Seperti biasa, aku sudah sibuk dengan pekerjaan rumah begitu selesai sholat subuh. Mencuci pakaian menjadi hal pertama yang kukerjakan. Setelah semua selesai, segera kubersihkan kamar tamu. Mengganti seprai dan membuka jendela untuk beberapa jam ke depan sebelum ibu mertuaku datang. Agar udara segar masuk dan membawa pergi debu-debu di dalam kamar.
Tak lupa ku bersihkan kamar mandi, mengecek kran air dan lampu. Semua harus sempurna agar mas Ilham tidak rewel.
Jam menunjukkan pukul enam pagi ini. Segera ku siapkan bekal untuk Azizah, dan sarapan nasi goreng untuk mereka berdua. Aku nanti saja, setelah mereka kenyang.
Terdengar langkah kaki menuruni anak tangga. Aku mendongak dengan kening mengkerut melihat penampilan mas Ilham.
"Mas, mau kemana?" Tanyaku keheranan.
"Banyak tanya! Mana kopiku?" Bukannya menjawab, ia malah menanyakan kopi.
"Nggak ada, habis." Jawabku. Lalu kembali ke dapur untuk mengambil piring.
"Gimana bisa habis? Duit yang kemarin aku kasih, masa cuma buat beli kopi doang nggak ada sisa?" Lelaki itu membuntuti ku.
Aku berbalik dan kami hampir bertabrakan.
"Mas itu gimana sih, jangankan sisa, buat beli beras aja aku masih harus nambah kasbon ke Bu Nina!" Jawabku. Jengkel rasanya karena ia masih saja meributkan uang yang cuma dua ratus ribu dengan permintaan yang seabrek.
Alih-alih sarapan, mas Ilham malah keluar rumah tanpa berkata-kata. Nasi goreng yang baru saja kutuang, jangankan disentuh, dilirik pun tidak.
"Mama, nenek jam berapa datang?" Suara Azizah membuyarkan lamunan.
"Belum tahu. Tapi mungkin pas Zizah pulang sekolah, nenek sudah datang. Ayo sarapan dulu." Aku menggiring putriku menuju kursi makan.
Kulihat mata Azizah mengitari meja. Seperti mencari sesuatu.
"Zizah cari apa?" Tanyaku.
Azizah menggeleng kemudian menyendok nasi goreng buatanku ke dalam mulutnya. Aku tahu Zizah bosan dengan menu yang kusuguhkan, namun gadis kecilku itu sama sekali tak pernah protes.
"Ma, Zizah berangkat ya." Ujarnya sehabis itu. Aku mengangguk dan tersenyum.
"Hati-hati ya. Ingat, selalu langsung pulang. Jangan main kemana-mana. Dan...
"Barengan sama Alesa dan Rimba." Potongnya. Aku terkikik mendengar jawaban anak gadisku. Dia sudah paham betul pesan-pesan apa saja yang kusampaikan padanya setiap pagi menjelang pergi ke sekolah.
Setelah mencium tanganku, Zizah gegas mengambil sepedanya kemudian mengayuh pelan setelah melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya dan menatap kepergian Azizah hingga ia menghilang dikelokan.
*
"Assalamualaikum!"
Aku yang sedang di dapur tergopoh berjalan untuk membukakan pintu.
"Waalaikumsalam. Ibu, apa kabar?" Aku segera meraih tangannya dan menciumnya takzim.
"Baik. Bagaimana kabar cucuku?" Tanyanya. Selalu, tak pernah beliau menanyakan kabarku. Bukannya ingin diperhatikan, namun apa salahnya memberi sedikit perhatian kepada menantu yang jarang sekali bertemu.
"Alhamdulillah Zizah baik, Bu. Ayo masuk." Aku mempersilahkan wanita yang melahirkan suamiku itu masuk. Kemudian mempersilahkannya duduk.
Bu Fatimah mengedarkan pandangan, lalu duduk dan meletakkan sebuah kantong di atas meja.
"Itu, ada puding buah kesukaan Zizah dan Ilham." Ujarnya. Aku mengangguk.
"Harusnya ibu tidak usah repot-repot." Sahutku sembari tersenyum dan mengambil kantong tersebut.
"Dari terakhir ibu kesini, perasaan nggak ada yang berubah di dalam rumah ini? Apa tidak membosankan?" Cetus bu Fatimah, mengabaikan ucapanku dan malah membahas yang lain. Matanya menyapu ke seisi ruang tamu.
"Mmmm iya Bu, kami memang belum sempat mengganti barang-barang. Yang ini juga masih bagus kok. Sayang kalau diganti." Setelah menjawab ucapan ibu, aku segera meninggalkan wanita tersebut ke dapur. Untuk membuatkan teh. Tak lupa kupotong pula bolu kecil yang sengaja kubuat khusus beliau.
Aku kembali. Bu Fatimah sedang mengipas tubuhnya dengan tangan yang dipenuhi perhiasan.
"Panas sekali, Rat. Apa AC nya nggak kamu nyalain?" Tanyanya. Aku meletakkan cangkir beserta bolu. Lalu duduk di sampingnya.
"Jadi istri itu ya jangan terlalu ngirit toh, Rat. Gaji suamimu 'kan besar. Masa AC saja harus dimatikan?" Lanjutnya. Baru tak lebih dari sepuluh menit ibu mertuaku tiba, kepalaku sudah terasa migrain.
"Anu bu, AC nya memang sedang rusak. Ratna sudah minta mas Ilham buat panggil tukang. Tapi masih belum juga datang. Biar Ratna ambilkan kipas angin." Aku berdiri, namun Bu Fatimah segera mencegah.
"Nggak perlu. Ibu bisa masuk angin nanti, kalau pake kipas." Cegahnya. Lalu meraih cangkir berisi teh dan menyesapnya pelan.
"Ngomong-ngomong, Zizah sudah besar. Kapan dia punya adik?" Ia meletakkan cangkir teh kemudian beralih padaku.
"Ng...
"Assalamualaikum!" Aku menghela napas lega begitu mendengar suara mas Ilham datang. Namun juga terheran-heran sebab mas Ilham datang menggunakan mobil. Mobil siapa?
"Lho, ibu udah datang? Udah lama?" Mas Ilham segera menghampiri ibunya dan mencium tangan Bu Fatimah.
Namun mataku tak lepas dari kantong yang dibawa mas Ilham.
"Baru beberapa menit yang lalu. Eh, kamu kok udah pulang? Ini baru jam berapa?" Sahutnya. Mata ibu beralih pada jam dinding.
"Ilham sengaja pulang dulu. Karena tahu ibu mau dateng. Ini, Ilham belikan tas baru. Ilham udah minta pilihkan tas yang cocok buat ibu." Jelasnya seraya mengeluarkan isi kantong.
Mataku kalo ini tak lepas dari wajah suamiku, menatapnya tajam. Mas Ilham menyadari hal itu. Sesaat membalas tatapanku sambil menaut kedua alis. Seolah memberi kode agar aku jangan bicara macam-macam, tak lama kemudian ia kembali menatap Bu Fatimah.
"Maasya Allah, kamu memang anak Soleh, Ham. Ibu suka tasnya. Bagus banget!" Jawabnya dengan senyum merekah.
Sedangkan aku bergeming. Masih disibukkan oleh pertanyaan, dari mana mas Ilham punya uang buat beli tas semahal itu?
Suara denting sendok yang beradu dengan tepian gelas, memecah keheningan diantara kami. Mas Ilham sejak perdebatan tadi malam, tak kudengar ia bersuara. Sesekali dia melirik ke arahku, begitupun diriku. "Hem, Rat, mas minta maaf." Aku menoleh. "Untuk apa? Karena sudah begitu banyak membohongiku?" Sahutku sambil tersenyum. Aku sudah muak dan tak ingin lagi terlihat lemah di hadapannya, juga keluarganya. Raut wajah mas Ilham kembali mengeras. "Sudahlah, malas jadinya! Belum apa-apa, kau sudah menuduhku." Mas Ilham berdiri, mendorong kasar kursi makan kemudian pergi keluar rumah. Kuhela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, sambil menatap kepergiannya. Tak lama, deru mesin mobil dihidupkan lantas pergi menjauh. *Aku baru saja selesai mandi, ketika terdengar suara ketukan cukup keras dari luar sana. Segera aku berlari menuruni anak tangga, untuk melihat siapa yang datang. CklekMataku membulat. Mbak Meta dan ibu sudah berdiri resah di depan pintu. "Lho, kalian? Ayo mas
"Duda?" Tanyaku. Mbak Tita mengangguk. "Maaf ya mbak, bukannya aku ikut campur. Tapi, duh gimana ya, saya gak enak mau ngomong." "Ngomong aja mbak, gak apa kok." Sahutku."Pak Ilham dekat sama direktur kami. Bu Naswa. Beliau perawan tua, sudah hampir lima puluh usianya, namun belum juga mau menikah. Yang ku heran, pak Ilham jabatannya memang manajer, tapi jarang kerja. Dan yang kami tahu, suami mbak sering keluar dengan Bu Naswa." Ceritanya. Aku semakin terkejut mendengar penuturan teman kantor suamiku itu."Pak Ilham, bahkan bilang ke semua orang jika dia berstatus duda. Baru beberapa bulan katanya," lanjutnya lagi. Astagfirullah, jadi dianggap apa aku ini?"Sebagai perempuan yang pernah dikhianati mantan suami, saya cuma ikut merasakan apa yang mungkin mbak Ratna rasakan. Maaf jika saya ikut campur. Tapi sebaiknya, hati-hati mbak." Lanjutnya. "Mbak Tita, terimakasih banyak ya karena sudah membantu saya mengungkap yang sebenarnya." Ucapku sambil menyentuh punggung tangannya. Mbak
"Ingat, yang selingkuh itu kamu. Mbak Meta gak mungkin salah!" Sebelum merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, masih sempat mas Ilham menuduhku lagi. "Oh, jadi dia biang keroknya? Sekali-sekali, aku memang harus menghajarnya." Gumamku kemudian merebahkan tubuh di sampingnya. Mas Ilham terkejut, sepertinya baru saja ia keceplosan mengatakan yang sejujurnya tentang foto aku dan Ardi. Segera dia bangkit."Jangan macam-macam kamu! Berani melabrak mbak Meta, aku tak segan mengusirmu dari rumah ini!" Ancamnya. Aku terkekeh. Rasa kantuk sudah lenyap entah kemana, berganti rasa tak sabar untuk segera menemui pagi. "Kenapa? Kamu takut aku melukai kakak tercintamu? Tenang saja. Aku tidak akan mengotori tanganku dengan menyentuh perempuan berkelakuan busuk!" Sahutku seraya bangkit. PlakSebuah tamparan melayang di pipiku. Senyumnya mengembang. Aku terhenyak. Antara sakit dan kaget. "Itu sebagai balasannya. Kita impas." Ucapnya. "Kamu keterlaluan, mas! Demi membela kesalahan kakakmu, kamu
Hari beranjak sore saat kami keluar dari mall. Sebuah kalung dengan liontin kupilihkan untuknya. Ardi mengucapkan terimakasih berkali-kali. Kami juga saling bertukar nomor. Ardi memaksa untuk mengantar kami pulang. Namun kutolak secara halus dan mengatakan bahwa aku khawatir akan terjadi fitnah. Akhirnya, kami berpisah di parkiran. Kupikir Ardi membawa mobil maka ia memaksa mengantar pulang. Rupanya pria itu sudah ditunggu oleh taksi online."Ma, om itu baik ya?" Zizah memeluk boneka Teddy bear besar yang dibelikan Ardi. Padahal aku sudah menolaknya berkali-kali. Namun dia memaksa dan akupun tak sampai hati mengusir senyum di wajah Zizah, akhirnya ku izinkan Zizah mengambil boneka tersebut. "Iya. Om Ardi itu kawan mama saat kecil dulu." Sahutku. Yang masih tak percaya bahwa kami bisa bertemu di ibukota ini. "Yuk pulang." Ajakku. Zizah mengangguk dan segera kami mencegat angkutan umum.**"Bagus! Jadi begitu ternyata kelakuanmu di belakangku? Pantas saja kamu semakin berani padaku,
Acara haulan telah selesai dilaksanakan. Sisa masakan masih teramat banyak, aku tersenyum miris. Tadi ibu sampai tega membuat nafsu makan cucunya lenyap begitu saja, padahal masakan masih tersisa banyak sekali. Mbak Meta muncul dari ruang lainnya, menemui kami. Firasatku mengatakan bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu."Rat, nanti jangan dulu pulang ya. Beresin dulu semuanya baru kalian pulang." Titah mbak Meta. Semua mata menoleh padaku. Aku tersenyum. Benar dugaanku. Kuletakkan piring yang masih berisi banyak nasi beserta lauknya. Baru saja aku akan makan. Hilang sudah rasa lapar ini seketika."Maaf mbak, aku ada urusan dan harus segera pulang." Sahutku. Lalu ku anggukan kepala pada Zizah. Zizah mengangguk, gadis kecilku menghampiri dan meraih tanganku lalu menggenggamnya."E eh enak aja! Terus yang harus beresin semua ini siapa? Aku?!" Serunya dengan mata melotot. Aku berdiri, kugenggam erat tangan Zizah."Bukan urusanku." Jawabku singkat. Kubalas tatapannya bahkan jauh lebih
Pukul empat sore, mas Ilham pulang. Seperti biasa dia membawa mobil bagus. Waktu kutanya, alasannya pasti sama. Pinjam pada kawannya."Gak usah banyak tanya. Cepetan siap-siap, sana!" Perintahnya. "Mas, aku sama Zizah gak mau ikut." Putusku. Mas Ilham menatap nyalang. Tak ada lagi mata teduh yang dulu begitu mengayomi diri ini. "Apa-apaan sih kamu! Gak usah merajuk. Ini, aku kasih duit belanja bulanan." Mas Ilham mengeluarkan uang lembaran berwarna merah. "Mas punya duit dari mana? Bukannya cuma nyopir angkot ya kan? Atau jangan-jangan mas Ilham memang sudah dapat kerjaan baru?" Selidikku. Tak urung segera kuambil juga uang di tangannya, sebelum lelaki itu berubah pikiran lagi. "Jangan ngarang! Buruan dandan yang cantikan dikit. Malu kalo sampe keluargaku lihat penampilan kamu yang dekil." Titahnya. Aku mengembuskan napas panjang. Kemudian berlalu pergi untuk memberitahu Zizah. "Lho, katanya kita gak ikut, ma?" Azizah mengangkat wajahnya dari buku pelajaran. "Papa bisa marah kal