Pagi itu terasa seperti pagi-pagi lainnya di rumah keluarga Blackwood. Burung-burung berkicau lembut di luar jendela besar yang menghadap ke taman luas. Di dalam ruang makan yang elegan, Paula Rose Blackwood, seorang wanita anggun dengan rambut pirang yang mulai beruban, sedang duduk menikmati sarapan bersama suaminya, John Blackwood. Suasana tenang itu tiba-tiba hancur ketika ponselnya berdering keras di atas meja.
Paula meraih ponselnya dan melihat nomor yang tidak dikenal. Dia mengernyit sejenak, merasa sedikit khawatir, tetapi tetap mengangkatnya. "Halo, Paula di sini," suaranya terdengar tenang, meskipun hatinya mulai berdebar. Di seberang sana, terdengar suara yang mengabarkan sesuatu yang tak pernah diinginkannya. "Mrs. Blackwood, ini polisi. Kami menghubungi Anda terkait dengan putri Anda, Michaela. Kami sangat menyesal, tapi... dia telah diculik." Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di tengah hari yang cerah. Paula merasakan tubuhnya seketika lemas, tangan yang memegang ponsel gemetar hebat. "Apa... apa yang Anda katakan?" suaranya pecah, hampir tak terdengar. "Saya minta maaf, Mrs. Blackwood. Kami sedang berusaha semampu kami untuk menemukan putri Anda. Kami akan membutuhkan Anda dan keluarga untuk tetap tenang dan menunggu informasi lebih lanjut dari kami." Paula tidak bisa mendengarkan lebih jauh lagi. Ponselnya terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai, menimbulkan suara keras yang membuat John, suaminya, menoleh dengan cepat. Dia melihat istrinya berdiri mematung, wajahnya pucat, matanya membelalak kosong. "Paula, ada apa?" John segera berdiri dan bergerak cepat ke arah Paula, menangkap tubuhnya yang mulai jatuh. "Paula, bicara padaku!" Paula terjatuh ke dalam pelukan John, air matanya mulai mengalir deras. "John... Michaela... dia... dia diculik..." suaranya pecah, penuh dengan ketakutan dan kepanikan. John merasa seperti seluruh dunianya runtuh dalam sekejap. Namun, dia tahu bahwa dia harus kuat untuk Paula, untuk keluarganya. Dia memeluk istrinya erat-erat, berusaha menenangkannya meskipun dirinya juga hampir tidak bisa menahan tangis. "Tenang, sayang. Kita akan menemukannya," kata John, meskipun suaranya juga terdengar bergetar. "Aku akan menghubungi Ryan, dia pasti sudah tahu sesuatu." Paula hanya bisa menangis dalam pelukan John, merasa seluruh kekuatan tubuhnya menghilang. Dia tidak pernah merasa setakut ini sepanjang hidupnya. "Bagaimana ini bisa terjadi, John? Michaela... anak kita... Dia pasti sangat ketakutan..." John tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Dia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa meredakan rasa sakit dan ketakutan yang dirasakan Paula saat ini. Tapi dia harus tetap tenang. Dia tidak punya pilihan lain. Sementara itu, di tempat lain, Ryan Alexander Blackwell sedang berdiri di ruangannya yang luas dan modern, menghadap jendela yang memberikan pemandangan kota yang ramai. Wajahnya menunjukkan kegelisahan yang dalam, meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang. Di belakangnya, Cole, asisten pribadinya yang setia, berdiri dengan tangan yang juga gemetar, meski berusaha terlihat tenang. "Sudah dapat hasilnya, Cole?" tanya Ryan dengan nada datar, tetapi matanya memancarkan kecemasan yang tak bisa disembunyikan. Cole menggeleng pelan, tampak menyesal. "Belum, Tuan. Tim kami masih mencoba melacak lokasi terakhir di mana sinyal ponsel nona Michaela terdeteksi. Tapi... sepertinya mereka bergerak cepat. Ini tidak mudah." Ryan mengepalkan tinjunya, matanya terfokus pada keramaian di bawah sana. "Aku tidak peduli seberapa sulitnya, Cole. Aku ingin tunanganku kembali. Hidup. Apa pun caranya." "Ya, Tuan. Saya sudah mengerahkan tim terbaik untuk menangani ini. Kami tidak akan berhenti sampai Michaela ditemukan," jawab Cole tegas, meskipun dia bisa merasakan beban besar di pundaknya. Keadaan seperti ini selalu penuh dengan ketidakpastian, dan mereka harus siap menghadapi segala kemungkinan. Ryan menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, setiap kali dia mengingat suara benda jatuh dari telepon Michaela tadi, hatinya kembali gelisah. "Apa yang sebenarnya terjadi, Cole? Bagaimana bisa Michaela sampai dalam bahaya seperti ini?" Cole menunduk sedikit, merasa bersalah meskipun dia tahu ini bukan salahnya. "Kami tidak tahu pasti, Tuan. Namun, dari apa yang kami kumpulkan, sepertinya ini adalah perbuatan sekelompok orang yang terorganisir. Mereka tahu apa yang mereka lakukan." Ryan terdiam sejenak, matanya penuh dengan kebencian yang tumbuh dalam dirinya. "Aku bersumpah, siapapun mereka yang berani menyentuh Michaela... mereka akan menyesal." Cole hanya bisa mengangguk setuju, meskipun dia tahu ancaman Ryan tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi. Tugas mereka sekarang adalah menemukan Michaela, dan waktu adalah musuh terbesar mereka. Ponsel Ryan berdering, memecah keheningan yang tegang di ruangan itu. Ryan segera mengangkatnya, suaranya tegang. "Halo?" "Ryan... ini aku, John," suara ayah Michaela terdengar berat dan penuh kesedihan. "Aku baru saja mendengar dari Paula. Michaela... dia diculik. Tolong, Ryan. Kau harus menemukannya." Ryan menutup matanya sejenak, merasakan tekanan yang luar biasa. "Aku sudah tahu, paman. Percayalah, aku akan melakukan segalanya untuk menemukan Michaela. Aku tidak akan berhenti sampai dia kembali dengan selamat." Di seberang telepon, John terdengar menghela napas panjang. "Aku percaya padamu, Ryan. Kau tahu betapa berartinya Michaela bagi kami. Tolong, selamatkan dia." "Aku akan, paman. Aku janji." Setelah percakapan singkat itu berakhir, Ryan menatap Cole dengan tekad yang lebih besar. "Segera hubungi semua kontak yang kita punya, Cole. Kita perlu bantuan dari semua pihak. Hubungi kepolisian, detektif swasta, bahkan jika kita perlu menggunakan kekuatan militer, aku tidak peduli. Michaela harus ditemukan." Cole mengangguk dan segera melaksanakan perintah tersebut. Dia tahu Ryan tidak akan berhenti sampai Michaela kembali ke pelukannya. Sementara itu, di rumah keluarga Blackwood, Paula masih terisak di pelukan suaminya. Air matanya tidak kunjung berhenti, dan rasa takut terus menghantui pikirannya. "John, bagaimana jika... bagaimana jika kita tidak bisa menemukannya?" Paula bertanya dengan suara lirih, penuh dengan ketakutan yang mendalam. John menggeleng kuat, menatap Paula dengan penuh keyakinan meskipun hatinya juga dipenuhi rasa takut. "Jangan bicara seperti itu, Paula. Michaela akan kembali. Ryan sudah berjanji, dan aku tahu dia tidak akan mengecewakan kita. Kita harus percaya." Paula menatap suaminya dengan air mata yang masih mengalir, tetapi dia tahu bahwa John benar. Dia harus percaya, tidak peduli seberapa besar ketakutannya. Michaela adalah segalanya bagi mereka, dan mereka tidak bisa membayangkan hidup tanpa putri kesayangan mereka. Dalam kesunyian yang menyelimuti rumah besar itu, doa-doa dipanjatkan, dan harapan-harapan dilambungkan. Mereka semua menunggu, berharap keajaiban akan datang dan membawa Michaela kembali ke rumah, ke tempat yang seharusnya dia berada—bersama orang-orang yang mencintainya.Michaela menatap ke luar jendela, melihat jalanan yang semakin sunyi. Mobil yang dikemudikan Max dan temannya melaju dengan kecepatan konstan.Di sampingnya, Max diam, jarang bicara, namun sorot matanya tetap penuh amarah, kecewa, dan kekhawatiran.Michaela merasa berat harus berpisah dengan Ace, tapi situasi ini tidak memberinya pilihan lain."Aku tidak pernah mengira kau akan terlibat sejauh ini, Michaela," Max membuka percakapan, suaranya serak, seperti menahan gejolak emosinya.Michaela hanya diam, menggigit bibir bawahnya. Rasa sakit karena harus meninggalkan Ace masih begitu terasa.Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi rasanya terhalang oleh jarak yang kini memisahkan mereka."Max," ucap Michaela akhirnya, "Ace tidak seperti yang kau pikirkan. Dia hanya mencoba melindungiku."Max menoleh dengan cepat, tatapannya tajam. "Melindungimu? Dengan membawamu pergi tanpa sepengetahuan kami? Dengan mempertaruhkan nyawamu?""Ace tidak bermaksud begitu," jawab Michaela cepat, "Dia han
Jip tua Ace melaju tenang di jalan yang mulai ramai. Di dalam mobil, suasana begitu hening.Michaela sesekali melirik ke arah Ace, tapi tak berani berbicara banyak.Pikirannya berputar, memikirkan banyak hal, terutama tentang perasaannya terhadap pria yang baru saja ia kenal lebih dekat.Ace fokus pada jalanan di depannya, namun sesekali ia melirik Michaela yang tampak resah di sampingnya. Dalam hatinya, ia bisa merasakan perubahan pada gadis itu, meski tak ada yang diucapkan secara terbuka.Michaela akhirnya memberanikan diri berbicara, meskipun ragu. “Ace... Mobil ini, apa tidak pernah terpikir untuk menggantinya dengan yang lebih baru?” tanyanya pelan.Ace menoleh sedikit, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Tidak, mobil ini penuh kenangan. Terlalu berharga untuk diganti.”Michaela terdiam sejenak, mengangguk pelan. Ia memahami, jawaban Ace tak sekadar tentang mobil tua itu, tapi juga tentang betapa dalam pria ini memaknai hal-hal di sekitarnya. Ada ketulusan yang membuatnya semaki
"Dan bagaimana kau bisa berada di sini, Damian?" tanya Ace, suaranya terdengar datar. Matanya menatap Damian tanpa emosi.Damian hanya tertawa kecil, menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Michael yang menyuruhku. Dia bilang sedang sibuk dengan urusan penting, jadi dia memintaku menggantikan dia. Lagipula, Ace, kita sudah lama tidak bertemu, bukan? Aku yakin kau pasti merindukanku," katanya sambil tersenyum menggoda.Ace hanya menggelengkan kepalanya pelan, wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan. "Kau selalu saja. Sama sekali tidak berubah," jawabnya, mencoba menahan tawa kecil yang ingin keluar.Damian tersenyum lebar, puas dengan reaksinya. "Kau tahu, Ace, hidup ini terlalu singkat untuk bersikap serius sepanjang waktu," katanya sambil mengangkat bahu.Michaela yang sejak tadi menyaksikan percakapan mereka akhirnya ikut angkat bicara. "Sudahlah, Ace. Kalian tak perlu berdebat. Lebih baik kita kembali sekarang," katanya dengan lembut, mencoba melerai perbincangan mereka.Lalu, dia ber
Michaela mendekat, langkahnya pelan namun penuh keyakinan. "Aku tidak mau pergi," ucapnya dengan suara serak, matanya menatap Ace dengan tegas.Ada getaran dalam suaranya, namun bukan karena takut, melainkan karena perasaan yang mendesak dari dalam dirinya.Ace mengalihkan pandangannya. Ia tahu hatinya telah lama terperangkap oleh gadis ini, tapi tidak pernah berani mengakuinya. "Aku akan mengantarmu," jawabnya pelan, nyaris berbisik, lalu berbalik, mencoba menahan emosi yang berkecamuk.Namun Michaela tak mau menyerah. "Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Ace!" teriaknya, suaranya pecah oleh tekad dan rasa frustrasi.Ace berhenti sejenak. Tubuhnya menegang, dia bisa merasakan kemarahan bercampur dengan ketakutan di balik kata-kata Michaela. Dengan berat hati, ia memutar tubuhnya kembali.Dalam sekejap, Michaela menarik kaos Ace dengan kuat, membuat pria itu terhuyung mendekat. Tanpa memberikan kesempatan untuk protes, Michaela langsung menyambar bibir Ace, menyatukan mereka dalam cium
Ace turun dari jipnya dengan kemarahan yang mendidih. Langkahnya cepat dan tegas saat mendekati rumah tua yang tampak reyot di depannya.Pikirannya hanya terfokus pada satu hal: menyelamatkan Michaela, apapun risikonya.Di dalam rumah, Michaela duduk terikat di kursi kayu, tubuhnya lelah dan tak berdaya. Mulutnya tersumpal kain, membuatnya tak mampu berteriak meskipun keputusasaan menyelimuti dirinya.Para penculik terus berbincang, tertawa, seolah tak ada yang akan menghentikan mereka.“Hahaha, setelah ini, kita akan hidup mewah dengan uang tebusan itu,” ucap Mat, pria bertato, tertawa keras sambil menenggak minuman keras. “Aku akan pergi ke luar negeri dan menikmati hidup dengan gadis-gadis cantik!”Pria lain menimpali dengan tawa kasar. “Aku juga! Sudah lama aku tidak menyentuh tubuh wanita. Mungkin sebelum kita ambil uangnya, gadis ini bisa jadi hiburan.”Michaela mendengar percakapan itu dan hatinya tenggelam dalam ketakutan yang luar biasa. Tubuhnya gemetar, keringat dingin meng
Di dalam mobil yang melaju cepat, suasana penuh dengan aroma keringat dan asap rokok. Seorang pria bertubuh besar, bertato di lengan dan lehernya, duduk dengan angkuh di kursi penumpang depan. Kaos hitam ketat membungkus tubuh kekarnya, sementara kepalanya yang botak bersinar terkena cahaya dari luar.“Hahaha, bagus! Kita akan jadi milyarder sebentar lagi,” ucap pria itu sambil menatap pria lain di sampingnya, yang tengah menenggak minuman keras dari botol plastik.“Kau benar! Tidak sia-sia kita mencarinya. Hahaha, kita akan jadi milyarder!” sahut pria satunya dengan suara serak, botol di tangannya hampir kosong.Di kursi belakang, Michaela meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Tangan dan kakinya terikat erat, dan mulutnya tersumpal kain yang membuat setiap suara protesnya berubah menjadi rintihan tertahan. Wajahnya basah oleh air mata, tubuhnya gemetar tak terkendali. ‘Ace... tolong aku,’ hatinya merintih dalam kesunyian, matanya terpejam mencoba mencari ketenangan di tengah rasa t