Aku menatap topeng wajah Ben yang kupakai ketika bertemu dengan Sally. Ada rasa bahagia sekaligus kecewa dengan pertunanganku dengan Sally. Di satu sisi, mulai sekarang aku bahagia bisa mendekati Sally tanpa merasa canggung namun hati ini berdenyut sakit karena dia menerimaku sebagai Ben bukan diriku yang sebenarnya.Katakanlah aku tengah bersikap egois dengan menjebak Sally melalui perjodohan ini meskipun aku membencinya karena fakta yang kuketahui sepuluh tahun lalu. Setidaknya aku bisa membalaskan dendamku pada Sally dengan pernikahan ini, menjebaknya dengan cara menikahi pria berwajah buruk rupa.Di kantor aku bersikap senormal mungkin memposisikan diri sebagai atasan dan Sally adalah salah satu anak buah yang membantuku mengembangkan perusahaan. Seperti kata Mark, kinerja Sally memang harus kuakui. Caranya melobi partner dan bernegosiasi sangat cerdik bahkan dengan mudah proyek yang sudah dikembangkan disetujui oleh pemerintah.Sejak pertemuan itu, aku dan Sally
“Hai, Sal. Mau kemana? Ayo masuk, kuantar.”Bola mataku jengah mendengar suara pria arogan sekaligus egois ini. Dia Viko, bisa dikatakan mantan pacar yang terpaksa kuakui dulu demi menghindari laki-laki lain mendekatiku.“Mau pulang. Aku bisa sendiri.” Sengaja menjawab ketus dan meninggalkan Viko.Nyatanya aku lupa kalau Viko pantang ditolak. Dia sengaja menepikan mobilnya melintang di tengah jalanan sibuk yang otomatis menimbulkan kemacetan dan langsung terdengar klason mobil di belakang membuat keadaanku terdesak.“Kalau kamu ngak mau, aku bakalan diam disini. Biar saja jadi macet.”Sambil menghentak kaki, terpaksa aku membuka pintu penumpang dan masuk ke dalam mobil Viko.Sepanjang perjalanan pulang ke rumah papa Raka, Sally sengaja mendiamkan Viko hanya sesekali menjawab singkat pertanyaan pria itu sampai mereka tiba di rumah.“Loh pulangnya sama Viko.” Sahut Carol terkejut juga sedi
“Hem, aku pernah menyukai seseorang dan sampai sekarang mungkin perasaan itu masih ada.”Aku menatap wajah Sally yang mengaku masih memiliki perasaan dengan pria lain. Jantungku berdebar seakan tahu siapa yang dimaksud Sally. Bahkan caranya mengakui dengan menaikkan kepalanya menatap cahaya bulan di atas sana sudah menjawab langsung perasaan Sally kepadaku masih sama.Tapi, belum tentu dia itu aku. Bisa saja pria yang masih hadir di hati Sally adalah John kan.Tidak lama kemudian wajah Sally terhenyak menyadari telah mengungkapkan kejujuran yang mungkin harusnya ditutupi dariku, lalu Sally menetralkan wajahnya dan menatapku serius.“Maaf. Tapi aku tidak mau menutupi apapun dari kamu, Ben.”“Apa kamu masih berhubungan sama dia?”Sally menunduk kemudian menggelengkan kepalanya. “Kami sudah berpisah lama sekali. Cinta masa kecil, mungkin karena cinta pertama jadi masih meninggalkan kesan. Itu saja kok.&
Sejak Ben menawarkan untuk mengantar Sally ke kantor, pria itu melakukannya setiap kali Sally pulang ke kediaman Raka. Tadinya Ben meminta untuk mengantar Sally dari apartemen namun dilarang dengan alasan ia berangkat dengan teman sekamarnya itu, akhirnya Ben mengalah. Keduanya semakin dekat bahkan Sally merasa nyaman ketika bersentuhkan kulit dengan Ben, entah mengapa ada rasa nyaman dalam diri Sally setiap kali dekat dengan Ben.Hubungan Sally dengan Sean di kantor masih terlihat datar dan canggung namun ,ereka tetap bekerja secara profesional dan tidak terbawa oleh suasana masalah pribadi yang sampai kini masih belum jelas penyelesaiannya karena keduanya masih bertahan dengan ego masing-masing menunggu salah satu untuk mulai membahasnya lebih dulu.Meeting proyek dengan pemerintah akhirnya tiba, Sally yang menjelaskan presentasi profil perusahaan sampai rencana kerjasama dengan pemerintah untuk kontrak lima tahun kedepan sudah dijabarkan. Perusahaan Sean sedang meng
"Malam, Sally. Saya ucapkan selamat atas kerja keras tim kamu. Proyek ini berjalan dengan sempurna berkat kecerdasan dan kepiawaian anda, saya senang kali karena divisi PR diisi oleh orang secerdas anda.""Terima kasih, Pak Lukas. Ini semua berkat kerja sama tim semua bukan usaha saya, Pak." Sally menjawab sambil tersenyum berusaha untuk ramah meskipun ia risih dengan tatapan dan senyumnya.Pak Lukas adalah seorang duda berusia 35 tahun, ia terkenal playboy di kantor. Wajahnya lumayan tampan dan manis, dia sering bergonta ganti pasangan dengan beberapa staff wanita di kantor. Melihat kecantikan Sally, tentu saja membuat jiwa buaya dalam darahnya bangkit dan berusaha untuk mendekatinya.Ceri sendiri sedang menghampiri Mark ketika Sally masih bercakap-cakap dengan tim lain tanpa menyadari kehadiran Pak Lukas."Boleh saya panggil kamu dengan nama saja, biar lebih akrab lagian kita juga sedang tidak di kantor kan. Boleh yah Sally." Tangan Pak Lukas mulai berj
Canggung dicampur debaran jantung menggila dan keinginan tidak waras di dalam otak keduanya menjadi gambaran perasaan Sally juga Sean saat ini.Dorongan untuk memajukan wajahnya dan mengecup lagi bibir Sally semakin menjadi, bekerja dalam satu perusahaan dan hampir bertemu setiap hari membuat rasa benci Sean terkikis dikalahkan oleh rasa cintanya pada Sally. Namun keinginan itu pupus ketika Sally menunduk dan menoleh berlawanan arah dengan Sean.Sikap sederhana Sally dianggap sebagai penolakannya kepada Sean dan hal itu membuat Sean kecewa dan kembali pada mode dinginnya."Saya antar sampai depan apartemen kamu. Ngak merasa apa sama gaun kamu ini.”“Memangnya gaun saya kenapa, Pak?” Tanya Sally mengerucut kesal kenapa Sean sampai harus mengurusi soal apa yang dipakainya.“Ngak kepikiran apa gaun ini bisa mengundang laki-laki yang pikirannya ngak baik buat godain kamu."Sally bingung dengan ucapan Sean dalam hatinya merutuk sendiri.‘Apa urusannya juga gaun gua sama protesnya dia. Dasa
‘Apa yang terjadi dengan Sally ku?’ Tanya Sean dalam hati semakin merutuki dirinya merasa bersalah.“Bilang, Mark. Sally trauma kenapa?” Kedua matanya terasa panas mengabut dengan pikiran buruknya mengutuki diri sudah jadi pria bodoh.Mark mencoba mendinginkan emosinya dan duduk diikuti oleh Sean yang kini duduk disebelahnya."Sean gua yakin loe berdua dulu pisah karena ulah John. Loe selalu bilang kalau Sally sebelum jadi pacar loe dia sudah pacaran sama John, itu semua ngak benar. Dia sama sekali bingung sekaligus patah hati sama keputusan sepihak loe itu. Salah dia apa juga dia sama sekali ngak tahu. Soal trauma, kalau memang Sally pacaran sama John kenapa justru si berengsek itu yang bikin Sally jadi trauma berat.” Mark berusaha menjelaskan dengan tenang dan memancing logika akal sehat Sean.Kemudian ia menepuk lengan Sean. "Please, Sean. Cerita sama gua apa alasan dulu sampai loe mutusin sepihak hubungan kalian
Sally masih memikirkan ciuman Sean setelah pesta. Walau rasa takut akan masa lalunya muncul, tapi ada percikan yang ia rindukan hadir kembali. Ia terus memegang bibirnya dan membayangkan wajah tampan Sean."Bisa bekerja denganmu dan melihatmu setiap hari, itu sudah lebih dari cukup. Aku mencintaimu Sean.” Sally memejamkan mata berusaha tidur sambil memegang gelang yang ada di tangannya.Namun usahanya terhalang ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Ben.“Apa kamu sudah tidur?”“Hampir.”“Maaf ganggu. Boleh telepon sebentar?”“Hem, boleh.”Detik kemudian ponsel Sally berdering dan gadis itu langsung mengangkatnya.“Halo, Sal. Maaf ganggu waktu istirahat kamu. Ada yang mau aku tanyakan.”“Ngakpapa, Ben. Ada apa?”“Apa kamu siap kalau pergi berduaan denganku di tempat umum?”Kening Sally mengernyit namun otaknya segera mencerna dan mengerti apa maksud ucapan Ben. Saking hanyut dengan pengalaman ciuman mendebarkan dengan Sean tadi, dirinya sampai lupa kalau pria yang sudah menjadi