Empat mayat pria tanpa identitas ditemukan dalam kondisi mengenaskan di empat tempat berbeda secara hampir bersamaan. Penyelidikan dilakukan. Aipda Zen Devano, seorang anggota tim identifikasi sidik jari INAFIS Polertabes dibantu istrinya yang seorang penulis fiksi kriminal terkenal, Kanaya Susan Olivia, mulai melakukan penelusuran benang merah kasus tersebut karena terindikasi pembunuhan berantai. Identitas korban satu persatu terpecahkan. Namun, penyelidikan mengalami jalan buntu karena antara satu korban dengan yang lainnya sama sekali tidak memiliki hubungan apa pun. Saat kasus tersebut tidak mengalami perkembangan dan hampir dilupakan, korban kelima ditemukan. Ini adalah kesempatan terakhir Aipda Zen untuk menangkap pelaku pembunuhan berantai tersebut sebelum dia membunuh lebih banyak lagi. Siapa sebenarnya pelaku? Apa motifnya membunuh begitu banyak laki-laki?
view moreJalan Soekarno Hatta, tanggal 5 Januari.
Pukul 14.50 sore.
Hari sabtu. Sepuluh menit sebelum pukul tiga, hujan deras mengguyur sebagian besar kota Bandung dengan tiba-tiba. Angin musim barat yang sedingin es memukul-mukul pepohonan di kiri-kanan jalan, mengahalau para pejalan kaki untuk cepat-cepat mencari tempat perlindungan.
Di antara pejalan kaki yang ramai, seorang pria perlente bertubuh tinggi-tegap berjalan tergesa-gesa. Jalannya cepat, tapi tidak seperti pejalan kaki lain yang melayani panggilan diri dari terpaan hujan. Sebaliknya, justru menantang hujan. Kepalanya terangkat tinggi, wajahnya sedikit mendongak, dagunya yang sejajar dekat keangkuhan dan percaya diri yang sama besar.
Pria berusia kira-kira awal tiga puluh itu sama sekali tidak memedulikan orang menegurnya untuk jalan lebih cepat, bahkan yang menabraknya dengan sengaja. Kini dia sudah bebas. Masa pencuciannya yang lama sudah selesai. Dalam pikirannya hanya terbayang masa depan hebat yang penuh petualangan. Aku pasti lebih mudah mendapatkan banyak wanita sekarang, pikirnya. Masa pencucian selama dua tahun di panti rehabilitasi yang telah kujalani akan menambah daya tarikku.Ya, sebagai seorang lelaki dewasa, dia paham betul bagaimana wanita. Dari apa yang telah dia pelajari, bahwa sebagian besar wanita di zaman ini, menyukai—atau lebih tepatnya penasaran sekaligus tertantang—menjalin hubungan dengan sosok pria brengsek yang membanggakan kebrengsekannya. Dan dia punya semua itu. Lengkap dengan wajah tampan, senyum menawan, juga lebel mantan pecandu yang tak semua orang bisa dapatkan. Benar-benar sempurna. Dia pun tersenyum membayangkan hari-hari hebat yang akan dilewatinya bersama banyak wanita cantik. Namun, senyum dan lamunannya seketika lenyap saat seseorang menabrak punggungnya dengan sangat keras. Ketika dia menoleh untuk melihat siapa yang telah dengan kurang ajar menabraknya dan siap menumpahkan caci maki, tiba-tiba dia merasa heran karena mendadak dengkulnya lemas dan menekuk. Padahal dia sama sekali tidak kedinginan. Tidak berhenti sampai di situ, perlahan-lahan, diluar perintahnya, tubuhnya roboh ke trotoar. Berpasang-pasang kaki melangkahi wajah. Tapi, anehnya tak ada satu pun yang mengenainya. Merasa ada yang tidak beres dia menerka-nerka sedapat mungkin.Kalau kaki-kaki itu tidak ada yang menginjakku, berarti aku tidak berada di dekat mereka, batinnya. Ada jarak yang cukup jauh antara kami. Tapi bagaimana mungkin? Belum sempat dia menjawab pertanyaan dari pertanyaan itu, mendukungnya dijalari rasa terputus takkan segera menyebar ke seluruh tubuh. Dia membuka mulut. Coba teriak untuk minta tolong. Tapi, yang keluar dari mulutnya justru cairan hangat berwarna merah yang segera menyatu dengan air hujan bercampur lumpur berwarna kecoklatan. Sial! Aku akan mati di lubang galian ini dan tak akan ada yang menemukanku selama berhari-hari. Benar-benar sial!
Merasa marah karena kematian yang di tengah merenggut tubuhnya dengan laknat dirasa sama sekali tidak pantas untuk dirinya, dia pun mengumpulkan daya upaya untuk membangun melawan. Tapi sia-sia. Tubuhnya tidak mau bekerja sama. Dengan kemarah yang semakin menjadi-jadi, dia mengutuki Susan. Penulis fiksi kriminal idolanya.
Dia duduk di barisan depan gereja. Matanya terpejam erat dan tangannya dalam posisi berdoa. Dengan perlahan dia melepaskan diri dari ikatan dunia, dari belenggu tubuhnya. Alunan musik dan nyanyian yang naik turun mengikuti irama menghilang, menyisakan kesenyapan. Dengan gerakan refleks dia menundukkan kepalanya, sampai dagunya hampir menyentuh tangannya. Terus tenggelam semakin jauh, semakin dalam, hingga ke dasar. Lalu, dalam kehampaan, dalam kegelapan total itu, dia meminta izin kepada tuhannya. “tuhan, beri aku perlindunganmu untuk menjagal satu lagi babi persembahan. Berkatilah aku dalam tugas mulia ini, tuhan. Agar segala sesuatunya berjalan sesuai rencana.” Setelah berkata demikian dalam hatinya, dia mengangkat dagu. Membiarkan kembali dirinya terikat dunia, terikat tubuhnya. Membiarkan kembali telinganya di penuhi musik, kepalanya dipenuhi nyanyian. Dia kemudian tersenyum menatap patung Yesus yang tersalib sambil tangannya meraba, mencari rosario di tas kecilnya. Aku suda
“Baiklah, mari kita mulai penyelidikan ini dari pertama sekali,” kata Aipda Zen saat dia dan yang lainnya tiba di lokasi kejadian perkara yang hanya satu blok dari kediamannya setelah mereka selesai sarapan. “Bu, waktu Ibu dan Lina mendengar ledakan disusul sambaran api, apakah waktu itu posisi gembok pintu gerbang terbuka?” tanya Aipda Zen kepada istrinya.“Gembok itu terkunci. Tapi, sepertinya kuncinya rusak. Karena, saat Paullina membuka dengan paksa dengan menarik-narik dan memukul dengan batu kecil gemboknya terbuka.”Aipda Zen berjongkok mengamati bekas goresan di tepi gembok. Tiba-tiba Rindka ikut jongkok dan meraih gembok itu. “Mari kita coba, apakah gembok ini benar-benar rusak atau tidak,” ujarnya seraya menguncikan gembok hingga terdengar bunyi klik. Kemudian dia menarik-narik gembok tersebut sekuat tenaga dan memukulnya dengan batu yang menurut Susan digunakan oleh Paullina sebelumnya. Tapi nihil. Gembok itu t
“Oh, betapa mengerikannya zaman sekarang yang tidak lagi berperikemanusiaan ini,” kata Paullina saat membantu Susan mengupas bawang merah di dapur. “Kurasa dunia sebentar lagi kiamat. Maksudku, dalam arti yang sesungguhnya tentu saja. Lihat saja, di mana-mana terjadi pembunuhan. Seorang ibu mencincang hidup-hidup bayinya hanya lantaran ayah si bayi tidak bertanggung jawab, seorang cucu membunuh neneknya karena dinasihati jangan pulang terlalu larut malam, seorang kekasih mengubur hidup-hidup kekasihnya sendiri lantaran dia selingkuh—itu seperti umum dan tak berkesan menakutkan.”“Ketika seorang manusia kehilangan prinsip hidupnya maka dia akan berubah menjadi binatang—tak lagi memiliki simpati dan empati. Namun begitu, semua tentu saja ada alasannya. Seperti yang kita berdua tahu, zaman sekarang ini tuntutan hidup itu tinggi. Dan itu semua juga mempengaruhi tingkat emosional kita. Saat seseorang ingin dianggap ada,
Suasana hati Celline Tan sedang cerah. Setelah selesai mandi dia bernyanyi riang sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Aku mengerti Perjalanan hidup yang kini kau lalui Kuberharap Meski berat, kau tak merasa sendiri Kau t’lah berjuang Menaklukkan hari-harimu yang tak mudah Biar kumenemanimu Membasuh lelahmu Celline kemudian bersiul asal-asalan. Dia mengambil sisir dan mulai menyisir rambutnya. Sesekali dia tersenyum melihat bayangan di cermin yang mengikuti semua gerak-geriknya. Gadis yang cantik dan penuh gairah hidup. Bapa, sentuh hatiku Ubah hidupku menjadi yang baru Bagai emas yang murni Kau membentuk bejana hatiku Celline berganti menyanyikan lagu rohani
“Itu ide yang brilian. Kau benar. Membunuh dengan racun lebih mudah dan minim risiko.”“Selain itu tingkat keberhasilannya tinggi dan kerjanya cepat.”“Jadi, sudah diputuskan kita akan membunuh Joe Willmar dengan racun sesuai idemu.”“Sebenarnya itu ide temanku.”“Tidak masalah. Ide itu brilian.”“Aku setuju. Dia itu jenius yang tersembunyi.”Bripka Arif mendengarkan percakapan putri semata wayangnya di telepon dan tersenyum sendiri. Rindka Amelia berusia lima belas dan berambisi menjadi penulis novel fiksi kriminal terkenal seperti idolanya, Susan Ollivia. Bripka Arif tidak berdaya. Sejak istrinya meninggal tiga tahun lalu, Rindka terpuruk. Anak itu seperti kehilangan semangat hidup. Secercah harapan baru datang kemudian setelah Rindka bertemu dengan istri Aipda Zen yang memberinya novel fiksi kriminal karya terbarunya. Rindka terpesona membaca buku itu dan sejak saat i
Meriene Sophia sedang di dapur memasak sop ayam saat terdengar suara mobil masuk di depan. Dia mematikan kompor, menutup panci dan bergegas membuka pintu. Inspektur Indra turun dari mobil. Wajahnya lesu dan lelah.“Lho, katanya tidak pulang, kok Bapa pulang?” tanya Meriene.“Nanti ke kantor lagi jam setengah delapan, Bu. Bapa mau mandi dan ganti baju dulu.” Inspektur Indra meletakan sepatunya di rak di dekat pintu masuk. “Ibu masak apa? Wanginya enak sekali.”“Sop ayam. Ibu mau menjenguk teman ibu yang sedang tidak enak badan.”“Oh. Anak-anak sudah berangkat?”“Sudah. Mungkin sudah sampai sekolah. Oh, iya. Tadi Celline menelepon memberitahu kalau Revi sedang sakit. Nanti Ibu mau menjenguk Revi sekalian.”“Revi sakit apa?”Meriene menggeleng. “Ibu tidak tahu. Celline tidak menjelaskannya.” Meriene mengambil cangkir untuk menyeduh kopi. Inspe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments