"Cinta tidak kenal hitam dan putih. Kamu jahat atau baik, cinta bisa tetap tumbuh subur, tanpa pupuk dan cahaya matahari."
***Biru duduk di depan ruang Unit Gawat Darurat saat Padma tiba. Gadis itu tampak sangat khawatir. Matanya memerah karena menangis sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Padma tak ingin kehilangan Ava, gadis sebatang kara itu adalah sahabat satu-satunya yang ia miliki di hidup ini."Pak, bagaimana keadaan Ava?" tanya Padma pada Biru yang langsung berdiri menyambutnya. "Sahabat saya baik-baik saja, kan?"Biru menggeleng sebagai jawaban. Pria itu tidak tahu keadaan Ava dengan pasti, karena dokter juga belum keluar dari ruangan. Biru berharap Ava baik-baik saja. Selain sebagai rasa kemanusiaan, Ava juga adalah kunci keberhasilan Biru menangkap bandar yang diincarnya.Melihat gelengan Biru, Padma langsung merasa lemas. Beberapa menit lalu, Ava berjanji akan menunggunya di resto untuk makan malam. Namun yang terjadi sungguh memilukan. Bukannya makan malam di resto, Ava justru terbaring tak berdaya di rumah sakit."Kenapa Ava bisa kecelakaan, Pak? Dia bukan pengemudi yang ugal-ugalan.""Mobil Ava sedang sial," jawab Biru asal, membuat Padma heran. Karena tidak ingin mengundang pertanyaan, Biru melanjutkan penjelasannya. "Ada mobil lain dengan pengemudi mabuk melintas. Gilanya dari sekian banyak mobil, pengemudi itu memilih mobil Ava yang sedang berhenti di lampu merah untuk dia tabrak. Sungguh aneh!"Padma yang mendengar penjelasan Biru, langsung terduduk tak percaya. Matanya nyalang, tangannya ia remas hingga buku jarinya memerah. Padma benar-benar kesal dan marah."Sekarang di mana dia?" tanya Padma dengan nada yang begitu lugas dan dingin. "Saya akan menuntut pria itu. Biar dia membusuk di penjara karena telah mencelakai sahabat saya."Biru memandang Padma. Matanya memberi kode pada Padma, namun gadis itu tetap tak mengerti. Biru lalu menghela napasnya, mencoba menjelaskan walau sebenarnya enggan melakukannya."Koma." Biru ikut duduk tak jauh dari Padma. Hatinya juga sama kesalnya. "Dia bahkan jauh lebih parah dibanding Ava keadaannya. Jadi, rasanya percuma kalau Anda menuntut orang itu."Padma terdiam. Apa yang dikatakan Biru ada benarnya. Padma tidak mungkin menuntut orang yang hampir mati. Itu sama gilanya dengan tindakan pengemudi mabuk yang menabrak sahabatnya.Di tengah kesunyian keduanya, ponsel Padma berbunyi. Netranya menangkap nama Djati di layar. Padma hendak mengangkat panggilan Djati, namun gagal karena Biru mengambil paksa ponselnya. Padma benar-benar terkejut, sampai-sampai dia hanya dapat terpaku melihat sikap Biru."Maaf, tapi tolong jangan angkat telepon dari siapapun, termasuk dari orang ini." Biru mematikan ponsel Padma yang masih berbunyi. Padma makin bingung dibuatnya. "Ava diancam oleh Praba. Praba adalah ayah angkat Djati, dan pria itu tidak menyetujui hubungan Ava dengan anaknya.""Ava diancam?" tanya Padma tak percaya. Dia ingat ada hal yang tak boleh Ava ceritakan tentang obrolannya dengan Biru. Tampaknya ancaman adalah salah satu poinnya."Ya, dan pengemudi mabuk itu bisa saja suruhan Praba untuk membunuh Ava. Bayangkan, pengemudi itu sedang mabuk dan entah di mana ia minum minuman keras itu. Tapi coba pikirkan, orang mabuk mana yang bisa sabar mengendara di kemacetan ibukota? Kenapa dari sekian banyak mobil, harus mobil Ava yang jadi korbannya?"Padma mengangguk membenarkan teori Biru. Tak ada yang mampu menyetir dalam keadaan mabuk, apalagi saat itu jalan sedang ramai-ramainya karena jam pulang kantor. Kalau Padma jadi pengemudi itu pasti Padma sudah pingsan, atau yang lebih parahnya dia akan mengemudi dengan ugal-ugalan saking tidak sabarnya."Lalu bagaimana?" tanya Padma lagi sambil menerima ponselnya yang tadi dirampas Biru. Kemudian diletakkannya ponsel tersebut di tas karena sudah dalam keadaan mati. "Saya tidak mungkin terus-terusan menghindar, Djati pasti mencari saya karena dia tidak bisa menemukan pacarnya."Biru terdiam, tidak langsung menjawab. Kepalanya penuh dengan beragam ide. Satu-satunya yang paling masuk akal adalah menyembunyikan Ava, dan Biru butuh Padma untuk membantu meloloskan rencana yang ada di kepalanya."Saya punya ide, dan saya harap kamu bisa bantu saya. Demi sahabat kamu, Ava."***Ruang makan yang besar itu terlihat sunyi. Hanya dentingan suara garpu dan pisau beradu, selebihnya tak ada kehangatan dan tawa canda anggota keluarga. Djati dan Praba terbiasa bisu dalam menikmati kebersamaan mereka, terutama saat makan malam seperti itu."Ada apa?" tanya Praba saat melihat Djati terus menerus memandangi ponselnya. Daging rusa yang tertata cantik di piring Djati terlihat masih utuh. Pria itu tampak tak selera makan. "Dari tadi kamu hanya melihat ponselmu, tanpa menyentuh daging rusa yang enak ini."Djati tak menjawab. Dia hanya memilih mengambil gelas berisi wine, dan kemudian menyesapnya perlahan. Selain tidak selera untuk makan, Djati juga sedang tidak selera untuk berdebat dengan Praba. Sekesal apapun Djati, pria itu selalu berusaha menghormati Praba."Saya dengar Bapak bertemu Ava siang ini." Itu bukan pertanyaan, namun pernyataan. "Apa yang Bapak bicarakan dengan Ava? Bapak memberinya uang? Bapak mengancam Ava?"Kali ini gantian Praba yang terdiam, memilih untuk tidak menjawab satu pun pertanyaan anak angkatnya. Praba menaruh garpu dan pisaunya di atas piring, lalu membersihkan mulutnya pertanda bahwa pria itu sudah selesai makan malam. Tidak seperti Djati, malam itu Praba melewatkan wine-nya, dan memilih segelas air putih untuk ia minum.Saat isi gelas yang diminum Praba telah tandas, Pria itu berdiri dari kursinya. Matanya memandang putranya dengan tajam, seakan menegaskan bahwa apapun yang keluar dari mulutnya harus dipahami dan ditaati. Djati sendiri tak gentar, dia membalas tatapan Praba dengan sama tajamnya."Sudah berulang kali Bapak bilang, kejahatan yang kita lakukan tidak membutuhkan cinta di dalamnya. Kamu tidak butuh gadis itu, dan gadis itu tidak butuh kamu dalam hidupnya. Lupakan, Djati! Kalau gadis itu menolak melupakan kamu, maka kamu yang harus melupakannya. Kalau kamu sama tulinya dengan gadis itu, berarti pilihan akhirnya hanya satu, memusnahkan salah satu dari kalian."Djati terhenyak mendengar kalimat akhir Praba. Otaknya mengarah ke hal terburuk yang bisa terjadi. Bila Praba tidak mungkin memusnahkan Djati, artinya hanya Ava pilihan terakhirnya."Apa maksud Bapak?" tanya Djati dengan lugas dan dingin."Djati, saya tidak mungkin mengotori tangan saya sendiri. Saya hanya ingin kamu berpikir dengan jernih. Sebelum orang lain yang menghabisi gadis yang kamu cintai, lebih baik kamu yang menyudahinya sendiri. Jangan berlaku bodoh! Itu pesan saya."Praba pergi meninggalkan Djati, setelah mengatakan hal tersebut. Djati yang masih terduduk di kursinya hanya dapat terdiam. Apa yang dikatakan Praba memang benar, dunia hitam yang digelutinya tidak cocok untuk cinta. Cepat atau lambat siapa pun bisa melukai Ava.Jika bukan Praba, kemungkinan besarnya bisa orang lain. Bisa lawan bisnisnya, bisa polisi yang gencar ingin menangkapnya, dan bisa orang yang Djati tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Namun kehilangan Ava, sama dengan membunuhnya sendiri. Dia tidak bisa kalau harus hidup tanpa gadis itu.Di sela-sela kebingungannya dalam sunyi, ponsel Djati berbunyi. Hatinya langsung lega, saat melihat nama Padma di layar. Perlu delapan panggilan tak terjawab untuk gadis itu menelpon balik dirinya."Syukurlah lo telepon gue juga," ucap Djati langsung saat mengangkat telepon Padma. "Kenapa sih lo enggak angkat? Ava ngelarang lo, ya?"Tidak ada jawaban, hanya isak tangis yang terdengar di seberang telepon. Djati yang mendengarnya, langsung waspada. Hatinya kembali resah tak karuan."Djati, Ava enggak ada," lirih Padma terbata-bata. "Dia enggak ada.""Maksud lo enggak ada nih, apa? Jangan bercanda deh!" bentak Djati kesal. Padma tak memberinya informasi yang jelas. Pria itu sudah tidak sabar mendengar Padma yang terus sesengukan. "Tenangin diri lo dulu. Ngomong yg benar.""Djati, sore tadi Ava pamit mau ambil kalungnya di Kintamani Resto. Kita rencana ketemu di sana. Tapi gue tunggu sampai jam tujuh, Ava enggak muncul juga. Kalungnya bahkan enggak diambil sama dia."Padma menarik napasnya, isak tangisnya masih terdengar sambil melanjutkan penjelasannya, "gue telepon nomornya enggak aktif. Gue ke apartemennya, juga enggak ada. Gue pikir dia sama lo, tapi lo telepon gue terus, jadi enggak mungkin, kan sama lo?""Lo udah coba terus telepon dia?""Sudah Djati, enggak aktif sampai sekarang. Ini sudah setengah sembilan. Sudah hampir tiga jam, dan Ava enggak ada sama sekali kasih kabar. Ava di mana, Ti? Apa gue harus lapor polisi?"Djati terkulai di kursinya. Tubuhnya terasa lemas saat ini, tak ada tenaga untuk berpikir. Diulangnya terus menerus penjelasan Padma sampai dia sadar bahwa kekasihnya telah hilang. Pertanyaan pun terus berulang di kepala Djati, Ava, pergi ke mana kamu, sayang?***"Lepasin tangan gue! Lo tuh, sudah punya istri. Mau apa lagi sih?"Padma memaksa Travis untuk melepas tangannya. Tapi, pria itu seperti menolak permintaannya. Padahal Travis sudah menjadi suami Ayunda, tapi mengapa masih saja mengemis untuk menjelaskan hal yang sudah berlalu. Padma tak segila itu untuk mendengarkan, dan membuang waktunya hanya untuk pria itu.Travis masih kencang memeganginya, padahal tangan Padma sudah merah karena terus dipaksa. Padma ingin berteriak, tapi di tangga darurat itu tak ada siapa pun. Pria itu sengaja menariknya ke sini untuk menyudutkannya, dan melakukan apa pun yang pria itu ingin lakukan. Namun Padma jelas tak akan membiarkannya."Dia minta dilepasin, lo enggak dengar memangnya? Apa karena lo bule, makanya harus pakai bahasa Inggris? Cepat lepasin, sebelum gue terpaksa mematahkan tangan itu."Padma, dan Travis kaget. Ternyata ada orang lain di koridor tersebut. Ia sedang duduk tak jauh dari kami, dan sepertinya sudah memperhatikan kami sejak tadi. Tra
"Maaf, anda siapa ya?"Istri dari Radjarta bertanya, saat Bernardio berdiri di depan rumahnya. Ia sengaja langsung bertemu sang pemilik untuk memberikan aset yang sedianya dititipkan Praba padanya kepada keluarga Radjarta. Karena amanat, Bernardio pun langsung melakukannya, dan menjalankan tugasnya secepat ia bisa."Maaf, kalau saya mengganggu." Bernardio pun menyodorkan tangannya, dan istri Radjarta langsung menjabatnya. "Saya Bernardio. Saya tangan kanannya Pak Djati, anaknya Pak Praba. Saya ingin menyampaikan pesan dari Pak Praba untuk anda.""Oh, ya, silahkan masuk."Bernardio pun masuk, dan diminta duduk di salah satu kursi di ruang tamu tersebut. "Mohon maaf sebelumnya, Ibu. Karena saya tidak tahu nomor rekening Ibu, atau pun Pak Radja. Jadi, saya memberikannya dalam bentuk cek. Jadi, nanti anda bisa datang ke bank terdekat, dan meminta untuk mentransfernya ke rekening yang Ibu miliki.""Aduh, maaf Mas Bernard, tapi ini tuh, maksudnya apa ya? Bisa bicaranya pelan-pelan. Saya ini
"Anda tahu kan, kesempatan anda sempit untuk tidak mendapat hukuman seumur hidup. Meskipun kita ajukan banding sekali pun, pastinya akan sulit untuk menang. Kesalahan anda terlalu banyak, dan itu tidak bisa ditukar hanya dengan kerja sama dengan pihak kepolisian sekali pun."Praba mengangguk, ia mengerti segala konsekuensi yang ia harus hadapi kedepannya. Semenjak Djati dinyatakan meninggal, dan Ava sudah mau menemuinya, segala keputusan yang diberikan padanya akan diterimanya dengan ikhlas. Praba tak akan pernah menuntut apa-apa. Apa pun yang diterimanya adalah ganjaran dari seluruh perbuatannya di masa lalu."Saya sudah bilang tidak apa-apa kan, Jeremy? Jadi, jangan tanya lagi. Apa pun yang diputuskan oleh hakim, saya akan menerimanya.""Tidak ada akan menyesal?"Praba menggeleng. "Jika saya takut menyesal, maka saya tidak akan melakukan semua kejahatan di masa lalu, Jeremy. Apa pun yang terjadi ke depannya, saya akan terima. Kamu tidak perlu takut. Kamu juga patutnya berubah. Pilih
"Ada permulaan, dan ada akhir. Ada pertemuan, dan juga perpisahan. Jadi, jangan pernah sesali apapun."***"Mama bahagia deh! Ava mau melahirkan, dan Asla dinyatakan hamil. Nah sat set begini dong. Dalam waktu yang enggak lama keluarga kita akan ramai dengan tangisan bayi. Ya Tuhan, terima kasih!"Ava tertawa sambil merangkul bahu mertuanya yang terlihat sangat bahagia. Kini, meskipun tantangan di hadapannya akan lebih berat, namun Tarissa lebih bahagia. Tidak hanya sebagai nenek, Tarissa akan menyandang status baru, yakni menjadi ibu negara. Perhitungan cepat dilakukan, dan untuk sementara hasil akhir menentukan kalau ayah mertuanya, Berdaya Adinegara unggul dengan enam puluh satu persen. Jauh mengungguli pesaingnya.Walaupun demikian, Tarissa tak peduli. Kebahagiaan anak-anaknya sekarang adalah hal utama. Ia sangatlah senang melihat kalau kedua putranya tak lama lagi akan menjadi ayah. Menjalani pernikahan yang bahagia bersama istri-istri mereka. Masalah negara, itu urusan nanti."K
"Tak ada yang pasti dalam hidup ini. Termasuk manusia yang tiap hari, jam, menit, dan detik bisa berubah pikiran, serta sikap."***"Wah, sudah berapa bulan, Mbak kehamilannya?"Seorang ibu yang mengantar putrinya cek kandungan bertanya, dan Ava hanya menjawab sekadarnya sambil tersenyum. Ia lalu menceritakan kalau putrinya juga hamil tak jauh dari usia kandungan Ava. Sayangnya tak sebahagia Ava yang bisa diantar kemana-mana oleh sang suami. Ava sebenarnya enggan mendengarkan masalah rumah tangga orang lain, tapi karena Biru tak juga kembali dari toilet membuat Ava akhirnya terpekur mendengar kisah cinta orang lain.Baru setengah jalan Ibu itu bercerita, terdapat keributan di ujung lorong lantai rumah sakit tempat Ava duduk menunggu untuk diperiksa dokter kandungan. Ava, dan sang ibu menoleh. Mereka mendapati seorang perempuan tengah berteriak, dan membentak si laki-laki dengan caci maki yang begitu keras. Awalnya Ava tak peduli, ia melengos, dan kembali melemparkan pandangan ke korid
“Setiap hal di muka bumi ini akan ada timbal balik. Setiap kejahatan yang manusia tanam, akan mendapat imbas yang serupa. Setiap kebaikan yang manusia berikan, maka akan mendapat hadiah yang besar, bahkan berlipat ganda nikmatnya.” *** “Apa anda yakin akan membongkar semuanya?” Praba mengangguk dengan yakin. Tak pernah ada sedikit pun kegundahan di hatinya yang membuat Praba tidak yakin dengan pernyataannya. Ia ingin mengungkapkan segalanya, seperti permintaan Biru, dan juga Ava. Bila mereka ingin Praba menghabiskan waktu untuk selamanya di penjara, maka akan ia lakukan semua itu dengan sukarela, dan juga ikhlas. Ia tahu kesalahannya sangatlah banyak, dan juga tak terbendung. Ia bahkan rela menanggung kesalahan Djati untuk ia tanggung, karena memang semua yang terjadi pada Djati adalah salahnya. Ia yang menjerumuskan Djati ke dunia ini. Ia pula yang memaksa, dan mengancam Djati untuk tetap menjual narkoba, meskipun anak itu tak menginginkannya sama sekali. “Tolong catat semua ora