"Terkadang yang kamu pikir baik, belum tentu berakhir bersama. Terkadang yang baru mampir, namun siap belajar bersabar, akan jadi pemenang. Bukan waktu yang salah, namun takdirnya yang memang belum berpihak." *** "Ini benar-benar, Ava? Lo menipu gue, Ma?" Djati yang sedang murka, melempar undangan yang diterimanya pagi ini pada Padma. Gadis yang sedang menandatangani beragam laporan kerjasama itu, langsung menghela napas. Ia lalu menyuruh bawahannya untuk keluar, agar Padma bisa menghadapi Djati dengan benar. Padma tahu pada akhirnya ia akan bertemu di posisi ini, di mana menghadapi seorang Djati yang murka adalah perkara yang ditakutinya. Padma mengambil undangan yang ada di mejanya, membukanya, dan memperlihatkannya pada Djati. Dia sudah punya rencana. Sekarang Padma hanya bisa berdo'a Djati akan percaya lagi pada aktingnya. "Lo lihat siapa pendampingnya?" tanya Padma sambil menunjuk wajah Biru. "Lo pikir gue kenal? Lo pikir gue tahu? Kalau gue tahu pun, gue enggak akan melapor
"Ada kalanya manusia perlu menangis, hanya untuk belajar bertahan dari dunia yang tak mudah dijalani. Ada kalanya juga manusia harus bangkit, hanya untuk menjalani hari yang tetap berjalan." *** "Saya dengar kamu bertemu dengan Djati. Apa yang kalian bicarakan?" Nuansa sore yang indah, tak sepadan dengan perasaan gundah yang dirasakan Ava. Langit oranye yang begitu cantik nyatanya tak mempan bagi Ava menyembuhkan rasa sesaknya. Gadis itu tetap merasa sedih, meskipun keputusannya telah lama ia yakini. Cinta nyatanya tak bisa hilang dalam sekejap, seperti tali hubungan yang dalam sedetik bisa berubah dan berganti. Biru duduk di sebelah Ava. Ia menunggu hingga gadis itu siap untuk bercerita tentang segala hal yang terjadi pada dirinya. Biru melihat bahwa mata Ava sayu, dan napasnya terdengar sangat berat. Bisa Biru tebak, Ava telah melewati sisa hari dengan menangis. "Dia bilang, dia mencintaiku. Tapi, pria bodoh itu tidak yakin saat mengatakan bahwa kita bisa pergi. Pria bodoh itu
"Jangan bicara soal cinta, bila itu hanya kata dan rayuan. Jangan bicara soal cinta, bila hanya dusta yang terucap."***"Apa kita culik Ava saja dari pria itu?"Bernardio mendelik, dengan berani menimpali pikiran gila bosnya dengan sindiran, "Kalau pun berhasil kita culik, dia juga tidak ingin kembali bersama Anda."Djati langsung menoleh, dan memicing pada tangan kanannya. Ekspresi lelah Dio menggambarkan bahwa ia tidak ingin lagi mendengar mengenai Ava. Sudah cukup seminggu ini, Dio dihadapkan dengan tingkah laku gila Djati karena cinta butanya pada gadis itu."Lama-lama kamu persis seperti pria tua itu, tahu enggak?" lontar Djati tiba-tiba. "Sinis dan jahat, apa salahnya sih, mempertahankan cinta? Gue yakin Ava masih mencintai gue.""Masalahnya dia berada di pelukan polisi itu." Sahutan Dio membuat Djati bungkam. "Bagaimana mungkin polisi itu tidak mencekoki Nona Ava dengan segala praduganya tentang Anda? Kalau Nona Ava tidak
"Pernikahan mungkin bisa berdiri tanpa cinta. Namun pernikahan tanpa komitmen adalah bunuh diri. Pernikahan tanpa komitmen sama saja seperti rumah tanpa pondasi. Mudah hancur dalam sekejap."***"Saya terima nikah dan kawinnya Ava Kinandhita binti Abdullah dengan mas kawin tersebut, tunai." "Sah?" Semua saksi dan tamu yang hadir mengucapkan kata sah secara serempak. Mereka semua terlihat begitu lega, dan bahagia dalam suka cita karena satu sesi penting telah terlewati. Biru memandangi Ava, yang sedang duduk di sampingnya. Mereka saling melempar senyum canggung setelah resmi menjadi suami istri. Pak penghulu pun melanjutkan dengan lantunan do'a. Selepas itu, Ava dan Biru diminta menandatangani buku nikah dan dilanjutkan dengan pemakaian cincin nikah. Biru sengaja memesan cincin nikah perak, agar tak hanya Ava, Biru pun juga bisa memakainya. Setelah cincin nikah terpasang, Ava menyalami tangan biru dengan senyum manis terpasang di wajah cantiknya. Biru begitu terpesona dengan gadis i
"Saat ada seseorang di sampingmu, dunia jadi lebih mudah dijalani. Karena saat kamu lelah, dan hari terasa begitu berat ada dia yang menjadi tempatmu pulang untuk mengadu."***"Gimana enggak langsung dinikahi, secara pengantin wanitanya secantik itu. Gue paham deh, kenapa selama ini Biru seperti enggak doyan sama kita. Levelnya secantik Miss Universe begitu."Djati menoleh, dan dalam hati membenarkan apa yang gadis-gadis penggosip itu katakan. Tiap kali sepasang netranya menangkap figur Ava, hanya sebuah kekaguman yang terpancar. Selama bertahun-tahun, hanya gadis itu yang tercantik. Djati belum menemukan tandingannya.Sayangnya hal tersebut sirna. Gadis tercantik itu bukan miliknya lagi. Ia telah kehilangan, dan kini hanya kenangan yang tertinggal. Djati berharap kenangan itu cukup mampu mengupas keputusan Ava untuk setia pada suaminya."Kita akan masuk, Bang?" tanya Bernardio yang berdiri di belakangnya. Dio sebenarnya enggan mengantar Djati ke pesta itu, namun di sisi lain ia juga
"Pernikahan tidak hanya mengubah kebiasaan tidurmu. Pernikahan juga mengubah kebiasan menyendirimu, kebiasaan makanmu, kebiasaan berbelanjamu, hingga kebiasaan-kebiasaan lain yang nantinya akan kamu sukai dan kamu benci." *** "Wow, ini enggak berlebihan?" Ava melongo saat memasuki kamar pengantin mereka. Terdapat banyak hadiah bernilai fantastis yang disusun cantik di sudut kamar. Dari tas harga ratusan juta, sampai perhiasan yang Ava taksir harganya tidak main-main. Walau bagaimana pun, Ava adalah seorang perempuan yang pastinya melek akan barang fashion dan aksesoris yang memanjakan mata. Ava melihat semuanya. Ada sekitar lima belas item barang yang Ava taksir harganya bisa mencapai hampir setengah miliar. Ia menggelengkan kepala, lalu menoleh pada Biru yang sedang berdiri di belakangnya. Pria itu mengangkat bahu, seakan pura-pura tidak tahu dan tidak peduli dengan itu semua. "Ini dari kamu?" tanya Ava dengan mata memicing seakan ingin meminta kebenaran dari sebuah kejahatan. "K
"Ada banyak penyebab yang membuat seseorang yang tadinya baik berubah menjadi jahat. Namun tidak banyak penyebab yang membuat seseorang yang tadinya jahat berubah menjadi baik."***"Ava Kinandhita, berhenti menatap saya!"Ava tersentak saat mendengar Biru berkata demikian. Pria itu ternyata sudah bangun dari tidurnya. Ava tersenyum, dan menutup kembali matanya. Kini gantian Biru yang membuka mata, dan menatap gadis itu.Semalam mereka mengobrol hingga pukul dua dini hari. Karena mengantuk, mereka akhirnya memutuskan untuk beranjak ke tempat tidur. Awalnya Biru ingin tidur di sofa, namun Ava melarangnya. Ia mengatakan bahwa kamar itu miliknya juga, jadi gadis itu menyuruhnya berbaring di tempat tidur yang sama."Saya tidak menatap kamu sama sekali," ucap Ava dalam keadaan menutup mata. Biru langsung tersenyum begitu mendengarnya."Ava."Karena dipanggil, Ava pun membuka matanya. Ia menemukan sepasang bola mata sehitam kelam milik Biru sedang memandanginya dengan serius. Bibirnya yang
"Menikah bukanlah akhir dari sebuah kisah. Menikah memiliki artian panjang dari sebuah kisah hidup. Bersama seseorang, kita memulai kisah itu. Entah panjang atau sebentar."***"Pak, enggak pulang? Bapak kan, pengantin baru."Biru mengernyit, dan baru mengingat bahwa ia belum menghubungi Ava sama sekali seharian ini. Setelah pulang dari rumah sakit, Biru pergi ke kantor polisi untuk mengawasi interogasi yang dilakukan rekannya. Dari interogasi tersebut, Biru dan timnya dibuat pusing karena terduga yang mereka tangkap tidak memberikan informasi yang jelas. Belum lagi media sudah mendesak dan berkerumun di depan kantor polisi untuk meminta kejelasan tentang penemuan narkoba dalam jumlah besar."Untung kamu ingatkan, saya lupa," cetus Biru sambil memukul keningnya. Beberapa rekannya geleng-geleng kepala, dan bahkan ada yang berani mengolok-oloknya. Biru yang pada dasarnya bukan orang yang kaku, langsung pamer cengiran pada rekan-rekannya tersebut.Biru pun segera pamit, karena memang ia