Share

VI : KEPUTUSAN MENIKAH

"Pernikahan adalah penyatuan dua jiwa. Entah itu karena mencintai atau tidak. Esensi terpentingnya adalah keuntungan. Tak ada keuntungan, maka tak ada pernikahan."

***

"Kamu belum menemukan Ava?"

Djati duduk di kursinya, berpikir dan berspekulasi di mana kekasihnya berada. Bernardio, tangan kanannya yang berada di kursi kemudi, hanya menjawab dengan kata 'belum'. Djati yang sejak tadi memandang kosong ke luar jendela, memilih untuk tak menanggapi. Hatinya selama lima hari ini begitu kosong, karena kehilangan sosok yang begitu berarti.

"Saya juga sudah mengawasi semua gerak-gerik orang-orang Pak Praba, namun tidak ada satu pun yang mencurigakan," lapor Dio pada bosnya. "Sepertinya Pak Praba tak tahu apapun mengenai hilangnya Nona Ava."

"Tidak mungkin," sanggah Djati cepat. keyakinannya akan sanggahan itu seribu persen adanya. Ava tidak mungkin hilang, bila Praba tidak melakukan sesuatu.

"Lalu bagaimana, Bang?" tanya Dio sambil melirik ke kaca spion. Djati tampak masih diam, tak bereaksi apapun, maka dari itu Dio memberanikan diri melanjutkan pendapatnya, "Kita tidak mungkin memaksa Pak Praba untuk bicara. Bila dia mengetahui sesuatu, pasti dia akan lebih memilih menyangkal atau diam."

Djati lagi-lagi diam. Maka, Dio pun kembali menutup mulutnya dan menyetir dengan fokus. Kesunyian mereka terpecah, saat sebuah notifikasi masuk ke ponsel Djati.

Terlihat di layar, beberapa pesan masuk dari bawahan Djati. Isinya adalah foto-foto Padma selama di Bali. Gadis itu tidak berbohong, wajah lesu memperlihatkan bahwa Padma benar-benar kesepian dalam menjalankan pekerjaannya. Di Bali, Padma juga hanya berada di tempat event, selebihnya dia akan habiskan waktunya di hotel untuk istirahat.

"Padma benar-benar bekerja," gumam Djati lebih kepada dirinya sendiri. Namun gumaman itu juga sampai ke telinga Dio. "Dio, coba kamu cek ke mana saja Praba dan Radja pergi empat hari kemarin. Jangan sampai ada yang terlewat."

Titah Djati langsung disanggupi oleh Dio. Pria itu tahu jika Djati sudah memiliki insting, maka dia akan percaya sepenuhnya. Lagipula selama bekerja bersama bosnya, insting pria itu tidak pernah salah. Selalu tepat dan nyata.

***

"Kamu sudah bangun?"

Ava tak langsung menjawab. Gadis itu lebih tertarik memperhatikan langit-langit ruangan yang berbeda. Netranya kini beralih, berkeliling, dan mengamati tiap inchi ruangan. Sekali lihat, Ava tahu bahwa ia sudah tak lagi berada di kamar rawat rumah sakit.

"Bolehkan saya minta air?" pinta Ava dengan suara serak.

Biru mengangguk. Sebelum mengambilkan minum, pria itu menambah bantal di kepala Ava agar gadis itu tak tersedak. Ava berterima kasih atas bantuan Biru. Ia menenggak setengah air dari gelas dengan sedotan yang Biru taruh.

"Cukup. Terima kasih," ucap Ava tulus. "Ini di mana? Sepertinya ini bukan kamar rumah sakit yang kemarin."

Biru yang baru saja menaruh gelas di nakas, langsung menoleh dan memandangi Ava yang terlihat sangat lemas. Hatinya sedih melihat keadaan gadis itu. Hanya karena mencintai seorang pria, gadis itu harus menanggung hidup yang begitu berat.

"Ini rumah pribadi orang tua saya," jawab Biru jujur. "Di sini kamu akan aman, tidak akan ada yang menemukan kamu di sini."

Ava mengangguk paham. Ia tahu bersama Biru, keadaanya akan baik-baik saja. Bila ia bertahan sendiri, Ava mungkin sudah lama mati. Siapapun yang melakukan hal ini padanya benar-benar sudah keterlaluan.

Ava akan membalasnya. Rasa sakit yang ia terima akan dirasakan oleh orang itu juga. Ava berjanji pada dirinya sendiri untuk mengingat hari ini, hari di mana ia tak berdaya karena hampir mati dua kali.

"Kamu baik-baik saja? Kenapa diam saja? Apa perlu saya panggilkan dokter?" tanya Biru bertubi-tubi.

Ava hanya menggeleng. Sekujur tubuhnya memang sakit, tapi bukan dokter yang diperlukannya saat ini. Ava hanya ingin menumpahkan air matanya. Entah mengapa Ava merasa sangat lelah hidup di dunia ini.

"Saya baik-baik saja," lirih Ava pelan, tapi cukup terdengar oleh Biru. "Saya hanya lelah. Beberapa hari ini begitu sulit untuk saya bertahan hidup. Saya jadi bertanya-tanya, apa salah saya? Kenapa ada orang yang ingin membunuh saya?"

Ava meneteskan air matanya. Terlihat bahwa tubuh mungil itu begitu rapuh dan kesakitan. Biru terenyuh memandanginya. Ia raih tisu di nakas, lalu diusapnya air mata Ava yang telah jatuh.

"Tolong, jangan menangis!"

Bukannya berhenti, tangisan Ava justru makin pilu. Biru sangat bingung. Ia tidak pernah mengatasi tangisan seorang gadis.

Maka dari itu, Biru memilih diam. Menunggu emosi Ava reda, dan mereka bisa bicara nantinya. Biru tahu Ava pasti sangat takut dan bingung. Biru juga tahu Ava harus menumpahkan emosinya, agar esok gadis itu bisa berdiri lebih kuat dalam menghadapi musuh yang berniat melenyapkannya.

***

"Gue pikir, gue akan menikah dengan Biru."

Ekspresi Padma langsung kaget saat mendengar penuturan sahabatnya di panggilan video. Biru yang berada di ruangan itu sama kagetnya. Biru memandang Ava, namun hanya ada raut keseriusan di sana. Sepertinya Ava benar-benar sudah bulat dalam mengambil keputusan.

"Lo yakin? Lo kan, enggak kenal dia!" seru Padma dengan suara lantang. Ia tak ingin Ava menyesali keputusannya. "Pikir lagi baik-baik, Va. Jangan gegabah, ini sebuah pernikahan di mana lo bisa terjebak di dalamnya selama mungkin."

Ava terdiam sejenak, lalu menjelaskan kepada Padma mengapa ia harus melakukan hal itu. Ava tidak terpaksa, karena tahu Biru akan memenuhi janji untuk melindungi dirinya. Ava butuh Biru, dan Biru butuh Ava untuk mengungkap kejahatan Djati.

"Biru satu-satunya orang yang bisa menjaga gue. Dia anak bungsu Wakil Presiden. Kalau gue jadi menantu Wakil Presiden, enggak akan ada yang berani membunuh gue. Gue akan aman, Ma.'

Padma membenarkan pikiran Ava. Bila ada di posisi Ava, kemungkinan besar ia akan melakukan hal yang sama. Ia akan memilih menikahi orang asing daripada hidup dalam kecemasan.

Padma menghela napas, lalu berkata pada akhirnya, "Oke, bila itu membuat lo tetap hidup. Gue selalu dukung lo, gue enggak mau kehilangan lo. Kalau menikah dengan Biru bisa membuat lo tetap aman, maka lakukan!"

Ava mengangguk, lagi-lagi gadis itu meneteskan air mata. Kali ini ia terharu. Ava benar-benar bersyukur, Tuhan memberinya Padma yang begitu baik dan tulus. Ingin sekali rasanya Ava memeluk sahabat satu-satunya itu.

Netra Ava lalu beralih pada Biru. Pria yang kelak menjadi suaminya itu tersenyum memandangnya. Seakan memberi kekuatan dan dukungan bahwa apa yang menjadi keputusan Ava adalah yang terbaik. Ava percaya menikahi Biru adalah tindakan paling benar di hidupnya.

"Jangan menangis, bestie! Lo akan menikah. Ini adalah salah satu fase terbaik yang akan lo lewati. Gue pengin lo bahagia, Va."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status