Share

Bab 7

Penulis: Moody Moody
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-14 16:25:13

Keesokan harinya di kediaman keluarga Cooper. Alice terbangun dari tidurnya yang nyenyak semalaman. Dia mulai meregangkan kedua tangannya sebelum akhirnya beranjak dari tempat tidur. Setelah itu, Alice pergi ke kamar mandi dan 30 menit kemudian dirinya sudah selesai mandi. Pagi hari yang cukup sibuk membuat dirinya harus segera bersiap untuk pergi ke kampus sambil menyiapkan sarapan untuk ayah dan kakaknya. Ketika Alice sudah selesai menyiapkan sarapan, tiba-tiba Antoni berteriak kepada dirinya dengan nada marah. Alice yang menyaksikan akan hal itu kemudian merasa tersentak oleh nada bicaranya. Antoni kemudian duduk di meja makan sambil menikmati sarapannya. Di sisi lain, Alice yang merasa kesal mencoba untuk menahan diri. Setelah itu, Alice langsung berangkat dengan alasan kelas di mulai lebih awal. Begitu Alice berjalan di sekitar trotoar, dirinya melihat toko roti yang ada di sekitar wilayah itu. Dengan perlahan, dirinya memasuki tempat itu.

“Silahkan,” ucap seorang perempuan yang menjaga toko dengan senyuman ramah di wajahnya.

“Apa ini?” ucap Alice sambil melihat roti yang terbilang cukup unik.

“Itu menu baru kami. Apakah anda akan mencobanya?” ucap pemilik toko itu.

“Saya pesan ini saja,” ucap Alice sambil menunjuk ke roti madu yang ada di hadapannya. Pelayan itu langsung membawakannya.

“Terimakasih.

“Iya.”

“Oh iya, saya pesan satu hot latte,” ucap Alice

“Baik. Di tunggu ya.”

Sambil menunggu, Alice duduk di kursi depan meja yang ada di sana sambil melihat sekitar toko yang di penuhi dengan berbagai macam roti. Matanya yang merasa bahagia akan hal itu membuatnya tersenyum kecil. Tidak lama kemudian, minuman yang di pesan oleh Alice sudah jadi. Pelayan itu membawanya ke hadapan Alice. Alice langsung menikmati sarapannya yang sebelumnya tidak jadi karena sikap menyebalkan kakaknya itu. Sekarang, di hadapannya roti madu dan hot latte membuatnya merasa bahagia. 7 menit kemudian, Alice sudah selesai memakan makanannya dan segera pergi dari toko itu. Lokasi yang tidak jauh dari halte bus membuat dirinya tidak perlu khawatir akan terlambat. Begitu sampai di halte, Alice langsung menaiki bus yang sudah datang. Di sana banyak sekali orang yang berangkat bersama dengan dirinya. Ketika Alice hendak duduk di kursi bus, dirinya kemudian teringat bahwa baru saja ketinggalan sesuatu di toko itu. Meski dia ingin kembali, namun rupanya jam sudah menunjukan pukul 8 siang. Alice kemudian duduk di kursi tersebut dengan perasaan gelisah.

‘Ah sial, kenapa bisa ketinggalan,’ batin Alice

Tepat di sebuah toko roti tadi, seorang pelayan yang sedang bertugas melihat buku yang ada di meja tempat tadi Alice makan. Pelayan itu langsung memegangnya dan memperhatikan buku catatan tersebut sebentar. Sayangnya Alice sudah pergi sehingga pelayan itu langsung meletakan buku itu di sebuha laci di dekat mesin kasir.

“Rupanya dia meninggalkan barangnya,” gumam petugas toko.

Sesampainya di pemberhentian bus, Alice langsung turun dengan wajah murung. Dirinya lalu berjalan menuju ke kampus yang jaraknya tidak jauh dari sana. Ketika dirinya sedang berjalan, tiba-tiba seseorang mengagetkannya dari belakang. Dan orang itu tidak lain adalah Marchell.

“Yo!” ucap Marchell kepada Alice. Dan kemudian dia melihat ke arahnya.

“Oh, kau. Ada apa?”

“Wah kenapa ini? Pagi-pagi begini sudah kacau saja.”

“Berisik sekali kau.”

“Oh iya, apa akhir pekan ini kau ada waktu?”

“Tidak.”

“Kenapa? Apa keluargamu melarangmu pergi ke luar?”

“Aku harus menemui kerabatku.”

“Oh, begitu. Yasudah tidak masalah.”

“Memangnya ada apa?”

“Tadinya aku mengundangmu datang ke acara perkemahan.”

“Apa?”

“Kenapa terkejut? Tidak ada salahnya bukan meluangkan waktu untuk bersantai walau itu hanya satu hari.”

“Kau ingin penyembuhan diri?”

“Bisa di bilang seperti itu, bisa juga tidak.”

“Apa-apaan kau tidak jelas.”

Mereka masih berbincang-bincang dan tidak terasa Alice sudah mendekati kelasnya. Dirinya kemudian berpamitan kepada Marchell dan berbegas memasuki kelas. Begitu datang ke kelas, orang-orang sudah datang dan mereka sedang berbicara bersama dengan teman satu gengnya. Alice kemudian duduk. Ketika dirinya sedang duduk, Dolly datang menghampirinya dan memberikan sebuah undangan.

“Alice.”

“Apa?”

“Ini. Kau harus datang okay,” ucap Dolly dengan senyuman bahagia di wajahnya.

“Apaan ini? Kau akan mengadakan pesta?”

“Iya. Sebentar lagi ulang tahunku.”

“Apa kau anak TK? Masih merayakan ulang tahun?”

“Hey. Ayolah. Ini berbeda. Hanya sekedar makan-makan di restoran yang sudah ku pilih.”

“Dasar.”

“Pokoknya kau harus datang. Oh iya, jangan lupa ajak Marchell.”

“Apa kau juga memberinya undangan?”

“Ah tidak. Bukan seperti itu, sebiknya kau baca dengan baik. Di situ tertulis plus one. Artinya kau harus mengajak teman.”

“Aku mengerti maksudmu.”

“Syukurlah kalau begitu. Sampai nanti.”

Profesor sudah datang dan kelas langsung di mulai. Hari ini pelajarannya cukup lama. Setelah mengikuti pelajaran, Alice pergi ke sebuah laboratorium biologi untuk bertemu dengan temannya yang bernama Grace. Sesampainya di sana, Alice bertemu dengan temannya itu dan mereka mulai berbicara satu sama lain.

“Alice. Apa kau lama menunggu?” ucap Grace

“Tidak juga, aku baru saja sampai.”

“Oh iya, bagaimana kalau bicaranya di tempat yang nyaman.”

“Ah iya.”

Akhirnya mereka berdua pindah ke sebuah cafetaria. Di sana memang tidak terlalu ramai. Sebelumnya Grace menghubungi Alice ketika malam hari melalui pesan chat. Alice yang merasa penasaran akan apa yang di ucapkan oleh Grace, membuatnya datang menemuinya. Sudah lama mereka berdua saling mengenal. Meski begitu tidak membuat keduanya seperti teman satu geng. Bukan hanya berbeda jurusan saja melainkan rumah mereka yang lumayan jauh juga menjadi penyebab jarang sekali bertemu.

“Sebenarnya, aku sedang dalam kesulitan. Keluargaku pindah ke luar provinsi dan mereka meninggalkanku seorang diri di kota ini karena harus menyelesaikan pendidikan. Bukan hanya itu saja, aku punya banyak masalah. Tidak tahu harus menceritakannya mulai dari mana, yang jelas aku butuh bantuan.”

Alice begitu mendengar ucapan Grace yang saat itu terlihat terpuruk, membuatnya merasa tidak enak. Kesedihan yang di pendamnya mulai terlihat dari tatapan matanya. Alice mencoba untuk memahami situasi dan tidak ingin membuatnya terlihat kacau. Meski Grace tidak pernah menceritakan kisahnya tapi Alice dapat merasakan penderitaan yang di alaminya. Karena mereka berdua memiliki latar keluarga yang terpisah.

“Apa yang harus ku lakukan? Bisakah kau menceritakan lebih jelasnya lagi?” ucap Alice kepada Grace

“Saat ini, aku tidak memiliki siapa-siapa di pihakku. Mereka pergi dengan keegoisannya dan lagi aku sudah bukan anak kecil lagi. meski begitu, aku tidak punya apa-apa. kau paham maksudku?”

“Begitu rupanya. Baiklah akan ku coba sebisaku.”

“Benarkah?”

“Iya. Bilang saja jika kau memerlukan bantuan dan lainnya.” ucap Alice 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jangan Bungkam Suaraku!   Bab 133

    Alice yang melihat pemandangan itu semakin membuatnya teringat dengan masa-masa itu. namun dia mencoba untuk melupakannya dan sekarang ini adalah kehidupannya yang baru. Selama beberapa bulan lamanya dia tinggal di sini. Alice juga pindah sekolah dan sekarang dia berada di sekolah paling terkenal di kota ini. Dan yang paling parahnya lagi dia satu kelas dengan Benedict. Meski dia sangat baik, namun beberapa temannya terlihat memandang Alice dengan pandangan yang berbeda. Mereka seakan mendiskriminasi dirinya. Untungnya, salah satu orang yang merupakan ketua kelasnya itu berada di pihak Alice karena mereka sama-sama anak yang rajin dan pintar. Awal masuk memang terlihat mengerikan dan itulah yang di alaminya. Namun, seiring berjalannya waktu ternyata tidak seburuk yang di bayangkannya itu. Setelah dirinya melewati hari-hari baru dalam hidupnya sampailah di mana dia berada di titik mengerikan yang sebelumnya sempat di takutinya. Hari di mana dia mendengarkan secara tidak sengaja menge

  • Jangan Bungkam Suaraku!   Bab 132

    “Dengar Alice, mungkin perkataanku ini memang keterlaluan. Tapi, bagaimana pun juga aku mengatakannya sesuatu dengan apa yang sudah ku jalani. Jika boleh jujur, aku juga memiliki masalah yang sama denganmu. Kedua orang tuaku bercerai bahkan mereka berpisaha sejak aku masih di taman kanak-kanak. Meski begitu aku yang tinggal bersama dengan nenek rasanya memang menyedihkan dan ingin sekali pergi dari dunia ini. Namun, nenekku menasihatiku agar tetap menerima takdir. Soal jalan hidup apakah akan bahagia atau tidak itu tergantung kepada diri sendiri.”“Marry.”“Iya?”“Maaf, aku tidak tahu soal itu. kupikir kau...”“Sudahlah, tidak perlu meminta maaf. Lagi pula aku memang tidak punya teman untuk bercerita. Karena itulah ku katakan semua ini kepadamu.”“Terimakasih karena sudah menyadarkanku. Aku sungguh berterimakasih.”“Sama-sama, terimakasih juga karena mau mendengark

  • Jangan Bungkam Suaraku!   Bab 131

    Alice langsung pergi dan kemudian dia menghubungi Marry untuk makan bersamanya. Dengan cepat dia langsung menuju ke sana dan saat ini dirinya yang masih merasa kesal karena sikap mereka semua yang memuakan. Alice akhirnya sampai di sebuah restoran khusu makanan pedas dan dia langsung memasuki tempat tersebut. Dirinya menunggu Marry di dalam dan tidak lama setelahnya dia langsung datang. Mereka berdua berada di dalam dan mulai memilih menu yang akan mereka pesan. Kali ini Alice merasakan kemarahan yang luar biasa karena ulah dari kerabatnya itu sehingga membuatnya merasa muak apalagi melihat wajahnya. Selama beberapa pertemuan, mereka selalu menganggapnya remeh dan mempermalukannya. Saat ini, tepatnya di suatu tempat yang berbeda yang tidak lain adalah ruang pertemuan yang tadi. Di sana, Antoni sedang mengecek ponselnya dan ternyata ada banyak sekali panggilan tidak terjawab dari ibunya. Dia sengaja tidak mengangkatnya karena masih merasakan amarah yang terjadi di saat itu. Saat-saat

  • Jangan Bungkam Suaraku!   Bab 130

    “Sampai kapan kalian akan membicarakannya?” ucap Marry kepada beberapa anak yang ada di sana sedang berkumpul sambil membicarakan Alice.“Oh, kenapa kau yang marah? Memangnya apa masalahmu?”“Dasar gila, hentikan omong kosong kalian. Jangan seenaknya membicarakan orang lain seperti itu!”“Dengar Marry, ini adalah hak kami mau membicarakan siapa pun. Kenapa kau yang marah dan mengatakan kami gila? Jangan bertingkah. Kau sama sekali tidak ada hubungannya kan? Lalu, apa yang kau khawatirkan? Dia akan depresi?”“Keparat ini.”“Sudah Marry, biarkan saja.”“Alice?”“Apa?” ucap temannya itu dan ternyata dia sangat terkejut.‘Gawat,’ batin merekaAlice menatap mereka dengan tatapan dingin dan kemudian duduk di kursinya. Mereka langsung memalingkan wajahnya yang terlihat memerah. Sementara anak lain yang melihatnya, hanya t

  • Jangan Bungkam Suaraku!   Bab 129

    Sementara itu, di suatu tempat yang berbeda. Ibunya sedang menelpon seseorang dan ternyata dia terlihat senang sebelum akhirnya beranjak dari sofa dan mematikan lampunya. Ke esokan paginya, cahaya matahari memasuki kamar Alice dan sekarang dia sedang bangun dari tempat tidurnya. Setelah alarm membangunkan dirinya. Alice kemudian pergi untuk mulai bersiap mengawali paginya di musim ini. Setelah beberapa menit berlalu, dia sudah siap dan kemudian berangkat ke sekolah. Dalam perjalanannya ke sekolah, dia mulai memikirkan apa yang akan terjadi di hari ini. Pandangannya yang terlihat seakan dirinya sudah berada di ambang batas keputusasaan. Tidak lama kemudian, bus mulai datang dan mereka semua memasukinya. Anak-anak lain terlihat ceria dan bersemangat mengawali paginya. Sementara dirinya hanya termenung di bawah kelabu. Begitu dirinya duduk di kursi tengah dan memandangi jendela, dia melihat pemandangan kota yang cerah dan bersinar. Dirinya kemudian menghela nafas panjang sebelum akhirn

  • Jangan Bungkam Suaraku!   Bab 128

    Semakin lama semakin terasa menyakitkan. Apa yang terjadi di dalam rumahnya dan sekarang ini dia sedang berusaha untuk menyembuhkan dirinya. Perlahan-lahan, rasa sakit yang memenuhi dadanya itu semakin menumpuk hingga akhirnya dia tidak tahan lagi dan secara tidak sadar dia menangis di hadapan Marry. Dia yang melihat Alice seperti itu seketika mencoba untuk membuatnya tetap tenang. Beberapa orang mungkin melihat ke arah mereka, namun ini bukan saatnya untuk memperdulikan orang lain. Alice terus meneteskan air matanya dan Marry terus menepuk punggungnya. Rasanya semuanya mengalir bagitu saja dan tidak terasa sesak lagi.“Menangislah. keluarkan semuanya,” ucap Marry kepada dirinya“Maafkan aku, kau jadi melihatku seperti ini.”“Tidak, jangan minta maaf. Sudah sepantasnya aku mendengarkanmu. Bukankah kita teman?”“Iya.”“Sekarang kau hanya perlu menangis sekeras mungkin dan keluarkan isi hatimu. Ti

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status