Detektif Zen: Rencana Paling Sempurna

Detektif Zen: Rencana Paling Sempurna

By:  Susan S  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
9.9
94 ratings
23Chapters
4.6Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Empat mayat pria tanpa identitas ditemukan dalam kondisi mengenaskan di empat tempat berbeda secara hampir bersamaan. Penyelidikan dilakukan. Aipda Zen Devano, seorang anggota tim identifikasi sidik jari INAFIS Polertabes dibantu istrinya yang seorang penulis fiksi kriminal terkenal, Kanaya Susan Olivia, mulai melakukan penelusuran benang merah kasus tersebut karena terindikasi pembunuhan berantai. Identitas korban satu persatu terpecahkan. Namun, penyelidikan mengalami jalan buntu karena antara satu korban dengan yang lainnya sama sekali tidak memiliki hubungan apa pun. Saat kasus tersebut tidak mengalami perkembangan dan hampir dilupakan, korban kelima ditemukan. Ini adalah kesempatan terakhir Aipda Zen untuk menangkap pelaku pembunuhan berantai tersebut sebelum dia membunuh lebih banyak lagi. Siapa sebenarnya pelaku? Apa motifnya membunuh begitu banyak laki-laki?

View More
Detektif Zen: Rencana Paling Sempurna Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
user avatar
Firly Hendranata
Belum ada lanjutannya ini, Thor?
2022-01-07 11:49:33
0
user avatar
Aldy arc
Keren ceritanya, setiap bab bikin penasaran. Semangat terus, Kak Susan.
2021-12-11 17:01:40
0
user avatar
Wuri Masruroh
keren dan seru ceritanya...
2021-10-28 19:42:08
0
user avatar
Marina Sulistia
Ceritanya seru. Forensik. Aduhhh.... ngeri-ngeri sedap.
2021-10-23 11:05:00
0
user avatar
Aksara Rindu
Keren berasa baca cerita detektif Conan.
2021-10-23 10:47:44
0
user avatar
Eternalbee
kereeen nih semangat yaaa jarang cerita beginiii
2021-10-22 19:48:34
0
user avatar
Rai Seika
Cerita detektif keren kak, lanjut ...
2021-10-22 19:43:31
0
default avatar
Aiko Arawati
lanjuuuttt aja, kaaakkk .........
2021-10-22 19:39:07
0
user avatar
aledphia
baru baca sinopsis aja, udah langsung ngebayangin kalo novelnya dijadiin filem
2021-10-22 19:37:42
0
user avatar
Jasmine
wah keren nih detektif... alurnya susah ditebak pasti...lanjut kk
2021-10-22 19:37:05
0
user avatar
Sugeng
Lanjut lanjut.... seruu
2021-10-22 15:42:27
0
user avatar
Shell
Lanjutttttt lanjutttttttt
2021-10-22 15:40:09
0
user avatar
Shuè
Ceritanya segar banget. Temanya nggak pasaran btw. Aku kepo. Up dong torrrr
2021-10-22 15:39:04
0
user avatar
Titin Ramawati
Detektif zen tokohnya itu ternyata polisi beneran. ............
2021-10-22 15:37:15
0
user avatar
Ai
Diksinya suka. Asikkkkkk
2021-10-22 15:35:52
0
  • 1
  • 2
  • 3
  • 4
  • 7
23 Chapters
Prolog
Jalan Soekarno Hatta, tanggal 5 Januari.Pukul 14.50 sore. Hari sabtu. Sepuluh menit sebelum pukul tiga, hujan deras mengguyur sebagian besar kota Bandung dengan tiba-tiba. Angin musim barat yang sedingin es memukul-mukul pepohonan di kiri-kanan jalan, mengahalau para pejalan kaki untuk cepat-cepat mencari tempat perlindungan.  Di antara pejalan kaki yang ramai, seorang pria perlente bertubuh tinggi-tegap berjalan tergesa-gesa. Jalannya cepat, tap
Read more
Bab 1
Jumat, 11 Januari. Pukul 16.45 sore.   “Papah… Ibu bosan. Apa tidak ada kasus menarik yang sedang Papah tangani selain kasus pencurian sepeda motor dan pencurian spion mobil, seperti kasus pembunuhan berantai atau mutilasi misalnya?” “Jangan bicara yang bukan-bukan, Bu. Seharusnya kita bersyukur tidak banyak tindak kejahatan. Ibu ini ada-ada saja.” “Tapi Ibu bosan, Pah. Papah tahu sendiri, kan, otak Ibu harus diisi bahan bakar supaya bisa bekerja dengan baik.” “Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Besok dan lusa Papah libur. Ibu mau jalan-jalan ke mana, keluar kota?” “Keluar kota dan harus pulang sendiri karena Papah dapat telepon dari kantor seperti yang sudah-sudah? Ibu tidak sudi.” Aipda Zen Devano melipat koran pagi yang baru sempat dibacanya lalu meletakan begitu saja di sofa. Dia kemudian bangkit menghampiri perempuan yang tengah menyisir rambut di depan cermin meja rias. “Jadi, Ibu maunya apa?” tanya laki-laki
Read more
Bab 2
 Mobil berwarna orange dengan sirene meraung-raung di udara membelah keramaian lalu lintas jalan Soekarno Hatta. Di belakang kemudi Aipda Zen duduk dengan gelisah memikirkan istrinya. Susan sangat terpukul saat dia memberitahu ditemukan  mayat di dalam lubang galian, dan menambahkan dugaannya sendiri bahwa kemungkinan itu korban pembunuhan. Aipda Zen sama sekali tidak menyangka reaksi istrinya demikian. Seharusnya Susan senang mendapat yang diinginkan—biasanya justru dia yang lebih semangat darinya sendiri jika ada kasus seperti ini. Bahan bakar otak begitu dia sering menyebutnya. Bahkan, dulu sebelum mereka menikah, perempuan yang entah mengapa tidak mau dipanggil bunda atau mama, dan tak mau memanggil dirinya ayah atau mas atau panggilan lain selain bapak dan sekarang papah itu, rela jauh-jauh datang ke kantor dan menunggu selama berjam-jam dia istirahat hanya demi riset data untuk naskah yang sedang digarapnya.“Anda baik-baik saja, Pak Zen?&r
Read more
Bab 3
Psychology Kasih Bunda.Pukul  20.15 malam. Ruangan itu diberi perabotan duduk seperti ruang duduk dalam rumah orang di pedesaan Bali. Dua buah payung tedung berwarna keemasan diletakan di depan pintu masuk. Dindingnya dilapisi kertas dinding bermotif batu bata merah. Lukisan seorang penari Bali dengan bunga kamboja putih di atas telinganya yang diberi bingkai dari kuningan merupakan hiasan dinding satu-satunya. Tidak ada meja tulis di ruangan itu. Yang ada hanya kursi malas empuk dari rotan, meja kecil di ujung ruangan untuk meletakan keranjang bunga sedap malam, dan satu buah lampu gantung antik di tengah-tengah ruangan. Suasana kantor itu memang sengaja di desain sedemikian rupa oleh Dokter Paullina Diandra untuk memberi kenyamanan pasiennya saat melakukan sesi konsultadi dengannya. Sebagai seorang psikologi profesinal, Paullina tahu betul bagaimana kenyamanan pasiennya berpengaruh besar pada pekerjaannya. Kenyamaan akan menum
Read more
Bab 4
Waktu menunjukan pukul sembilan kurang lima belas menit saat Aipda Zen menelpon istrinya dan memberitahu kemungkinan dia tidak pulang.“Jadi, kemungkinan besar mayat itu korban pembunuhan?” istrinya menegas. Seperti biasa Susan lebih tertarik dengan kasus yang sedang ditangani Aipda Zen daripada kabar ketidak pulangannya. Dia sudah terbiasa dengan hal itu.“Masih belum pasti, Bu. Ini baru dugaan sementara karena ditemukan luka bekas tusukan,” sahut Aipda Zen.“Bagian tubuh mana yang ditusuk, bagaimana bentuk tusukan itu?”“Ada luka bekas tusukan di perut korban. Ta—”“Bagaimana bentuk tusukannya, Pah? Kira-kira ditusuk dari depan atau belakang?”Aipda Zen menghela napas. “Sepertinya ditusuk dari belakang, Bu. Sebab luka di perut depan tidak terlalu besar.”“Sudah pasti ini pembunuhan. Kemungkinan besar pembunuhan berencana. Tidak ada orang yang bunuh d
Read more
Bab 5
“Apa katamu, pembunuhan?” “Ya, aku yakin sekali itu pembunuhan—pembunuhan berencana tepatnya.” “Jangan terlalu bersemangat, San. Itu tidak baik,” sahut Paullina. “Bisa jadi, kan, itu kasus kecelakaan. Kau mau minum teh hangat?” “Tidak mungkin itu kecelakaan, Lina. Dia tewas ditikam dari belakang dan didorong masuk lubang galian kabel di trotoar,” Sergah Susan. “Menarik sekali. Baiklah, kita bahas kasus pembunuhan ini nanti. Perutku lapar. Aku tak bisa berpikir jernih kalau lapar. Mau teh hangat dan camilan?” “Kau memang temanku yang pengertian.” “Aku anggap itu pujian. Tunggu sebentar. Aku segera kembali.” Paullina baru saja selesai dengan pasien terakhirnya ketika perempuan bertubuh mungil, penuh semangat, dan penuh gairah hidup meneleponnya untuk menginap. “Suamiku sedang manangani kasus dan dia memberitahu tidak akan pulang. Aku bosan sendirian di rumah. Selain itu, aku ingin mendiskusikan rancangan buku baruku ini d
Read more
Bab 6
Inspektur Indra berjalan mondar-mandir di depan ruang autopsi. Kedua tangannya terlipat di punggung, sementara pandangannya terpaku ke lantai. Sesekali dia menoleh ke arah pintu. Kecewa karena pintu tak kunjung terbuka dan seseorang keluar dari sana memberikan penjelasan, dia menghela napas. Sekitar lima belas menit lalu dia mendapat telepon dari seorang warga yang melapor telah kehilangan salah seorang anggota keluarganya. Seorang pria dengan ciri-ciri memiliki tinggi kurang lebih seratus tujuh puluh tiga centi meter, berbadan sempurna, memiliki rambut cepak. Ciri-cirinya persis dengan mayat yang tengah diautopsi di dalam. Masalahnya adalah, menurut orang yang melapor kehilangan itu, kerabatnya ini baru saja pergi sekitar dua hari. Sedangkan mayat yang mereka temukan, kondisinya sudah terlalu busuk untuk ukuran mayat dua hari. Jadi, kecil kemungkinan mayat itu mayatnya. Di dalam ruang autopsi Dokter Clara sudah tidak mampu lagi menahan diri. Bau busuk yang tera
Read more
Bab 7
Beberapa mobil polisi, mobil pemadam kebakaran, dan mobil wartawan telah berada di lokasi kebakaran terjadi saat Aipda Zen tiba dengan Bripka Arif di sana.“Ya, Tuhan… apinya besar sekali.”“Belum pernah saya melihat kebakaran sedahsyat ini.”“Saya juga, Pak Zen. Kalau ada seekor gajah sekalipun di dalam, saya yakin pasti gosong.”“Untungnya, setahu saya rumah itu rumah kosong,” sahut Aipda Zen. “Rumah mewah tiga lantai itu, dulu milik Nyonya Prita. Seorang pengusaha batubara dari Kalimantan. Tapi, sejak Melia putrinya masuk sekolah SMA, Nyonya Prita setahu saya pindah ke Jakarta dan rumah itu sama sekali kosong.”“Dan untung lagi bangunan rumah itu tidak menyatu dengan rumah penduduk. Jadi meminimalisir terjadinya perambatan api.”“Akhirnya Anda datang juga, Pak Zen, Pak Arif.” Bripka Ega berseru dari kejauhan sambil melambaikan tangan. “Saya ti
Read more
Bab 8
“Kau sehangat musim panas seperti biasa, Sayangku. Dan meski aku sudah memasukimu berkali-kali, kau masih saja sempit seperti anak gadis.”“Kau laki-laki brengsek yang banyak sekali omong. Sudah berapa lusin permpuan kau tiduri, hah?”“Itu memang benar. Tapi mereka semua tidak sehangat dirimu. Mereka terlalu kering atau terlalu basah kadang-kadang. Tapi kau hangat, sempit dan… ah, bibirmu itu, benar-benar manis dimulutku. Kau tahu, aku mendambamu setiap waktu. Rasanya aku ingin bercinta selalu denganmu. Oh, aku jadi gila setiap kali memikirkan tubuhmu. Payudaramu yang kencang, penuh, menggoda. Oh, Tuhan… aku rasa aku benar-benar gila. Buka sedikit kakimu, Sayang. Oh, ya begitu.”“Kapan kau akan menikahiku, William?“Secepatnya, Sayangku. Secepatnya. Agar aku bisa bercinta denganmu setiap pagi di tepi kolam renang. Aku sudah tidak sabar untuk itu. Aku tidak ingin sembunyi-sembunyi seperti ini.&r
Read more
Bab 9
“Ini benar-benar akan menjadi akhir pekan yang suram,” keluh Bripka Ega yang duduk di belakang kemudi. “Dua mayat tanpa identitas. Mimpi buruk yang mengerikan.”“Tidak, belum semuanya, Pak Ega. Karena saya baru mendapat perintah dari Pak Inspektur untuk mengidentifikasi mayat yang terbakar itu malam ini juga,” sahut Aipda Zen yang duduk di sebelahnya.“Entah ini hanya perasaan saya atau memang ada yang tidak beres dengan Pak Inspektur,” ujar  Bripka Arif. “Tidak biasanya Pak Inspektur seperti ini. Apa Pak Inspektur mengatakan sesuatu pada Anda, Pak Zen?”“Tidak spesisifik. Tapi, perintah yang saya dapat adalah kita harus mengidentifikasi mayat ini sedapat mungkin dan memastikan bahwa itu bukan mayat Nicholas.” Aipda Zen menoleh ke belakang, melirik kantong jenazah di samping Bripka Arif. “Saya rasa Pak Inspektur cemas bukan kepalang karena ini berkaitan dengan keponakan Pak WaKa y
Read more
DMCA.com Protection Status