Share

2. Hukuman

Gelap dan hanya hewan malam yang bisa didengar. Seonggok daging yang masih bisa bergerak mulai mengeluarkan suara. Iya, dia adalah Jagat. Pemuda malang itu dibuang oleh Abimana dan kawan-kawannya ke jurang terdalam.

Untung tubuh Jagat masih bisa terselamatkan dengan tersangkut di antara tumbuhan menjalar yang menjuntai mulai atas tebing hingga dasar.

"Haus, air! Aku butuh air ...." Jagat perlahan membuka kolopak matanya, dia memandang sekitar, "Dimana aku?"

Jagat berusaha berdiri dan berpijak pada batang yang menjulur dan lumayan besar. Namun, belum sampai kaki menyentuh batang itu dia terpeleset hingga jatuh dengan kecepatan yang lumayan. Tulang punggungnya menghantam ranting beberapa kali hingga terhempas di rerumputan.

"Argh! Lumayan tinggi juga tebing itu!" kata Jagat sambil melihat ke atas. "Tempat apa ini, begitu lembab dan dingin?"

Jagat masih terlihat bingung dan pandangannya menyapu keadaan sekitar. Perlahan dia bangkit dan mulai menyusuri setapak yang sepertinya sudah lama tidak dipakai. "Tempat ini sepertinya sudah lama ditinggalkan. Tetapi oleh siapa?"

Jagat masih terus mengikuti jalan itu hngga terlihat mulut goa, "Sepertinya hujan akan turun, aku berteduh di goa itu saja!"

Langkah Jagat pun langsung menuju ke pintu goa. Awalnya goa itu terlihat pengap dan kumuh, lalu dengan menggunakan rumput liat lantai goa dibersihkan. "Nah jika sudah bersih jadi nyaman untuk rebahan."

Jagat merebahkan tubuhnya pada lempengan hitam yang ada di sisi kanan goa dan menyatu pada dindingnya. Pemuda itu mengeliatkan tubuhnya agar tulang sendi yang kaku sedikit lebih lentur. Namun, telapak tangannya menyenggol batuan yang ada diujung kepala.

Batu itu tergeser dan terdengar suara berdesing juga sinar kebiruan, kedua kejadian itu membuat Jagat terpana. Sebuah kujang terbang melayang memutar di atas kepala Jagat. Pemuda itu masih belum bisa menguasai jiwanya, tatapannya tertuju pada kujang tersebut.

"Kujang Sakti, mendekatlah padaku jika kau merasa nyaman!" Pinta Jagat dengan nada lantang.

Seakan kujang itu memiliki perasaan dan hati, dia terbang menuju ke dada Jagat.

Blesh!

Bagai sebuah senjata siluman, kujang itu memasuki raga Jagat dan pemuda tersebut belum siap. Jagat memegangi dadanya yang terasa nyeri dan panas. Keringat dingin keluar bercucuran, kedua telapak tangannya menekan dada. Sesekali dipukulnya dada dengan tujuan agar kujang itu mau keluar

Akan tetapi, sayangnya kujang itu tidak keluar tetapi justru merangsek masuk lebih dalam. Setiap gerakan kujang dapat dirasakan oleh Jagat. Pemuda itu semakin meremat kuat dadanya sendiri. "Ini gila, bagaimana bisa berjalan sesuka hatimu, Kujang. Aku mohon berhentilah!"

Jagat masih terus memukul dadanya sendiri, bahkan kini dia mencari batu untuk memukul dadanya. Dia berharap dengan bantuan batu tenaganya bisa lebih kuat. Namun, ternyata semua sia-sia. Kujang tersebut masih berada di tubuh Jagat justru yang ada dadanya membiru akibat pukulannya dengan batu.

Rasa panas mulai menjalar ke seluruh tubuh Jagat membuat pemuda itu duduk meringkuk menyatukan lutut dan dadanya. "Panas, ini panas sekali. Hentikan Kujang. Apa yang kau inginkan dariku?"

Hening tidak ada jawaban, Jagat pun mulai bergerak tidak nyaman. Tiba-tiba seberkas sinar kebiruan meluncur menghujam tubuh Jagat membuat dia menjerit panjang selayaknya lolongan serigala.

"Sakit, siapa kalian? Apa salahku hingga kau siksa aku seperti ini, keluarlah tunjukkan wujudmu!" Jagat terus berteriak mencari seseorang yang mungkin menjadi pemilik kujang.

Rasa sakit dan nyeri datang lagi hingga membuat tubuh Jagat menggelepar terlentang kembali di lempengan batu hitam. Kemudian tubuh Jagat menghadap ke dinding goa. Kedua bola matanya membeliak kala dinding itu juga mengeluarkan sinar kebiruan.

"Aku mohon keluarlah, Kujang!" Pinta Jagat.

Ada benda yang terbuat dari kayu cendana melayang di depan mata membuat Jagat ingin menangkap. Dengan sekuat tenaga Jagat mencoba meraihnya dan blum!

Benda yang terbuat dari kayu cendana itu pun ikut masuk dalam raga Jagat, pemuda itu mengerang kesakitan hingga akhirnya pingsan.

Sementara di atas tebing, terlihat Abimana tertawa bahagia. Dia dan dua anteknya melihat ke bawah jurang yang sangat dalam.

"Tubuh pria ayu tadi pasti hancur saat menyentuh tanah, Pangeran," ujar Jantaka.

"Se-sepertinya begitu, Jantaka. Tidak mungkin jika tubuhnya utuh lihat ke bawa sana! Gelap dan anginnya bertiup begitu kencang," papar Kurubumi.

"Sebaiknya kita segera balik ke padepokan, ingat jika paman koki menanyakan keberadaan Jagat kalian harus bungkam!" ancam Abimana.

Kedua antek pangeran itu mengangguk terutama Kurubumi, pria muda yang sejak kecil sudah bermain dengan Abimana tidak berani membantah. Dia tahu kekuasaan macam apa yang berada di belakang Abimana. Kurubumi yang merupakan putra seorang panglima kerajaan Bumi Seloka selalu mengalah pada Abimana yang merupakan seorang putra mahkota.

"Ingat Jantaka jangan pernah membuka mulut!"

Jantaka hanya menjawab dengan gumaman lirih. Mereka terus berjalan hingga sampai di tempat tandon besar yang terletak di belakang dapur umum. Dari jau Abimana busa melihat bahwa paman koki sudah berdiri di ambang pintu masuk dapur, sepertinya dia sedang menunggu seseorang.

"Hai Paman Koki, sedang apa Anda berdiri di sana. Segera masuk dan masak makanan untuk kami!" teriak Abimana lantang dan dingin.

Paman koki yang bernama Ki Jemblung hanya diam, dia tidak memedulikan pada suara teriakan Abimana yang memberinya perintah. Melihat teriakannya tidak diperhatikan oleh Jemblung membuat Abimana naik pitam, kakinya meluncur berniat untuk menendang empat kaki yang menyangga gentong besar.

"Aku tidak butuh kalian, pergilah!" Hentak Jemblung.

"Hai, jangan bikin sakit hati pangeran jika hidupmu ingin nyaman di masa depan!" Jantaka ikut berkata kasar pada koki padepokan itu.

"Aku tidak peduli pada apapun jua. Kalian yang memulai semua ini, kelak di masa depan merugilah!" Sumpah serapah yang lolos dari bibir Jemblung seketika disambar oleh suara petir yang bersahutan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status