar anak buahnya memeriksa tas.
Abi, yang biasa menyopiri Jaxx, langsung mengeluarkan semua isi dari tas tersebut, “Tidak ada pistol atau apa pun, pisau, gunting juga tak ada, alat penyadap juga tak ada.” Mengambil dompet dan memberikannya ke Jaxx.
“Erica Jasmine. Mahasiswa seni rupa murni.” Jaxx tersenyum lagi setelah membaca itu, mengembalikan tanda pengenal ke dompet, dan melemparnya, “Lepaskan dia. Kita tidak punya waktu sekarang.”
Bill, yang biasa mengurus jadwal Jaxx, mengetukan kening, “Mr. Jaxx, banyak orang yang mengirimkan mata-mata untuk mendekati Anda, kenapa Anda melepaskannya begitu saja? Bisa saja dia salah satu dari mereka?”
“Lepaskan saja. Aku hanya ingin. Kita juga sedang sibuk, kan?” Jaxx melihat Erica mengemasi barang yang berserakan. Gadis itu memang cantik, sulit dipercaya kalau mengejar hanya karena tertarik padanya, tetapi Jaxx juga tidak yakin kalau Erica jahat. Pakaian itu terlalu biasa untuk seorang mata-mata.
Erica berdiri dengan membawa tasnya, “Aku permisi.” Berlari menjauh, kejadian ini membuatnya gugup dan berdebar, dia harus menenangkan diri.
Jaxx terus mengawasi Erica hingga melihatnya masuk kamar mandi. “Ayo!” berjalan lebih dulu ke luar.
Ponsel di saku Bill berdering, membuat ketiganya berhenti, “Ya, ini Bill. Kami sedang bersama Mr. Jaxx. Ada apa?”
Ana meletakkan secarik kertas itu di pangkuannya dan membuka buku yang diambil tadi, “Ini ... tulisan tangan?” Ana membuka halaman secara acak, “Apa ini catatan harian? Punya siapa?” Ana membalik halaman lain. Meski tidak tertera tanggal, hari, atau bahkan tahun, catatan yang tertulis di dalam buku ini seperti curahan isi hati seseorang. Pelayan mengetuk pintu dan masuk, “Nona Ana, makan siang sudah siap.” Ana berdiri dengan membawa buku itu, lalu ke ruang makan, “Jaxx sudah pulang?” “Belum, Nona. Saat Mr. Jaxx pergi, biasanya beliau akan kembali setelah senja atau malam.” Ana menghabiskan makanannya, kembali ke kamar untuk bersiap, dan keluar dengan tas yang sudah menampung barang-barang pentingnya, “Katakan ke Jaxx, aku hanya pergi sebentar, aku akan kembali nanti malam, dan tetap akan pergi ke Aganta besok bersamanya.” “Baik, Nona.” Ana langsung keluar dari rumah Jaxx dengan naik taksi. Di Aganta ... Johan menemui Erica untuk melihat sejauh mana lukisan itu selesai, delapan
Panggilan itu sungguh menggetarkan hati. Entah berapa tahun lamanya Jaxx tidak mau memanggilnya ‘madam’ dan hari ini meski dia tahu Jaxx hanya berpura-pura, nyatanya Rose begitu menyukai panggilan itu. “Aku hanya ingin heroin itu kembali seutuhnya, sedangkan harta karun di Aganta, setelah jatuh ke tanganku, aku akan pergi bersama semua anak buahku. Tidak akan ada satu pun orang yang mengusikmu atau Mr.Scott sekali pun setelah ini.” Rose merapikan rambutnya agar terlihat tetap cantik meski usianya sudah senja. Jaxx tertawa, “Ide yang licik sekali.” Mungkin kalau yang memberi tahunya bukan Rose, Jaxx akan terpingkal-pingkal, tetapi kalau Rose sendiri di depannya begitu, Jaxx bisa apa? “Apa hanya aku yang licik? Bagaimana dengan Scott yang juga tidak mau mengembalikan heroin dan membagi harta karunku di Aganta? Apakah itu namanya tidak licik? Bagaimana kamu menyebutnya, Jaxx?” Rose tidak mau terlihat paling jahat di sini. Jaxx menggeleng, “Aku tidak bisa menjawabnya karena aku tidak t
Mandor itu tersenyum kecut, “Tuan Hans bertanya apakah akhir-akhir ini ada sesuatu yang ditemukan di kontruksi? Anda sedang sakit dan Mr.Scott tidak di tempat, kalau Anda sibuk, tuan Hans bisa menjaga tempat ini agar tetap aman.” “Lalu?” Jaxx mengeluarkan rokok dan menyulutnya. “Saya menjawab Anda sudah sembuh dan penjagaan di sini masih aman. Tidak ada penemuan apa pun selama saya bekerja di sini, kami hanya ditugaskan Mr.Scott untuk membangun museum seni, taman bacaan yang nyaman dan cocok untuk anak muda, itu adalah bangunan yang tidak membutuhkan penjagaan ketat, tetapi tuan Hans meninggalkan seorang anak buah untuk memata-matai, bahkan dia juga pulang hampir sama dengan para pekerja kemarin.” Jaxx tersenyum, “Apa sekarang dia ada di sini?” Mandor itu mengangguk, “Di dalam mengawasi pekerja.” Jaxx menunjuk bangunan setengah jadi itu dengan kepala agar mandor menuntunnya menemui anak buah Hans. Melihat pria mengenakan jas dari kejauhan, anak buah Hans bisa menebak kalau itu J
Hans tersenyum, mengusap punggung Erica hingga bajunya tersingkap, dan melepas pengait bra. “Aku bisa menceritakannya lagi nanti, Erica.” Memagut bibir Erica sambil terus menggerayangi punggung hingga pindah ke pantat. Bukan tak mau cerita, hanya saja Hans bimbang, secepat inikah Erica mencintainya? Sedangkan dia tahu dengan baik seperti apa Erica menghalanginya membawa Jaxx waktu di rumah sakit. Pasti ada yang disembunyikan, tetapi apa? Erica tersenyum, duduk di atas Hans, dan mengusap dada itu, “Apa kamu tidak lelah?” Hans terkekeh, “Untukmu aku tidak akan lelah.” Membiarkan Erica membantunya melepas baju, bahkan saat jemari itu mencoba membuka celananya, Hans tetap diam, dan menikmati. Erica mengeluarkan milik Hans, “Jangan salahkan aku kalau kamu besok bangun terlambat, Hans.” Menurunkan diri untuk mengulum milik Hans yang belum bangun. “Hmm ....” Hans mengusap kepala Erica, saat wajah itu menoleh padanya, dia tersenyum. Hans akan menikmati apa pun permainan yang Erica jebak u
Jaxx sedang menikmati bir saat langkah kaki mendekat. Meski tak menoleh, dia cukup yakin kalau itu adalah Abi, sepertinya yang ditunggu sudah datang. “Selamat sore, Mr. Jaxx. Maaf membuat Anda lama menunggu, ada sesuatu di markas, tetapi aku dan Bill sudah mengatasinya.” ucap Abi. Jaxx mengangguk untuk menjawab laporan itu. “Aku ke sini dengan nona Ana, beliau di ruang tamu, apakah Anda ingin aku mengantarnya ke sini?” Barulah Jaxx menoleh, “Aku akan ke sana.” Membawa juga bir di tangan dan menemui Ana yang sudah duduk dengan teh dan kudapan di meja tamu, “Apa Abi berkendara dengan baik tadi?” Ana mengangguk, “Kenapa kau menyuruhku ke sini?” “Apa hubunganmu dengan Mr.Scott?” Jaxx enggan duduk, dia malah bersandar di bufet sambil menggoyang-goyang gelas yang dipegangi dari tadi. Ana terkekeh, “Pertanyaan itu benar-benar tidak sopan.” Jaxx menarik salah satu sudut bibir, “Sopan atau tidak, aku berhak tahu kenapa kau terus mencari Mr.Scott karena aku adalah anak angkatnya.” Jaxx
‘Brak!’ Johan kaget bukan main saat pintu ruang kerjanya dibuka paksa dari luar dan setelah orang itu mengutarakan tujuan, dia lebih terkejut lagi, “Apa?!” “Kalau kau tidak menjualnya aku bisa menghancurkannya sekarang.” “Ti-tidak, bukan begitu, ak-aku akan mengurus surat-suratnya dengan cepat.” Johan membuka laptop dan mengurus surat-surat yang diperlukan. Jaxx ... menekan rokok di asbak saat dokter pribadinya datang. Membuka kancing kemeja dan melepas juga sebelum dokter itu duduk di sampingnya. Berdecap, “Aku sudah menyuruhmu mengurangi rokok, kan? Apa kamu mau cepat mati?” Jaxx tertawa, “Seperti yang kamu katakan, bahkan terkadang aku tidak tahu apa tujuanku hidup di dunia ini. Semua seolah berjalan bukan tentangku dan aku pun tidak tahu apa yang kucari.” “Itulah kenapa kau harus mencari pendamping. Wanita yang sesuai dengan seleramu dan bisa menerimamu apa adanya.” Jaxx tertawa lagi, “Omong kosong.” Dokter itu mulai mendekat dan memeriksa luka Jaxx, “Jangan terlalu keras
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen