Hujan yang semakin deras tidak membuat Bee mempercepat langkahnya.
Ia menikmati ketika air hujan mengguyur dari kepala hingga kaki membuat basah seluruh tubuh.
Sudah hampir satu jam Bee berjalan di trotoar menyebrangi kota untuk dapat tiba di rumah kontrakan.
Uang yang Beni berikan dua minggu lalu hampir habis dan Bee harus hemat dalam memanfaatkan uang yang tersisa agar cukup hingga suatu saat nanti Beni mengabarkan kepadanya mengenai pernikahan.
Jujur, saat ini Bee mengharapkan kekasih Akbi menyetujui rencananya.
Anggaplah Bee gadis tidak memiliki harga diri, bersedia menikah dengan pria yang tidak dicintai demi masa depannya.
Tapi ia memang sangat membutuhkan itu, Bee harus melanjutkan kuliah dan padatnya jadwal kuliah ditambah banyak mata kuliah yang harus dikejar karena setahun ke belakang waktu kuliahnya tersita untuk menemani dan mengantar Johan bolak balik ke rumah sakit.
Kerja sambil kuliah tidak masuk dalam keadaan Bee saat ini, dan agar ia bisa lulus kuliah maka menikah dengan Akbi adalah harapan satu-satunya.
Bee harus lulus kuliah seperti wasiat sang Ayah agar nantinya bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa harus bergantung kepada orang lain.
Gadis itu tidak berharap bila rumah tangganya dapat berjalan lancar dengan cinta yang akan tumbuh di antara dirinya dan Akbi.
Wajah basah Bee karena air hujan tersenyum getir, beberapa tahun kebelakang hidupnya sangat tragis tanpa terselip sedikit pun cerita bahagia maka kali ini ia berpikir akan sama saja.
Tapi setelah bekerja dan bercerai dengan Akbi, ia berencana untuk mencari kebahagiaannya sendiri.
Tanpa melupakan jasa Beni tentunya, ia akan selalu mengingat pria tua itu.
Pria baik yang telah banyak membantunya melunasi hutang berobat sang Ayah di rumah sakit hingga berniat membantu membayar uang kuliahnya sampai lulus.
“Oopss,” pekik Bee ketika langkahnya terhenti karena satu sepatunya tertinggal.
Sepatu pantovel milik mendiang sang Bunda ternyata rusak dan tidak bisa dipergunakan kembali.
Bukannya kesal, Bee malah tersenyum kemudian membuka satu lagi sepatunya lalu ia simpan di dada.
Barulah Bee berlari dengan kaki telanjang agar cepat sampai di rumah.
Beberapa orang yang melihat mencoba menegur agar Bee berteduh tapi gadis itu malah tersenyum lalu mengangguk samar kemudian kembali berlari tanpa menghiraukan rasa sakit di kaki karena kerikil yang diinjaknya.
Sakitnya perjalanan hidup yang telah Bee lewati membuat ia mati rasa hanya untuk sekedar menghiraukan rasa perih akan kerikil tersebut.
Langkah Bee berhenti di depan pagar rumah, keningnya berkerut melihat pria tampan dengan pakaian rapih sedang berdiri di teras.
Kemudian tersenyum ketika mata mereka bertemu.
Bee mengingat pria yang nampak sedang menunggunya itu tidak lain adalah sekertaris Beni.
Aldo datang pasti untuk mengabarkan sesuatu, Bee berharap bila itu adalah berita yang baik.
Namun ekspresi Aldo nampak gusar, ia melangkah mendekati Bee yang sedang berjalan perlahan melewati pagar lalu menarik tangan Bee sedikit kencang.
“Ngapain hujan-hujanan?” kata Pria itu dengan ekspresi kesal.
“Lah, aku yang ujan-ujanan kenapa dia yang kesel?” Bee membatin.
“Kalau sakit gimana? Cepet buka pintu!” sambung Aldo lagi sambil menahan suaranya.
Bee mengerjap kemudian merogoh tasnya mencari kunci rumah lalu memasukan pada lubang di pintu dan beberapa detik kemudian pintu terbuka.
Tanpa dipersilahkan, Aldo masuk terlebih dahulu dengan sepatu yang masih dikenakannya.
Mata Bee terpejam, kemudian mengesah pasrah katena setelah ini ia pasti harus mengepel lantai padahal banyak tugas kuliah menanti untuk dikerjakan.
Bee meletakan sepatu rusaknya di belakang pintu lalu membersihkan kakinya di keset.
Baru saja akan masuk menyusul Aldo, ternyata pria bertubuh tegap itu sudah berjalan menghampiri dengan handuk di tangan.
Meletakan handuk itu di kepala Bee kemudian mengusaknya untuk mengeringkan rambut yang basah.
Gerakan tangan Aldo cukup kencang membuat kepala Bee bergoyang ke kiri dan ke kanan, kepala Bee menjadi pusing karenanya.
“Stop!” protes Bee membuat tangan Aldo berhenti.
“Mandi sana, banyak yang harus saya bicarakan sama kamu!” titahnya tegas membuat Bee terkesiap kemudian buru-buru melangkah menuju kamar mandi.
Tidak membutuhkan waktu lama, Bee sudah duduk di ruang tamu yang sempit dengan kursi berbahan suede.
Nampaknya sofa set itu seumur dengan Bee karena kain dari kursi tersebut telah mengelupas di beberapa bagian juga busa yang menyembul ke luar.
Bee harus menerimanya karena sofa itu memang sudah ada di dalam kontrakan yang ia sewa hampir setahun ini
“Pak Beni sangat sibuk, beliau titip salam dan menyesal tidak bisa menyampaikan berita ini secara langsung ...,” ucapan Aldo terjeda untuk melihat ekspresi Bee yang nampak datar.
Ia masih ingat saat beberapa minggu lalu ada di samping gadis itu ketika dokter mengabarkan bila sang Ayah telah pergi untuk selamanya.
Bee menangis hingga meraung tapi setelah itu air matanya seolah berhenti mengalir, hanya tertinggal ekspresi dingin dengan sorot mata kosong seolah jiwanya ikut pergi bersama sang Ayah meninggalkan raga.
Seperti saat ini, Aldo melihat ekspresi yang sama di wajah Bee.
“Kamu enggak apa-apa?” tanya Aldo mencoba menyadarkan Bee yang nampak sedang melamun namun hanya satu detik saja Bee langsung menggelengkan kepala sebagai jawaban lalu mengulas senyum tipis.
Bee sedang menunggu apa yang akan disampaikan Aldo dan berpikir bagaimana bila Akbi menolak pernikahan tersebut lalu bagaimana dengan nasibnya kelak.
“Akbi ... anaknya Pak Beni menyetujui pernikahan tersebut, minggu ini kamu sudah bisa menikah dengannya,” sambung Aldo membuat Bee bernafas lega.
“Apa Akbi mendatangi kamu untuk membuat perjanjian?” tanya Aldo penuh selidik.
Saat itu Bee bisa merasakan kecurigaan Aldo.
“Akbi memang datang ke kampus beberapa hari lalu, dia cukup kesal waktu itu tapi sepertinya Akbi takut sama Om Beni jadi enggak bisa nolak permintaan papanya,” jawab Bee dengan ekspresi dan cara bicara begitu tenang membuat Aldo semakin curiga.
“Kamu enggak keberatan menikah dengan Akbi?” Aldo melayangkan pertanyaan kembali.
“Apa aku punya pilihan?” Bee mengembalikan pertanyaan tersebut.
Aldo menyandarkan tubuhnya, tidak juga menjawab karena sejujurnya itu bukan urusannya.
Tapi hati nurani Aldo tersentuh mengetahui Bee yang sebatang kara harus menjual dirinya untuk bisa melanjutkan hidup.
Bila saja Bee dinikahkan dengan adik atau kakak laki-laki Akbi yang tentu saja memiliki perangai, sikap dan kehidupan yang lebih baik mungkin Aldo tidak akan melayangkan pertanyaan seperti itu.
Tapi Akbi adalah anak tunggal dan sangat disayangkan bila gadis baik-baik seperti Bee harus menikah dengan Akbi yang ia ketahui dengan pasti bagaimana buruknya perangai dan sikap anak dari bos-nya itu.
Sepuluh tahun bekerja menjadi kaki tangan Beni membuat Aldo tau betul bagaimana kehidupan Akbi.
Sekembalinya dari pemakanan Johan beberapa hari lalu, Beni meminta Aldo mencari tau segala sesuatu tentang Bee.
Cukup satu hari saja, Aldo bisa mendapat keseluruhan informasi mengenai Bee maka dari itu ia bisa mengambil kesimpulan bila Bee adalah gadis baik-baik.
“Bertahanlah nanti, kamu bisa mengadu kepada saya atau kepada Pak Beni,” kata Aldo dengan suara rendah dan sorot mata iba.
Ucapan Aldo tersebut membuat Bee curiga bila penderitaan sedang menantinya.
Sedangkan Aldo berucap begitu semata-mata agar Bee bisa menguatkan mental bukan hanya untuk Akbi tapi juga untuk sang Ibu mertua yang belum bertemu tapi sudah sangat membencinya.
Setelah mendapat anggukan lemah dari Bee, Aldo meminta nomor ponsel Bee dan kartu identitasnya untuk kebutuhan mendaftarkan pernikahan ke Kantor Urusan Agama.
Tanpa banyak bertanya, Bee memberikan semua yang diminta Aldo.
Setelah memindai dan menyalinnya melalui kamera pada aplikasi pada ponsel, Aldo mengembalikan semua kartu identitas kepada Bee.
“Tapi masa berlaku pasportnya udah habis Om,” kata Bee sambil membolak-balik buku kecil berwarna hijau ditangannya.
Aldo berdecak kemudian melipat tangan di dada, ekspresi wajahnya tidak terima karena Bee memanggilnya dengan sebutan ‘Om’.
Meski umurnya mungkin terpaut kurang lebih sepuluh tahunan dengan Bee tapi ia merasa masih nampak muda dan tampan tentunya.
“Panggil Kakak aja jangan Om, ketuaan!” protesnya membuat Bee tertawa pelan.
“Oke baik, Kak Aldo!” balas Bee yang sudah bisa lebih ceria.
Aldo langsung menyadari bila karakter asli Bee adalah ceria, ramah dan mudah bergaul.
Tapi mungkin karena beban hidup yang harus ditanggungnya membuat ekspresi datar nyaris dingin yang tanpa sengaja Bee tampilkan.
Aldo juga sudah tau sebelum melihat pasport Bee, bila gadis itu pernah hidup bergelimang harta dan sering bepergian ke luar negri.
Terselip rasa kagum karena Bee bisa menjalani keadaannya saat ini dengan lapang dada.
“Nih makan dulu, kamu pasti belum makan ‘kan?”
Aldo memberikan satu kotak berisi menu makan malam yang tadi ia beli di jalan sebelum pergi kerumah Bee.
Bee meraihnya kemudian membuka kota tersebut, aroma dari kelezatan makanan di dalam kotak langsung membuat perut Bee berbunyi.
“Kak Aldo enggak makan?” tanya Bee setelah menyuapkan satu sendok makanan ke mulutnya.
Aldo menggelengkan kepala, matanya fokus pada macbook dan ponsel.
Entah apa yang dilakukan pria tampan itu, Bee tidak berniat mencari tau yang pasti saat ini dirinya hanya ingin mengisi perutnya saja bahkan ia lupa membawakan Aldo air minum.
Setelah habis makanan di dalam kotak berpindah ke perut Bee, selesai pula entah apa yang dikerjakan Aldo pada ponsel dan macbooknya.
“Akbi tidak menginginkan pesta meriah, tapi Pak Beni sedang mengusahakannya ja—“ ucapan Aldo yang tiba-tiba tercetus harus terjeda.
“Aku juga enggak mau pesta meriah, boleh aku dan Akbi hanya menikah di KUA aja?” sela Bee yang langsung membuat mata Aldo memicing.
“Aku masih kuliah, Kak ... enggak enak sama temen-temen, nanti pasti muncul rumor kalau aku hamil di luar nikah, itu malah akan membuat nama Om Beni menjadi jelek, kan?” sambung Bee mempengaruhi pikiran Aldo dengan logikanya.
Padahal Bee tidak ingin Akbi berubah pikiran hanya karena pesta tersebut, sehingga bisa membuat pernikahan mereka batal dan juga mungkin hubungan Ayah dan anak itu menjadi buruk.
Bee yakin hubungan Akbi dengan Beni tidak baik setelah Beni memaksakan kehendak menjodohkan mereka.
Bee tidak ingin menambah masalah baru maka Bee akan mengikuti keinginan Akbi.
Sudah cukup banyak Bee merepotkan Beni, jangan sampai pria tua baik hati itu juga menjadi dirugikan hanya untuk sebuah pernikahan sandiwara anaknya.
Bagi Bee, pernikahan ini bukan pernikahan impian dengan pujaan hatinya jadi tidak perlu di rayakan dengan sangat meriah.
Selain itu juga, bila pernikahan mereka tidak diketahui khalayak ramai akan memudahkan Bee mencari pekerjaan nanti setelah lulus kuliah tanpa menyangkut pautkan dirinya dengan keluarga Marthadidjaya.
Mungkin bagi Bee apa yang dikatakannya masuk akal tapi tidak dengan Aldo.
Beni yang berpesan untuk lebih mementingkan keinginan Bee membuat Aldo menyimpan sementara kecurigaannya.
Aldo mengendikan bahu dan mengangkat kedua alisnya, ia kembali berkutat dengan ponsel beberapa saat.
“Oke kalau itu mau kamu, dua hari lagi saya jemput ... kamu akan menikah di kantor urusan agama,” ucap Aldo setelah selesai dengan urusannya di ponsel.
Lelaki itu beranjak dari sofa. “Ada sedikit uang titipan dari Pak Beni, pergunakan untuk membeli gaun pengantin yang bagus atau untuk membeli sepatu baru.”
Aldo mengangsurkan sebuah amplop berwarna coklat ke arah Bee yang sudah berdiri hendak mengantarnya ke depan.
Aldo terkejut ketika tadi Bee hujan-hujanan tanpa memakai sepatu.
Saat menunggu Bee mandi dan melihat sepatu gadis itu yang rusak di belakang pintu, barulah ia mengerti.
“Boleh aku pake buat makan dan foto copy tugas atau membeli buku kuliah?” tanya Bee sambil mengintip uang di dalam amplop.
Aldo mengangguk, ia baru ingat sudah dua minggu berlalu setelah dirinya memberikan beberapa lembar uang kertas berwarna merah untuk Bee atas perintah Beni.
Pasti uang itu sudah habis, pantas saja Bee hujan-hujanan jalan kaki sepulang kuliah tadi.
“Pakai aja semau kamu, nanti kamu punya rekening pribadi dan Pak Beni akan mentransfer sejumlah uang untuk bayar kuliah kamu,” terang Aldo lalu menarik handle pintu dan benar-benar pergi dari rumah Bee.
“Sorry, enggak sengaja ... gue buru-buru,” ujar Arsha kepada gadis populer yang baru saja ia senggol tanpa sengaja.“Heh, pendek! Seenaknya aja lo minta maaf ... emang gue segede gini enggak keliatan apa? Dasar pendek ... anak kurcaci!” teriak Devina tepat di depan wajah Arsha.Devina Agni yang sedari SMP sudah sering wara-wiri di layar televisi membintangi iklan maupun sinetron.Karirnya tersebut tidak lepas dari bantuan sang Bunda yang juga merupakan seorang artis pada jamannya meski sampai saat ini masih terkenal dengan semua skandal yang melekat pada dirinya semenjak muda.Devina sendiri masih disanksikan siapa Ayah kandung yang sebenarnya karena tiba-tiba Ibunda dari Devina itu menghilang lalu beberapa tahun kemudian muncul kembali dengan status sebagai janda dan digosipkan menjadi pelakor dalam rumah tangga seorang pengusaha tambang dari Kalimantan.Setelah itu ia di gosipkan memiliki hubungan terlarang dengan produser film untuk bisa ikut berperan di layar lebar meski hanya seb
“Maheswari Arshavina Marthadidjaya!!” Teriak Akbi memanggil putri kecilnya yang berumur lima tahun.Gadis kecil itu sedang asyik menggoreskan paku berkarat pada body mobil mewah seharga lima belas miliar milik sang Daddy.Menggambar gunung dan tumbuhan juga beberapa bentuk abstrack tidak jelas.Telinganya tertutup headphone dengan tanduk unicorn, suara kencang terdengar dari sana hingga Akbi bisa mendengar lagu apa yang sedang di putar headphone canggih tersebut.Akbi menyimpan kedua tangannya di pinggang, ia jengkel bukan karena Arsha melukis mobilnya tapi karena suara kencang di headphone tersebut bisa saja membuat si bungsu tuli.Akbi tarik headphone berwarna pink itu membuat gadis kecil dengan rambut kuncir kuda mendongakan kepala.“Hai Dad, look!” Arsha berseru sambil menunjuk lukisannya.“Bagus ‘kan, Dad?” tanyanya lagi sambil memiringkan kepala dengan senyum manis semanis senyum sang Mommy.Akbi menggendong Arsha lalu mengambil paku berkarat dari tangan mungil itu untuk ia buan
Kehamilan Bee yang kedua ini sungguh berat padahal hanya ada satu janin saja di dalamnya tidak seperti ketika hamil si kembar yang walaupun perutnya sangat besar dan membutuhkan asupan gizi dua kali lipat tapi tidak ada kendala yang berarti.Mual dan susah makan hanya pada trimester pertama setelah itu Bee menjalani aktivitas seperti biasa.Tapi anehnya, kehamilan Bee saat ini berbanding terbalik dengan kehamilan yang sebelumnya.Semakin besar kandungan Bee, semakin sering mengalami muntah dan juga sulit memasukan sesuatu ke dalam mulutnya.Beruntung pekerjaannya yang masih tersisa setelah pesta Gunadhya dapat diselesaikan oleh bantuan Ibu Aneu juga tim dan untuk sementara Bee tidak menerima pesanan kebaya hingga tubuhnya pulih pasca melahirkan.Selama kehamilannya Bee sudah di rawat dua kali di rumah sakit, seperti saat ini ketika kehamilannya sudah sangat besar dan mendekati waktu melahirkan, ia harus terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit.Di sebrang sana, Akbi yang menungguin
“Harusnya mereka dibawa,” Bee menggerutu sambi memajukan bibirnya.Mereka yang dimaksud Bee adalah si kembar dan Akbi sudah langsung tau ketika melihat wajah sang istri yang tampak sendu. Saat ini mereka sudah berada di kapal pesiar menuju Thailand, kamar exclusive itu memiliki balkon, privat pool juga jacuzy.Sambil menikmati matahari terbenam, keduanya bersandar pada daybed.Tidak ada masalah ketika tadi keduanya pergi meninggalkan si kembar, semua telah disiapkan secara matang.Diana akan tinggal di rumah Bee selama perjalanan bulan madu itu.Seperti pasangan yang baru menikah pada umumnya, Akbi dan Bee juga tampak mesra saling rangkul dan banyak tertawa dengan obrolan receh mereka ketika berada di bandara menunggu pesawat sampai menginjakan kaki di kapal pesiar ini.Tapi setelah semua itu, Bee merasa hampa, kosong dan kehilangan.Biasanya sore hari adalah waktunya ia memandikan si kembar kemudian memberi mereka makan sambil menunggu Daddynya pulang kerja.Tidak seperti sekarang,
Gaun pengantin indah rancangan khusus sang Ibunda tercinta yang merupakan designer ternama itu membalut tubuh Bee dengan sempurna.Model gaun mermaid, menampilkan perut Bee yang sudah sedikit buncit. Seakan ingin menunjukan eksistensi anak ke tiga mereka yang berada di dalamnya.Mata Akbi sulit lepas dari tatapannya kepada sang istri, crown dikepalanya dengan surai di pelipis membuat Bee tampak secantik dewi Yunani.Tidak ada heels tinggi untuk membuat tubuh Bee tampak jenjang, Akbi menyembunyikannya lalu menggantinya dengan flatshoes berwarna senada dengan gaun dan memiliki bunga besar sebagai aksen di bagian depannya.“Kamu siap?” Akbi bertanya sebelum mereka keluar.“Bersamamu, aku selalu siap ...,” jawab Bee mantap memunculkan sebuah senyum di bibir Akbi.Sambil menggendong Aarash dan Aarav keduanya melangkah pelan melewati jalan setapak yang dibentuk dari taburan bunga.Semua kamera profesional maupun handphone terarah kepada mereka.Lagu milik Jhon Legend berjudul All Of Me yang
Beberapa minggu terakhir, Akbi maupun Bee disibukan dengan persiapan pernikahan tapi juga tidak sampai membuat keduanya stress karena mereka menyerahkan semuanya kepada Wedding Organizer berpengalaman dan profesional.Mereka berdua juga tidak pernah sulit menentukan pilihan mulai dari tempat acara hingga souvenir untuk para tamu.Bukan bermaksud meremehkan tapi untuk menuju sebuah kebahagiaan kita juga harus menempuhnya dengan suka cita.Bee tidak pernah mengira bila Ibu Aneu ternyata diam-diam telah membuatkannya kebaya dan gaun pengantin yang akan dikenakannya pada resepsi pernikahan.Ibu Aneu yang sudah mengetahui ukuran badan Bee, tiba-tiba saja beliau memintanya untuk melakukan fitting agar bisa memperbaiki kekurangan tapi ternyata sesuatu yang dibuat dengan cinta dan kasih sayang tidak perlu diragukan hasilnya.Semuanya pas tanpa sedikitpun kekurangan, sempurna membalut tubuh Bee seperti saat ini.“Kakak ... adik ... Mommy cantik, enggak?” tanyanya pada si kembar yang asyik berm