Home / Pendekar / Jagat Kelana / 3. Ada Apa Dengan Tubuhku

Share

3. Ada Apa Dengan Tubuhku

Author: Shaveera
last update Last Updated: 2024-03-07 19:16:39

Seorang gadis berteriak sambil berlari menuju ke perundungan Jagat. Dia tidak memedulikan keadaannya yang masih basah kuyup dan berbelit kain jarit basah. Tubuh rampingnya bahkan terlihat jelas setiap lekuknya.

Jagat seketika melempar kain sarungnya yang selalu dililitkan di pinggang pada sang gadis. Savitri menangkap dan membungkus tubuhnya, "Apa yang kalian lakukan pada Jagat? Bukankah sudah sering guru katakan bahwa kita tidak boleh melakukan perundungan!"

Abimana menatap tajam pada gadis itu, "Kau hanya perempuan, Savitri. Tidak usah ikut campur!"

"Cuih! Selalu saja seorang Abimana yang sok berkuasa."

Kesempatan ini digunakan Jagat untuk berusaha duduk dan mengatur napasnya yang terasa sesak. Ada keanehan yang dia rasakan, bukankah awalnya dia berada di goa dengan luka dalam. Tapi kini ....

Sementara Abimana berjalan mengikis jaraknya dengan Savitri, lengannya yang kekar dan panjang meraih rahang gadis itu. "Bukankah sering pula aku berkata padamu, Savitri! Jauhi pemuda hina ini, kelak kau akan jadi ratuku."

"Lepaskan Abimana, sakit!" rintih Savitri dengan sorot mata penuh kebencian.

"Segera lepas gadis itu, Abimana, lihatlah paman koki sedang berjalan kemari!" kata Kurubumi dengan nada rendah.

Mendengar kabar itu, Abimana langsung menyentak wajah Savitri dan mengalihkan pandangannya ke arah kanan dimana terlihat seorang pria paruh baya yang masih kekar dan kuat. "Apa yang kalian lakukan di sini? Abimana, bukankah hari ini jadwalmu masuk ruang latihan? Mengapa masih berdiam di sini?" cerca Paman Koki.

Tatapan Paman Koki yang sering dipanggil Jemblung itu menatap satu per satu para murid padepokan. Saat tatapannya tertuju pada Savitri, dahinya berkerut ketat, "Kau perempuan, Savitri. Tidak baik berada di antara pria dalam keadaan seperti itu."

"Maaf, Paman. Aku hanya tidak senang melihat perundungan di depan mata," kilah Savitri.

"Segera kembali dan bersihkan tubuhmu!"

Savitri bergerak menjauh tanpa mengeluarkan suara memberontak sedikitpun, dia tahu apa yang dilakukan oleh Jemblung untuk melindungi marwahnya.

Sementara tatapan Jemblung beralih pada Jagat. "Sejak tadi malam kau menghilang hingga semua pekerjaanku berantakan. Mana hasil airmu, Jagat?"

"Maaf, Paman. Kuali saya bocor akibat lemparan kerikil oleh Abimana dan kawannya. Aku terbuang ke dasar jurang hingga berakhir seperti ini. Hai,tunggu bagaimana saat ini aku ada di sini?" jawab Jagat dengan mimik bingung.

"Bohong, mana buktinya?" Hentak Abimana tidak terima, "Justru dia lah yang berniat hendak mencabuli Nona Savitri!"

Jagat membeliakkan kedua bola matanya tidak percaya dengan apa yang dituduhkan Abimana. Pemuda itu berdecap, menghela napas panjang.

"Beri hukuman pada pria hina dan tidak tahu balas budi ini, Jemblung!" tukas Abimana.

Jemblung semakin menajam pada Jagat, dia menahan emosi agar otaknya bisa bekerja dengan baik. "Sebaiknya Pangeran dan yang lainnya kembali pada kewajiban masing-masing, biar pria tua ini yang urus masalah di sini!"

Abimana menatap Jagat tajam sambil menunjuk geram. Setelah puas, dia segera berbalik badan dan melangkah meninggalkan tempat itu bersama dengan dua sahabatnya.

Sementara di tempat itu, Jemblung berjalan mendekat pada Jagat. Dilihatnya pemuda itu dari jarak dua meter mulai ujung kepala hingga kaki. Terlihat lengkungan ke bawah di bibir pria tua, dia seakan merendahkan kondisi Jagat.

"Aku tidak bersalah, Paman. Sungguh, semua ini hasil perbuatan Abimana dan yang lainnya," kilah Jagat yang masih kekeh pada pendiriannya.

Apa yang diucapkan Jagat sesuai dengan keadaan yang ada dan tanpa dia berniat menambahi ataupun berkurang. Nada yang terucap pun terdengar tenang dan tegas. Hal ini membuat Jemblung sadar ada sesuatu yang tersembunyi di tubuh pekerjanya itu.

Jemblung memandang sekitar, pecahan kuali masih berserakan bahkan sudah berganti bentuk. Akhirnya Jemblung berkata, "Sudah, bantu aku di dapur. Masalah air, nanti menjelang malam kau isi tandon menggunakan bumbung bambu yang ada di sudut itu!"

"Baik, Paman. Lalu kuali ini?"

Jemblung memerhatikan tumpukan kuali yang ada di bawah kaki Jagat. "Kumpulkan dan buat lagi dari bahan itu. Aku tidak peduli bagaimana caramu agar jadi seperti sedia kala. Paham!"

Setelah berkata dan memberi perintah apa yang harus dikerjakan oleh Jagat, pria tua berjalan meninggalkan Jagat yang masih berdiri menatap puing-puing kuali.

Napasnya naik turun tidak beraturan, kedua tangannya mengepal kuat. Dia tidak mampu berkuasa atas dirinya sendiri. Perlahan rasa bersalah menyelinap di relung kalbu, Jagat hanya mampu mengumpat dalam hati.

Dia tahu sedang berhadapan dengan siapa, dari sekian murid hanya Savitri yang mau mendekat padanya meski murid perempuan lainnya selalu histeris saat dia berjalan di hadapan mereka. "Rasanya aku harus bersabar lagi. Hai Tulang, ayo bantu aku melanjutkan hukuman ini. Aneh, beberapa saat lalu tubuhku masih terasa sakit dan sesak. Kini?"

Setelah puas bicara pada diri sendiri, Jagat mulai memungut setiap pecahan kuali yang berserakan. Dikumpulkan semua menjadi satu di dasar kuali. Setelah merasa sudah selesai, maka dibawa puing kuali dan diletakkan di bawah tandon.

Pandangannya melihat pada sudut yang tadi ditunjuk oleh paman koki, bibirnya tersenyum tipis kala dilihatnya dua bumbung tinggi yang bersandar di dinding dapur. "Aku harus segera masuk ke dapur sebelum suara koki tua itu menggelegar lagi!" ucap Jagat bermonolog.

Pemuda itu melangkah panjang tertatih menyeret kakinya yang penuh memar dan luka. Darah tampak mengering pada tungkai bawahnya. Bau anyir darah menguar begitu saja.

"Bau apa ini?" Suara seorang pekerja memecah keheningan.

"Hai Jagat, lihat tungkaimu mengeluarkan darah!" kata yang lainnya.

Jagat berhenti sebentar lalu melihat tungkainya, segera dia menyobek kain pada pakaian dalamnya dan mulai mengikat luka itu. Kemudian dia menuju ke meja bahan baku. Pandangannya menyapu keseluruhan barang yang ada di atas meja, otaknya berpikir apa yang akan dia kerjakan lebih dulu

Namun, belum sampai tangannya terulur untuk meraih sayur hijau sebuah suara terdengar lantang agar dia lebih mendahulukan daging untuk dicincang. Tanpa bersuara, Jagat segera beralih pada meja daging.

Matanya mengerjab melihat limpahan daging merah tersedia di atas meja. Ada mual yang menyentak perutnya, bau anyir darah segar yang sedikit berbeda dari biasanya tercium di indranya. Lamat terdengar suara orang berbisik, "Kali ini keberuntungan berpihak pada padepokan kita, karena adanya kiriman daging babi hutan yang berlimpah dari para pemburu."

"Tetapi sama saja mereka minta jamuan diujung kalimat," celetuk yang lain.

Sedangkan Jagat masih berdiri termangu menatap tumpukan daging babi hutan itu hingga tepukan keras dirasakan pada pundaknya.

"Jangan melamun, ayo segera bantu saya potong ini daging agar cepat dimasak paman koki!" ucap pria botak.

"Baik, Paman. Ini dipotong kecil dadu atau melebar tipis?" tanya Jagat.

"Dadu saja, lebih efisien dan cepat."

Jagat sudah tidak bertanya lagi, dia fokus pada tumpukan daging di depannya. Belum juga mulai sebuah tangan terulur di depannya sambil menyodorkan selembar kain hitam. "Pakai ini, bau anyir menusuk hidung!"

"Terima kasih, Paman."

Kain itu Jagat gunakan untuk menutupi hidungnya sebagai masker. Pada masa itu belum ada kata masker ya, hanya kain tipis digunakan untuk penutup wajah.

Setelah merasa nyaman, Jagat mulai menggerakkan kedua tangannya memotong tumpukan daging. Pekerjaannya memotong daging sudah hampir selesai, terdengar suara Paman Jemblung memanggil namanya. Gegas pemuda itu berjalan cepat menuju tungku panas. "Iya, Paman!"

"Pergi ke sungai sekarang! Air dalam tandon sudah sulit turun, mungkin sudah di garis batas akhir," ujar Jemblung.

"Baik, Paman. Lalu bagaimana nasib daging di sana?"

"Biarkan saja, masih ada yang lain."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jagat Kelana   234. S2

    Hari perpisahan pun tiba, Jagat berdiri di antara para selirnya. Terlihat wajah Pitaloka menunduk, dia tidak berani menatap sosok Akshita yang begitu bersinar di antara dua selir yang lain.Kepergian Jagat yang mendekat pada Pitaloka memberi kesempatan pada Akshita untuk melangkah menuju ke kereta kuda yang telah disiapkan putranya.Tidak hanya Akshita yang meninggalkan Jagat berdua bersama selir Pitaloka melainkan juga ada Roro Wening yang berjalan mengikuti Akshita dari belakang sambil menggendong putranya. Hanya Prameswari yang masih setia menunggui suaminya.Jagat yang melihat sikap Pitaloka segera berjalan mengikis jarak hingga sejengkal, lalu telapak tangannya terulur agar dapat menggapai dagu runcingnya."Ada apa dengan wajahmu, Pitaloka?"Wanita itu terdiam, dia masih mengarahkan pandangannya ke bawah meskipun wajahnya sudah terangkat. Helaan napas berat bisa dirasakan oleh Jagat."Bicaralah, bagaimana aku bisa tahu apa yang kau pikirkan jika hanya diam bahkan menatapku pun su

  • Jagat Kelana   233. S2

    Hari yang ditunggu akhirnya tiba, semua persiapan sudah selesai, bahkan beberapa sesaji pun telah siap di setiap sudut istana. Jagat sendiri telah siap di atas singgasananya dengam pakaian kebesaran. Tampak di sisi kanannya telah duduk wanita tercantik di Singgalang. Akshita duduk dengan anggun berhias mahkota bermata merah delima yang sesekali memancarkan cahaya berkilauan. Sementara di sisi kiri singgasana Jagat duduk berderet para selir yang dimulai dengan selir utama hingga ke selor tanpa status. Kali ini kedudukan selir tanpa status dimiliki oleh Pitaloka, wanita yang telah berulang kali membuat ulah di dalam istana. Apapun yang dilakukan oleh wanita itu masih saja dimaafkan oleh Jagat mengingat wanita itu adalah sesembahan dari kerajaan kecil yang telah hancur. Roro Wening duduk sambil memangku putranya yang akan dianugrahi nama Pangeran Naga Langit. Berita ini sudah tersebat di seluruh negeri hingga membuat halaman istana dipenuhi oleh warga biasa. Saat ini kerajaan tela

  • Jagat Kelana   232. S2

    Waktu begitu cepat berganti, sinar mentari masuk kamar Jagat melalui jendela yang terbuka sejak semalam, bahkan tubuh raja Singgalang pun masih tergolek berselimut di atas ranjang berteman sekuntum bunga mawar merah pekat. Prameswari yang melewati jendela kamar tersebut berdiri terdiam untuk beberapa saat lamanya. Pikirannya menerawang penuh tanya. "Tidak biasanya jendela itu terbiar begitu lama. Ada apa gerangan?" Pertanyaan demi pertanyaan menguar begitu saja tanpa ada kejelasan jawaban. Prameswari akhirnya melanjutkan perjalanan, dengan perutnya yang sudah besar membuat wanita itu sedikit kesulitan berjalan. Di tengah perjalanan pandangannya menangkap bayangan wanita cantik sedang bersenandung gending jawa yang dia tidak mengerti. Gerak wanita tersebut begitu familiar dan lembut, senyumnya terlihat lepas tulus. "Siapa wanita itu, wajahnya begitu indah bahkan aroma tubuhnya menguar hingga jauh."Tanpa sadar Prameswari terus melangkah mendekat pada sosok tersebut, bibirnya berger

  • Jagat Kelana   231.

    Untuk sesaat Airlangga masih tenggelam dalam samudra ragu, pemuda itu menatap langit yang telah gulita, hembusan napasnya begitu terdengar berat, seakan membawa beban.Jagat Kelana yang belum bisa memahami apa jalan pikiran putra berdarah silumannya dengan sabar menunggu deretan kata yang mungkin keluar dari untaian kegelisahan.Kembali terdengar hembusan napas berat Airlangga membuat hati Jagat seketika berontak, lalu kepalanya menoleh memindai keseluruhan wajah putranya, dia mencari arti di setiap gurat wajah Airlangga. "Jangan membuat semua menjadi sulit jika jalan termudah itu ada, Putraku. Utarakan saja!"Airlangga menoleh menatap ayah biologisnya yang telah lama dia rindukan sejak kecil. Selama ini, dia hanya mendengar semua kisah pria tersebut dari ibunya tanpa mengenal secara nyata. Perlahan bibir Airlangga melengkung tipis, bahkan hampir tanpa terlihat oleh Jagat. Namun, sebagai seorang ayah Jagat Kelana masih bisa menangkap gerakan tipis bibir itu. "Jika Engkau kecewa den

  • Jagat Kelana   230. S2.

    Hati terus berlalu, waktu silih berganti. Angin pun seakan berhenti meninggalkan jejaknya. Jagat Kelana terlihat gelisah menunggu kelahiran putra Roro Wening.Wajahnya yang tampan mulai berkeringat dingin, tetapi auranya masih begitu memukau. Prameswari masih setia menemani Jagat meskipun dia sendiri juga dalam keadaan lemah akibat hamil muda. "Duduk saja di sini, Tuanku," pinta Prameswari masih dengan nada lembut. "Mengapa lama sekali prosesnya, Prames?""Ini sudah hal yang biasa, apakah masa silam Anda tidak pernah mengerti kelahiran Pangeran Airlangga, Tuanku?"Jagat Kelana menatap sendu pada selirnya, bibirnya bergerak lirih, "sayangnya aku tidak ada saat Airlangga lahir. Apakah sesakit itu?"Prameswari meringis, dia tidak menjawab tanya suaminya. Pendengarannya saja dibuat mati. "Prames, ada apa denganmu?""Tidak, aku hanya belum ingin merasakan sakitnya.""Lalu mengapa ada noda di sana?"Kalimat suaminya seketika membuat wajah Prameswari menjadi pias, dia mencengkeram punggun

  • Jagat Kelana   229. S2

    Setelah dua hari dua malam akhirnya Jagat Kelana menyudahi pergerakan tubuhnya pada selir agung. Bibir pria itu melengkung sempurna kala melihat hasil perbuatannya pada tubuh indah dengan perut buncit itu. "Maafkan aku, Nyai. Tubuhmu begitu candu hingga hasratku sulit dibendung," ucap Jagat dengan nada rendah sambil meraih tubuh polos istrinya itu. Dua hari dua malam tubuh Roro Wening dihajar oleh Jagat membuat wanita itu terlukai lemah di atas ranjang. Dengan lembut, Jagat menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh polos istrinya. "Nyai, rasanya aku tidak sanggup bila harus meninggalkan kami sendiri di sini. Tetapi aku harus masuk lagi ke dunia Akshita. Ada entitas yang akan membahayakan dunia fana ini." Jagat berbicara dengan nada rendah cenderung berbisik. Kemudian Jagat berdiri dan meraih jubah kebesarannya, lalu dia keluar kamar pribadi selir agung. Langkahnya yang panjang membawa sampai ke dapur, tanpa suara Jagat langsung mengambil timba berisi air dan membawanya ke kamar

  • Jagat Kelana   228. S2

    Roro Wening berjalan kembali ke paviliunnya. Dia membuka pintu dan langsung melihat suaminya sudah duduk sila di atas ranjang. Melihat Jagat Kelana sudah duduk sila seketika Roro Wening mempercepat langkahnya. Ada kekhawatiran yang muncul dalam sorot mata sendu, dia merasakan adanya aura lain yang merasuki tubuh suaminya. "Suamiku, ada apa dengan tubuhmu?" ucap Roro Wening sambil duduk di belakang Jagat Kelana. Jemarinya yang lentik menyentuh kulit suaminya, lalu terjadi sengatan begitu kulit keduanya saling bersentuhan. "Jangan ganggu aku dulu, Nyai. Biarkan semua energi ini masuk dalam tubuhku!"Suara Jagat menghentikan gerakan Roro Wening. Wanita itu memilih bangkit dari ranjang dan berjalan menuju ke kursi yang menghadap pada posisi suaminya. Dahi selir agung berkerut kala mendapati tubuh Jagat mulai berkeringat besar dan bergetar. Tubuh telanjang dada itu perlahan mulai terlihat segar dan menggoda akibat lelehan air bening. Beberapa kali Wening menelan air liurnya. Dia send

  • Jagat Kelana   227. S2

    Pitaloka terdiam, dia tidak berani berkata lagi. Tatapan selir agung begitu tajam hingga terasa sesak dada Pitaloka. "Pergilah, Sasti. Segera siapkan apa yang aku pinta!"Sasti pun segera berlalu meninggalkan kedua selir raja yang saling berseteru. Melihat dayang pribadi selir agung pergi kedua mata Pitaloka menyipit, dia meraup wajahnya sendiri "Apa maksud kamu menghalangi pekerjaan dayangku, hem?""Bukan begitu, Yunda Selir. Aku hanya bertanya pada dayang itu, tidak ada maksud lain," jawab Pitaloka. "Iya sudah, lupakan saja. Ini bukan urusan kamu." Usai berkata Wening berlalu meninggalkan tempat itu. Pitaloka mengepalkan kedua tapak tangan sambil menghela napas berat. Dia tidak terima dengan perlakuan selir agung, dia ingin saat ini menjadi permaisuri raja. Setidaknya menjadi wanita di hati raja itu. "Sialan kau, Wanita Tua. Lihat saja nanti!" Pitaloka kembali ke paviliun miliknya, dia memanggil dayang pribadi yang khusus dipilihnya sendiri. Mendengar namanya dipanggil dayang

  • Jagat Kelana   226. S2

    Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status