Share

II : RUNTUH YANG TAK DIPREDIKSI

"Terkadang ajal adalah hal tabu. Tidak ada manusia yang mau tahu, jadi mereka memilih bisu dan pura-pura lupa."

***

"Lo jadi ketemu polisi tampan itu, Va?"

Ava menoleh saat mendapati sahabatnya, Padma Nayana Aryotodjo sedang mengambil kursi untuk duduk di kubikelnya. Ava hanya mengangguk, menjawab pertanyaan Padma. Ada banyak hal yang bisa diceritakan, namun Biru melarang Ava untuk menceritakannya pada siapapun. Ava pun paham dan memilih untuk mengabulkan permintaan Biru.

Ava mengambil ponselnya, lalu mengecek notifikasi di layar. Beberapa pesan kebanyakan dari Djati, namun Ava memilih untuk mengabaikannya. Gadis itu tidak tahu bagaimana caranya menghadapi Djati setelah runtutan informasi yang didapatkannya hari ini. Pikirannya buntu, dan berakhir dengan keruwetan yang tidak ia dapatkan jawabannya.

"Va, hello!" panggil Padma yang sejak tadi merasa dicueki oleh si empunya kubikel. Ava menoleh dan tersenyum tipis sebagai tanda maaf. "Gila lo, ya! Ada cewek cantik di sini, malah didiemin. Gimana? Apa yang lo sama polisi tampan itu omongin?"

Ava menaruh kembali ponselnya, menghadap Padma, dan kemudian menangkup tangannya meminta maaf. "Bukannya enggak mau ngasih tahu, tapi gue dilarang bicara sama Biru." Padma mengangguk, tanda bahwa ia paham tentang apa yang terjadi. Sahabatnya berurusan dengan polisi, artinya ada sebuah tindak kriminal yang terjadi dan besar kemungkinan belum boleh dibicarakan di publik.

"Oke, enggak apa-apa. Meskipun gue kepo, tapi gue akan pura-pura enggak tahu demi keselamatan lo." Padma mengusap bahu Ava, Ava hanya tersenyum dan bersyukur memiliki sahabat yang begitu peduli padanya. "Ini akan baik-baik saja kan, Va?" tanya Padma memastikan, dan langsung dijawab gelengan oleh Ava.

"Gue enggak tahu, Ma."

Padma memeluk sahabatnya. Dalam kebingungan, Ava mungin tidak butuh saran. Jadi, Padma lebih memilih memberi pelukan. Semoga dengan pelukan yang diberikannya bisa mengurangi segala gundah yang Ava rasakan.

"Gue cuma bisa berdo'a agar apapun masalah yang terjadi bisa secepatnya beres ya," harap Padma seusai melepas pelukan singkatnya. Netranya tiba-tiba langsung teralihkan ke leher Ava. "Kalung lo mana, Va?" tanya Padma heran, karena tidak menemukan benda yang tiap harinya Ava pakai.

Ava spontan memegang lehernya. Lalu langsung kaget dan segera mengecek ke sekeliling tempat ia duduk sejak tadi. Tak ada satu pun tanda bahwa kalung itu terjatuh. Ava langsung resah, ia juga merogoh kantong celananya, namun nihil.

"Duh, enggak ada, Ma." Padma yang ikut mencari langsung setuju dengan pernyataan Ava. Ingatannya tiba-tiba mengarah pada si polisi tampan yang ditemui Ava tadi. "Lo ketemu si polisi tampan di mana? Jatuh di sana kali, Va."

Ava terdiam sejenak. Dia langsung ingat, saat memasuki resto di mana ia bertemu Praba, kalungnya sempat putus. Ava memasukkan kalung itu ke kantong tanpa pikir panjang. Namun saat ia memeriksa kantongnya tadi, tak ia temukan kalung itu.

Ava berharap kalung itu tidak hilang. Kalung itu begitu berharga untuk Ava. Kalung itu adalah pemberian terakhir ibundanya sebelum meninggal, dan dari kalung itu juga Ava bisa menemukan siapa ayah kandungnya kelak. Kalau kalung itu benar-benar hilang, maka impian bertemu ayah kandungnya pun akan ikut hilang.

***

Ava merasa begitu lega ketika mendengar kalungnya ditemukan oleh pelayan resto. Namun kelegaan itu langsung sirna, saat nama Djati tertera di layar ponselnya. Sudah delapan panggilan tak terjawab dari pria itu. Ava masih saja enggan untuk menerima pesan atau panggilan dari kekasihnya itu.

Ava memandangi ponselnya, berpikir apa yang harus dilakukannya pada Djati. Hatinya bimbang. Ava harus mengangkatnya, sebab Djati akan mengamuk dan memaksa menemuinya bila Ava terus mengabaikannya.

"Syukurlah kamu menjawab teleponku juga. Kenapa sih? Ada apa? Kamu enggak apa-apa, kan?" tanya Djati bertubi-tubi saat Ava akhirnya mengangkat teleponnya.

"Maaf ya, tadi kalung aku hilang. Jadi, aku fokus nyari kalung itu kemana-mana." Ava memilih untuk tidak berbohong. Dia memang kehilangan kalungnya, meskipun kenyataannya Ava memang sedang tidak ingin membalas pesan atau telepon dari Djati.

"Terus kalungnya sudah ketemu?"

Ava mengangguk, namun langsung sadar kalau Djati tidak bisa melihatnya. "Sudah kok," jawab Ava jujur. Gadis itu terdiam sebentar, lalu berkata, "Sayang, aku mau rapat sama klien. Kebetulan klienku sudah sampai. Nanti ku telepon lagi, gimana?"

Kali ini Ava bohong. Tidak ada klien hari itu. Ava hanya ingin menyudahi obrolannya dengan Djati.

"Oke," jawab Djati pelan. Pria itu sempat menghela napas sesaat, dan mengakhiri telepon dengan pesan, "jangan lupa telepon aku nanti. Aku mencintaimu."

Ava tidak menjawab kalimat cinta Djati, bukan karena tak mau, tapi karena pria itu telah menutup telepon lebih dulu. Djati tampaknya sadar Ava sedang tidak ingin berbicara dengannya. Pria itu memberi Ava keleluasaan untuk berpikir dan Ava sangat bersyukur untuk apa yang Djati lakukan.

***

Sepulangnya dari kantor, Ava langsung tancap gas menuju resto. Hatinya masih belum tenang, karena kalung berharganya masih belum di tangan. Sialnya sore itu jalanan lebih ramai dari biasanya. Mobil dan motor saling berebut lebih dulu dalam menguasai jalan raya.

"Va, nanti kalau sudah sampai di resto, jangan pulang dulu." Padma mengingatkannya. Sudah belasan kali gadis itu menyebut kalimat yang sama seakan Ava adalah makhluk yang cepat lupa. "Nanti gue nyusul. Kebetulan tempat ketemu klien dekat dari situ."

"Iya, Ma. Lo sudah ngomong belasan kali, lho!" Padma tertawa di seberang telepon. Asistennya, Manda Triana, terdengar menegurnya. "Eh, itu klien bisa illfeel kalau lo ketawa enggak karuan begitu."

"Klien kita lagi di toilet," ucap Padma pelan, setengah berbisik. Ava menduga atasannya itu akan mulai bergosip. "Benar kata lo, dia datang sendiri lagi. Kasihan deh, Va. Dia-nya cinta mati, cowoknya seperti enggak niat nikah. Kalau gue jadi dia, mendingan enggak perlu nikah. Rugi!"

Suara teguran Manda lagi-lagi terdengar di telepon. Kali ini lebih keras, seperti sebuah kode. Padma bahkan langsung menutup teleponnya. Ava sampai terpingkal membayangkan ekspresi Padma yang hampir tertangkap basah.

Fokus menyetirnya bahkan buyar. Untungnya klakson mobil di belakangnya berbunyi nyaring, mengingatkan Ava untuk segera bergerak karena lampu sudah berubah hijau. Sayangnya malang tak dapat dihindari. Belum sempat gadis itu bergerak, sebuah mobil SUV datang menghantam mobil Ava dari arah berlawanan.

Hal itu menyebabkan bumper depan mobil Ava penyok. Kap mobilnya terbuka. Kaca depan juga retak. Mobil bagian depannya rusak total.

"Ada kecelakaan."

"Cepat keluarkan cewek itu! Dia masih di dalam mobil."

"Hei, bantu telepon ambulans!"

Orang-orang di sekitar sana berteriak. Berlalu lalang mencoba menyelamatkan dan hanya melihat-lihat. Mereka berkerumun, memeriksa keadaan dua mobil yang menjadi korban.

Ava terlihat masih selamat, karena airbag mobilnya berfungsi dengan baik. Meskipun demikian keadaan Ava tak baik-baik saja. Kesadarannya hampir hilang. Pelipis dan pipi kanannya terluka, kemungkinan dari pantulan serpihan kaca yang retak.

Di tengah kesakitan yang dirasakannya itu, Ava mengingat ancaman yang dilontarkan Praba. Soal waktu, ajal dan hidup yang akan disesali oleh Ava. Apa ini perbuatan Praba? Ava tak bisa menjawab, hanya Tuhan yang tahu segalanya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status