Debu yang biasa berhamburan terbengkalai di jalanan, kini debu itupun bercampu dengan luruh-nya air hujan, tatkala merasa diuntungkan bagi sebagian orang.
Dalam pandangan pribadi Kelvin, terminal amatlah penting, dan tonggak ini pula akan selamanya penting. Lantaran disini juga ia mencari makan, peruntungan akan nasib yang selalu diinjak orang.Ia menyibak rambut gondrongnya kebelakang, maka tampak pula pesona wajahnya yang mungkin bisa saja menarik perhatian orang, akan tetapi sayang, ia hanyalah seorang remaja yang terpandang rendahan, selalu mengutamakan amarah ketimbang mengutamakan akal. lantaran peran pangkatnya yang biasa dibilang oleh orang-orang sebagai preman. Julukan itu bukan hanya sekedar kata haraf yang tidak mengandung makna, melainkan kata preman pula berarti kata kerja yang artinya disama persiskan seperti orang merdeka, namun tetap saja hati Kelvin berkata ia hanyalah seorang budak suruhan saja. Tak pantas ia dianggap orang bebas sedangkan kenyataan yang selalu berdiri didepan mata terkekang oleh ancaman.
"Terimakasih ya." Seorang supir angkot bewarna biru tampak bahagia lantaran bisa tertolong sebagian pekerjaannya setelah Kelvin berhasil menarik sepuluh orang penumpang didalam, maka tak lupa pula uang itupun ditambahkan.
"Sama-sama bos!" ucapnya tak kalah antusias, bahkan ia juga sempat menampakan muka yang tersenyum lepas, spontan langsung menyapu pandang pada mobil-mobil angkutan yang berjejer disampingnya. Maka tampak pula seorang gadis berkerudung hitam yang menjuntai kebawahnya, parasnya cantik merekah putih seperti bunga lili mampu memikat hati setiap orang yang memandang, tercium harum aroma parfumnya, duduk diantara kursi-kursi yang tertata rapi, menatap lekat cerahnya pelupuk cahaya jingga, di taman itu juga tampak begitu indah oleh bunga-bunga berjejeran beserta daun yang bersih tergelincir buliran tetesan air hujan. Andaikata jika kau lihat dari rupa raut wajah gadis itu, tampaknya ia sedang menunggu atau juga merindukan seseorang, matanya sendu namun tidak terlalu banyak yang sedang ia pikirkan. Lantas lantaran merasa penasaran, Kelvin seketika terdiam tak bergeming, berdiri terpaku tanpa melakukan apapun, karena yang dilakukan ia hanyalah menatap gadis itu dari kejauhan, bagai meninggalkan sajak di atas puisi tanpa aturan pembentukan rangkap, baris, kata-kata, dan irama. Namun setelah langkahnya menuju ia untuk bisa berjumpa serta bertanya akan kemana, tiba-tiba saja ada seseorang menyela tepat dihadapan matanya, seorang lelaki berjas hitam, berdasi merah serta memakai balutan sepatu mewah berdiri di ambang gadis itu sambil membawakannya sekantum bunga, bak seorang pangeran tampan yang berpindah menyusup keluar dari negeri dongeng. Sontak emosinya pun semakin menjadi-jadi, namun tidak terlalu di ambil pusing, mungkin memang seharusnya lah untuk ia kembali sadar akan tabiatnya yang hanya sebatas orang suruhan saja.
"Bos, kami sudah kembali!!"
Kelvin mendengar karena ia juga tidak tuli, seharusnya tidaklah pantas seorang anak buah memanggil dengan intonasi suara yang terdengar begitu tinggi, ditengoknya ialah bang yang sedari tadi berdiri dibibir tepian jalan, maka dengan sangat lincah pula Bang mampu memberhentikan puluhan kendaraan yang lalu lalang menjadi berhenti seketika, ia berjalan dengan santai tanpa takut bahwa ia akan ditabrak, dan mati tergeletak di atas permukaan begitu saja. Selintas Kelvin berpikir bahwa yang dilakukannya sangatlah bodoh, namun setelah melihat pada genggaman tangan, maka tidak tahu mengapa rendamlah amarahnya itu. Tak dinyana dia langsung memberikan obat penghibur dikala derita, yakni berupa sebagian uang iuran tagihan dari para pedagang asongan, kaki lima, dan lain-lain yang ikut berjejer menjajakan dagangannya di terminal.
"Bagus!!!" sahut Kelvin merasa senang, pendapatannya jauh lebih besar lagi ketimbang dengan hari kemarin. "Selanjutnya tolong bantu supir angkot yang berada disebelah sana!, sementara Sat, jaga parkiran yang ada di depan pasar!!" lanjutnya dengan gagah ia memerintah sekali lagi.
"Baik bos."
Lagi-lagi Kelvin tersenyum lepas, wajahnya kembali berseri dikala melihat puluhan lembaran uang kertas yang kini beralih pada genggaman tangannya. Mungkin uang ini akan cukup untuk keperluan mereka dalam jangka waktu satu Minggu, gumamnya. Namun setelah ia akan beranjak pulang, terlintas seorang gadis berkerudung hitam itu berdiri pada tepian jalan sambil menatap wajah Kelvin dari kejauhan. Ah mungkin saja tidak, gumamnya langsung menyapu pandang, Namun setelah ia akan kembali menoleh kearah sang gadis, entah mengapa lengang tidak bisa berjumpa, gadis berkerudung hitam itu menghilang dari pandangannya begitu saja, sontak membuat hati kecilnya bertanya-tanya, menampakan raut wajah yang terperangah seketika, hingga ia tak sadar bahwa hari sudah hampir beranjak petang, begitu pula dengan cahaya magis yang terkesan syahdu tampak mempesona dikala ribuan tonggak lampu yang terpajang di setiap jalanan pun ikut bersinar terang benderang. Tapi ia hanya berdiri diam mematung dibawahnya sedari tadi, lantaran mengingatkan ia akan kejadian pertemuan terakhir kali ia dengan seorang gadis sang pemberi 3 potong roti, keduanya sama-sama menghilang setelah kelvin usai menyapu pandang, ditambah dengan terkaannya yang mungkin bisa saja terjadi, bahwa gadis itulah yang selama ini Kelvin cari. Hingga satu detik pun berlalu, salah seorang anak buah, Sat mengagetkan bosnya hingga terperanjat bangun dari lamunannya. "Ah hampura mamang." Sat membungkuk meminta maaf, ia tak tahu bahwa bosnya akan sekaget itu.
"Tidak apah." Kelvin balas menjawab.
Kawasan bagi orang-orang yang jantan, yakni terletak dipinggiran pasar malam, Suara teriakan-teriakan para kriminal, bos besar, bocah nakal, hingga seorang kupu-kupu malam yang hampir seluruhnya dari kalangan terlantar, jalanan, yatim piatu, pemulung, pengemis lantaran kurangnya diperhatikan orang, tampak jika dilihat dari dalam sangat lah ramai, hingga terdengar suara teriakan mereka sampai ke luar. Namun lihatlah tempatnya tidak seperti apa yang orang-orang pikirkan, melainkan jauh lebih becek, kumuh, terpencil, begitupula kotor. Akan tetapi jangan salah, Kelvin datang kesini bukan hanya untuk melihat-lihat saja sambil duduk diatas kursi-kursi pelastik serta menikmati tata–an dua botol minuman diatas meja, melainkan ia juga akan ikut bertarung. Lalu melakukan pembunuhannya sekali lagi kepada salah seorang anak buah lawan yang terpilih oleh titahan kata dari mulut basah bos besar, tak peduli yang dilakukannya itu salah atau benar, karena yang terpenting malam ini ia hanya harus mem
Sukar agar bisa kau percaya kala seorang pion dalam suatu permainan tak sengaja meluluhkan kewibawaan seorang raja, lihatlah kenyataan yang tertonton leluasa didepan mata begitu amat jelas kau juga bisa melihat, begitu juga dengan wajah dari seorang kucing liar itu bagai bara ditengah panasnya lava, agresif dan menyeramkan meninggalkan bekas goresan luka diwajahnya menghias sifat kekejamannya dalam pandangan bos besar atau juga yang kini berganti nama sebagai pelayan, tampak gigi grahamnya menggeram lantaran suatu perantara dari seorang anak buah yang sudah ia bayar mahal mahal kini tergeletak tak berdaya sambil memohon pengampunan pada detik-detik embusan terakhirnya, sayang waktunya sudah selesai tuan, kau kini telah kalah, maka tuntas lah seluruh hutangnya saat itu juga, begitu pula dengan bos besar yang sudah terlanjur luruh dalam lembah kehinaan, tatkala ia menundukkan muka dibawah gagahnya kedua sepasang kaki yang dimiliki oleh pak kucing liar. Namun sikap acuh dan dingin yang
Semilir angin malam kian berhembus, bertiup, seakan membawa dorongan kala melintas setiap ruang, nyaris ia tidak menyadari keberadaan angin, akan tetapi ada satu hal yang membuat seorang Kelvin bisa merasakan serta mendengar bahwa angin berbisik pelan dalam telinganya, namun tetap saja Kelvin tidak bisa mengerti apa yang sebenarnya sedang dikatakan angin itu, ia hanya mengangguk pura-pura mengerti lalu pergi menghiraukannya kembali. Demikian pula ia berjalan melewati setiap negeri negeri asing namun tidak tahu apa yang sebenarnya ia cari, hingga datanglah kemudian hari, kedua seorang penjaga berpangkat polisi tak sengaja berpapasan dengan Kelvin pada tengah-tengah jalan dikala heningnya suasana malam, para penjaga itu tampak tidak mencurigakan bagi pandangan Kelvin, namun setelah menanyakan sesuatu hal sontak membuatnya agak sedikit kebingungan. Lantaran ia pun tidak tahu menahu prihal apa saja mengenai maksud dari dunia luar."Kau mau kemana tuan? Apa bisa kau tunjukkan kartu
Udara terasa dingin, dingin sekali, begitu juga dengan tetesan embun yang menyejukkan jatuh dari ranting-ranting pohon tua, agaknya curah hujan yang amat lebat telah jatuh sebelum Kelvin menapakan kakinya di atas permukaan rumput yang tumbuh berjenjang luas bagai permadani, gerombolan awan menggulung berarak-arak sepanjang ujung cakrawala. Indah, memang! Akan tetapi Kelvin tidak peduli, ia hanya memilih tetap melanjutkan perjalanannya untuk terus berjalan dan berjalan lalu menyebrang, menurun, mendaki sambil menyusuri seperti seekor semut yang merayap pada sisi tepian sungai. Maka tampak pula airnya begitu amat jernih seperti cermin dua dimensi yang memantulkan keindahan langit tenda dari atas awan, semetara bumi ini sebagai tempatnya bernaung bagi seluruh makhluk hidup yang singgah didalamnya.Tiada mampu ia bayangkan mengenai dunia luar itu sangat lah luas, terlebih dengan negeri perbukitan ini yang sama sekali belum pernah Kelvin temui melalu surat kabar ataupun koran. Dari
Sedetik setelahnya, Kelvin kembali menyapu pandang lantaran tak percaya gadis yang selama ini ia cari, kini malah berdiri dihadapannya tiada perlu ia sadari. Tampak wajahnya masih saja begitu lugu persis seperti awal Kelvin bertemu. Tertuang sebercak cahaya pada matanya begitu sendu lalu ikut menurunkan pandangannya seketika lantaran malu."Siapa nama mu?" tanya Kelvin setelah kembali mengangkat pandangannya, namun kali ini matanya kian berkaca-kaca, lantaran baginya ia bagaikan obat penenang sehingga tiada mampu Kelvin biarkan gadis itu kembali menghilang."Adelia khansa..." katanya begitu halus, namun setiap kata yang terucap dari mulut basah Adelia seakan membuat hati Kelvin berdebar. Maka lengang tanpa terdengar lagi sebuah perkataan diantara keduanya, hanya deru angin yang berbisik pelan mengiri keheningan, satu dua dari sekian banyaknya burung burung itupun ikut tampak berterbangan di atasnya hingga menggoyangkan puluhan ilalang yang tumbuh berjejer disetiap jalan
Dari puncak negeri perbukitan, menapak tanah gersang musim kemarau, angin kian menderu kencang menerbangkan butiran debu yang tidak bisa dihitung lagi jumlahnya, menghalangi sebuah pemandangan roda kayu yang bertali kian berhenti membawa bahan-bahan rempah beserta hasil panen lainnya. Roda itu ialah milik negeri perbukitan, sementara kedua lelaki yang membawanya ialah orang yang sama-sama penting, yakni seorang kepala desa beserta orang suruhannya dari negeri hujan. Fasalnya orang orang sering digulir untuk datang mencari peruntungannya sampai ke puncak perbukitan dikala menjelang malam, sementara pagi orang-orang sibuk menanam rempah atau juga menyawah, kala panen maka hasilnya dibagikan pula tanpa memandang orang itu tidak ikut bekerja, lantaran mereka tahu diusianya yang sudah tua, maka anak-anak muda yang berganti menjadi tulang punggung selanjutnya. Terkadang anak muda juga sering menjualnya ke negeri-negeri perkotaan agar bisa mereka tukarkan menjadi uang padahal jika dilihat
Ia jumpai kembali tubuhnya tengah berkerumun dengan orang-orang yang sedang masih saja tertidur menghadap sisa sisa api unggun bekas tadi malam, matanya terbangun di atas hamparan sabana yang diselingi akasia begitu pula dengan ribuan bunga-bunga rimba liar yang kian membelai halus telapak kaki kala menapakinya, nampak sangat cantik namun tidak terlalu dipedulikan orang. Mereka tumbuh menyebar tak bisa dihitung lagi jumlahnya, sesaat Kelvin menengadah keatas dilihatnya hari sudah begitu amat siang, terasa hangat merasuk kedalam tulang, ditambah dengan kilauan seberkas cahayanya yang begitu terang benderang. Rumput-rumput di atas tebing ikut bergoyang seakan melambai-lambai kearahnya kala terbawa hembusan angin yang kian kadang bertiup pelan kadang juga kencang. Lantas ia beranjak kearah sebuah sumur tua yang terdapat didekat sana, ada bekas ban karet tua melingkar di setiap cincinnya yang sudah hampir tertutup sepenuhnya oleh tumbuhan hijau merambat hingga melingkar pada sisi-an beb
Si Amin menegakkan tubuhnya tangkas, menembus angin kencang yang berlawanan kian berubah menjadi lesus, terdengar mengaum kadang juga mendesir lalu melewati kedua orang itu. Jarinya menunjuk kearah langit tenda yang hampir tersipuh oleh beberapa titik semburat merah jingga berarak-arak kala menjelang senja. Kepul kabut menyelimuti lereng perbukitan dari balik ilalang ujung puncak yang gemilang ditengah-tengah redupnya cahaya matahari. Tiada mampu seorang Kelvin mengelak setiap suruhan orang itu, baginya dirinya adalah seorang majikan yang berwibawa, setiap kali Kelvin mengemis kelaparan, maka hanya dia juga yang selalu membantunya.Ku ulangi sekali lagi, awan yang berserak di atas cakrawala itu perlahan terbakar oleh semburat merah jingga dan menghilang begitu saja. Ah lagipula siapa yang peduli jika pekerjaannya masih juga belum selesai. "Ayo!" kata si Amin hendak mengajaknya pulang. Maka Kelvin mengangguk pelan, kakinya mengekor dibelakang si Amin berjalan. Biarlah padi-padi