Pagi itu, suasana di kantor Ryan Alexander Blackwell terasa lebih sunyi daripada biasanya. Meskipun rutinitas bisnis tetap berjalan, bayang-bayang kegelisahan karena hilangnya Michaela terus membayangi setiap orang, terutama Cole, asisten setia Ryan. Hari ini, Cole berdiri di depan pintu ruang kerja tuannya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia tahu ada kewajiban pekerjaan yang harus disampaikan, di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Ryan sedang dalam kondisi yang sangat terpuruk.
Cole mengetuk pintu dengan pelan, hampir ragu-ragu. Suara berat Ryan terdengar dari dalam, mempersilakannya masuk. Cole membuka pintu dengan hati-hati dan melangkah masuk ke ruangan yang dipenuhi dengan nuansa maskulin, dengan dinding berlapis kayu gelap dan meja besar di tengahnya. Ryan duduk di balik meja, wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya, dengan tatapan yang terfokus pada layar komputer di depannya.
"Selamat pagi, Tuan," sapanya dengan nada hormat.
Ryan mengangkat wajahnya, tatapannya datar, namun ada jejak kelelahan yang tidak bisa disembunyikan. “Pagi, Cole. Ada yang ingin kau sampaikan?”
Cole menelan ludahnya, mencoba mengumpulkan keberanian. “Ya, Tuan. Saya ingin membicarakan tentang jadwal pertemuan Anda dengan kolega dari Jepang minggu depan. Ada beberapa detail penting yang perlu Anda ketahui sebelum pertemuan tersebut.”
Ryan mengangguk pelan, namun tatapan matanya menunjukkan bahwa pikirannya masih terpecah antara pekerjaan dan kekhawatirannya terhadap Michaela. “Teruskan, Cole.”
Cole merasa beban berat di dadanya semakin menekan. Dia tahu betapa pentingnya proyek ini bagi perusahaan mereka, tetapi dia juga tahu bahwa saat ini perhatian Ryan sepenuhnya tersita oleh Michaela. Namun, sebagai asisten yang setia, Cole tahu dia harus memastikan bahwa pekerjaan tetap berjalan dengan baik.
“Baik, Tuan. Kolega dari Jepang, Mr. Sato, telah menyetujui beberapa poin utama dalam kerja sama ini, tetapi mereka memiliki beberapa syarat tambahan yang perlu kita diskusikan. Mereka ingin memperluas kerjasama ini hingga ke bidang teknologi hijau dan ingin memastikan bahwa kita memiliki kapasitas untuk mengelola proyek besar ini dalam jangka panjang.”
Ryan mendengarkan dengan seksama, meskipun tatapannya sesekali mengembara ke arah jendela. Cole melanjutkan penjelasannya, berusaha memberikan detail sejelas mungkin. “Mereka juga berharap kita bisa mengalokasikan tim khusus untuk mengawasi proyek ini, dengan anggaran tambahan yang sudah mereka siapkan. Selain itu, ada permintaan untuk mengadakan kunjungan balasan ke Tokyo sebelum akhir bulan depan.”
Cole melihat wajah Ryan yang masih muram dan penuh pikiran. Dia tahu bahwa apa yang disampaikan ini mungkin tidak terlalu diprioritaskan oleh Ryan saat ini, tetapi dia juga tidak ingin tuannya kehilangan kesempatan besar ini. “Tuan, saya paham bahwa saat ini Anda sedang dalam situasi yang sulit, tapi saya pikir proyek ini memiliki potensi besar untuk perusahaan kita. Saya tidak ingin Anda kehilangan kesempatan ini karena…”
Ryan menatap Cole tajam, matanya menyiratkan campuran antara kelelahan dan tekad. “Karena apa, Cole?”
Cole mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Karena keadaan yang tidak bisa kita kendalikan, Tuan. Saya tahu Anda sangat mengkhawatirkan nona Michaela, kami semua juga merasakannya. Tapi saya pikir, menjaga agar bisnis tetap berjalan juga penting, bukan hanya untuk perusahaan ini, tetapi juga untuk semua orang yang bergantung padanya.”
Ryan terdiam sejenak, menimbang kata-kata Cole. Dia tahu bahwa apa yang dikatakan asistennya itu benar. Dia tidak bisa membiarkan dirinya terjebak dalam keputusasaan, karena ada begitu banyak orang yang bergantung padanya. Namun, bayang-bayang Michaela terus menghantui pikirannya, membuatnya sulit untuk fokus pada hal lain.
“Kau benar, Cole,” jawab Ryan akhirnya, suaranya terdengar berat. “Aku tidak bisa membiarkan diri ini terpuruk terlalu lama. Proyek ini penting, dan aku tidak akan membiarkan masalah pribadiku menghancurkan apa yang sudah kita bangun.”
Cole merasa lega mendengar respon Ryan, meskipun dia masih bisa melihat betapa terganggunya pikiran tuannya itu. “Saya akan memastikan semua persiapan dilakukan dengan baik, Tuan. Dan jika Anda membutuhkan saya untuk mengurus detail lainnya, saya siap kapan saja.”
Ryan mengangguk, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Terima kasih, Cole. Aku menghargai semua yang telah kau lakukan. Dan terima kasih juga karena terus mendukungku di saat-saat sulit seperti ini.”
Cole tersenyum tipis, merasa bangga bisa bekerja untuk seseorang yang meskipun dalam situasi terburuk, masih bisa berpikir jernih dan mempertimbangkan orang lain. “Itu sudah menjadi tugas saya, Tuan. Dan jika Anda membutuhkan saya untuk mencari informasi lebih lanjut tentang nona Michaela, saya akan melakukannya.”
Ryan menatap Cole dengan rasa terima kasih yang mendalam. “Kau adalah asisten terbaik yang pernah kumiliki, Cole. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa dirimu.”
Cole menunduk sedikit, merasa terhormat atas pujian itu. “Saya hanya melakukan tugas saya, Tuan. Dan saya akan terus melakukannya sampai kita menemukan Michaela dan memastikan bahwa semuanya kembali normal.”
Ryan mengangguk pelan, matanya kembali menatap layar komputer. “Baiklah, kita akan melanjutkan dengan proyek ini. Siapkan semua yang diperlukan dan pastikan kita tidak melewatkan satu detail pun. Tapi ingat, Michaela tetap prioritas utama.”
Cole mengangguk tegas. “Saya mengerti, Tuan. Saya akan mengurus semuanya.”
Dengan itu, Cole keluar dari ruangan, meninggalkan Ryan sendirian dengan pikirannya yang kembali berkecamuk. Ryan tahu bahwa dia tidak bisa menyerah pada situasi ini. Michaela membutuhkan dia, dan dia harus menemukan cara untuk mengembalikan tunangannya ke tempat yang aman. Namun, dia juga tahu bahwa dunia bisnis tidak akan menunggu, dan dia tidak bisa membiarkan semuanya runtuh hanya karena dia sedang dalam masa sulit.
Di luar pintu, Cole menghela napas panjang. Dia tahu bahwa apa yang sedang terjadi ini sangat berat bagi Ryan, tapi dia juga tahu bahwa tuannya adalah orang yang kuat. Dengan dukungan yang tepat, Cole yakin bahwa Ryan akan bisa melewati semua ini, dan mereka akan menemukan Michaela serta menyelesaikan proyek besar yang sedang menanti mereka.
Sambil berjalan kembali ke kantornya, Cole merasa sedikit lega. Meski keadaan tidak ideal, dia tahu bahwa mereka telah mengambil langkah ke arah yang benar. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk hari ini.
Michaela menatap ke luar jendela, melihat jalanan yang semakin sunyi. Mobil yang dikemudikan Max dan temannya melaju dengan kecepatan konstan.Di sampingnya, Max diam, jarang bicara, namun sorot matanya tetap penuh amarah, kecewa, dan kekhawatiran.Michaela merasa berat harus berpisah dengan Ace, tapi situasi ini tidak memberinya pilihan lain."Aku tidak pernah mengira kau akan terlibat sejauh ini, Michaela," Max membuka percakapan, suaranya serak, seperti menahan gejolak emosinya.Michaela hanya diam, menggigit bibir bawahnya. Rasa sakit karena harus meninggalkan Ace masih begitu terasa.Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi rasanya terhalang oleh jarak yang kini memisahkan mereka."Max," ucap Michaela akhirnya, "Ace tidak seperti yang kau pikirkan. Dia hanya mencoba melindungiku."Max menoleh dengan cepat, tatapannya tajam. "Melindungimu? Dengan membawamu pergi tanpa sepengetahuan kami? Dengan mempertaruhkan nyawamu?""Ace tidak bermaksud begitu," jawab Michaela cepat, "Dia han
Jip tua Ace melaju tenang di jalan yang mulai ramai. Di dalam mobil, suasana begitu hening.Michaela sesekali melirik ke arah Ace, tapi tak berani berbicara banyak.Pikirannya berputar, memikirkan banyak hal, terutama tentang perasaannya terhadap pria yang baru saja ia kenal lebih dekat.Ace fokus pada jalanan di depannya, namun sesekali ia melirik Michaela yang tampak resah di sampingnya. Dalam hatinya, ia bisa merasakan perubahan pada gadis itu, meski tak ada yang diucapkan secara terbuka.Michaela akhirnya memberanikan diri berbicara, meskipun ragu. “Ace... Mobil ini, apa tidak pernah terpikir untuk menggantinya dengan yang lebih baru?” tanyanya pelan.Ace menoleh sedikit, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Tidak, mobil ini penuh kenangan. Terlalu berharga untuk diganti.”Michaela terdiam sejenak, mengangguk pelan. Ia memahami, jawaban Ace tak sekadar tentang mobil tua itu, tapi juga tentang betapa dalam pria ini memaknai hal-hal di sekitarnya. Ada ketulusan yang membuatnya semaki
"Dan bagaimana kau bisa berada di sini, Damian?" tanya Ace, suaranya terdengar datar. Matanya menatap Damian tanpa emosi.Damian hanya tertawa kecil, menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Michael yang menyuruhku. Dia bilang sedang sibuk dengan urusan penting, jadi dia memintaku menggantikan dia. Lagipula, Ace, kita sudah lama tidak bertemu, bukan? Aku yakin kau pasti merindukanku," katanya sambil tersenyum menggoda.Ace hanya menggelengkan kepalanya pelan, wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan. "Kau selalu saja. Sama sekali tidak berubah," jawabnya, mencoba menahan tawa kecil yang ingin keluar.Damian tersenyum lebar, puas dengan reaksinya. "Kau tahu, Ace, hidup ini terlalu singkat untuk bersikap serius sepanjang waktu," katanya sambil mengangkat bahu.Michaela yang sejak tadi menyaksikan percakapan mereka akhirnya ikut angkat bicara. "Sudahlah, Ace. Kalian tak perlu berdebat. Lebih baik kita kembali sekarang," katanya dengan lembut, mencoba melerai perbincangan mereka.Lalu, dia ber
Michaela mendekat, langkahnya pelan namun penuh keyakinan. "Aku tidak mau pergi," ucapnya dengan suara serak, matanya menatap Ace dengan tegas.Ada getaran dalam suaranya, namun bukan karena takut, melainkan karena perasaan yang mendesak dari dalam dirinya.Ace mengalihkan pandangannya. Ia tahu hatinya telah lama terperangkap oleh gadis ini, tapi tidak pernah berani mengakuinya. "Aku akan mengantarmu," jawabnya pelan, nyaris berbisik, lalu berbalik, mencoba menahan emosi yang berkecamuk.Namun Michaela tak mau menyerah. "Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Ace!" teriaknya, suaranya pecah oleh tekad dan rasa frustrasi.Ace berhenti sejenak. Tubuhnya menegang, dia bisa merasakan kemarahan bercampur dengan ketakutan di balik kata-kata Michaela. Dengan berat hati, ia memutar tubuhnya kembali.Dalam sekejap, Michaela menarik kaos Ace dengan kuat, membuat pria itu terhuyung mendekat. Tanpa memberikan kesempatan untuk protes, Michaela langsung menyambar bibir Ace, menyatukan mereka dalam cium
Ace turun dari jipnya dengan kemarahan yang mendidih. Langkahnya cepat dan tegas saat mendekati rumah tua yang tampak reyot di depannya.Pikirannya hanya terfokus pada satu hal: menyelamatkan Michaela, apapun risikonya.Di dalam rumah, Michaela duduk terikat di kursi kayu, tubuhnya lelah dan tak berdaya. Mulutnya tersumpal kain, membuatnya tak mampu berteriak meskipun keputusasaan menyelimuti dirinya.Para penculik terus berbincang, tertawa, seolah tak ada yang akan menghentikan mereka.“Hahaha, setelah ini, kita akan hidup mewah dengan uang tebusan itu,” ucap Mat, pria bertato, tertawa keras sambil menenggak minuman keras. “Aku akan pergi ke luar negeri dan menikmati hidup dengan gadis-gadis cantik!”Pria lain menimpali dengan tawa kasar. “Aku juga! Sudah lama aku tidak menyentuh tubuh wanita. Mungkin sebelum kita ambil uangnya, gadis ini bisa jadi hiburan.”Michaela mendengar percakapan itu dan hatinya tenggelam dalam ketakutan yang luar biasa. Tubuhnya gemetar, keringat dingin meng
Di dalam mobil yang melaju cepat, suasana penuh dengan aroma keringat dan asap rokok. Seorang pria bertubuh besar, bertato di lengan dan lehernya, duduk dengan angkuh di kursi penumpang depan. Kaos hitam ketat membungkus tubuh kekarnya, sementara kepalanya yang botak bersinar terkena cahaya dari luar.“Hahaha, bagus! Kita akan jadi milyarder sebentar lagi,” ucap pria itu sambil menatap pria lain di sampingnya, yang tengah menenggak minuman keras dari botol plastik.“Kau benar! Tidak sia-sia kita mencarinya. Hahaha, kita akan jadi milyarder!” sahut pria satunya dengan suara serak, botol di tangannya hampir kosong.Di kursi belakang, Michaela meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Tangan dan kakinya terikat erat, dan mulutnya tersumpal kain yang membuat setiap suara protesnya berubah menjadi rintihan tertahan. Wajahnya basah oleh air mata, tubuhnya gemetar tak terkendali. ‘Ace... tolong aku,’ hatinya merintih dalam kesunyian, matanya terpejam mencoba mencari ketenangan di tengah rasa t