Kawasan bagi orang-orang yang jantan, yakni terletak dipinggiran pasar malam, Suara teriakan-teriakan para kriminal, bos besar, bocah nakal, hingga seorang kupu-kupu malam yang hampir seluruhnya dari kalangan terlantar, jalanan, yatim piatu, pemulung, pengemis lantaran kurangnya diperhatikan orang, tampak jika dilihat dari dalam sangat lah ramai, hingga terdengar suara teriakan mereka sampai ke luar. Namun lihatlah tempatnya tidak seperti apa yang orang-orang pikirkan, melainkan jauh lebih becek, kumuh, terpencil, begitupula kotor. Akan tetapi jangan salah, Kelvin datang kesini bukan hanya untuk melihat-lihat saja sambil duduk diatas kursi-kursi pelastik serta menikmati tata–an dua botol minuman diatas meja, melainkan ia juga akan ikut bertarung. Lalu melakukan pembunuhannya sekali lagi kepada salah seorang anak buah lawan yang terpilih oleh titahan kata dari mulut basah bos besar, tak peduli yang dilakukannya itu salah atau benar, karena yang terpenting malam ini ia hanya harus membayarkan seluruh hutangnya agar tidak merasa terkekang. Terkadang Kelvin juga sering merutuk dalam hati, tidak terpikirkan jika masalahnya akan berjalan serumit ini, jujur tujuannya hanyalah satu, yakni ingin membunuh bos besar, bukan anak anak buahnya yang selalu berdiri dibelakang kala bos besar berjalan. Ah dasar pengecut, sekali lagi Kelvin mencerca dalam hati bahwa yang dilakukannya hari ini hanyalah suatu kebohongan saja yang akan memakan tenaga sendiri.
Malam ini udara tidak terlalu dingin, akan tetapi tetap saja harus mengenakan pakaian berkain tebal untuk berjalan-jalan keluar, dua orang preman terminal datang menemani bosnya, mereka berjalan melewati trotoar, tonggak lampu jalanan, pedagang asongan hingga ramainya para pembeli yang melangkah ditengah-tengah riuhnya pasar malam. Maka sampailah mereka bertiga didepan pagar-pagar kawat tajam yang melingkar, jika dilihat dari rupa bangunan ini mungkin saja persis seperti kandang macan, tampak amat menyeramkan begitu juga dengan isi didalamnya.
Bambang mengetuk pintu kayu lapuk, lalu langsung dibukakan oleh seorang wanita penghibur tanpa sepatah kata yang keluar, wanita itu hanya diam terbungkam menunduk lantaran ia pun sudah tahu seperti apa kekejaman Kelvin yang sudah tersohor tak lagi berpandang bulu, entah itu seorang laki-laki atau juga seorang gadis meski bermuara manis. Kelvin selalu bersikap tidak peduli selayaknya kucing liar yang tidak memiliki hati, sikapnya biasa acuh hingga membuatnya tidaklah merasa keberatan jika harus membunuh.
Sudah ia duga sebelumnya, bos besar tersenyum lepas sambil melambaikan salah satu tangannya sebagai isyarat bahwa seluruhnya telah siap. Namun kala itu Kelvin hanya membalasnya dengan diam, peduli setan jika ia akan berbuat apapun juga, dasar orang tua!. Sementara itu salah seorang anak buahnya tampak tengah melakukan pemanasan, tubuhnya begitu gagah, wajahnya tampan bak seorang aktor, rambutnya agak panjang tumbuh sebahu, bahkan fisiknya pun tampak sangat terlatih. Namun sayang jika harus dilihat dari pakaiannya ia terlihat biasa-biasa saja, ditambah dengan kaos oblong, celana pendek, serta hanya memakai alas kaki berupa sandal jepit, andai kata jika ia tahu bahwa berpakaian seperti itu sangat lah hina bagi orang berpangkat kriminal tingkat s macam dirinya. Ah sudahlah mungkin orang itu yang akan dibunuh Kelvin selanjutnya, memang sangat disayangkan sekali esok adalah hari dimana namanya terpajang pada ukiran batu nisan. Huuuhh!! lagi-lagi akhirnya Kelvin hanya bisa menghela nafas panjang, bukan karena takut, akan tetapi ia hanya merasa kasihan saja jika harus membunuh orang yang tidak memiliki masalah dengannya.
"Jika kau menang, maka aku akan bersumpah untuk selalu menjadi anak buah mu sampai akhir hayat keberadaan ku." Bos besar berbisik pelan, sejujurnya tawaran itu agak sedikit membuat Kelvin merasa senang. Bagaimana tidak sedangkan itu adalah kesempatannya yang sangat menggiurkan. "Tolong percepat waktunya!" kata Kelvin seolah ucapannya itu bagaikan sebuah hinaan bagi kehormatan seorang bos besar.
"Cih!!!!" acuhnya.
Maka ditunjukan pula oleh bos besar itu dimana tempat ia akan bertarung, bukan hanya dilantai biasa atau juga diruangan yang terkesan menjijikan, melainkan bos besar sudah sedari awal menyiapkan suatu arena dimana seorang anak buah dan lawan akan menghabiskan waktunya untuk saling membunuh, tempat itu tampak begitu jelas meski dari kejauhan Kelvin memandang. Mungkin tidak jauh berbeda seperti kebanyakan arena-arena tinju yang biasa orang tayangkan pada kaca-kaca layar televisi.
satu setengah jam masih saja lengang, Kelvin berdiri tegak sambil menatap lekat-lekat seorang musuh yang memang sudah sedari awal berdiri dengan kuat, bahkan tubuhnya pun tampak lebih berotot ketimbang dari apa yang dimilikinya, Namun pertarungan bukan lah dihitung dari besarnya rupa, melainkan mental dan kekuatan agar bisa mendapatkan kunci kemenangan.
Lawannya mengepalkan tangan erat, maka satu pukulan ia lemparkan secara tiba-tiba, akan tetapi beruntung Kelvin terperanjat serta menghindar sambil mengeluarkan sebilah pisau. Lantaran tujuannya bukan hanya sekedar untuk menang, melainkan juga ingin menunjukan kekejamannya sekali lagi terhadap lawan, andai kata malam ini kau juga bisa melihat pertarungan mereka yang saling berusaha membunuh, mungkin kau hanya akan menutup mata serta berharap bahwa jagoan yang kalian pilih lah yang akan selalu berdiri dengan kuat. Namun sayang pertandingan ini bukanlah lagi acara yang layak dipertontonkan oleh anak-anak, bukan juga tayangan yang mempertontonkan mengenai kehebatan seorang super Hero yang berbohong dibalik editan layar. Lihatlah keduanya tampak begitu kejam, tak ada belas kasih serta rasa kasihan yang terlukis di wajahnya, hanya karena ingin mempertahankan kekuasaan daerah serta kohormatan agar tidak membungkuk atau pula bertekuk lutut dihadapan orang yang salah.
Bukhh!!
Pria berotot besar melemparkan kursi wasit tepat pada kepala Kelvin, sontak membuatnya tergeletak diatas permukaan arena tanpa menghiraukan lawan akan berbuat apa, sementara wasit meniupkan peluit dan menghitung dari satu dua hingga mengucapkan angka ketiga. Akan tetapi beruntung, tatkala lawan mengepalkan tinju serta kala akan memukul wajahnya, Kelvin dengan sigap mengambil alih kesempatan itu lebih dulu. Pisaunya masihlah ia pegang erat lalu menunjukkan keangkerannya hingga menusuk salah satu mata lawan sampai buta tak lagi bisa melihat.
Saat itu pluit sang wasit masih belum ditiup juga, maka jelas pula Kelvin memiliki waktu yang sangat leluasa untuk menghancurkan wajah musuhnya, seolah pertarungan itu hanya seperti membunuh satu ekor semut tanpa kepala saja, maka dengan lincahnya ia menusuk kepala lawan hingga mengeluarkan semburat warna merah darah hampir menyipuh seluruh arena pertarungannya dengan pria itu. Hah memang sangat lucu sekali, muka Kelvin tersenyum menyeringai tajam, tampak memberikan aura yang sangat menakutkan bagi seorang bos besar hingga terciut dalam perasaan.
Sukar agar bisa kau percaya kala seorang pion dalam suatu permainan tak sengaja meluluhkan kewibawaan seorang raja, lihatlah kenyataan yang tertonton leluasa didepan mata begitu amat jelas kau juga bisa melihat, begitu juga dengan wajah dari seorang kucing liar itu bagai bara ditengah panasnya lava, agresif dan menyeramkan meninggalkan bekas goresan luka diwajahnya menghias sifat kekejamannya dalam pandangan bos besar atau juga yang kini berganti nama sebagai pelayan, tampak gigi grahamnya menggeram lantaran suatu perantara dari seorang anak buah yang sudah ia bayar mahal mahal kini tergeletak tak berdaya sambil memohon pengampunan pada detik-detik embusan terakhirnya, sayang waktunya sudah selesai tuan, kau kini telah kalah, maka tuntas lah seluruh hutangnya saat itu juga, begitu pula dengan bos besar yang sudah terlanjur luruh dalam lembah kehinaan, tatkala ia menundukkan muka dibawah gagahnya kedua sepasang kaki yang dimiliki oleh pak kucing liar. Namun sikap acuh dan dingin yang
Semilir angin malam kian berhembus, bertiup, seakan membawa dorongan kala melintas setiap ruang, nyaris ia tidak menyadari keberadaan angin, akan tetapi ada satu hal yang membuat seorang Kelvin bisa merasakan serta mendengar bahwa angin berbisik pelan dalam telinganya, namun tetap saja Kelvin tidak bisa mengerti apa yang sebenarnya sedang dikatakan angin itu, ia hanya mengangguk pura-pura mengerti lalu pergi menghiraukannya kembali. Demikian pula ia berjalan melewati setiap negeri negeri asing namun tidak tahu apa yang sebenarnya ia cari, hingga datanglah kemudian hari, kedua seorang penjaga berpangkat polisi tak sengaja berpapasan dengan Kelvin pada tengah-tengah jalan dikala heningnya suasana malam, para penjaga itu tampak tidak mencurigakan bagi pandangan Kelvin, namun setelah menanyakan sesuatu hal sontak membuatnya agak sedikit kebingungan. Lantaran ia pun tidak tahu menahu prihal apa saja mengenai maksud dari dunia luar."Kau mau kemana tuan? Apa bisa kau tunjukkan kartu
Udara terasa dingin, dingin sekali, begitu juga dengan tetesan embun yang menyejukkan jatuh dari ranting-ranting pohon tua, agaknya curah hujan yang amat lebat telah jatuh sebelum Kelvin menapakan kakinya di atas permukaan rumput yang tumbuh berjenjang luas bagai permadani, gerombolan awan menggulung berarak-arak sepanjang ujung cakrawala. Indah, memang! Akan tetapi Kelvin tidak peduli, ia hanya memilih tetap melanjutkan perjalanannya untuk terus berjalan dan berjalan lalu menyebrang, menurun, mendaki sambil menyusuri seperti seekor semut yang merayap pada sisi tepian sungai. Maka tampak pula airnya begitu amat jernih seperti cermin dua dimensi yang memantulkan keindahan langit tenda dari atas awan, semetara bumi ini sebagai tempatnya bernaung bagi seluruh makhluk hidup yang singgah didalamnya.Tiada mampu ia bayangkan mengenai dunia luar itu sangat lah luas, terlebih dengan negeri perbukitan ini yang sama sekali belum pernah Kelvin temui melalu surat kabar ataupun koran. Dari
Sedetik setelahnya, Kelvin kembali menyapu pandang lantaran tak percaya gadis yang selama ini ia cari, kini malah berdiri dihadapannya tiada perlu ia sadari. Tampak wajahnya masih saja begitu lugu persis seperti awal Kelvin bertemu. Tertuang sebercak cahaya pada matanya begitu sendu lalu ikut menurunkan pandangannya seketika lantaran malu."Siapa nama mu?" tanya Kelvin setelah kembali mengangkat pandangannya, namun kali ini matanya kian berkaca-kaca, lantaran baginya ia bagaikan obat penenang sehingga tiada mampu Kelvin biarkan gadis itu kembali menghilang."Adelia khansa..." katanya begitu halus, namun setiap kata yang terucap dari mulut basah Adelia seakan membuat hati Kelvin berdebar. Maka lengang tanpa terdengar lagi sebuah perkataan diantara keduanya, hanya deru angin yang berbisik pelan mengiri keheningan, satu dua dari sekian banyaknya burung burung itupun ikut tampak berterbangan di atasnya hingga menggoyangkan puluhan ilalang yang tumbuh berjejer disetiap jalan
Dari puncak negeri perbukitan, menapak tanah gersang musim kemarau, angin kian menderu kencang menerbangkan butiran debu yang tidak bisa dihitung lagi jumlahnya, menghalangi sebuah pemandangan roda kayu yang bertali kian berhenti membawa bahan-bahan rempah beserta hasil panen lainnya. Roda itu ialah milik negeri perbukitan, sementara kedua lelaki yang membawanya ialah orang yang sama-sama penting, yakni seorang kepala desa beserta orang suruhannya dari negeri hujan. Fasalnya orang orang sering digulir untuk datang mencari peruntungannya sampai ke puncak perbukitan dikala menjelang malam, sementara pagi orang-orang sibuk menanam rempah atau juga menyawah, kala panen maka hasilnya dibagikan pula tanpa memandang orang itu tidak ikut bekerja, lantaran mereka tahu diusianya yang sudah tua, maka anak-anak muda yang berganti menjadi tulang punggung selanjutnya. Terkadang anak muda juga sering menjualnya ke negeri-negeri perkotaan agar bisa mereka tukarkan menjadi uang padahal jika dilihat
Ia jumpai kembali tubuhnya tengah berkerumun dengan orang-orang yang sedang masih saja tertidur menghadap sisa sisa api unggun bekas tadi malam, matanya terbangun di atas hamparan sabana yang diselingi akasia begitu pula dengan ribuan bunga-bunga rimba liar yang kian membelai halus telapak kaki kala menapakinya, nampak sangat cantik namun tidak terlalu dipedulikan orang. Mereka tumbuh menyebar tak bisa dihitung lagi jumlahnya, sesaat Kelvin menengadah keatas dilihatnya hari sudah begitu amat siang, terasa hangat merasuk kedalam tulang, ditambah dengan kilauan seberkas cahayanya yang begitu terang benderang. Rumput-rumput di atas tebing ikut bergoyang seakan melambai-lambai kearahnya kala terbawa hembusan angin yang kian kadang bertiup pelan kadang juga kencang. Lantas ia beranjak kearah sebuah sumur tua yang terdapat didekat sana, ada bekas ban karet tua melingkar di setiap cincinnya yang sudah hampir tertutup sepenuhnya oleh tumbuhan hijau merambat hingga melingkar pada sisi-an beb
Si Amin menegakkan tubuhnya tangkas, menembus angin kencang yang berlawanan kian berubah menjadi lesus, terdengar mengaum kadang juga mendesir lalu melewati kedua orang itu. Jarinya menunjuk kearah langit tenda yang hampir tersipuh oleh beberapa titik semburat merah jingga berarak-arak kala menjelang senja. Kepul kabut menyelimuti lereng perbukitan dari balik ilalang ujung puncak yang gemilang ditengah-tengah redupnya cahaya matahari. Tiada mampu seorang Kelvin mengelak setiap suruhan orang itu, baginya dirinya adalah seorang majikan yang berwibawa, setiap kali Kelvin mengemis kelaparan, maka hanya dia juga yang selalu membantunya.Ku ulangi sekali lagi, awan yang berserak di atas cakrawala itu perlahan terbakar oleh semburat merah jingga dan menghilang begitu saja. Ah lagipula siapa yang peduli jika pekerjaannya masih juga belum selesai. "Ayo!" kata si Amin hendak mengajaknya pulang. Maka Kelvin mengangguk pelan, kakinya mengekor dibelakang si Amin berjalan. Biarlah padi-padi
Untuk seluruh waktu, sedemikian rupa ia sudah menemuinya dengan segala keraguan dan pergi, tidak ada yang bisa ia lakukan disini. Hanya cahaya minyak lampu yang mengiringi setiap erangan kepergiannya, biarkan gadis itu sendirian, tatkala Kelvin berusaha menerka mengenai kemungkinan yang tidak pernah selamanya benar, bisa saja dia tengah merindukan keindahan tanah kelahirannya sendiri dirumah.Maka lingsir sang fajar, memahami kesendirian Kelvin dengan dekapan kehangatannya kala menengadah keatas puncak perbukitan sana. Seperti biasa ia terbangun di atas hamparan yang dipenuhi oleh sabana, mencuci mukanya dengan air timba dari bawah sumur, begitu pula dengan si Amin yang mengajaknya kembali beranjak ke sawah. Namun kali ini Kelvin tampak tidak berselera untuk bekerja. Ia hanya ingin menikmati kesendiriannya sambil menyapa setiap orang yang lalu lalang, cukup dengan melihat senyumannya, mendengar bisikan mereka, sudah membuat hatinya kembali senang. Ditambah bukankah orang-orang