Clara tengah melangkah menuju OK ketika dering ponsel menyapanya. Ia merogoh saku snelli, mengambil ponsel itu dan memeriksa kira-kira siapa yang mengirimkan pesan kepadanya itu? Sejawat residen? Atau salah satu konsulen? Wajah Clara sontak berubah masam, ketika di layar itu tampak potongan pesan terpampang jelas, berikut nama si pengirim pesan.
‘Kutunggu di apartemen, aku rindu aroma tubuhmu!’
Clara menghela nafas panjang, ia segera memasukkan ponsel itu ke dalam saku snelli. Lantas melanjutkan langkahnya menuju OK. Dia tidak perlu membuka pesan itu, karena tanpa membukanya, Clara sudah tahu apa isi dari pesan yang dikirimkan Arga Yoga Saputra, seorang kardiolog yang juga bekerja di rumah sakit ini, menantu dari pemilik rumah sakit dan suami dari Indira Yustina Pramudita, seorang pediatric yang merupakan anak bungsu profesor Dicky Pramudita.
Kenapa laki-laki itu mengirimkan pesan bernada mesum kepada Clara? Rasanya tidak perlu dijelaskan dengan detail apa alasannya, karena tanpa perlu dijelaskan, semua orang sudah tahu apa maksud dan ada apa di balik pesan yang masuk ke dalam ponsel Clara itu.
Ia terus melangkah, pikirannya melayang pada saat itu, saat di mana dia harus rela terjerumus dalam hubungan toxic ini.
“Sampai kapanpun, aku cuma cinta kamu, Ra! Cuma kamu meskipun aku harus menikahi dia.”
Clara menghapus air matanya, saat itu dia tengah duduk di mobil bersama sosok itu, sosok laki-laki yang sudah dipacarinya sejak dia menjalani pendidikan koas. Yoga meremas lembut tangan Clara, membuat hati Clara makin pedih.
“Kamu harus lupakan semua tentang kita, Ga. Besok kamu sudah menikah dan tidak pantas laki-laki yang sudah beristri masih menyimpan perasaan cinta pada wanita lain.” Clara menatap manik yang berurai air mata itu dengan pedih, mau bagaimana lagi? Memang Clara bisa apa?
Arga sontak menggeleng cepat, mengangkat tangan Clara dalam genggamannya dan mengecup lembut telapak tangan itu. Tampak Arga begitu terpukul, syok dan entah apa lagi. Clara bisa melihat semua itu dari paras laki-laki yang sudah hampir tiga tahun dikenalnya ini.
“Tidak, Ra! Di hatiku cuma ada kamu, aku cuma cinta kamu dan tidak ada satu pun orang di dunia ini yang mampu melarangku untuk tidak mencintaimu, memaksaku membunuh cintaku padamu, tidak ada yang bisa!”
Hati Clara mencelos, hari ini harusnya Arga berada di rumah. Ada serentetan acara untuk pernikahannya besok pagi, dan nyatanya sekarang dia malah duduk berdua bersama Clara dalam mobilnya, terparkir di sebuah taman dengan kaca sedikit dibuka, membicarakan hal yang sebenarnya sudah tidak perlu dibicarakan lagi.
“Yang berhak atas kamu adalah isterimu, Ga. Bukan aku.” Clara masih mencoba tegar, masih mencoba kuat walaupun dia sendiri hancur, dia sendiri rapuh dan terluka atas takdir yang begitu kejam memisahkan dia dari kekasihnya ini.
“Ra, please! Kita tetap seperti ini, ku mohon!”
Clara sontak terkejut. Tetap seperti ini? Seperti ini yang bagaimana? Arga ingin Clara menjadi wanita simpanan Arga? Menjadi kekasih gelap dari laki-laki yang sudah beristri? Yang benar saja!
Clara sontak menggeleng, membuat Arga menatap nanar wanita cantik dengan lesung pipit yang begitu manis itu. “Nggak, aku nggak bisa, Ga. Lebih baik kita-.”
“NGGAK!” potong Arga keras, “Sampai kapanpun kamu tetap jadi milikku, Ra! Sampai kapanpun!”
Clara membeku, menatap Arga yang wajah dan matanya nampak memerah itu. Tetap jadi miliknya? Kenapa Arga begitu egois? Bisa habis Clara kalau sampai keluarga Arga dan isterinya tahu perihal hubungan antara mereka! Clara bukan siapa-siapa, dan kalau harus melawan orang-orang itu, tentu Clara tidak akan bisa.
“Ga, ini nggak benar!” Clara mencoba menolak, mencoba berpikir jernih dan waras menghadapi masalahnya ini.
Pacarnya direbut, dipaksa menikah dengan wanita lain oleh orang tuanya. Clara memang hancur, tapi itu tidak lantas membuat Clara harus kehilangan akal sehat dengan setuju pada kemauan Arga. Semua itu tidak benar!
“Mereka memaksaku menikahi wanita yang tidak aku cintai, apakah itu benar, Ra?” suara Arga meninggi, wajahnya merah padam, membuat rasa takut itu sedikit mencengkeram hati Clara.
“Tapi mereka orang tuamu, mereka ingin yang terbaik buat kamu, Ga.”
Kini Arga melepaskan genggaman tangan mereka, menggeleng cepat dan menyandarkan tubuhnya di jok mobil. Clara bisa melihat dengan jelas air mata itu menitik membasahi pipi laki-laki itu, membuat air matanya ikut menitik.
Bukan salah Clara kalau dia tidak lahir dari sperma dan rahim seorang dokter. Kalau bisa meminta, dia juga ingin seperti sejawatnya yang berasal dari golongan darah biru! Dia ingin punya privilege sepanjang pendidikan dan kariernya, tapi apa ada? Tuhan menakdirkan Clara dari sperma dan rahim pasangan suami-isteri yang biasa-biasa saja. Hal yang kemudian membuat kekasihnya harus dipaksa menikahi gadis pilihan orang tuanya.
“Mereka hanya ingin yang terbaik untuk finansial mereka, Ra. Ini semua cuma pernikahan bisnis.” desis Arga lirih.
Clara membisu, memang Clara harus bilang apa lagi? Tidak perlu Arga jelaskan, Clara sudah tahu semua itu. Sudah mengerti apa alasan orang tua dari sang kekasih menjodohkan Arga dengan wanita lain. Rasanya semuanya sudah cukup dan Clara harus tahu diri. Dia tidak diinginkan dan oleh karena itu dia harus segera pergi. Membiarkan Arga menjalani kehidupan barunya.
“Tolong, aku harap ini terakhir kali kita bertemu, Ga. Aku tidak ingin menyakiti isterimu.” Clara memaksakan diri tersenyum, membuka seat belt-nya lalu melangkah turun. Diam-diam dia sudah pesan ojek online, sang driver tampak mencari dirinya, membuat Clara cepat-cepat melangkah naik dalam boncengan motor matic berwarna hitam itu.
Arga terpekur di tempatnya duduk, memandangi gadisnya pergi dengan membonceng motor tanpa menoleh lagi ke arahnya. Terakhir kalinya mereka bertemu? Arga tersenyum sinis, jangan harap Arga akan mengabulkan permintaan itu, karena dia akan melakukan apapun agar tetap bisa memiliki gadis yang begitu ia cintai itu.
“Kau tidak akan bisa kemana-mana Clarabella Sutomo, tidak akan bisa!”
Arga tidak peduli dengan perubahan statusnya esok pagi. Dia tidak peduli dengan wanita yang besok akan duduk bersamanya di depan penghulu. Arga memang akan melakukan semua itu, hanya demi membuat kedua orang tuanya senang. Dan apa yang akan Arga lakukan kemudian, adalah bayaran atas apa yang sudah Arga lakukan demi menyenangkan kedua orang tuanya.
“Kau pikir bisa lari dariku? Aku hanya ingin kamu, Ra. Dan aku tidak akan pernah biarkan laki-laki lain memilikimu.” Suara Arga begitu dingin, sedingin angin malam yang membelainya dalam kesendirian.
“Jika kedua orang tuaku bisa memaksaku melakukan apa yang mereka mau, maka aku pun bisa memaksamu untuk melakukan apa yang aku mau, Ra.”
Clara menjatuhkan diri ke atas kasur. Air matanya masih menganak sungai sejak dia masih di mobil Arga tadi. Sebuah takdir yang begitu epic, bukan?Banyak mimpi yang sudah Clara rajut bersama Arga selama ini. Tentang jenjang karier mereka di masa depan, keluarga kecil yang begitu mereka idamkan, dan sekarang? Semua musnah, hancur oleh kenyataan bahwa sang kekasih yang selama ini menjadi teman suka-duka berjuangnya sudah dijodohkan dengan gadis lain oleh orang tuanya.“Ikhlas, Ra! Ikhlas!” Clara bangkit, duduk di atas kasurnya dan mencoba menenangkan diri.Siapa yang tidak hancur? Siapa yang tidak syok dan terpukul jika kisah yang selama ini dirajut harus kandas seperti ini?Clara menghela nafas panjang, berusaha tetap kuat meskipun saat ini dia hancur. Clara sudah bertekad bahwa mulai hari ini hubungan dia dengan sosok Arga Yoga Saputra sudah berakhir. Apapun itu tidak ada lagi hubungan yang terjalin di antara mereka, kecuali hubungan
Ketika bibir itu terlepas dari bibirnya, Clara sampai lupa akan niatnya untuk berteriak minta tolong. Dia sudah terlanjur lemas, hampir kehabisan oksigen sepanjang bibir itu melumat bibirnya tanpa ampun. Terlebih sakit yang teramat sangat di organ intimnya itu membuat Clara lupa tentang perlawaannya. Semua sudah terjadi, entah siapa laki-laki yang berhasil merusak dan mengagahinya malam ini, dia tidak tahu.Namun jika dilihat dari betapa manis ciuman bibir beraroma alkohol itu ... betapa besar dan kokoh lengan laki-laki yang kini tengah memacu tubunya, Clara langsung teringat pada seseorang. Tapi apakah mungkin?“A-Arga ...,” rintih Clara lirih, apakah mungkin mantan kekasihnya yang memperkosa dia malam ini? Tapi bukankah dia seharusnya menikmati malam ini bersama isterinya, bukan malam memaksakan kehendaknya pada Clara seperti ini?“Ah ... ya Sayang, ini aku!”Suara itu!Clara sontak membelalakkan matanya, namun hanya seben
Clara melepas handscoon dan nurse cap-nya, sepanjang operasi tadi ingatan Clara malah kembali pada malam yang kemudian menjebak Clara dalam hubungan terlarang dengan mantan kekasihnya itu. Hubungan yang sudah berlangsung hampir dua tahun.Sejak malam itu, Clara dipaksa dan lebih tepatnya lagi terpaksa pindah ke sebuah apartemen yang Arga belikan untuknya lengkap dengan sebuah mobil. Di sanalah dosa itu terus mereka lakukan. Arga datang kapanpun dia mau tanpa bisa Clara tolak, bahkan jangan lupakan bahwa Clara bisa lanjut pendidikan spesialis ini karena uang dari Arga juga yang per tahun kemarin sudah lulus dari pendidikan spesialisnya.“Ra, mau kemana setelah ini?”Clara menoleh, menatap chief residen bedah berwajah agak kebule-bulean itu tersenyum setelah melepas maskernya. Namanya Adrian, berdarah Jerman karena ibunya adalah orang Jerman, sedangkan sang ayah Indonesia asli.“Pulang, Dok. Rasanya capek banget.” J
Clara mencengkeram kuat-kuat sprei dan bantalnya, kalau boleh jujur, selama dua tahun menjadi pelayan Arga, tidak selalu Clara mencapai klimaks-nya ketika disentuh Arga seperti ini. Bukan karena Arga tidak pandai foreplay guna memanaskan dirinya, tetapi karena perasaan bersalah dan berdosa yang Clara miliki pada isteri dari laki-laki yang tengah menindih tubuhnya malam ini yang membuat Clara begitu tertekan dan hanya setengah hati dan tidak menikmati pergumulan mereka.Beberapa menit berlalu, Clara dapat merasakan tubuh Arga menegang, deru nafas Arga makin memburu. Dia sudah hampir sampai, bukan? Agaknya pelayanan Clara malam ini begitu memuaskan sosok itu, terbukti dengan ekspresi sensual yang Arga tunjukkan.Clara memejamkan matanya erat-erat, dan tidak perlu waktu lama ia merasakan cairan hangat itu menyembur dan memenuhi rahimnya. Arga memekik keras, mengeram panjang dengan nafas tersenggal-senggal, mendekatkan bibirnya di telinga Clara dan berbisik dengan
Clara menyingkirkan lengan kokoh itu dari atas tubuhnya. Tampak wajah itu begitu pulas tertidur. Agaknya pelayanan Clara semalam sangat memuaskan dirinya. Terbukti laki-laki itu sekarang tidur begitu pulas macam bayi baru lahir.Clara berusaha bangkit, pangkal pahanya terasa begitu pedih. Bagaimana tidak? Arga tidak hanya minta satu kali, entah berapa kali semalam ia harus menjadi budak pemuas laki-laki itu, Clara sampai tidak mau menghitungnya.“Ga, kamu nggak pulang?” sekali lagi sebuah bahasa pengusiran, kalau Arga mau sedikit saja sadar diri, namun Arga terkesan masa bodoh dan tidak peduli.Tubuh itu tidak bereaksi, membuat Clara lantas mengguncang lengan kokoh itu agar mau bangun dan segera pulang. Sebodoh amat apartemen ini dia yang membelikan, toh Clara tidak meminta Arga membelikan dia apartemen, bukan?“Ga ... ini sudah pagi, kamu tidak pulang?” kembali hal itu yang Clara tanyakan. Kali ini lebih keras dan dengan guncangan
Clara melangkah ke kantin, baru beberapa langkah masuk, matanya menatap sosok itu duduk bersama beberapa sejawat di sebuah meja. Matanya menatap Clara, Clara pun sama menatap mata itu lantas masuk ke dalam tanpa berkata-kata. Memang begini kamuflase mereka, ketika di rumah sakit, mereka sama sekali tidak berinteraksi. Beradu pandang pun hanya sebentar, lalu fokus pada kegiatan masing-masing tanpa saling bertegur sapa. Tidak heran sampai sekarang tidak ada satu pun orang yang tahu bangkai apa yang mereka sembunyikan selama ini. Tidak dengan dokter Indira sekalipun. “Boleh gabung di sini?” tanya Clara ramah pada beberapa anak koas, lebih tepatnya koas perempuan karena sosok itu meskipun terlihat cuek, selalu mengamati gerak-gerik Clara dengan detail. “Oh iya boleh, Dokter.” Mereka kompak tersenyum, beberapa menggeser duduknya, memberi tempat untuk residen anestesi itu duduk di bangku kantin. “Kok sendirian, Dok?” tanya salah seorang mereka yang langsung
Morgan Alvaro, pengusaha importir mobil mewah itu sontak langsung keluar dari mobilnya begitu mobil yang dia hantam terseret dan menabrak water separator. Emosinya membuncah, bagaimana tidak? Mobil mini berwarna merah itu nekat melaju meskipun lampu sudah berubah merah, yang mana membuat Ferrari 488 Pista-nya ringsek di bagian depan.“Woy, turun lu!” Morgan tidak peduli dengan klakson-klakson yang ditekan efek ia menghentikan Ferrari-nya di tengah jalan, yang ia pedulikan hanyalah menghajar orang yang sudah membuat mobil kesayangannya itu ringsek.Morgan tertegun ketika mendapati seorang wanita yang menjadi sopir mobil itu terkulai tidak sadarkan diri di jok kemudi, hal yang membuat dia lantas panik dan berteriak pada beberapa polisi yang mendekat ke arahnya.“Pak, tolongin itu yang di dalam pingsan, Pak!” Morgan lupa pada amarahnya, fokusnya pada wajah cantik dengan darah segar yang mengucur dari dahinya, Morgan benar-benar pani
Arga turun dari taxi online yang dia pesan, dengan tubuh sempoyongan dia menerjang pintu depan rumah mewah hadiah dari mertuanya. Melesat naik ke lantai atas di mana kamarnya berada. Yang harus dia temui sekarang ini adalah sang isteri.BRAKKPintu kamar itu terhempas, menampakkan Indira yang tengah menyusut air matanya. Wanita itu menoleh, menatap Arga dengan wajah kaku berhias linangan air mata.“Oh ... kau pulang juga rupanya?” tanya Indira sambil tersenyum sinis.Arga kembali membanting pintu, membuat pintu itu tertutup rapat seketika. Dengan sisa-sisa kesadarannya ia melangkah mendekati sang isteri, menatapnya dengan tatapan tajam.“Jangan pernah kau campuri urusanku, In! Bukankah sudah berulang kali aku peringatkan?” ancam Arga sambil melotot tajam.Tawa Indira pecah, ia balas menatap tajam sorot mata sang suami.“Aku sudah cukup muak, Mas!” desis Indira pelan, “Sudah saatnya ak