Naima terpaksa menggantikan posisi Naura—adik kembarnya yang sedang koma sebagai pengantin Javran. Buku nikah tertulis nama Naura, begitu pula ijab qobul yang diucap Javran. Praktis—Naima hanyalah orang asing dalam hubungan Naura dan Javran—tapi harus tinggal di sisi Javran—lalu pergi diam-diam setelah Naura bangun dari komanya. Setelah hidup dua bulan bersama Javran—Naima merasakan cinta, kasih sayang pasangan, dan perhatian dari keluarga—hal yang tak pernah dia dapatkan karena sejak kecil dia tumbuh menjadi bayang-bayang Naura yang memiliki fisik lemah. Naima menikmati perannya—tapi juga dihantui rasa bersalah. Ketika dia memutuskan untuk mengakhiri semuanya dan kembali ke Dongyang—China untuk melanjutkan kuliahnya, Naima malah hamil anak Javran. Meski begitu, Naima memilih jadi ibu tunggal dan membesarkan bayinya sendiri. Lima tahun Naima pergi, tanpa tahu kenyataan bahwa : Javran tulus mencintai Naima meski tahu dibohongi. Ternyata Naura sengaja mendekati Javran dengan latar belakang Naima karena ingin mencarikan pasangan untuk Naima yang kesepian—sebagai bentuk penebusan rasa bersalahnya karena kemalangan nasib Naima. Meski dalam prosesnya, Naura malah jatuh cinta pada Javran dan ingin memilikinya. Saat bangun, Naura tahu hati Javran tak lagi ada padanya. Kebohongan soal latar belakang dan identitas milik Naima akhirnya menjadi bumerang. Naura tak bisa memiliki Javran meski statusnya adalah istri sah Javran. Jadi Naura memilih untuk melepaskan. Penyakit yang dideritanya sejak kecil memburuk hingga membuatnya meninggal. Orangtua dan keluarga menyalakan Naima atas kematian Naura. Javran tak sengaja bertemu dengan Naima dan putranya--Zayyan—yang selama ini menetap di Bandung. Javran berusaha mendakti Naima lagi—tapi ternyata Naima sudah akan menikah dengan Akash, pria yang selalu berada di sisi Naima selama 5 tahun terakhir. Javran ingin haknya sebagai papanya Zayyan. Tapi Naima terus mendodorng pergi. Kebenaran terbongkar dan akhirnya Naima kembali pada Javran. Bahwa Akash hanyalah kebohongan yang Naima buat unruk menjauhi Javran. End.
Lihat lebih banyak"Naura kecelakaan dan sekarang koma. Padahal besok hari pernikahannya." Suara Papa terdengar gemetar, serak menahan duka yang mendalam. Wajahnya merah padam, matanya tampak lelah dan sembab, seolah telah menahan tangis yang tak kunjung pecah. "Kamu harus gantiin posisi Naura, Naima. Kamu yang harus nikah sama Javran."
Mataku melebar terkejut. Aku tak percaya kalimat itu akan keluar dari mulut Papa. Bagaimana bisa beliau menyuruhku untuk menggantikan posisi Naura? Biarpun kami saudari kembar, kami memiliki fisik yang identik, tapi kami bukan orang yang sama! Kami berbeda pendapat dan kepribadian! Suara-suara di kepalaku berteriak, menolak gagasan gila ini.
"Nggak bisa, Pa. Lusa aku harus balik ke Dongyang, ada ujian semester yang nggak bisa kutinggal." Aku berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang, walau ketegangan merayap di seluruh tubuhku. Aku ingin beliau memahami posisiku. "Kita bisa bicara baik-baik sama keluarga Javran. Minta pengertian mereka. Mereka pasti mau mengerti," balasku, dengan nada tegas, mencoba menyalurkan logika di tengah kegilaan ini. "Javran pasti pengen nikah sama perempuan yang dia cintai, bukan aku."
Papa memalingkan wajah sejenak, tatapannya menyapu lantai koridor yang bersih, lalu kembali menatapku. Ada kilasan keraguan di matanya, namun hanya sesaat, sebelum kembali mengeras. "Papa nggak nyuruh kamu nikah beneran. Kamu cuma perlu gantiin posisi Naura di akad dan resepsi. Di buku nikah tetap nama Naura. Ijab qabul juga atas nama Naura. Nanti setelah Naura sadar, kamu bisa pergi lagi ke mana pun kamu mau."
Hanya sampai Naura sadar? Sebuah pertanyaan menusuk benakku. Bagaimana jika Naura tak kunjung sadar? Apa aku harus menggantikan posisinya jadi istri selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, tanpa ikatan yang sah secara emosional? Menjalani hidup yang bukan milikku, dengan seseorang yang mencintai orang lain. Bayangan itu terasa menyesakkan.
Aku menelan ludah, kerongkonganku tercekat. Kepalaku berdenyut, seolah ada beban berat yang menghimpit. "Pa, Javran pasti kenal Naura luar dalam. Dia adalah calon suaminya. Javran pasti akan langsung tahu kalau aku bukan Naura. Bagaimana kalau Javran menuntut kita karena merasa ditipu? Aku—"
"Jangan banyak alasan!" bentaknya, suaranya meninggi dan menggelegar di koridor rumah sakit yang biasanya senyap. Beberapa pasang mata di sekitar kami menoleh, rasa ingin tahu terpancar dari sorot mereka. Wajah Papa yang tadinya hanya merah, kini berubah ungu karena emosi yang meluap.
Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Bukan yang keras hingga meninggalkan bekas fisik, namun cukup untuk membuat mataku panas, perih, dan memicu genangan air mata yang siap tumpah. Tamparan itu, walau tak melukai kulit, menghantam harga diriku. Di sini, di koridor rumah sakit yang dingin dan steril, di depan orang banyak, aku kembali diingatkan akan posisiku.
"Adikmu itu sejak kecil udah sakit-sakitan. Dia bahkan nggak bisa kuliah di luar negeri, nggak bisa hidup normal." Suara Papa terdengar lebih tenang, namun setiap kata yang terucap terasa seperti belati yang menusuk. Ia melanjutkan, dengan nada yang memojokkan, "Kamu yang hidup bebas, sekolah ke luar negeri, punya karier cemerlang di masa depan. Sekarang satu-satunya harapan hidupnya—menikah sama Javran—terancam lenyap. Dan kamu tega bikin Naura kehilangan masa depannya karena keegoisan kamu?"
Egois? Bagaimana aku bisa lupa? Aku terlahir bukan sebagai saudari kembar Naura, melainkan bayangannya. Dari kecil, semua hal tentangku selalu dikaitkan dengannya. Aku tak pernah sekalipun hidup untuk diriku sendiri. Selalu ada embel-embel Naura.
Kata-kata itu, kata-kata yang sering diucapkan orangtuaku, seperti kutukan yang membelenggu kedua tangan dan kakiku dengan rantai besar: 'Naura terlahir lemah. Kamu sebagai Kakak harus jagain dan lindungin dia. Kalau kamu nggak serakah waktu di kandungan, pasti Naura akan lahir normal!' Sebuah tuduhan tak berdasar yang selalu membayangi.
Aku pernah berlatih taekwondo sampai tubuhku remuk, otot-ototku serasa mau lepas dari tulang, hanya karena Naura ingin sekali menjadi atlet. Aku mati-matian belajar sampai kepalaku pusing dan mimisan setiap malam, demi diterima di universitas favorit Naura. Dan aku yang akhirnya kuliah di Tiongkok, di negeri yang jauh itu, hanya karena Naura begitu menggilai negara tersebut, namun fisiknya tak memungkinkan. Aku melakukan semua itu, demi Naura, atas nama pengorbanan kakak.
Dua tahun terakhirku di Tiongkok, aku merasa akhirnya terbebas dari belenggu itu. Aku bisa bernapas lega, menjadi diriku sendiri, Naima, tanpa embel-embel bayangan Naura. Aku punya teman-teman baru yang tak mengenal Naura. Aku punya kebebasan yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Namun begitu kembali, sudah ada belenggu lain yang menungguku. Belenggu yang lebih besar, lebih menyesakkan.
Harusnya aku tak usah kembali.
"Cuma sampai Naura sadar, Naima." Suara Papa mendadak melembut, ada nada memohon di sana. Ini taktik baru, dari ancaman ke bujukan. Sebuah upaya terakhir. "Setelah itu, kamu bebas lakuin hal-hal yang kamu mau. Kamu bisa terbang ke mana pun kamu suka."
Aku terdiam. Belum sempat kubuka suara, Mama yang sejak tadi duduk di kursi dingin koridor, dengan bahu berguncang pelan, kini berdiri dan menghampiriku. Wajah Mama sembab, matanya bengkak, suaranya nyaris hilang tertahan isak tangis yang tertahan.
"Naima, kamu jangan keras kepala." Mama memegang tanganku, jari-jarinya gemetar. "Semua orang udah datang. Keluarga Javran udah nginap di hotel bintang lima. Seserahan, katering, dekorasi, semua udah siap. Undangan udah disebar ribuan lembar." Dia terisak lebih keras, menutup mulut dengan tangan bergetar, berusaha meredam suaranya. "Jangan buat keluarga kita malu, Nak. Papa kamu bisa kena serangan jantung kalau ini gagal."
Keluarga? Sejak kapan aku menjadi bagian dari keluarga mereka? Sejak dilahirkan di dunia ini, aku hanya dianggap sebagai pengganti Naura! Dari dulu, sampai sekarang. Tidak pernah berubah. Aku tak pernah menjadi Naima di mata mereka.
Mama tiba-tiba limbung. Tubuhnya oleng, dan dia terduduk di lantai sambil mengeluh pusing. Wajahnya makin pucat, tubuhnya gemetar hebat. Aku buru-buru menahan tubuhnya agar tidak jatuh sepenuhnya. Dia terlalu rapuh, seperti dahan kering yang siap patah kapan saja.
Dari tikungan koridor, muncul Putra. Kakak sulungku itu tampak kusut, sepertinya juga baru tiba. Rambutnya acak-acakan, dasi tergantung longgar di leher kemejanya yang sudah lecek. Raut wajahnya tegang, penuh kekhawatiran yang samar.
"Ada apa sih ini ribut-ribut?" tanyanya, suaranya berat.
"Naima masih nolak," sahut Papa, menunjukku dengan tangannya yang bergetar. “Dia nolak gantiin posisi Naura sebagai pengantin Javran.”
Putra menatapku dingin, matanya menyipit penuh penilaian. Sebuah tatapan yang sering kuterima sejak kecil, tatapan merendahkan yang sudah terlalu akrab. "Kalau kamu nggak gantiin posisi Naura, keluarga kita akan hancur. Nggak ada lagi yang biayain kuliah kamu, kasih kamu uang jajan dan makan tiap bulan.”
Aku terkekeh, ironis. Sebuah tawa tanpa suara yang pahit, mengiringi rasa getir di lidahku. Uang yang mereka kirim selama ini hanya cukup untuk bayar kuliah dan biaya sewa tempat tinggalku. Untuk makan, aku harus banting tulang sendiri, bekerja sambilan hingga nyaris mati kedinginan di tengah badai salju Tiongkok. Aku pernah hanya makan mi instan seminggu penuh. Mereka tak tahu dan tak peduli.
“Aku nggak peduli. Sejak awal aku emang nggak mau kuliah di China. Itu semua keinginan Naura!” bentakku, dengan emosi yang mulai meledak. Suaraku meninggi, memantul di dinding koridor, membiarkan kemarahan yang terpendam keluar.
Sejujurnya, setelah dua tahun tinggal di sana, aku mulai menyukai Tiongkok. Aku sudah memiliki hidup baru, teman baru, lingkungan baru. Aku juga terbebas dari bayang-bayang Naura dan bisa hidup sebagai diri sendiri. Aku tak mau mereka melihat kelemahanku dan memanfaatkannya lagi. Aku tak mau kembali jadi boneka.
“Kamu mau liat kita jadi pengemis dan tidur di jalanan? Bisnis Papa sekarang bergantung sama perusahaan Javran!” Nada suara Putra naik satu oktaf, hampir seperti teriakan yang tak tertahankan. "Ini bukan cuma soal Naura, Naima! Ini soal kelangsungan hidup kita semua! Kamu cuma perlu tinggal di sisi Javran beberapa hari! Apa susahnya, hah? Kamu mau ngelupain budi keluarga ini yang udah besarin kamu?"
Kedua tanganku mengepal di sisi tubuh, kuku-kukuku menusuk telapak tangan, meninggalkan bekas bulan sabit yang kemerahan. Kepalaku tertunduk dalam, menatap sepatu flat-ku yang kusam, seolah mencari jawaban di sana. Jika aku bisa memilih, aku tak mau terlahir di keluarga ini. Terlebih menjadi saudari kembar Naura. Aku tak pernah meminta ini.
Lalu, suara Papa terdengar lagi. Lirih, namun mengandung tekanan yang tak terbantahkan, sebuah jebakan yang manis. "Salahkan Papa. Ini keputusan Papa. Tapi kalau kamu bantu sekali ini aja, Papa janji, kamu bebas. Kamu bisa tinggal di Tiongkok selamanya. Kami nggak akan ganggu hidupmu lagi. Kamu bebas."
Aku mengangkat kepala, menatap satu per satu wajah mereka. Papa dengan wajah keras yang mulai dihiasi keriput penuaan, matanya memohon namun tegas. Mama yang masih gemetar dalam pelukanku, terisak pelan. Putra dengan rahang mengeras, matanya memerah, menahan emosi yang bergejolak, menunggu keputusanku.
Semua mata tertuju padaku. Menunggu. Menekan. Memaksa.
Dari dulu... selalu begini. Semuanya demi Naura. Dan aku selalu berakhir tidak berkutik dan memenuhi permintaan mereka. Aku selalu mengalah, membiarkan diriku menjadi pengorbanan yang tak pernah dihargai.
Aku menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan setiap serpihan keberanian dan kepasrahan yang tersisa di dalam diriku. "Kalau aku setuju, aku bebas mutusin hidupku sendiri? Kalian nggak bakal ikut campur kalau aku memutuskan untuk tinggal selamanya di China? Enggak bakal nyuruh aku balik lagi, apa pun yang terjadi?"
Aku harus memastikan. Ini harus jadi tiket keluar permanenku. Aku harus bisa keluar dari belenggu ini selamanya, tanpa ada celah untuk mereka menarikku kembali.
"Ya. Setelah Naura sadar dan kembali ke sisi Javran, kamu boleh pergi sejauh yang kamu mau. Kami janji," kata Papa, suaranya nyaris seperti sumpah yang khusyuk, mencoba meyakinkanku.
Tanganku mengepal semakin erat. Dadaku sesak, rasanya paru-paru ini terhimpit beban tak terlihat. Hatiku perih, perih yang menusuk sampai ke tulang, seolah ada luka baru yang terbuka. Tapi bibirku membentuk senyuman. Senyum palsu yang kubentuk dengan sisa kekuatan terakhirku, sebuah topeng untuk menyembunyikan badai di dalam.
Pada akhirnya, mereka rela kehilangan aku yang dianggap tidak berguna ini, rela membuangku jauh-jauh, demi kebahagiaan Naura. Aku adalah pengorbanan yang mudah, sebuah alat yang bisa dibuang setelah fungsinya selesai.
"Baiklah... aku akan gantiin posisi Naura di pelaminan. Aku akan jadi pengantin Javran."
Langit di luar rumah sakit tampak kelabu, awan tebal menggantung rendah, seolah ikut merasakan kesesakan yang kurasakan. Dan dalam hatiku, badai baru saja dimulai. Badai yang akan menentukan arah hidupku, atau justru menghancurkannya. Aku tidak tahu mana yang akan terjadi.
Karena aku adalah Naima, aku tak terlalu sakit hati saat mendengar ucapan Tante Melati. Malahan aku kasihan pada Naura—jika harus mendengar kalimat menyakitkan itu sendiri.Ah, tidak. Kenapa aku harus kasihan?Naura justru punya banyak akal untuk menghadapi manusia seperti Tante Melati dibanding aku. Tapi untungnya, aku menghabiskan nyaris seumur hidupku di samping Naura. Jadi aku tahu, trik apa yang bisa dipakai untuk menghadapi manusia munafik seperti Tante Melati. Naura telah mengajariku banyak hal tentang bagaimana cara memanipulasi orang lain.Karena tak bisa mempraktikannya pada keluargaku, aku bisa mencobanya pada Tante Melati.“Aku nggak pernah maksa Mas Javran buat bantuin bisnis keluargaku, Ma, Mas Javran sendiri yang mau,” jawabku, dengan nada tenang. “Mungkin Mas Javran ngelakuin itu karena pengin dapat pujian dari papa dan mamaku? Dia ingin dicap jadi menantu yang baik dan pengertian.”Bola mata Tante Melati berkilat, dipenuhi amarah yang siap meledak. Dia menunjuk-nunjuk
“Maksudku, bukannya aku nggak bisa makan pedes sama sekali,” ujarku, berusaha tetap tenang padahal jantungku berdebar keras seperti genderang perang. “Maksimal sebulan sekali, aku selalu makan pedes kalau lagi kepengen banget.”Kebohongan yang pertama membuatku merasa bersalah hingga menghantui berkali-kali. Tapi setelah kebohongan itu terus berlanjut, lama-lama aku jadi terbiasa. Bahkan mungkin di masa depan nanti, aku tak akan didera perasaan gugup jika ingin berbohong lagi.“Kamu suka makan seblak di mana? Biar aku anterin.” Javran menatapku hangat. Sepertinya dia sudah percaya.“Emangnya kamu bisa makan seblak?” tanyaku, penasaran.“Aku belum pernah nyoba. Tapi kayaknya bisa,” balasnya, ragu-ragu. “Kalau kamu suka, aku pasti juga suka.”“Kamu harus nyobain dulu baru bisa bilang begitu.” Tanpa sadar aku tertawa melihat kelakuan Javran yang super polos. “Nanti aku pesenin yang biasa aku makan. Tapi kalau emang nggak bisa ketelen, jangan dipaksain, oke?”Javran menatapku singkat, kem
BAB 5.Tujuh belas belas tahun yang lalu…“Kenapa kamu baru pulang jam segini? Habis dari mana aja kamu?” Mama menjewer telinga Naima, yang waktu itu baru berusia tujuh tahun. “Mama udah bilang kan kalau kamu nggak boleh keluyuran sembarangan? Naura dari tadi nangis nyariin kamu!”Naima meringis. Matanya sudah basah karena tangis.Naima hanya menepati janjinya untuk main dengan anak-anak kompleks setelah pulang sekolah. Pukul tiga sore Naima sudah pulang padahal teman-temannya masih asyik bermain. Tapi kenapa Naima dimarahi?“Kedepannya, jangan main-main ke luar lagi. Di rumah aja temenin adikmu main!” Mama melepaskan jewerannya, membuat Naima terjatuh ke tanah. Tangis yang sejak tadi tertahan mulai keluar satu per satu. “Naura itu lahir lemah gara-gara kamu! Kamu jangan asal lari atau lompat-lompatan dan bikin Naura sedih! Kamu denger nggak apa yang Mama bilang?”“Iya, Ma,” jawab Naima, sesenggukan. “Naima janji nggak akan main di luar lagi.”“Bagus. Kamu cuma boleh main di rumah sam
Javran sudah tertidur pulas di sampingku. Diam-diam kepalaku masuk ke dalam selimut dan mulai membaca semua isi chat antara Javran dan Naura selama lima tahun terakhir. Awalnya mereka begitu canggung, tapi perlahan-lahan menghangat. Naura mengirimkan fotonya lebih dulu—lalu Javran. Hari-hari berlalu dan mereka intens sleep call dan video call. Rupanya selama ini, Naura menggunakan latar belakangku yang kuliah di Dongyang—tapi menggantinya sebagai bekerja.Sekarang aku jadi tahu alasan Naura begitu memaksaku—untuk mengirimkan foto di kelas, di depan kampus, hingga saat jadi figuran di Hengdian. Bahkan saat makan pun Naura selalu merengek ingin tahu. Kupikir waktu itu, Naura melakukannya karena begitu ingin pergi ke Tiongkok, jadi aku menuruti semua keinginannya tanpa curiga. Tapi ternyata, semua foto dan video yang kukirim untuk Naura, semuanya dikirim ke Javran.Naura menfarming dirinya sebagai gadis yang independent, cerdas, pekerja keras dan tahan banting. Beberapa kali Javran ingin
Selepas resepsi yang panjang dan melelahkan, mobil keluarga Javran membawa kami ke rumah barunya di kawasan elit Jakarta Selatan. Jalan-jalan yang dipenuhi pohon rindang mengantar kami ke rumah dua lantai dengan pagar putih dan taman kecil yang asri. Saat mobil berhenti di depan garasi, kulihat lampu-lampu taman menyala lembut, menyambut kedatangan kami.Pintu mobil di sampingku terbuka. Ibu mertua menyambutku dengan senyum ramah. Beliau meraih jemariku lembut, membantuku keluar dari mobil.“Hati-hati,” ujarnya, lembut.Aku mengangguk dan keluar dari mobil.Setelah itu, kami berjalan beriringan memasuki rumah mewah keluarga Javran. Tante Melati memeluk lenganku erat-erat.“Dulu Mama nentang banget keputusan Javran buat menetap di Jakarta dan jauh dari keluarga.” Tante memulai ceritanya. “Javran itu putra kami satu-satunya. Sejak kecil kami selalu kasih apapun yang dia inginkan. Hidupnya nggak pernah kekurangan uang, cinta dan kasih sayang. Tapi saat udah dewasa, dia malah ninggalin ke
"Javran sama Naura cuma pernah ketemu sekali waktu lamaran tiga bulan lalu," ujar Mama, duduk di sebelahku sebelum acara resepsi dimulai. Aku sudah lengkap berdandan dengan kebaya putih dan riasan adat jawa. Meski make-up di wajahku terlihat cantik, tapi tak bisa menyembunyikan raut gusar dan engganku."Mereka kenal di dating app, udah pacaran online selama lima tahun. Jadi kamu tinggal baca chat mereka di aplikasi, dan langsung bisa peranin Naura dengan baik. Javran nggak akan curiga," lanjut Mama.Mama menyerahkan ponsel milik Naura ke tanganku. Aplikasi kencan itu masih terbuka. Ribuan pesan memenuhi layar. Percakapan penuh cinta, harapan, dan rahasia kecil yang hanya diketahui oleh dua insan yang saling percaya.Aku mengangguk. "Iya, Ma."Karena memang apa lagi yang bisa kulakukan?Jika imbalannya adalah kebebasan, aku rela bertahan dalam sandiwara ini."Kalau ada yang kamu bingung, tanya ke Mama. Mama tahu semua hal tentang Naura dan Javran. Mereka itu kayak pasangan surga. Salin
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen