"Saat cinta tak lagi membuatmu bahagia, dan justru membuatmu takut artinya kamu harus mengakhirinya."
***"Bagaimana dengan Ava?"Praba langsung bertanya begitu tangan kanannya, Radjarta masuk ke ruang kerjanya. Radja sudah bekerja lebih dari dua puluh tahun bersamanya. Radja adalah satu-satunya orang yang tahu rahasia terkelamnya. Praba begitu percaya pada Radja bahkan melebihi rasa percayanya pada Djati, putra angkatnya sendiri."Keadaannya membaik. Setelah empat hari koma, kemarin sore akhirnya Nona Ava sadar. Namun hal tersebut tak penting, ada hal lain yang lebih penting, Pak."Radja membenarkan kacamatanya. Pria itu memberikan sebuah amplop coklat pada Praba. Terdapat beberapa foto saat Praba membuka dan mengambil isi dari amplop coklat tersebut."Ini bukannya AKBP Biru?" tanya Praba saat melihat pria yang dikenalinya terdapat di dalam foto bersama Padma, sahabat Ava. Radja mengangguk. "Buat apa dia di sana? Bukannya dia mengurus narkoba?""Anak buah kita melapor bahwa AKBP Biru dan Nona Padma terlihat sangat akrab. Kemungkinan pertama, AKBP Biru ada hubungan dengan Nona Padma, makanya dia di sana. Kemungkinan kedua, AKBP Biru sedang menyelidiki Pak Djati melalui Nona Ava dan Nona Padma."Praba menaruh foto itu dengan kesal. Matanya memandang nyalang pada Biru yang begitu menyebalkan untuk Praba. Pria itu selalu mengganggu bisnisnya, seperti hama tanaman.Alasan lain Praba begitu membenci Biru, karena pria itu sangat sulit dijatuhkan. Jejak rekamnya bersih, dan prestasinya sangat gemilang sebagai seorang polisi muda. Biru juga anak bungsu Wakil Presiden, membuatnya makin tak tersentuh tangan jahat Praba."Biru tidak mungkin berhubungan dengan seorang wanita. Dia sangat ambisius. Bandar lebih penting daripada memacari seorang gadis. Pria itu terlalu sempurna untuk bisa dihancurkan."Radja tak menjawab, namun menyimak semua penjelasan bos-nya. Praba meraup semua foto di hadapannya, merapikannya, dan memasukkan kembali ke dalam amplop. Diberikannya kembali amplop itu pada Radja."Bakar semua ini!" titah Praba Pada Radja. Matanya teralihkan pada ponselnya, lalu mengetikkan sebuah pesan pada seseorang. "Satu lagi, jangan sampai Djati tahu apapun. Anak itu bisa jadi sangat pembangkang hanya karena seorang gadis.""Baik, Pak!" jawab Radja singkat. "Lalu apa yang akan kita lakukan pada Nona Ava, Pak?"Selesai mengetik, Praba menaruh kembali ponselnya di atas meja. Matanya kembali menatap Radja, sambil berkata, "kita akan tetap memusnahkan gadis itu. Bila dibiarkan hidup, dia bisa jadi senjata yang mematikan untuk siapa saja."***"Djati enggak tahu kan, saya ada di sini?"Biru mengernyit saat mendengar pertanyaan itu. Biru tak habis pikir bahwa hal pertama yang ditanyakan Ava setelah sadar adalah tentang Djati. Gadis itu bahkan tak memikirkan keadaannya sendiri yang baru pulih dari koma."Kamu baru sadar setelah koma empat hari, dan yang kamu khawatirkan adalah Djati?" sindir Biru yang langsung dibalas senyum kecil oleh Ava. "Kamu enggak bisa bertanya tentang keadaan kamu sendiri? Misalnya, kenapa kaki kamu di gips?""Salah ya?" tanya Ava yang langsung dibalas anggukan oleh Biru. "Saya tahu keadaan saya sendiri, jadi saya enggak mau tanya soal itu. Djati sekarang lebih penting. Saya enggak mau ketemu dia, jadi saya tanya apa Djati tahu?""Tidak." Jawaban Biru membuat Ava lega. Gadis itu pun kembali menyantap buburnya yang tinggal setengah. "Kalau kamu mau menanyakan soal Padma, dia tidak bisa ke sini. Karena kalau dia ke sini, Djati akan tahu. Kamu mau?"Ava menggeleng. Gadis itu masih menyantap buburnya yang hambar. Dia ingin segera sembuh, agar bisa bertemu dengan Djati dan memutuskan hubungan mereka.Untuk pertama kalinya dalam hubungan mereka, Ava begitu takut. Pikiran untuk bersama Djati selama mungkin telah lenyap setelah ia mengetahui bahwa pria itu terjerumus dalam dunia gelap. Terlebih nyawanya selalu dalam taruhan bila bersikukuh tetap bersama Djati."Apa yang kamu pikirkan?" tanya Biru yang tengah memandangi Ava. Gadis itu tampak melamun dalam kegiatannya menyuap makanan. "Apa kamu sudah kenyang? Aku akan membantu menyingkirkannya.""Tidak, saya akan menghabiskannya." Biru mengangguk, menyetujui keputusan Ava. "Saya hanya memikirkan hubungan saya dengan Djati. Tampaknya saya akan minta putus setelah sehat.""Kamu yakin? Bukannya kamu sangat cinta sama pria itu? Kenapa mau minta putus? Apa karena kamu juga yakin kalau dia adalah bandar?" tanya Biru bertubi-tubi.Ava menggeleng. "Saya enggak tahu," jawab Ava jujur. "Rasanya begitu mustahil kalau dipikir-pikir. Saya mengenal Djati dari umur sepuluh tahun. Saat dia diadopsi oleh Praba, sejak saat itu Djati berubah. Dia bukan lagi Djati yang saya kenal sebelumnya."Ava kembali menyuapkan bubur, netranya menangkap wajah Biru yang sedang serius menyimak. Gadis itu menelan terlebih dahulu, sebelum melanjutkan, "Djati jadi lebih dingin dan ambisius. Dia mudah emosi, terlebih pada bawahannya. Saat mengetahui fakta dari kamu dan melihat sikap Djati, saya jadi berpikir bahwa mungkin memang ada sesuatu yang salah.""Sejak siang itu, saya mulai menghindari Djati. Saya mulai memikirkan hal-hal buruk akan terjadi, dan saya begitu takut. Saya mencintai Djati, tapi rasa kehilangan, teror, dan pikiran-pikiran lainnya begitu menyiksa saya."Biru hanya terdiam mendengar cerita Ava tentang Djati. Selama berbulan-bulan memantau pergerakan Djati, hanya pada Ava-lah pria itu terlihat lembut dan perhatian. Biru memang tidak pernah mencintai seorang gadis, namun dia bisa tahu kalau Djati memang benar-benar memberikan seluruh hatinya pada Ava.Ava menandaskan bubur di mangkuk, dan kemudian meneguk habis air putih di gelas. Biru yang memang memperhatikan gadis itu sejak tadi, langsung mendekat untuk menyingkirkan meja makan. Ava berterima kasih atas bantuan Biru."Pak Biru, boleh saya bertanya?" Biru yang selesai membereskan meja ke pojok ruangan, langsung menoleh. Pria itu mengangguk. "Tadi saat kamu membuka pintu, saya melihat ada tiga pria berbadan tegap berdiri depan pintu. Mereka teman kamu?""Pertama, panggil Biru saja, usia kita memang beda sembilan tahun, tapi panggil saya dengan Biru saja. Kedua, saya akan menjawab pertanyaan kamu tentang mereka," tunjuk Biru ke arah pintu. "Salah satunya adalah teman saya, dia bertugas menjaga kamu, sisanya adalah Paspampers.""Paspampers?" tanya Ava tidak mengerti. "Buat apa ada Paspampers di luar sana? Saya kan, bukan anak Presiden. Kamu memangnya anak Presiden?"Biru terkekeh menanggapi komentar Ava. Ava yang melihat reaksi Biru langsung menutup mulut. Gadis itu langsung sadar, meskipun Biru tak menjelaskan secara gamblang padanya."Kamu anak Presiden?""Lebih tepatnya Wapres." Biru menarik selimut Ava, lalu membenarkannya hingga menutupi tubuh gadis itu. Ava sendiri masih terhenyak dalam rasa kagetnya. "Saya anak ketiga Berdaya Adinegara, Wakil Presiden negara kita.""WOW!" takjub Ava begitu mendengar siapa pria dihadapannya. Gadis itu lalu tersenyum lebar mencoba bercanda dengan Biru. "Bagaimana kalau kamu yang menikahi saya? Setidaknya hidup saya bisa tenang setelahnya."Biru tak menanggapi, dan hanya terdiam. Pikirannya mulai bekerja saat mendengar celotehan Ava. Gadis itu mungkin hanya bercanda, namun bagi Biru apa yang dikatakan Ava adalah ide berlian yang memang harus mereka lakukan."Ava," panggil Biru untuk kali pertama. Biasanya pria tersebut akan memanggilnya dengan embel-embel. "Dengarkan saya, dan pikirkan baik-baik permintaan saya.""Ya?"Biru menarik napas dan membuangnya singkat. Hatinya ketar-ketir, karena tak terpikir untuk menanyakan hal ini kepada seorang gadis. Namun karena keadaan, pria itu menyerah. Dia akan menyebutkannya pada seseorang yang bahkan tak benar-benar ia kenal."Menikah dengan saya, bagaimana?""APA?"Ava sekali lagi menutup mulutnya. Mencoba meresapi pertanyaan Biru yang bisa berarti candaan. Namun ketika ada pria yang menatapmu dengan serius, tidak mungkin rasanya permintaan menikah menjadi sebuah pernyataan asal. Ava tahu kalau Biru memang tidak bercanda saat ini, dan gadis itu bingung untuk menanggapinya.***"Cinta itu masalah waktu. Jalani, rasakan, dan pahami. Sesungguhnya yang tadinya mustahil akan terasa mungkin dan benar."***"Menikah dengan saya, bagaimana?""APA?"Ava tahu Biru sedang tidak bercanda. Permintaannya nyata, maka dari itu Ava sangat kaget. Gadis itu masih menutup mulutnya, seolah tak percaya bahwa ajakan menikah akan ia dapatkan dari pria lain. Bukan Djati yang notabenenya adalah kekasih Ava.Biru mendekati Ava. Pria yang tadinya hanya berdiri, kini mulai duduk di tepian tempat tidur Ava. Biru masih menatap gadis di hadapannya dengan serius."Ava, dengarkan saya baik-baik," ucap Biru secara perlahan. Pria itu ingin Ava menganggap apapun yang diucapkannya adalah sebuah kebenaran. "Saya tahu ucapan kamu tadi hanya candaan, tapi setelah saya pikirkan, candaan itu ada benarnya."Biru menunggu respon Ava sebentar, lalu melanjutkan, "bila kamu menikah dengan saya, prioritas yang saya dapatkan, akan kamu dapatkan juga. Bila memang Praba ada di balik kecelakaan ini, maka sudah
"Pernikahan adalah penyatuan dua jiwa. Entah itu karena mencintai atau tidak. Esensi terpentingnya adalah keuntungan. Tak ada keuntungan, maka tak ada pernikahan."***"Kamu belum menemukan Ava?"Djati duduk di kursinya, berpikir dan berspekulasi di mana kekasihnya berada. Bernardio, tangan kanannya yang berada di kursi kemudi, hanya menjawab dengan kata 'belum'. Djati yang sejak tadi memandang kosong ke luar jendela, memilih untuk tak menanggapi. Hatinya selama lima hari ini begitu kosong, karena kehilangan sosok yang begitu berarti."Saya juga sudah mengawasi semua gerak-gerik orang-orang Pak Praba, namun tidak ada satu pun yang mencurigakan," lapor Dio pada bosnya. "Sepertinya Pak Praba tak tahu apapun mengenai hilangnya Nona Ava.""Tidak mungkin," sanggah Djati cepat. keyakinannya akan sanggahan itu seribu persen adanya. Ava tidak mungkin hilang, bila Praba tidak melakukan sesuatu."Lalu bagaimana, Bang?" tanya Dio sambil melirik ke kaca spion. Djati tampak masih diam, tak bereaks
"Dia berjanji melindungiku. Bukan sejenis janji cinta, tapi cukup membuatku bersyukur karena hidupku bisa kutitipkan padanya sepenuh jiwa."***"Katakan yang sebenarnya, di mana Ava?"Djati yang sudah habis kesabaran, langsung menggebrak meja kerja ayah angkatnya. Netranya begitu tajam memandang Praba yang masih dalam mode santai. Pria itu tampak tak terpengaruh, meskipun Djati sudah sangat kesal dan mungkin berniat akan membunuhnya jikalau keinginannya tak terkabul. Namun Praba memang tidak tahu di mana keberadaan Ava, gadis itu seperti hilang ditelan bumi.Djati sendiri langsung menemui Praba, saat tahu bahwa salah satu anak buah Radja tertangkap tangan tengah melakukan percobaan pembunuhan di rumah sakit. Bersama Dio, Djati pergi ke rumah sakit dan mencari tahu. Betapa kagetnya ia saat menyadari bahwa selama beberapa hari lalu Ava dirawat di sana. Tak perlu diklarifikasi, Djati langsung bisa menebak siapa yang coba untuk dibunuh oleh anak buah Radja."Gadis itu takut, dia menghilan
"Terkadang yang kamu pikir baik, belum tentu berakhir bersama. Terkadang yang baru mampir, namun siap belajar bersabar, akan jadi pemenang. Bukan waktu yang salah, namun takdirnya yang memang belum berpihak." *** "Ini benar-benar, Ava? Lo menipu gue, Ma?" Djati yang sedang murka, melempar undangan yang diterimanya pagi ini pada Padma. Gadis yang sedang menandatangani beragam laporan kerjasama itu, langsung menghela napas. Ia lalu menyuruh bawahannya untuk keluar, agar Padma bisa menghadapi Djati dengan benar. Padma tahu pada akhirnya ia akan bertemu di posisi ini, di mana menghadapi seorang Djati yang murka adalah perkara yang ditakutinya. Padma mengambil undangan yang ada di mejanya, membukanya, dan memperlihatkannya pada Djati. Dia sudah punya rencana. Sekarang Padma hanya bisa berdo'a Djati akan percaya lagi pada aktingnya. "Lo lihat siapa pendampingnya?" tanya Padma sambil menunjuk wajah Biru. "Lo pikir gue kenal? Lo pikir gue tahu? Kalau gue tahu pun, gue enggak akan melapor
"Ada kalanya manusia perlu menangis, hanya untuk belajar bertahan dari dunia yang tak mudah dijalani. Ada kalanya juga manusia harus bangkit, hanya untuk menjalani hari yang tetap berjalan." *** "Saya dengar kamu bertemu dengan Djati. Apa yang kalian bicarakan?" Nuansa sore yang indah, tak sepadan dengan perasaan gundah yang dirasakan Ava. Langit oranye yang begitu cantik nyatanya tak mempan bagi Ava menyembuhkan rasa sesaknya. Gadis itu tetap merasa sedih, meskipun keputusannya telah lama ia yakini. Cinta nyatanya tak bisa hilang dalam sekejap, seperti tali hubungan yang dalam sedetik bisa berubah dan berganti. Biru duduk di sebelah Ava. Ia menunggu hingga gadis itu siap untuk bercerita tentang segala hal yang terjadi pada dirinya. Biru melihat bahwa mata Ava sayu, dan napasnya terdengar sangat berat. Bisa Biru tebak, Ava telah melewati sisa hari dengan menangis. "Dia bilang, dia mencintaiku. Tapi, pria bodoh itu tidak yakin saat mengatakan bahwa kita bisa pergi. Pria bodoh itu
"Jangan bicara soal cinta, bila itu hanya kata dan rayuan. Jangan bicara soal cinta, bila hanya dusta yang terucap."***"Apa kita culik Ava saja dari pria itu?"Bernardio mendelik, dengan berani menimpali pikiran gila bosnya dengan sindiran, "Kalau pun berhasil kita culik, dia juga tidak ingin kembali bersama Anda."Djati langsung menoleh, dan memicing pada tangan kanannya. Ekspresi lelah Dio menggambarkan bahwa ia tidak ingin lagi mendengar mengenai Ava. Sudah cukup seminggu ini, Dio dihadapkan dengan tingkah laku gila Djati karena cinta butanya pada gadis itu."Lama-lama kamu persis seperti pria tua itu, tahu enggak?" lontar Djati tiba-tiba. "Sinis dan jahat, apa salahnya sih, mempertahankan cinta? Gue yakin Ava masih mencintai gue.""Masalahnya dia berada di pelukan polisi itu." Sahutan Dio membuat Djati bungkam. "Bagaimana mungkin polisi itu tidak mencekoki Nona Ava dengan segala praduganya tentang Anda? Kalau Nona Ava tidak
"Pernikahan mungkin bisa berdiri tanpa cinta. Namun pernikahan tanpa komitmen adalah bunuh diri. Pernikahan tanpa komitmen sama saja seperti rumah tanpa pondasi. Mudah hancur dalam sekejap."***"Saya terima nikah dan kawinnya Ava Kinandhita binti Abdullah dengan mas kawin tersebut, tunai." "Sah?" Semua saksi dan tamu yang hadir mengucapkan kata sah secara serempak. Mereka semua terlihat begitu lega, dan bahagia dalam suka cita karena satu sesi penting telah terlewati. Biru memandangi Ava, yang sedang duduk di sampingnya. Mereka saling melempar senyum canggung setelah resmi menjadi suami istri. Pak penghulu pun melanjutkan dengan lantunan do'a. Selepas itu, Ava dan Biru diminta menandatangani buku nikah dan dilanjutkan dengan pemakaian cincin nikah. Biru sengaja memesan cincin nikah perak, agar tak hanya Ava, Biru pun juga bisa memakainya. Setelah cincin nikah terpasang, Ava menyalami tangan biru dengan senyum manis terpasang di wajah cantiknya. Biru begitu terpesona dengan gadis i
"Saat ada seseorang di sampingmu, dunia jadi lebih mudah dijalani. Karena saat kamu lelah, dan hari terasa begitu berat ada dia yang menjadi tempatmu pulang untuk mengadu."***"Gimana enggak langsung dinikahi, secara pengantin wanitanya secantik itu. Gue paham deh, kenapa selama ini Biru seperti enggak doyan sama kita. Levelnya secantik Miss Universe begitu."Djati menoleh, dan dalam hati membenarkan apa yang gadis-gadis penggosip itu katakan. Tiap kali sepasang netranya menangkap figur Ava, hanya sebuah kekaguman yang terpancar. Selama bertahun-tahun, hanya gadis itu yang tercantik. Djati belum menemukan tandingannya.Sayangnya hal tersebut sirna. Gadis tercantik itu bukan miliknya lagi. Ia telah kehilangan, dan kini hanya kenangan yang tertinggal. Djati berharap kenangan itu cukup mampu mengupas keputusan Ava untuk setia pada suaminya."Kita akan masuk, Bang?" tanya Bernardio yang berdiri di belakangnya. Dio sebenarnya enggan mengantar Djati ke pesta itu, namun di sisi lain ia juga