"Terkadang ajal adalah hal tabu. Tidak ada manusia yang mau tahu, jadi mereka memilih bisu dan pura-pura lupa."
***"Lo jadi ketemu polisi tampan itu, Va?"Ava menoleh saat mendapati sahabatnya, Padma Nayana Aryotodjo sedang mengambil kursi untuk duduk di kubikelnya. Ava hanya mengangguk, menjawab pertanyaan Padma. Ada banyak hal yang bisa diceritakan, namun Biru melarang Ava untuk menceritakannya pada siapapun. Ava pun paham dan memilih untuk mengabulkan permintaan Biru.Ava mengambil ponselnya, lalu mengecek notifikasi di layar. Beberapa pesan kebanyakan dari Djati, namun Ava memilih untuk mengabaikannya. Gadis itu tidak tahu bagaimana caranya menghadapi Djati setelah runtutan informasi yang didapatkannya hari ini. Pikirannya buntu, dan berakhir dengan keruwetan yang tidak ia dapatkan jawabannya."Va, hello!" panggil Padma yang sejak tadi merasa dicueki oleh si empunya kubikel. Ava menoleh dan tersenyum tipis sebagai tanda maaf. "Gila lo, ya! Ada cewek cantik di sini, malah didiemin. Gimana? Apa yang lo sama polisi tampan itu omongin?"Ava menaruh kembali ponselnya, menghadap Padma, dan kemudian menangkup tangannya meminta maaf. "Bukannya enggak mau ngasih tahu, tapi gue dilarang bicara sama Biru." Padma mengangguk, tanda bahwa ia paham tentang apa yang terjadi. Sahabatnya berurusan dengan polisi, artinya ada sebuah tindak kriminal yang terjadi dan besar kemungkinan belum boleh dibicarakan di publik."Oke, enggak apa-apa. Meskipun gue kepo, tapi gue akan pura-pura enggak tahu demi keselamatan lo." Padma mengusap bahu Ava, Ava hanya tersenyum dan bersyukur memiliki sahabat yang begitu peduli padanya. "Ini akan baik-baik saja kan, Va?" tanya Padma memastikan, dan langsung dijawab gelengan oleh Ava."Gue enggak tahu, Ma."Padma memeluk sahabatnya. Dalam kebingungan, Ava mungin tidak butuh saran. Jadi, Padma lebih memilih memberi pelukan. Semoga dengan pelukan yang diberikannya bisa mengurangi segala gundah yang Ava rasakan."Gue cuma bisa berdo'a agar apapun masalah yang terjadi bisa secepatnya beres ya," harap Padma seusai melepas pelukan singkatnya. Netranya tiba-tiba langsung teralihkan ke leher Ava. "Kalung lo mana, Va?" tanya Padma heran, karena tidak menemukan benda yang tiap harinya Ava pakai.Ava spontan memegang lehernya. Lalu langsung kaget dan segera mengecek ke sekeliling tempat ia duduk sejak tadi. Tak ada satu pun tanda bahwa kalung itu terjatuh. Ava langsung resah, ia juga merogoh kantong celananya, namun nihil."Duh, enggak ada, Ma." Padma yang ikut mencari langsung setuju dengan pernyataan Ava. Ingatannya tiba-tiba mengarah pada si polisi tampan yang ditemui Ava tadi. "Lo ketemu si polisi tampan di mana? Jatuh di sana kali, Va."Ava terdiam sejenak. Dia langsung ingat, saat memasuki resto di mana ia bertemu Praba, kalungnya sempat putus. Ava memasukkan kalung itu ke kantong tanpa pikir panjang. Namun saat ia memeriksa kantongnya tadi, tak ia temukan kalung itu.Ava berharap kalung itu tidak hilang. Kalung itu begitu berharga untuk Ava. Kalung itu adalah pemberian terakhir ibundanya sebelum meninggal, dan dari kalung itu juga Ava bisa menemukan siapa ayah kandungnya kelak. Kalau kalung itu benar-benar hilang, maka impian bertemu ayah kandungnya pun akan ikut hilang.***Ava merasa begitu lega ketika mendengar kalungnya ditemukan oleh pelayan resto. Namun kelegaan itu langsung sirna, saat nama Djati tertera di layar ponselnya. Sudah delapan panggilan tak terjawab dari pria itu. Ava masih saja enggan untuk menerima pesan atau panggilan dari kekasihnya itu.Ava memandangi ponselnya, berpikir apa yang harus dilakukannya pada Djati. Hatinya bimbang. Ava harus mengangkatnya, sebab Djati akan mengamuk dan memaksa menemuinya bila Ava terus mengabaikannya."Syukurlah kamu menjawab teleponku juga. Kenapa sih? Ada apa? Kamu enggak apa-apa, kan?" tanya Djati bertubi-tubi saat Ava akhirnya mengangkat teleponnya."Maaf ya, tadi kalung aku hilang. Jadi, aku fokus nyari kalung itu kemana-mana." Ava memilih untuk tidak berbohong. Dia memang kehilangan kalungnya, meskipun kenyataannya Ava memang sedang tidak ingin membalas pesan atau telepon dari Djati."Terus kalungnya sudah ketemu?"Ava mengangguk, namun langsung sadar kalau Djati tidak bisa melihatnya. "Sudah kok," jawab Ava jujur. Gadis itu terdiam sebentar, lalu berkata, "Sayang, aku mau rapat sama klien. Kebetulan klienku sudah sampai. Nanti ku telepon lagi, gimana?"Kali ini Ava bohong. Tidak ada klien hari itu. Ava hanya ingin menyudahi obrolannya dengan Djati."Oke," jawab Djati pelan. Pria itu sempat menghela napas sesaat, dan mengakhiri telepon dengan pesan, "jangan lupa telepon aku nanti. Aku mencintaimu."Ava tidak menjawab kalimat cinta Djati, bukan karena tak mau, tapi karena pria itu telah menutup telepon lebih dulu. Djati tampaknya sadar Ava sedang tidak ingin berbicara dengannya. Pria itu memberi Ava keleluasaan untuk berpikir dan Ava sangat bersyukur untuk apa yang Djati lakukan.***Sepulangnya dari kantor, Ava langsung tancap gas menuju resto. Hatinya masih belum tenang, karena kalung berharganya masih belum di tangan. Sialnya sore itu jalanan lebih ramai dari biasanya. Mobil dan motor saling berebut lebih dulu dalam menguasai jalan raya."Va, nanti kalau sudah sampai di resto, jangan pulang dulu." Padma mengingatkannya. Sudah belasan kali gadis itu menyebut kalimat yang sama seakan Ava adalah makhluk yang cepat lupa. "Nanti gue nyusul. Kebetulan tempat ketemu klien dekat dari situ.""Iya, Ma. Lo sudah ngomong belasan kali, lho!" Padma tertawa di seberang telepon. Asistennya, Manda Triana, terdengar menegurnya. "Eh, itu klien bisa illfeel kalau lo ketawa enggak karuan begitu.""Klien kita lagi di toilet," ucap Padma pelan, setengah berbisik. Ava menduga atasannya itu akan mulai bergosip. "Benar kata lo, dia datang sendiri lagi. Kasihan deh, Va. Dia-nya cinta mati, cowoknya seperti enggak niat nikah. Kalau gue jadi dia, mendingan enggak perlu nikah. Rugi!"Suara teguran Manda lagi-lagi terdengar di telepon. Kali ini lebih keras, seperti sebuah kode. Padma bahkan langsung menutup teleponnya. Ava sampai terpingkal membayangkan ekspresi Padma yang hampir tertangkap basah.Fokus menyetirnya bahkan buyar. Untungnya klakson mobil di belakangnya berbunyi nyaring, mengingatkan Ava untuk segera bergerak karena lampu sudah berubah hijau. Sayangnya malang tak dapat dihindari. Belum sempat gadis itu bergerak, sebuah mobil SUV datang menghantam mobil Ava dari arah berlawanan.Hal itu menyebabkan bumper depan mobil Ava penyok. Kap mobilnya terbuka. Kaca depan juga retak. Mobil bagian depannya rusak total."Ada kecelakaan.""Cepat keluarkan cewek itu! Dia masih di dalam mobil.""Hei, bantu telepon ambulans!"Orang-orang di sekitar sana berteriak. Berlalu lalang mencoba menyelamatkan dan hanya melihat-lihat. Mereka berkerumun, memeriksa keadaan dua mobil yang menjadi korban.Ava terlihat masih selamat, karena airbag mobilnya berfungsi dengan baik. Meskipun demikian keadaan Ava tak baik-baik saja. Kesadarannya hampir hilang. Pelipis dan pipi kanannya terluka, kemungkinan dari pantulan serpihan kaca yang retak.Di tengah kesakitan yang dirasakannya itu, Ava mengingat ancaman yang dilontarkan Praba. Soal waktu, ajal dan hidup yang akan disesali oleh Ava. Apa ini perbuatan Praba? Ava tak bisa menjawab, hanya Tuhan yang tahu segalanya.***"Cinta tidak kenal hitam dan putih. Kamu jahat atau baik, cinta bisa tetap tumbuh subur, tanpa pupuk dan cahaya matahari."***Biru duduk di depan ruang Unit Gawat Darurat saat Padma tiba. Gadis itu tampak sangat khawatir. Matanya memerah karena menangis sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Padma tak ingin kehilangan Ava, gadis sebatang kara itu adalah sahabat satu-satunya yang ia miliki di hidup ini. "Pak, bagaimana keadaan Ava?" tanya Padma pada Biru yang langsung berdiri menyambutnya. "Sahabat saya baik-baik saja, kan?" Biru menggeleng sebagai jawaban. Pria itu tidak tahu keadaan Ava dengan pasti, karena dokter juga belum keluar dari ruangan. Biru berharap Ava baik-baik saja. Selain sebagai rasa kemanusiaan, Ava juga adalah kunci keberhasilan Biru menangkap bandar yang diincarnya. Melihat gelengan Biru, Padma langsung merasa lemas. Beberapa menit lalu, Ava berjanji akan menunggunya di resto untuk makan malam. Namun yang terjadi sungguh memilukan. Bukannya makan malam di rest
"Saat cinta tak lagi membuatmu bahagia, dan justru membuatmu takut artinya kamu harus mengakhirinya."***"Bagaimana dengan Ava?"Praba langsung bertanya begitu tangan kanannya, Radjarta masuk ke ruang kerjanya. Radja sudah bekerja lebih dari dua puluh tahun bersamanya. Radja adalah satu-satunya orang yang tahu rahasia terkelamnya. Praba begitu percaya pada Radja bahkan melebihi rasa percayanya pada Djati, putra angkatnya sendiri."Keadaannya membaik. Setelah empat hari koma, kemarin sore akhirnya Nona Ava sadar. Namun hal tersebut tak penting, ada hal lain yang lebih penting, Pak."Radja membenarkan kacamatanya. Pria itu memberikan sebuah amplop coklat pada Praba. Terdapat beberapa foto saat Praba membuka dan mengambil isi dari amplop coklat tersebut."Ini bukannya AKBP Biru?" tanya Praba saat melihat pria yang dikenalinya terdapat di dalam foto bersama Padma, sahabat Ava. Radja mengangguk. "Buat apa dia di sana? Bukannya dia mengurus narkoba?""Anak buah kita melapor bahwa AKBP Biru
"Cinta itu masalah waktu. Jalani, rasakan, dan pahami. Sesungguhnya yang tadinya mustahil akan terasa mungkin dan benar."***"Menikah dengan saya, bagaimana?""APA?"Ava tahu Biru sedang tidak bercanda. Permintaannya nyata, maka dari itu Ava sangat kaget. Gadis itu masih menutup mulutnya, seolah tak percaya bahwa ajakan menikah akan ia dapatkan dari pria lain. Bukan Djati yang notabenenya adalah kekasih Ava.Biru mendekati Ava. Pria yang tadinya hanya berdiri, kini mulai duduk di tepian tempat tidur Ava. Biru masih menatap gadis di hadapannya dengan serius."Ava, dengarkan saya baik-baik," ucap Biru secara perlahan. Pria itu ingin Ava menganggap apapun yang diucapkannya adalah sebuah kebenaran. "Saya tahu ucapan kamu tadi hanya candaan, tapi setelah saya pikirkan, candaan itu ada benarnya."Biru menunggu respon Ava sebentar, lalu melanjutkan, "bila kamu menikah dengan saya, prioritas yang saya dapatkan, akan kamu dapatkan juga. Bila memang Praba ada di balik kecelakaan ini, maka sudah
"Pernikahan adalah penyatuan dua jiwa. Entah itu karena mencintai atau tidak. Esensi terpentingnya adalah keuntungan. Tak ada keuntungan, maka tak ada pernikahan."***"Kamu belum menemukan Ava?"Djati duduk di kursinya, berpikir dan berspekulasi di mana kekasihnya berada. Bernardio, tangan kanannya yang berada di kursi kemudi, hanya menjawab dengan kata 'belum'. Djati yang sejak tadi memandang kosong ke luar jendela, memilih untuk tak menanggapi. Hatinya selama lima hari ini begitu kosong, karena kehilangan sosok yang begitu berarti."Saya juga sudah mengawasi semua gerak-gerik orang-orang Pak Praba, namun tidak ada satu pun yang mencurigakan," lapor Dio pada bosnya. "Sepertinya Pak Praba tak tahu apapun mengenai hilangnya Nona Ava.""Tidak mungkin," sanggah Djati cepat. keyakinannya akan sanggahan itu seribu persen adanya. Ava tidak mungkin hilang, bila Praba tidak melakukan sesuatu."Lalu bagaimana, Bang?" tanya Dio sambil melirik ke kaca spion. Djati tampak masih diam, tak bereaks
"Dia berjanji melindungiku. Bukan sejenis janji cinta, tapi cukup membuatku bersyukur karena hidupku bisa kutitipkan padanya sepenuh jiwa."***"Katakan yang sebenarnya, di mana Ava?"Djati yang sudah habis kesabaran, langsung menggebrak meja kerja ayah angkatnya. Netranya begitu tajam memandang Praba yang masih dalam mode santai. Pria itu tampak tak terpengaruh, meskipun Djati sudah sangat kesal dan mungkin berniat akan membunuhnya jikalau keinginannya tak terkabul. Namun Praba memang tidak tahu di mana keberadaan Ava, gadis itu seperti hilang ditelan bumi.Djati sendiri langsung menemui Praba, saat tahu bahwa salah satu anak buah Radja tertangkap tangan tengah melakukan percobaan pembunuhan di rumah sakit. Bersama Dio, Djati pergi ke rumah sakit dan mencari tahu. Betapa kagetnya ia saat menyadari bahwa selama beberapa hari lalu Ava dirawat di sana. Tak perlu diklarifikasi, Djati langsung bisa menebak siapa yang coba untuk dibunuh oleh anak buah Radja."Gadis itu takut, dia menghilan
"Terkadang yang kamu pikir baik, belum tentu berakhir bersama. Terkadang yang baru mampir, namun siap belajar bersabar, akan jadi pemenang. Bukan waktu yang salah, namun takdirnya yang memang belum berpihak." *** "Ini benar-benar, Ava? Lo menipu gue, Ma?" Djati yang sedang murka, melempar undangan yang diterimanya pagi ini pada Padma. Gadis yang sedang menandatangani beragam laporan kerjasama itu, langsung menghela napas. Ia lalu menyuruh bawahannya untuk keluar, agar Padma bisa menghadapi Djati dengan benar. Padma tahu pada akhirnya ia akan bertemu di posisi ini, di mana menghadapi seorang Djati yang murka adalah perkara yang ditakutinya. Padma mengambil undangan yang ada di mejanya, membukanya, dan memperlihatkannya pada Djati. Dia sudah punya rencana. Sekarang Padma hanya bisa berdo'a Djati akan percaya lagi pada aktingnya. "Lo lihat siapa pendampingnya?" tanya Padma sambil menunjuk wajah Biru. "Lo pikir gue kenal? Lo pikir gue tahu? Kalau gue tahu pun, gue enggak akan melapor
"Ada kalanya manusia perlu menangis, hanya untuk belajar bertahan dari dunia yang tak mudah dijalani. Ada kalanya juga manusia harus bangkit, hanya untuk menjalani hari yang tetap berjalan." *** "Saya dengar kamu bertemu dengan Djati. Apa yang kalian bicarakan?" Nuansa sore yang indah, tak sepadan dengan perasaan gundah yang dirasakan Ava. Langit oranye yang begitu cantik nyatanya tak mempan bagi Ava menyembuhkan rasa sesaknya. Gadis itu tetap merasa sedih, meskipun keputusannya telah lama ia yakini. Cinta nyatanya tak bisa hilang dalam sekejap, seperti tali hubungan yang dalam sedetik bisa berubah dan berganti. Biru duduk di sebelah Ava. Ia menunggu hingga gadis itu siap untuk bercerita tentang segala hal yang terjadi pada dirinya. Biru melihat bahwa mata Ava sayu, dan napasnya terdengar sangat berat. Bisa Biru tebak, Ava telah melewati sisa hari dengan menangis. "Dia bilang, dia mencintaiku. Tapi, pria bodoh itu tidak yakin saat mengatakan bahwa kita bisa pergi. Pria bodoh itu
"Jangan bicara soal cinta, bila itu hanya kata dan rayuan. Jangan bicara soal cinta, bila hanya dusta yang terucap."***"Apa kita culik Ava saja dari pria itu?"Bernardio mendelik, dengan berani menimpali pikiran gila bosnya dengan sindiran, "Kalau pun berhasil kita culik, dia juga tidak ingin kembali bersama Anda."Djati langsung menoleh, dan memicing pada tangan kanannya. Ekspresi lelah Dio menggambarkan bahwa ia tidak ingin lagi mendengar mengenai Ava. Sudah cukup seminggu ini, Dio dihadapkan dengan tingkah laku gila Djati karena cinta butanya pada gadis itu."Lama-lama kamu persis seperti pria tua itu, tahu enggak?" lontar Djati tiba-tiba. "Sinis dan jahat, apa salahnya sih, mempertahankan cinta? Gue yakin Ava masih mencintai gue.""Masalahnya dia berada di pelukan polisi itu." Sahutan Dio membuat Djati bungkam. "Bagaimana mungkin polisi itu tidak mencekoki Nona Ava dengan segala praduganya tentang Anda? Kalau Nona Ava tidak