Kenapa terlihat berbeda, waktu pertama kali mereka jadian, Will selalu menggenggam tangannya dengan sangat erat. Tapi kali ini, Tina merasa sedikit demi sedikit perilaku Will sangat berbeda padanya, bahkan sekarang pun lelaki itu tak menoleh ke arahnya. Tidak, Tina tidak bisa diam saja. Apapun jawabannya, dia harus tetap tenang.
"Kamu mau bicara apa denganku, sebentar lagi bel masuk. Hanya tersisa lima menit saja," kata Will melihat jam tangannya.
"Bisakah kau tatap wajahku," kata Tina melirik ke arahnya.
Tentu saja Will yang tidak tahu maksud Tina. Dia hanya bisa menatap ke dalam matanya. "Terima kasih sudah menatapku, aku harus bertanya. Dan jawab dengan jujur semua pertanyaan yang aku ajukan padamu."
"Tina tunggu dulu, kamu sebenarnya mau tahu tentang hal apa? Kenapa kau hampir menangis?" tanya Will.
"Itu tidak penting. Kau tahu, aku sangat mencintaimu. Jadi, apapun yang kau lakukan aku harus tahu, tapi jika aku rasakan perasaanmu mul
See you, next part ➡️
"Gak apa-apa," Tina berbohong lagi. "gue hanya kurang enak badan, gue mau ke ruang UKS." Keyla langsung memapahnya. Mengantarkan Tina ke ruang UKS, sempat Tina menolak tapi dengan tegas Keyla tetap memegang tangannya sampai di sana. "Keyla, bisakah lo tinggalin gue sendiri. Gue benar-benar ingin sendirian aja," kata Tina menundukkan kepalanya. "Baiklah, jangan terlalu bersedih." Setelah mengatakan hal itu Keyla pergi dari sana. Tina menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, ia menangis. Mencoba untuk mengurangi suara tangisannya dengan cara membekap mulutnya sendiri, Keyla tidak benar-benar pergi dari sana. 'Tina pasti sangat menderita, apa yang sebenarnya terjadi antara Tina dan juga Will?' Tepat di depan kelas Will berpapasan dengan Keyla, mereka saling bertatapan sesaat. Keyla hanya bisa pergi dari sana, Will memegang lengan kanannya ingin mengatakan sesuatu. "Ada apa Will?" tanya Keyla dengan wajah biasa saja. "Apa lo baik-baik saja
Will mengangkat wajahnya menatap Padil. "Bagaimana pun juga, gue sama Keyla berpisah bukan karena kesalahan, bukan karena sudah tak saling mencintai lagi. Tapi kami harus berpisah karena terpaksa, kalau lo diposisi gue lo pasti bisa mengerti kenapa gue lakukan semua ini." "Tapi tetap saja, semua itu gak benar. Gak seharusnya lo menyakiti wanita yang jelas-jelas sangat menyukai lo, Will gue tahu betul seharusnya gak ikut campur dalam masalah kalian. Namun, Tina hanyalah wanita yang membutuhkan sosok lelaki yang mencintainya dengan tulus. Tapi lo, malah mempermainkan ketulusan hatinya." Padil menyandarkan tubuhnya ke pagar. "Sekarang Tina pasti benci banget sama lo." Lanjutnya menghela napas berat. "Itu jauh lebih baik, daripada harus mencintai orang seperti gue." Perkataan Will cukup untuk membuat Padil tercengang dengan jawabannya. Setelah itu Padil turun terlebih dahulu, sedangkan Will masih ingin sendirian di atas sana. "Woeeeey! Nih liat gue bawa m
Setelah mendengar hal itu dari Tino dan didukung oleh Padil sang ketua kelas. Jadi semua orang berbondong-bondong pergi ke kantin, dan langsung memesan makanan mereka. Entahlah Tina harus bersedih atau bahagia, melihat teman-teman tertawa dan bangga. Bisa makan secara gratis di sana, sekarang hanyalah tinggal memikirkan harus bayar pakai apa? Ino melirik ke arah Tina. Yang mungkin saat ini sedang pusing, harus berbuat apa mengetahui baru putus hubungan dengan kekasihnya. "Ibu bolehkah kita bicara?" tanya Ino menarik tangan ibunya. Ibunya menoleh. "Ada apa?" Ini berbisik pada ibunya. "Oh, baiklah. Karena dia temanmu, katakan saja padanya ibu tidak keberatan." Ibunya hanya ingin mencoba mengerti maksud putrinya. Kepala Tina semakin pusing saja. Melihat Tino tak henti-hentinya memesan makanan, ia berdiri dari tempat duduknya ingin secepatnya memberi Tino pelajaran. "Tina, ada yang gue mau bicarakan sama lo," kata Ino mencoba berbisik padanya. "Apa itu?" jawab Tina berbisik kembali p
"Lo mau apa lagi, dari gue? Semuanya udah lo rampas. Senyuman gue juga gak ada artinya lagi." Tina terus memberontak, ingin secepatnya mengakhiri tingkah bodohnya itu.Will langsung memeluknya. "Aku gak tahu harus gimana lagi, aku gak tahu harus memakai cara apalagi? Aku juga tidak tahu bagaimana caranya, agar kamu mau memaafkan kebodohanku ini."Tina mendorong tubuh Will menjauh darinya. "Tidak ada, yang perlu kamu lakukan hanyalah diam saja. Meski jauh di dalam lubuk hatiku sangat membencimu Will, tapi sebenarnya aku masih mencintaimu. Jadi jangan lakukan apapun, lupakan saja semuanya. Biarlah lukaku ini sembuh dengan sendirinya, dengan berjalannya waktu." Akhirnya Tina berani mengatakan hal itu padanya.Tentu saja kata-kata Tina sedikit membuat hati Will merasa lega. Setidaknya Will merasa Tina sedang mencoba mengampuni dirinya sendiri, meskipun lelaki itu belum tahu kebenarannya. Apakah Tina telah memaafkannya atau tidak? Tapi yang jelas hal itu sudah tidak penting baginya. Yang t
Pak Selamet mulai mengabsen satu persatu. Namun, nama Keyla tak disebutkan Will bangkit. "Pak nama Keyla kenapa tidak disebutkan?" tanya Will mewakili pertanyaan teman mereka yang lain."Oh itu. Keyla sudah pindah sekolah," kata Pak Selamet."Pindah ke mana Pak?" tanya Ino, Tino, Padil, Tina, dan Will bersamaan."Ada apa ini, kenapa kalian kompak sekali. Lagipula bukankah kalian selalu bersama, kenapa bertanya pada Bapak?" Pak Selamet malah balik bertanya."Pak saya izin keluar sebentar." Will langsung lari pergi ke rumah Keyla."Tunggu! Mau keman. " Pertanyaan Pak Selamet terpotong, saat Tino ikut berdiri."Saya juga mau izin kelua. " Perkataan Tino langsung terhenti. Saat Pak Selamet memegang penggarisnya. Tino langsung duduk kembali. Diam di tempat, sangat patuh.***Will tiba di depan rumah Keyla. Ia terus menekan-nekan tombol bel, tapi tidak ada satupun orang yang keluar dari sana. Will mulai panik, ia kembali mencari. Sampai malam tiba, Keyla tak ditemukan olehnya ia pun memilih
Keyla membungkukkan badannya mulai mencari kembali, ia melihat sepasang sepatu lelaki di sana sepasang sepatu itu berdiri tepat di depan matanya. Ia mendongak lalu mendapati sang dosen sedang menatapnya, terasa aneh, padahal mereka baru saja saling bertemu, tapi kenapa? Kenapa ia merasa sudah mengenal lama orang itu."Akhirnya kau menatapku," katanya sambil tersenyum pada Keyla. Keyla mengangkat wajahnya sambil berdiri. Siapa dia sebenarnya? Kenapa wajahnya mengingatkan pada seseorang, tapi siapa? "Namamu?" tanya dosennya."Keyla Prawijaya," kata Keyla mencoba mengambil dompetnya."Mau ini?" tanyanya kembali menunjukkan dompetnya."Iya, dompet yang ada ditanganmu itu milikku. Bisakah kembalikan pada pemiliknya." "Harusnya kau bertanya nama seseorang yang sudah menemukan dompetmu?" katanya kembali, tapi kali ini terlihat dia ingin menggoda Keyla."Kamu ingin menggodaku?" "Menurutmu?" Kesal dibuat dosennya itu. Keyla mencoba menahan diri, bagaimana pun juga. Dia hanyalah seorang dosen
Pipi keduanya sedikit memerah. Tentu saja, wajah mereka berdua sangat dekat. Pada akhirnya Keyla berusaha memalingkan wajahnya dari tatapan Adam, begitu pun sebaliknya. "Ehem." Adam berdeham sambil mencari topik awal dari percakapan mereka."Baru saja ditinggal sebentar, langsung terluka seperti itu?" tanya Adam sedikit tidak berani melirik ke dalam matanya."Bukan urusan Bapak, lagi pula kenapa Bapak bawa saya kemari?" kata Keyla berbalik bertanya. Ia tidak mampu menatap kedua pasang bola mata itu."Harusnya berterima kasih terlebih dahulu, sebelum pindah ke topik lainnya." Adam menolak menjawab pertanyaannya.Keyla mendesah. "Terima kasih, lalu beri tahu saya Pak. Kenapa Bapak ada di sini?""Bisa tolong ceritakan apa yang sebenarnya terjadi, padamu?" "Jatuh. Sudahlah, lagi pula semua ini tidak ada urusannya dengan Bapak."Adam merasa Keyla menyembunyikan sesuatu hal darinya. "Dengan wajah babak belur seperti itu, yakin hanya terjatuh?" Adam merasa harus sedikit menggodanya. Mungkin
Adiknya selangkah mendekati kakaknya. "Maksudmu kau menemukannya, di mana? Apa dia baik-baik saja, katakan padaku?" "Hey! Berhentilah bicara omong kosong. Bagaimana mungkin aku tahu, kau sendiri tidak memberi tahuku siapa namanya." Sergah Adam mencegah adiknya memikirkan gadis itu. Terakhir kali. Adiknya sampai hampir gila, bahkan ingin loncat dari teras rumahnya sendiri karena dilarang mengejar gadis itu. Lebih baik ia secepatnya menghentikan topik itu, lebih cepat lebih baik."Keyla Prawijaya!" Teriak adiknya.Adam menoleh. "Siapa?""Gadis itu. Gadis yang ada dalam buku diaryku, jika kau mengetahui keberadaannya. Tolong beri tahu aku, sungguh aku sudah lelah mencarinya sampai ke Singapura. Tapi keberadaannya sulit untuk ditemukan, jadi ... jika kau tahu, jangan rahasiakan dia dariku. Aku janji tidak akan melakukan hal gila, seperti waktu itu." "Will, sebenarnya aku hanya bercanda. Haha." Adam terpaksa berbohong pada adiknya. Ia belum siap memberi tahukan keadaan gadis itu, takut