LOGINDiana tak pernah menyangka hidupnya bisa terjun secepat itu. Dia dikeluarkan dari restoran karena kontraknya tidak diperpanjang. Terdesak kebutuhan, dia menerima pekerjaan di sebuah rumah megah milik Daniel Arsenio—tuan muda kaya raya yang baru saja ditinggal tunangan dan kehilangan seluruh selera hidup. Daniel dingin, temperamental, dan sulit dipuaskan. Diana hampir dipecat di hari pertamanya bekerja, hingga Daniel mengusulkan sesuatu yang akan mengubah hidupnya-jadi pemuas nafsunya. Di antara perintah, desahan, dan batas yang kabur, Diana terjebak dalam permainan berbahaya. Daniel hanya ingin pelampiasan, tapi kenapa tatapannya seolah mulai menginginkan lebih? Ketika hasrat berubah menjadi candu, dan candu berubah menjadi sesuatu yang tak seharusnya tumbuh, siapa yang akhirnya akan menyerah?
View More“Diana, maaf, tapi kamu resmi dipecat mulai hari ini.”
Kalimat itu keluar dari mulut Pak Herman, manager di restoran tempat dia bekerja, sebelum Diana sempat duduk usai tiba di ruangan itu.
Tidak ada pembukaan, tidak ada basa-basi. Hanya hantaman telak sejak detik pertama dia melangkah ke ruang kantor kecil di belakang dapur restoran.
Mata Diana langsung membola sementara tubuhny kaku mendengar kalimat itu. “Sa-saya dipecat, Pak?”
Pak Herman menghela napasnya menatap Diana. “Ini bukan keputusan saya. Restoran sedang memotong banyak posisi, dan pusat memutuskan mengakhiri kontrakmu lebih cepat. Hari ini hari terakhir kamu bekerja di sini.”
Semua suara di luar ruangan, dentang piring, pesanan yang diteriakkan koki, langkah para pelayan tiba-tiba terasa jauh. Seakan dunia menyusut menjadi satu kalimat itu saja.
“Kalau kamu butuh surat rekomendasi, saya akan buatkan,” lanjut Pak Herman lembut. “Kamu karyawan yang rajin, Diana. Maafkan saya.”
Diana hanya bisa mengangguk. “Terima kasih, Pak, untuk semuanya.”
Begitu dia keluar dari ruangan, udara restoran terasa berbeda, lebih dingin, samar, dan penuh gema.
Rekan kerja lalu-lalang tanpa menyadari hidupnya baru saja runtuh. Dia mengambil tasnya di loker, menatap apron yang harus dia lepaskan, lalu berjalan keluar restoran dengan langkah paling berat yang pernah ia rasakan.
Begitu matahari sore menyapu wajahnya, ponselnya bergetar. Nama Citra muncul.
“Halo?” suara Diana terdengar lebih serak dari biasanya.
“Kak, soal tunggakan sekolah itu, pihak sekolah bilang kalau minggu ini belum dibayar, Citra nggak bisa ikut ujian akhir.”
Diana menutup mata dengan rapat sambil menahan isakan yang hampir lolos. “Iya, Dek. Kakak akan urus. Kamu nggak usah khawatir, ya? Kakak akan bayar uang sekolahnya dalam minggu ini.”
“Kakak serius?” Suara Citra terdengar lega.
“Ya, nanti Kakak kabarin kalau sudah dibayar ya, Dek. Sebaiknya kamu fokus saja sama belajarmu,” ucap Diana dengan suara yang dia buat setenang mungkin.
“Iya, Kak. Terima kasih, Kak. Citra sayang Kakak.”
Telepon pun terputus dan barulah air mata itu jatuh.
Dia kini tidak punya pekerjaan. Tidak punya tabungan. Tunggakan sekolah adiknya menunggu. Orang tuanya mengandalkan gajinya. Sewa rumah jatuh tempo bulan depan.
Dengan mata yang masih merah, dia memaksakan diri berkeliling seharian mencari lowongan.
“Maaf, posisi sudah terisi.”
“Kita butuh pengalaman bakery minimal setahun.”
“Maaf, usia maksimal dua puluh lima.”
Penolakan demi penolakan. Senjanya dihabiskan di jalan, sandal tipisnya sudah terasa kasar menusuk kaki.
Ketika akhirnya ia duduk di halte, lelah dan hampa, matanya menangkap selembar brosur lusuh di papan pengumuman.
LOWONGAN PRT (LIVE-IN) – Keluarga Arsenio — Gaji Tinggi, Fasilitas Lengkap.
Gaji yang tertera nyaris tak masuk akal bagi pekerjaan biasa. Bahkan bisa menutupi sebagian besar masalahnya.
Tapi di bagian bawah tertulis: Kriteria: Disiplin tinggi, tahan tekanan, siap bekerja di bawah standar ketat keluarga Arsenio.
Saat melihat nama itu, entah kenapa terdengar familiar.
Diana akhirnya langsung menelpon Mila. “Mil, kamu tahu sesuatu soal keluarga Arsenio?”
“Kamu mau melamar ke sana?” suara Mila langsung berubah tegang. “Diana, majikannya terkenal super dingin dan sulit dipuaskan. Banyak PRT nggak bertahan karena satu kesalahan kecil pun langsung dipecat. Tapi gajinya memang gede banget, sih.”
Dingin. Sulit dipuaskan. Standar ketat. Tekanan tinggi.
Diana menatap brosur itu lama. Dia bisa saja takut bahkan seharusnya takut.
Tapi, bayangan wajah orang tuanya, bayangan Citra yang menangis kalau tak boleh ujian. Bayangan dirinya yang mungkin tidak punya rumah bulan depan.
Dia menggenggam kertas itu lebih erat dan menarik napasnya dengan panjang. “Aku akan mencobanya,” gumamnya lirih.
Malam itu juga Diana berjalan menuju alamat interview yang tertera di brosur, sebuah mansion besar yang hampir tidak terlihat dari pintu gerbang tinggi dan pekat.
Lampu-lampu taman menyala lembut, memantulkan kilau dingin dari bangunan megah bergaya modern.
Diana menatapnya dengan perasaan campur aduk: kagum, takut, dan sangat kecil.
Penjaga gerbang memeriksa brosur dan identitasnya sebelum mengangguk dan membukakan pintu. “Silakan masuk. Tuan Daniel sedang ada di ruang utama.”
Diana mengangguk dan melangkahkan kakinya melewati hall yang sangat luas dan sangat hening. Ruangan itu terlalu bersih dan terlalu rapi, seolah setiap sudutnya tengah mengawasi siapa pun yang datang ke rumah itu.
Sampai akhirnya dia melihat seorang pria berdiri di depan jendela besar membelakanginya. Tubuhnya begitu tegap, bahunya kokoh, dan auranya begitu dingin. Sangat dingin.
Tanpa menoleh, pria itu bertanya dengan suara rendah namun tajam seperti pisau baru diasah.
“Nama?”
Diana langsung kaku. “D—Diana, Tuan.”
Pria itu berbalik perlahan dan menatap Diana.
Wajahnya jauh lebih menakutkan daripada rumor yang Mila ceritakan. Tatapannya gelap, tajam, seperti sedang menilai seluruh hidup seseorang dalam satu detik.
“Jadi kamu yang melamar posisi live-in?” tanyanya lagi dengan suara yang dalam, tidak tergesa tapi cukup mengintimidasi Diana.
Wanita itu lalu menelan ludahnya sambil mengangguk. “I—iya, Tuan.”
Dia melangkah mendekat. Setiap langkahnya terdengar berat namun pasti, seperti seseorang yang tahu betul bahwa semua orang selalu menyingkir ketika dia lewat.
Tatapannya menyapu Diana dari kepala sampai ujung kaki, sedang menilai apakah seseorang pantas berada dalam rumahnya atau tidak.
"Sudah baca persyaratannya?"
Diana berdiri tegak meski lututnya terasa lemas. "Ya, Tuan. Saya siap bekerja keras di sini."
Pria itu tidak langsung menjawab. Matanya menyapu Diana dari atas ke bawah, penuh perhitungan.
“Di sini tidak cukup hanya 'siap'. Aku tidak mentolerir kesalahan. Tidak ada maaf untuk kelalaian. Tidak ada toleransi untuk alasan. Kamu yakin bisa bertahan?”
Diana menggenggam tas kecilnya lebih erat. Seketika ucapan Mila bergema di kepalanya. Banyak yang hanya bertahan beberapa minggu.
Tapi kemudian bayangan Citra muncul. Bayangan ayah dan ibunya. Bayangan tagihan yang menumpuk.
Dia mengangkat dagunya dan menatap mata Arsenio meski jantungnya berdegup kencang. “Saya ... saya akan membuktikannya, Tuan.”
Arsenio tidak tersenyum. Tidak ada persetujuan dalam raut wajahnya. Hanya tatapan tajam yang seolah menguji apakah Diana benar-benar serius atau hanya berani di bibir.
“Baik,” ucapnya akhirnya, dingin. “Kamu bisa bekerja besok, pukul lima pagi. Jangan terlambat sedetik pun.”
Diana mengangguk dengan cepat sambil mengulas senyumnya, bahagia karena Daniel menerimanya. “terima kasih, Tuan.”
Saat dia berbalik untuk keluar, suara Daniel kembali menghentikannya. “Satu lagi.”
Diana lantas menoleh.
"Jangan harap kamu akan mendapat perlakuan istimewa di sini,” katanya datar. “Semua orang di rumah ini bekerja sesuai aturanku. Termasuk kamu.”
Diana duduk di tepi ranjang kamarnya dengan tubuh yang terasa asing baginya sendiri. Tangannya bergetar ketika dia menurunkan pandangan ke satu lembar kertas di atas meja kecil di dekat ranjang kecilnya.Sebuah cek kosong. Angka belum diisi. Hanya satu tanda tangan tegas di sudut kanan bawah—tanda tangan Daniel.Nama pria itu tercetak jelas, seolah menertawakan segala yang baru saja dia korbankan beberapa menit yang lalu.Diana menelan ludahnya. Dadanya terasa sesak. Dia tidak tahu apakah ini akan berlangsung seminggu, sebulan, atau entah sampai kapan.Daniel tidak pernah memberinya batas waktu. Tidak ada perjanjian tertulis. Tidak ada akhir yang jelas.Hanya satu hal yang pasti bahwa malam ini adalah yang pertama. Dan itu cukup untuk membuatnya merasa kehilangan sebagian dari dirinya sendiri.Dia lalu memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tidak boleh menangis sekarang. Tidak di sini. Tidak setelah semuanya terjadi.Ponselnya tiba-tiba bergetar di
Pria itu kemudian menuntun Diana ke ranjang luas yang rapi dan elegan. Matanya menatap bibir merah Diana yang sudah menjadi incaran Daniel sejak tadi.Tangannya menyusuri garis rahang Diana lalu bibirnya mulai menyentuh bibir wanita itu.Ciuman yang semula lembut bahkan tidak menuntut, namun berhasil membuat tubuh Diana begitu tegang.Daniel bisa merasakan betapa tegangnya Diana yang kini sedang dia kuasai. Tangannya mengusap punggung Diana dengan lembut dan bibirnya menyusuri lidah Diana dan bergerliya hebat hingga suara cecapan itu kian terdengar.“Umh ….” Diana mulai mengeluarkan desahan dan berhasil membuat Daniel menggila.Bibirnya kembali masuk ke dalam, memainkan lidahnya lalu merebahkan tubuh Diana dengan perlahan. Tangan Diana memegang lengan kokoh Daniel dengan erat.Napasnya hampir habis karena ciuman membara yang dilakukan Daniel padanya.Bibir Daniel turun ke bawah, menyusuri garis leher Diana dengan lidahnya. Memberikan sensasi panas menguasai tubuh Diana.Perempuan itu
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Jantung Diana sudah tidak bisa berdebar seperti biasa lagi setelah berdiri tepat di depan kamar Daniel. Malam ini juga Diana harus melakukan apa yang diminta oleh pria itu. Diana menelan ludahnya berkali-kali sembari menetralisir kegugupannya.Diana kemudian mengetuk pintu kamar tersebut dan beberapa detik kemudian membuka pintunya.“Selamat malam, Tuan,” sapa Diana dengan pelan.Daniel yang sedang duduk di tepi tempat tidur menatap Diana dengan tatapan gelapnya. Kemeja hitam dengan dua kancing sudah terbuka, memperlihatkan dada bidang Daniel.Daniel beranjak dari duduknya lalu memberikan sebuah lingerie warna merah darah mencolok transparan.“Gunakan ini,” titah Daniel dingin.“A-apa, Tuan?” ucap Diana dengan gugup.Daniel hanya menarik tangan Diana dan memberikan baju itu padanya. Dari tatapannya terlihat jelas kalau Daniel enggan mengatakan dua kali.Diana pamit untuk mengganti pakaian itu ke kamar mandi.Beberapa menit kemudian, kini, tub
Pagi datang terlalu cepat bagi Diana. Wanita itu kembali mengenakan seragam pelayan berharap Daniel tidak jadi memecatnya.“Tolong antarkan kopi untuk Tuan Daniel,” ucap Angela sambil memberikan nampan berisi kopi kepada Diana.Wanita itu menerima nampan tersebut dan berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Daniel. Tangannya gemetar meski dia berusaha menggenggam nampan kopi itu sekuat mungkin.Aroma kopi hitam yang masih mengepul hangat tidak mampu menenangkan debar jantungnya.Setiap langkah mendekati pintu itu membuat kepalanya semakin penuh dengan ingatan malam sebelumnya, kata-kata Daniel, pintu yang terkunci, tawaran yang tak pernah benar-benar dia pahami sepenuhnya.Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu.“Masuk.”Dia lalu membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Daniel duduk di balik meja kerjanya, mengenakan kemeja rapi dengan lengan digulung setengah.Rambutnya tersisir rapi, wajahnya bersih bahkan Diana sempat terpana karena penampilan Daniel jau












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.