Share

IV : MENGHAPUS JEJAK HIDUP

"Saat cinta tak lagi membuatmu bahagia, dan justru membuatmu takut artinya kamu harus mengakhirinya."

***

"Bagaimana dengan Ava?"

Praba langsung bertanya begitu tangan kanannya, Radjarta masuk ke ruang kerjanya. Radja sudah bekerja lebih dari dua puluh tahun bersamanya. Radja adalah satu-satunya orang yang tahu rahasia terkelamnya. Praba begitu percaya pada Radja bahkan melebihi rasa percayanya pada Djati, putra angkatnya sendiri.

"Keadaannya membaik. Setelah empat hari koma, kemarin sore akhirnya Nona Ava sadar. Namun hal tersebut tak penting, ada hal lain yang lebih penting, Pak."

Radja membenarkan kacamatanya. Pria itu memberikan sebuah amplop coklat pada Praba. Terdapat beberapa foto saat Praba membuka dan mengambil isi dari amplop coklat tersebut.

"Ini bukannya AKBP Biru?" tanya Praba saat melihat pria yang dikenalinya terdapat di dalam foto bersama Padma, sahabat Ava. Radja mengangguk. "Buat apa dia di sana? Bukannya dia mengurus narkoba?"

"Anak buah kita melapor bahwa AKBP Biru dan Nona Padma terlihat sangat akrab. Kemungkinan pertama, AKBP Biru ada hubungan dengan Nona Padma, makanya dia di sana. Kemungkinan kedua, AKBP Biru sedang menyelidiki Pak Djati melalui Nona Ava dan Nona Padma."

Praba menaruh foto itu dengan kesal. Matanya memandang nyalang pada Biru yang begitu menyebalkan untuk Praba. Pria itu selalu mengganggu bisnisnya, seperti hama tanaman.

Alasan lain Praba begitu membenci Biru, karena pria itu sangat sulit dijatuhkan. Jejak rekamnya bersih, dan prestasinya sangat gemilang sebagai seorang polisi muda. Biru juga anak bungsu Wakil Presiden, membuatnya makin tak tersentuh tangan jahat Praba.

"Biru tidak mungkin berhubungan dengan seorang wanita. Dia sangat ambisius. Bandar lebih penting daripada memacari seorang gadis. Pria itu terlalu sempurna untuk bisa dihancurkan."

Radja tak menjawab, namun menyimak semua penjelasan bos-nya. Praba meraup semua foto di hadapannya, merapikannya, dan memasukkan kembali ke dalam amplop. Diberikannya kembali amplop itu pada Radja.

"Bakar semua ini!" titah Praba Pada Radja. Matanya teralihkan pada ponselnya, lalu mengetikkan sebuah pesan pada seseorang. "Satu lagi, jangan sampai Djati tahu apapun. Anak itu bisa jadi sangat pembangkang hanya karena seorang gadis."

"Baik, Pak!" jawab Radja singkat. "Lalu apa yang akan kita lakukan pada Nona Ava, Pak?"

Selesai mengetik, Praba menaruh kembali ponselnya di atas meja. Matanya kembali menatap Radja, sambil berkata, "kita akan tetap memusnahkan gadis itu. Bila dibiarkan hidup, dia bisa jadi senjata yang mematikan untuk siapa saja."

***

"Djati enggak tahu kan, saya ada di sini?"

Biru mengernyit saat mendengar pertanyaan itu. Biru tak habis pikir bahwa hal pertama yang ditanyakan Ava setelah sadar adalah tentang Djati. Gadis itu bahkan tak memikirkan keadaannya sendiri yang baru pulih dari koma.

"Kamu baru sadar setelah koma empat hari, dan yang kamu khawatirkan adalah Djati?" sindir Biru yang langsung dibalas senyum kecil oleh Ava. "Kamu enggak bisa bertanya tentang keadaan kamu sendiri? Misalnya, kenapa kaki kamu di gips?"

"Salah ya?" tanya Ava yang langsung dibalas anggukan oleh Biru. "Saya tahu keadaan saya sendiri, jadi saya enggak mau tanya soal itu. Djati sekarang lebih penting. Saya enggak mau ketemu dia, jadi saya tanya apa Djati tahu?"

"Tidak." Jawaban Biru membuat Ava lega. Gadis itu pun kembali menyantap buburnya yang tinggal setengah. "Kalau kamu mau menanyakan soal Padma, dia tidak bisa ke sini. Karena kalau dia ke sini, Djati akan tahu. Kamu mau?"

Ava menggeleng. Gadis itu masih menyantap buburnya yang hambar. Dia ingin segera sembuh, agar bisa bertemu dengan Djati dan memutuskan hubungan mereka.

Untuk pertama kalinya dalam hubungan mereka, Ava begitu takut. Pikiran untuk bersama Djati selama mungkin telah lenyap setelah ia mengetahui bahwa pria itu terjerumus dalam dunia gelap. Terlebih nyawanya selalu dalam taruhan bila bersikukuh tetap bersama Djati.

"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Biru yang tengah memandangi Ava. Gadis itu tampak melamun dalam kegiatannya menyuap makanan. "Apa kamu sudah kenyang? Aku akan membantu menyingkirkannya."

"Tidak, saya akan menghabiskannya." Biru mengangguk, menyetujui keputusan Ava. "Saya hanya memikirkan hubungan saya dengan Djati. Tampaknya saya akan minta putus setelah sehat."

"Kamu yakin? Bukannya kamu sangat cinta sama pria itu? Kenapa mau minta putus? Apa karena kamu juga yakin kalau dia adalah bandar?" tanya Biru bertubi-tubi.

Ava menggeleng. "Saya enggak tahu," jawab Ava jujur. "Rasanya begitu mustahil kalau dipikir-pikir. Saya mengenal Djati dari umur sepuluh tahun. Saat dia diadopsi oleh Praba, sejak saat itu Djati berubah. Dia bukan lagi Djati yang saya kenal sebelumnya."

Ava kembali menyuapkan bubur, netranya menangkap wajah Biru yang sedang serius menyimak. Gadis itu menelan terlebih dahulu, sebelum melanjutkan, "Djati jadi lebih dingin dan ambisius. Dia mudah emosi, terlebih pada bawahannya. Saat mengetahui fakta dari kamu dan melihat sikap Djati, saya jadi berpikir bahwa mungkin memang ada sesuatu yang salah."

"Sejak siang itu, saya mulai menghindari Djati. Saya mulai memikirkan hal-hal buruk akan terjadi, dan saya begitu takut. Saya mencintai Djati, tapi rasa kehilangan, teror, dan pikiran-pikiran lainnya begitu menyiksa saya."

Biru hanya terdiam mendengar cerita Ava tentang Djati. Selama berbulan-bulan memantau pergerakan Djati, hanya pada Ava-lah pria itu terlihat lembut dan perhatian. Biru memang tidak pernah mencintai seorang gadis, namun dia bisa tahu kalau Djati memang benar-benar memberikan seluruh hatinya pada Ava.

Ava menandaskan bubur di mangkuk, dan kemudian meneguk habis air putih di gelas. Biru yang memang memperhatikan gadis itu sejak tadi, langsung mendekat untuk menyingkirkan meja makan. Ava berterima kasih atas bantuan Biru.

"Pak Biru, boleh saya bertanya?" Biru yang selesai membereskan meja ke pojok ruangan, langsung menoleh. Pria itu mengangguk. "Tadi saat kamu membuka pintu, saya melihat ada tiga pria berbadan tegap berdiri depan pintu. Mereka teman kamu?"

"Pertama, panggil Biru saja, usia kita memang beda sembilan tahun, tapi panggil saya dengan Biru saja. Kedua, saya akan menjawab pertanyaan kamu tentang mereka," tunjuk Biru ke arah pintu. "Salah satunya adalah teman saya, dia bertugas menjaga kamu, sisanya adalah Paspampers."

"Paspampers?" tanya Ava tidak mengerti. "Buat apa ada Paspampers di luar sana? Saya kan, bukan anak Presiden. Kamu memangnya anak Presiden?"

Biru terkekeh menanggapi komentar Ava. Ava yang melihat reaksi Biru langsung menutup mulut. Gadis itu langsung sadar, meskipun Biru tak menjelaskan secara gamblang padanya.

"Kamu anak Presiden?"

"Lebih tepatnya Wapres." Biru menarik selimut Ava, lalu membenarkannya hingga menutupi tubuh gadis itu. Ava sendiri masih terhenyak dalam rasa kagetnya. "Saya anak ketiga Berdaya Adinegara, Wakil Presiden negara kita."

"WOW!" takjub Ava begitu mendengar siapa pria dihadapannya. Gadis itu lalu tersenyum lebar mencoba bercanda dengan Biru. "Bagaimana kalau kamu yang menikahi saya? Setidaknya hidup saya bisa tenang setelahnya."

Biru tak menanggapi, dan hanya terdiam. Pikirannya mulai bekerja saat mendengar celotehan Ava. Gadis itu mungkin hanya bercanda, namun bagi Biru apa yang dikatakan Ava adalah ide berlian yang memang harus mereka lakukan.

"Ava," panggil Biru untuk kali pertama. Biasanya pria tersebut akan memanggilnya dengan embel-embel. "Dengarkan saya, dan pikirkan baik-baik permintaan saya."

"Ya?"

Biru menarik napas dan membuangnya singkat. Hatinya ketar-ketir, karena tak terpikir untuk menanyakan hal ini kepada seorang gadis. Namun karena keadaan, pria itu menyerah. Dia akan menyebutkannya pada seseorang yang bahkan tak benar-benar ia kenal.

"Menikah dengan saya, bagaimana?"

"APA?"

Ava sekali lagi menutup mulutnya. Mencoba meresapi pertanyaan Biru yang bisa berarti candaan. Namun ketika ada pria yang menatapmu dengan serius, tidak mungkin rasanya permintaan menikah menjadi sebuah pernyataan asal. Ava tahu kalau Biru memang tidak bercanda saat ini, dan gadis itu bingung untuk menanggapinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status