"Pernikahan adalah penyatuan dua jiwa. Entah itu karena mencintai atau tidak. Esensi terpentingnya adalah keuntungan. Tak ada keuntungan, maka tak ada pernikahan."
***"Kamu belum menemukan Ava?"Djati duduk di kursinya, berpikir dan berspekulasi di mana kekasihnya berada. Bernardio, tangan kanannya yang berada di kursi kemudi, hanya menjawab dengan kata 'belum'. Djati yang sejak tadi memandang kosong ke luar jendela, memilih untuk tak menanggapi. Hatinya selama lima hari ini begitu kosong, karena kehilangan sosok yang begitu berarti."Saya juga sudah mengawasi semua gerak-gerik orang-orang Pak Praba, namun tidak ada satu pun yang mencurigakan," lapor Dio pada bosnya. "Sepertinya Pak Praba tak tahu apapun mengenai hilangnya Nona Ava.""Tidak mungkin," sanggah Djati cepat. keyakinannya akan sanggahan itu seribu persen adanya. Ava tidak mungkin hilang, bila Praba tidak melakukan sesuatu."Lalu bagaimana, Bang?" tanya Dio sambil melirik ke kaca spion. Djati tampak masih diam, tak bereaksi apapun, maka dari itu Dio memberanikan diri melanjutkan pendapatnya, "Kita tidak mungkin memaksa Pak Praba untuk bicara. Bila dia mengetahui sesuatu, pasti dia akan lebih memilih menyangkal atau diam."Djati lagi-lagi diam. Maka, Dio pun kembali menutup mulutnya dan menyetir dengan fokus. Kesunyian mereka terpecah, saat sebuah notifikasi masuk ke ponsel Djati.Terlihat di layar, beberapa pesan masuk dari bawahan Djati. Isinya adalah foto-foto Padma selama di Bali. Gadis itu tidak berbohong, wajah lesu memperlihatkan bahwa Padma benar-benar kesepian dalam menjalankan pekerjaannya. Di Bali, Padma juga hanya berada di tempat event, selebihnya dia akan habiskan waktunya di hotel untuk istirahat."Padma benar-benar bekerja," gumam Djati lebih kepada dirinya sendiri. Namun gumaman itu juga sampai ke telinga Dio. "Dio, coba kamu cek ke mana saja Praba dan Radja pergi empat hari kemarin. Jangan sampai ada yang terlewat."Titah Djati langsung disanggupi oleh Dio. Pria itu tahu jika Djati sudah memiliki insting, maka dia akan percaya sepenuhnya. Lagipula selama bekerja bersama bosnya, insting pria itu tidak pernah salah. Selalu tepat dan nyata.***"Kamu sudah bangun?"Ava tak langsung menjawab. Gadis itu lebih tertarik memperhatikan langit-langit ruangan yang berbeda. Netranya kini beralih, berkeliling, dan mengamati tiap inchi ruangan. Sekali lihat, Ava tahu bahwa ia sudah tak lagi berada di kamar rawat rumah sakit."Bolehkan saya minta air?" pinta Ava dengan suara serak.Biru mengangguk. Sebelum mengambilkan minum, pria itu menambah bantal di kepala Ava agar gadis itu tak tersedak. Ava berterima kasih atas bantuan Biru. Ia menenggak setengah air dari gelas dengan sedotan yang Biru taruh."Cukup. Terima kasih," ucap Ava tulus. "Ini di mana? Sepertinya ini bukan kamar rumah sakit yang kemarin."Biru yang baru saja menaruh gelas di nakas, langsung menoleh dan memandangi Ava yang terlihat sangat lemas. Hatinya sedih melihat keadaan gadis itu. Hanya karena mencintai seorang pria, gadis itu harus menanggung hidup yang begitu berat."Ini rumah pribadi orang tua saya," jawab Biru jujur. "Di sini kamu akan aman, tidak akan ada yang menemukan kamu di sini."Ava mengangguk paham. Ia tahu bersama Biru, keadaanya akan baik-baik saja. Bila ia bertahan sendiri, Ava mungkin sudah lama mati. Siapapun yang melakukan hal ini padanya benar-benar sudah keterlaluan.Ava akan membalasnya. Rasa sakit yang ia terima akan dirasakan oleh orang itu juga. Ava berjanji pada dirinya sendiri untuk mengingat hari ini, hari di mana ia tak berdaya karena hampir mati dua kali."Kamu baik-baik saja? Kenapa diam saja? Apa perlu saya panggilkan dokter?" tanya Biru bertubi-tubi.Ava hanya menggeleng. Sekujur tubuhnya memang sakit, tapi bukan dokter yang diperlukannya saat ini. Ava hanya ingin menumpahkan air matanya. Entah mengapa Ava merasa sangat lelah hidup di dunia ini."Saya baik-baik saja," lirih Ava pelan, tapi cukup terdengar oleh Biru. "Saya hanya lelah. Beberapa hari ini begitu sulit untuk saya bertahan hidup. Saya jadi bertanya-tanya, apa salah saya? Kenapa ada orang yang ingin membunuh saya?"Ava meneteskan air matanya. Terlihat bahwa tubuh mungil itu begitu rapuh dan kesakitan. Biru terenyuh memandanginya. Ia raih tisu di nakas, lalu diusapnya air mata Ava yang telah jatuh."Tolong, jangan menangis!"Bukannya berhenti, tangisan Ava justru makin pilu. Biru sangat bingung. Ia tidak pernah mengatasi tangisan seorang gadis.Maka dari itu, Biru memilih diam. Menunggu emosi Ava reda, dan mereka bisa bicara nantinya. Biru tahu Ava pasti sangat takut dan bingung. Biru juga tahu Ava harus menumpahkan emosinya, agar esok gadis itu bisa berdiri lebih kuat dalam menghadapi musuh yang berniat melenyapkannya.***"Gue pikir, gue akan menikah dengan Biru."Ekspresi Padma langsung kaget saat mendengar penuturan sahabatnya di panggilan video. Biru yang berada di ruangan itu sama kagetnya. Biru memandang Ava, namun hanya ada raut keseriusan di sana. Sepertinya Ava benar-benar sudah bulat dalam mengambil keputusan."Lo yakin? Lo kan, enggak kenal dia!" seru Padma dengan suara lantang. Ia tak ingin Ava menyesali keputusannya. "Pikir lagi baik-baik, Va. Jangan gegabah, ini sebuah pernikahan di mana lo bisa terjebak di dalamnya selama mungkin."Ava terdiam sejenak, lalu menjelaskan kepada Padma mengapa ia harus melakukan hal itu. Ava tidak terpaksa, karena tahu Biru akan memenuhi janji untuk melindungi dirinya. Ava butuh Biru, dan Biru butuh Ava untuk mengungkap kejahatan Djati."Biru satu-satunya orang yang bisa menjaga gue. Dia anak bungsu Wakil Presiden. Kalau gue jadi menantu Wakil Presiden, enggak akan ada yang berani membunuh gue. Gue akan aman, Ma.'Padma membenarkan pikiran Ava. Bila ada di posisi Ava, kemungkinan besar ia akan melakukan hal yang sama. Ia akan memilih menikahi orang asing daripada hidup dalam kecemasan.Padma menghela napas, lalu berkata pada akhirnya, "Oke, bila itu membuat lo tetap hidup. Gue selalu dukung lo, gue enggak mau kehilangan lo. Kalau menikah dengan Biru bisa membuat lo tetap aman, maka lakukan!"Ava mengangguk, lagi-lagi gadis itu meneteskan air mata. Kali ini ia terharu. Ava benar-benar bersyukur, Tuhan memberinya Padma yang begitu baik dan tulus. Ingin sekali rasanya Ava memeluk sahabat satu-satunya itu.Netra Ava lalu beralih pada Biru. Pria yang kelak menjadi suaminya itu tersenyum memandangnya. Seakan memberi kekuatan dan dukungan bahwa apa yang menjadi keputusan Ava adalah yang terbaik. Ava percaya menikahi Biru adalah tindakan paling benar di hidupnya."Jangan menangis, bestie! Lo akan menikah. Ini adalah salah satu fase terbaik yang akan lo lewati. Gue pengin lo bahagia, Va."***"Lepasin tangan gue! Lo tuh, sudah punya istri. Mau apa lagi sih?"Padma memaksa Travis untuk melepas tangannya. Tapi, pria itu seperti menolak permintaannya. Padahal Travis sudah menjadi suami Ayunda, tapi mengapa masih saja mengemis untuk menjelaskan hal yang sudah berlalu. Padma tak segila itu untuk mendengarkan, dan membuang waktunya hanya untuk pria itu.Travis masih kencang memeganginya, padahal tangan Padma sudah merah karena terus dipaksa. Padma ingin berteriak, tapi di tangga darurat itu tak ada siapa pun. Pria itu sengaja menariknya ke sini untuk menyudutkannya, dan melakukan apa pun yang pria itu ingin lakukan. Namun Padma jelas tak akan membiarkannya."Dia minta dilepasin, lo enggak dengar memangnya? Apa karena lo bule, makanya harus pakai bahasa Inggris? Cepat lepasin, sebelum gue terpaksa mematahkan tangan itu."Padma, dan Travis kaget. Ternyata ada orang lain di koridor tersebut. Ia sedang duduk tak jauh dari kami, dan sepertinya sudah memperhatikan kami sejak tadi. Tra
"Maaf, anda siapa ya?"Istri dari Radjarta bertanya, saat Bernardio berdiri di depan rumahnya. Ia sengaja langsung bertemu sang pemilik untuk memberikan aset yang sedianya dititipkan Praba padanya kepada keluarga Radjarta. Karena amanat, Bernardio pun langsung melakukannya, dan menjalankan tugasnya secepat ia bisa."Maaf, kalau saya mengganggu." Bernardio pun menyodorkan tangannya, dan istri Radjarta langsung menjabatnya. "Saya Bernardio. Saya tangan kanannya Pak Djati, anaknya Pak Praba. Saya ingin menyampaikan pesan dari Pak Praba untuk anda.""Oh, ya, silahkan masuk."Bernardio pun masuk, dan diminta duduk di salah satu kursi di ruang tamu tersebut. "Mohon maaf sebelumnya, Ibu. Karena saya tidak tahu nomor rekening Ibu, atau pun Pak Radja. Jadi, saya memberikannya dalam bentuk cek. Jadi, nanti anda bisa datang ke bank terdekat, dan meminta untuk mentransfernya ke rekening yang Ibu miliki.""Aduh, maaf Mas Bernard, tapi ini tuh, maksudnya apa ya? Bisa bicaranya pelan-pelan. Saya ini
"Anda tahu kan, kesempatan anda sempit untuk tidak mendapat hukuman seumur hidup. Meskipun kita ajukan banding sekali pun, pastinya akan sulit untuk menang. Kesalahan anda terlalu banyak, dan itu tidak bisa ditukar hanya dengan kerja sama dengan pihak kepolisian sekali pun."Praba mengangguk, ia mengerti segala konsekuensi yang ia harus hadapi kedepannya. Semenjak Djati dinyatakan meninggal, dan Ava sudah mau menemuinya, segala keputusan yang diberikan padanya akan diterimanya dengan ikhlas. Praba tak akan pernah menuntut apa-apa. Apa pun yang diterimanya adalah ganjaran dari seluruh perbuatannya di masa lalu."Saya sudah bilang tidak apa-apa kan, Jeremy? Jadi, jangan tanya lagi. Apa pun yang diputuskan oleh hakim, saya akan menerimanya.""Tidak ada akan menyesal?"Praba menggeleng. "Jika saya takut menyesal, maka saya tidak akan melakukan semua kejahatan di masa lalu, Jeremy. Apa pun yang terjadi ke depannya, saya akan terima. Kamu tidak perlu takut. Kamu juga patutnya berubah. Pilih
"Ada permulaan, dan ada akhir. Ada pertemuan, dan juga perpisahan. Jadi, jangan pernah sesali apapun."***"Mama bahagia deh! Ava mau melahirkan, dan Asla dinyatakan hamil. Nah sat set begini dong. Dalam waktu yang enggak lama keluarga kita akan ramai dengan tangisan bayi. Ya Tuhan, terima kasih!"Ava tertawa sambil merangkul bahu mertuanya yang terlihat sangat bahagia. Kini, meskipun tantangan di hadapannya akan lebih berat, namun Tarissa lebih bahagia. Tidak hanya sebagai nenek, Tarissa akan menyandang status baru, yakni menjadi ibu negara. Perhitungan cepat dilakukan, dan untuk sementara hasil akhir menentukan kalau ayah mertuanya, Berdaya Adinegara unggul dengan enam puluh satu persen. Jauh mengungguli pesaingnya.Walaupun demikian, Tarissa tak peduli. Kebahagiaan anak-anaknya sekarang adalah hal utama. Ia sangatlah senang melihat kalau kedua putranya tak lama lagi akan menjadi ayah. Menjalani pernikahan yang bahagia bersama istri-istri mereka. Masalah negara, itu urusan nanti."K
"Tak ada yang pasti dalam hidup ini. Termasuk manusia yang tiap hari, jam, menit, dan detik bisa berubah pikiran, serta sikap."***"Wah, sudah berapa bulan, Mbak kehamilannya?"Seorang ibu yang mengantar putrinya cek kandungan bertanya, dan Ava hanya menjawab sekadarnya sambil tersenyum. Ia lalu menceritakan kalau putrinya juga hamil tak jauh dari usia kandungan Ava. Sayangnya tak sebahagia Ava yang bisa diantar kemana-mana oleh sang suami. Ava sebenarnya enggan mendengarkan masalah rumah tangga orang lain, tapi karena Biru tak juga kembali dari toilet membuat Ava akhirnya terpekur mendengar kisah cinta orang lain.Baru setengah jalan Ibu itu bercerita, terdapat keributan di ujung lorong lantai rumah sakit tempat Ava duduk menunggu untuk diperiksa dokter kandungan. Ava, dan sang ibu menoleh. Mereka mendapati seorang perempuan tengah berteriak, dan membentak si laki-laki dengan caci maki yang begitu keras. Awalnya Ava tak peduli, ia melengos, dan kembali melemparkan pandangan ke korid
“Setiap hal di muka bumi ini akan ada timbal balik. Setiap kejahatan yang manusia tanam, akan mendapat imbas yang serupa. Setiap kebaikan yang manusia berikan, maka akan mendapat hadiah yang besar, bahkan berlipat ganda nikmatnya.” *** “Apa anda yakin akan membongkar semuanya?” Praba mengangguk dengan yakin. Tak pernah ada sedikit pun kegundahan di hatinya yang membuat Praba tidak yakin dengan pernyataannya. Ia ingin mengungkapkan segalanya, seperti permintaan Biru, dan juga Ava. Bila mereka ingin Praba menghabiskan waktu untuk selamanya di penjara, maka akan ia lakukan semua itu dengan sukarela, dan juga ikhlas. Ia tahu kesalahannya sangatlah banyak, dan juga tak terbendung. Ia bahkan rela menanggung kesalahan Djati untuk ia tanggung, karena memang semua yang terjadi pada Djati adalah salahnya. Ia yang menjerumuskan Djati ke dunia ini. Ia pula yang memaksa, dan mengancam Djati untuk tetap menjual narkoba, meskipun anak itu tak menginginkannya sama sekali. “Tolong catat semua ora