LOGINDemi menyelamatkan keluarganya dari kebangkrutan, Sara Clementine harus menikah dengan Matthew Stanley, seorang ahli waris tunggal kerajaan bisnis Stanley Group yang terkenal dingin dan tak tersentuh. Bagi Sara, pernikahan itu tak lebih dari sebatas kontrak. Ia tak mengenal Matthew, dan tak berharap apapun darinya. Namun, di balik sikap acuh dan pandangan tajam pria itu, tersembunyi masa lalu yang tak pernah Sara bayangkan.
View MoreHujan deras mengguyur kota San Francisco malam itu, seperti ikut meratapi nasib Sara Clementine yang duduk membeku di ruang tamu rumahnya.
Telepon rumah terus berdering, silih berganti dengan suara ketukan pintu yang tak pernah berhenti sejak sore. "Sara! Jangan dibuka!" seru Harold Clementine dengan suara serak. Pria paruh baya itu tampak jauh lebih tua dari usianya. Rambutnya berantakan, kemeja lusuh masih menempel di tubuhnya sejak kemarin. Ia menutup tirai jendela dengan tangan gemetar, seolah berharap itu bisa mengusir kenyataan. "Papa." Sara hanya menunduk. Hatinya berdegup kencang, tapi bukan karena takut. Lebih kepada marah dan frustasi. Sudah tiga minggu hidup mereka dihantui ancaman dari para penagih hutang. Dan baru hari ini ia tahu bahwa jumlahnya mencapai 3 juta dollar. "Aku bisa cari pekerjaan lagi," ujar Sara pelan. Tatapannya sendu, tak tega melihat sang ayah terus-menerus terpuruk seperti itu. "Mungkin kita bisa cicil pelan-pelan." "Sara," potong Harold cepat. Kepalanya menggeleng kuat. "Ini tidak sesederhana itu. Ini ... ini bisa masuk ranah hukum. Mereka membawa preman. Papa—" suara Harold patah, dan untuk pertama kalinya Sara melihat air mata jatuh di pipi lelaki yang biasanya tegar itu. Sara menahan napas. Perutnya terasa mual. Hatinya terasa diremas kuat oleh sesuatu. "Jadi? Apa solusinya? Apa solusi untuk masalah kita, Pa?" tanyanya lirih. Harold terdiam lama sebelum akhirnya mengeluarkan secarik kartu nama dari sakunya. Tangannya gemetar saat menyerahkannya kepada putri semata wayangnya. "Dia bisa bantu melunasi semua utang kita. Tapi ... ada syaratnya." Sara membaca nama di kartu itu. Matthew Stanley. CEO Stanley Group. Nama yang sering ia dengar di berita-berita mengenai bisnis. Ahli waris tunggal keluarga konglomerat yang dikenal tertutup dan tak pernah muncul di publik tanpa alasan. Ia mengangkat wajahnya, bingung. "Apa syaratnya, Pa?" Harold menghindari tatapan putrinya sendiri, sejujurnya, ia tak tega untuk mengatakan hal ini kepada Sara. Tetapi, ia benar-benar tak memiliki pilihan lain selain itu. "Syaratnya adalah … kau harus menikah dengan pria itu, Sara." Detik itu juga dunia Sara terasa berhenti berputar. Ia menatap Harold tak percaya. "Papa tidak berniat menjualku, kan?" Sara mengambil langkah mundur, kakinya terasa lemas sekarang. Memikirkan bahwa mungkin saja sang ayah akan melakukan hal nekat itu demi melunasi hutang-hutang keluarganya, membuat Sara takut sekaligus tak percaya. Harold menggeleng cepat, "Tidak, tentu saja tidak. Hanya kau yang Papa miliki di dunia ini, Sara. Tapi … hanya itu satu-satunya cara yang bisa Papa pikirkan." Pria itu tertunduk, pipinya kembali basah. Hanya Sara satu-satunya harapan yang ia miliki sekarang. "Maafkan, Papa." Sara menatap Harold tak percaya. Kepalanya terasa berputar-putar. Kenapa kehidupannya bisa jatuh terpuruk hingga sedemikian kelam? "Aku … aku akan memikirkannya lebih dulu," kata Sara pada akhirnya. Kemudian, ia melangkah naik ke atas. Kakinya menaiki undakan tangga dengan gontai. Apakah ia harus menyerahkan hidupnya pada pria asing yang bahkan tidak dikenalnya? Tapi, jika ia menolak. Bagaimana dengan keadaan ayahnya? Sara sangat menyayangi Harold, hanya pria paruh baya itu yang ia miliki sekarang. ••• Malam kian larut, rintik-rintik hujan masih terdengar menampar jendela kamarnya. Petir menggelegar, kilatnya menyambar-nyambar langit. Udara San Fransisco kian dingin, sementara Sara masih termenung di kamarnya. Terangnya lampu kamar tak lantas membuat pikiran Sara jernih. Ia kesulitan untuk memutuskan, terlebih lagi dengan waktu yang semakin sedikit. "Kalau bisa, cepatlah ambil keputusan, Sara. Waktu kita tidak banyak. Jika kau setuju, Papa akan langsung menghubungi Tuan Matthew." Perkataan Harold kembali menghantui dirinya. Kepalanya sudah berdenyut sejak tadi, mencari pinjaman dan melunasi hutang tiga juta dollar atau menikahi ahli waris itu. Sara tak pernah berpikir bahwa ia harus dihadapkan dengan pilihan sulit seperti ini. Sebelumnya, bisnis Harold meningkat pesat, ia dan ibunya hidup dengan layak dan serba berkecukupan. Tapi semuanya langsung kandas kala Harold tertipu oleh rekan bisnisnya sendiri. Penipuan itu membuat perusahaan Harold merugi dan harus membayar penalty yang besar. "Satu-satunya yang kami miliki hanya rumah ini. Tapi, walaupun rumah ini dilelang, uangnya tetap tidak akan cukup untuk melunasi utang tiga juta dollar itu," monolog Sara. "Apakah benar-benar tidak ada cara lain lagi? Oh, Tuhan. Tolonglah aku!" katanya lagi frustasi. Sara meraih ponselnya, mencoba menghubungi teman atau kerabat mereka untuk meminta bantuan. Tetapi, berulang kali mencoba pun, tak ada satu dari mereka yang mengangkat telepon darinya. Sara makin frustasi dan tertekan. "Sepertinya aku memang tidak memiliki pilihan lain," lirih Sara. Pikirannya menerawang jauh. Dengan tekad yang sudah bulat, ia meganyunkan kakinya turun, mencari keberadaan Harold untuk membicarakan keputusannya. Ia berdiri di ambang pintu, tangannya siap mengetuk saat seseorang di dalam langsung membuka pintu. Harold muncul dengan wajahnya bersimbah keringat. "Papa! Papa kenapa?" tanyanya panik.Langit sore terlihat berwarna tembaga ketika Matthew duduk di ruang kerjanya, menatap undangan berlapis kertas tebal yang baru saja diantarkan oleh salah seorang kurir. Logo keluarga yang terukir dengan tinta emas tampak mencolok di bagian depan. Matthew menatap nama pengundang itu cukup lama. Nathaniel Beckett, seorang kolega bisnis lama, pemilik perusahaan besar yang berperan penting dalam pengembangan proyek Matthew di pusat kota. Acara itu bukan sekadar pesta biasa. Itu ajang penting bagi para pengusaha, tempat di mana kesepakatan bisnis sering kali lahir di tengah lantunan musik klasik dan gelas sampanye.Namun malam itu, bagi Matthew, pesta itu lebih terdengar seperti beban. Ia lantas menyandarkan punggung di kursi, menarik napas panjang sambil memutar undangan itu di tangannya.Datang ke pesta itu berarti tampil berdua dengan Sara. Padahal, hubungan mereka belum benar-benar pulih. Ia masih menutup diri, sementara Sara mencoba mendekat dengan penuh hati-hati. Ia tahu, menghadi
Matahari baru saja naik ketika aroma roti panggang dan kopi memenuhi dapur rumah itu. Sara berdiri di depan kompor dengan rambut yang diikat seadanya. Wajahnya masih tampak letih karena semalaman tidak tidur, tetapi pagi itu, ia bertekad untuk mencoba memperbaiki keadaan.Ia memecahkan dua butir telur ke atas wajan, menatap cairan kuning itu mengeras pelan di atas panas api. Suara mendesisnya memenuhi keheningan rumah, menggantikan percakapan yang semalam tak pernah terjadi.Di meja makan, piring-piring sudah tertata rapi. Ada buah potong, roti, omelet, dan secangkir kopi hitam, minuman kesukaan Matthew setiap pagi. Sara menatap hasil kerjanya, menarik napas panjang, mencoba meyakinkan diri bahwa mungkin ini bisa jadi awal yang baru.Ia ingin menunjukkan bahwa ia masih peduli, bahwa ia masih ingin memperjuangkan mereka.Suara langkah kaki di lantai atas membuat jantungnya berdebar pelan. Ia menoleh ke arah tangga, menunggu.Matthew turun perlahan dengan kemeja kerja yang rapi dan waja
Malam itu, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu ruang tamu menyala lembut, memantulkan cahaya hangat ke arah dinding, tapi hawa di dalam rumah justru terasa dingin dan berat.Sara duduk di sofa dengan tangan saling menggenggam erat di pangkuan. Sejak sore, ia menunggu Matthew pulang, berharap setidaknya malam ini mereka bisa bicara dengan kepala dingin. Tapi jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam, dan suaminya belum juga muncul.Begitu suara mobil berhenti di depan rumah, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia segera berdiri, menatap ke arah pintu. Langkah kaki itu terdengar berat, tenang, dan tanpa emosi.Matthew muncul di ambang pintu dengan jas kerja yang masih menempel di tubuhnya. Ia tampak lelah, tapi yang lebih jelas terlihat adalah jarak di matanya. Tatapan yang dulu lembut kini tampak tumpul, seolah ia sengaja membuat tembok di antara mereka.“Kau belum tidur?” tanya Matthew datar, tanpa nada marah tapi juga tanpa kehangatan.Sara menelan ludahnya. “A
Suasana kantor terasa sangat sunyi, hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar. Di balik pintu kaca ruang kerjanya, Matthew duduk menatap layar komputer yang sudah mati sejak setengah jam lalu. Tumpukan dokumen di mejanya bahkan belum tersentuh.Ia seharusnya sedang meninjau laporan keuangan proyek baru, tapi pikirannya entah di mana. Ia tidak bisa memfokuskan pikirannya pada pekerjaan. Setiap kali mencoba fokus, bayangan wajah Sara selalu muncul, wajah yang ketakutan saat ia memergokinya malam itu, wajah yang penuh luka saat melihat dirinya memilih diam.Matthew memejamkan mata dan mengusap wajahnya kasar. “Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya,” gumamnya pelan.Ia menghela napas berat, mencondongkan tubuh ke depan, menatap kedua tangannya sendiri. Jemarinya bergetar tipis, bukan karena marah, tetapi karena ia terlalu lelah menahan perasaan yang terlalu banyak."Sara pasti membenciku sekarang. Ia pasti berpikir aku pria kejam yang tidak punya hati. Tapi bagaimana aku
Sara duduk termenung di ruang tamu, cangkir teh di tangannya sudah dingin, tak sedikit pun tersentuh. Sejak Matthew pergi pagi tadi, suasana rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Ia menatap kosong ke arah jendela, mencoba menenangkan diri, tapi rasa sesak di dadanya tak kunjung reda.“Kenapa aku begitu ceroboh?” gumamnya lirih. Ia mengingat kembali malam tadi, saat Matthew memergoki dirinya tengah membuka dokumen yang seharusnya tidak ia sentuh. Seharusnya ia bisa menahan rasa penasaran itu, seharusnya ia percaya bahwa suatu hari Matthew akan dengan sendirinya bercerita.Tapi kini semuanya sudah terlambat. Yang tersisa hanyalah tatapan dingin Matthew yang menghantuinya sejak malam hingga pagi tadi.Sara menarik napas panjang, lalu menundukkan kepala sambil menggenggam erat cangkir itu. “Aku hanya ingin tahu dirimu lebih dalam, Matthew. Aku tidak berniat melukaimu.” Suara tangisnya pecah, matanya mulai basah. Ia merasa seperti orang asing di rumah yang seharusnya jadi tempat pulang.
Ruang kerja itu masih dipenuhi ketegangan. Matthew berdiri memunggungi Sara, foto masa kecilnya masih tergenggam erat di tangan. Nafasnya berat, naik turun seolah ia tengah menahan sesuatu yang nyaris meledak.Sara berdiri di belakangnya, tak berani mendekat lagi. Hatinya digelayuti rasa bersalah yang kian menghimpit. Ia ingin mengatakan sesuatu, menjelaskan, atau sekadar meminta maaf. Tapi kata-kata seakan tertelan.“Matthew," panggil Sara lirih, suaranya hampir tak terdengar.Pria itu tak bergeming. Ia menutup mata, mencoba menenangkan dirinya, namun rasa sakit itu terlalu nyata. Semua luka lama yang berusaha ia kubur, kini seakan digali paksa kembali. Dan orang yang melakukannya adalah istrinya sendiri, orang yang ia cintai, orang yang semestinya ia percaya.Dengan suara serak, Matthew akhirnya berkata, “Aku tidak ingin bicara sekarang.”Sara menggigit bibirnya, air matanya jatuh lagi. “A-aku hanya ingin mengerti. Aku tidak bermaksud melukaimu, Matthew. Aku—”“Cukup,” potong Matthe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments