Share

BAB 2

Clara menjatuhkan diri ke atas kasur. Air matanya masih menganak sungai sejak dia masih di mobil Arga tadi. Sebuah takdir yang begitu epic, bukan?

Banyak mimpi yang sudah Clara rajut bersama Arga selama ini. Tentang jenjang karier mereka di masa depan, keluarga kecil yang begitu mereka idamkan, dan sekarang? Semua musnah, hancur oleh kenyataan bahwa sang kekasih yang selama ini menjadi teman suka-duka berjuangnya sudah dijodohkan dengan gadis lain oleh orang tuanya.

“Ikhlas, Ra! Ikhlas!” Clara bangkit, duduk di atas kasurnya dan mencoba menenangkan diri.

Siapa yang tidak hancur? Siapa yang tidak syok dan terpukul jika kisah yang selama ini dirajut harus kandas seperti ini?

Clara menghela nafas panjang, berusaha tetap kuat meskipun saat ini dia hancur. Clara sudah bertekad bahwa mulai hari ini hubungan dia dengan sosok Arga Yoga Saputra sudah berakhir. Apapun itu tidak ada lagi hubungan yang terjalin di antara mereka, kecuali hubungan kerja hanya demi profesionalitas. Selebihnya, mereka bukan siapa-siapa.

“Kamu akan dapat yang lebih baik, Ra! Percayalah!”

***

Suasana ballroom hotel bintang lima itu begitu luar biasa ramai dan megah. Para tamu undangan pun tidak berasal dari kalangan biasa. Hampir semuanya dokter dan beberapa tamu undangan adalah direktur utama beberapa rumah sakit di pulau Jawa. Menandakan bawah sejoli yang pagi tadi sudah sah dan resmi menyandang status sebagai suami-isteri itu bukan lah orang sembarangan.

Arga Yoga Saputra, sosok dengan tinggi 178cm dan berkulit sawo matang itu tampak begitu gagah dengan beskap warna putih yang dikenakannya. Residen kardiologi itu resmi meminang anak dari pasangan dokter spesialis senior yang juga merupakan seorang dokter yang tengah menjalani pendidikan spesialisasinya.

Darah biru bertemu darah biru. Inilah yang sekarang terhambar di ballroom dengan dekorasi super mewah dan meriah itu.

Jika semua tamu fokus pada dekorasi dan detail mewah pada pernikahan Arga dan Indira, makan tidak dengan Arga. Dia malah fokus mencari sesorang yang sore kemarin meninggalkan dia seorang diri di taman. Kemana dia? Arga sudah mengirimkan undangan kepadanya, seharusnya dia datang!

“Cari siapa?”

Arga tersentak, ia menoleh dan mendapati perempuan yang perhari ini sudah menjadi isterinya itu dengan sebuah senyum yang dipaksakan.

“Teman.” Jawabnya seperlunya.

“Mantan pacar?” tanya Indira yang nampak begitu penasaran.

“Apa perlu mu tahu?” balas Arga sengit.

Indira menghela nafas panjang, ia tahu bahwa laki-laki ini terpaksa menikahinya hari ini. Semua ini adalah ide dari orang tua mereka. Walaupun jujur Indira bahagia dengan pernikahannya, ia sudah lama jatuh hati pada sosok ini.

“Sekarang aku isterimu,” bisik Indira tegas dan lirih.

Arga menoleh menatap wanita itu dengan tatapan tidak suka, jadi belum ada dua puluh empat jam menikah Indira sudah mulai mendominasi di sini? Tidak bisa dibiarkan!

“Rasanya setelah ini kita perlu bicara banyak hal, perlu menyetujui banyak hal yang salah satu di antara adalah jangan suka mencapuri urusan pribadiku!”

***

Arga yang sudah berganti piyama itu nampak gelisah dengan ponsel yang ada di tangannya. Sejak tadi dia berusaha menghubungi nomor itu, namun tidak berhasil. Nihil! Dia tidak tampak sepanjang resepsi pernikahan Arga tadi, lantas dia ke mana?

Sekali lagi nomor milik Clara sama sekali tidak bisa dihubungi, membuat Arga benar-benar kesal dan marah. Ia menjatuhkan diri di atas tempat tidur dan membanting ponselnya ke samping. Tepat di saat yang sama pintu kamar mandi hotel itu terbuka, nampak Indira keluar dengan rambut setengah basah dan gaun tidur dari bahan satin yang tampak begitu pas dan membentuk lekuk tubuhnya.

Arga mengumpat dalam hati, perempuan itu seperti sengaja menggoda dirinya, sengaja memancing Arga agar melakukan sesuatu bersama nya malam ini, hal yang seharusnya memang dilakukan oleh sepasang suami-isteri setelah resmi menikah, ya ... malam pertama.

“Maaf kalau malam ini kamu harus berbagi tempat tidur dengan ku.” gumam Indira sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

“Huh, memang siapa yang mau tidur bersamamu? Aku tidur di sofa, kamu tidur saja di kasur!” Arga bangkit dan meraih ponselnya, berpindah dari kasur kamar eksekutif itu dan berpindah ke sofa. Mengabaikan Indira yang tampak begitu terkejut dan syok dengan apa yang barusan keluar dari mulut Arga, tentang bagaimana reaksi Arga terhadap kode yang dilayangkan olehnya barusan.

“Mas!” Indira melempar handuknya ke meja, melangkah mendekati Arga dan duduk di samping suaminya itu.

Arga menoleh, menatap tajam ke arah perempuan yang tadi dia kecup dengan begitu mesra dahinya selepas mengucapkan ijab qobul.

“Apa? Kamu yang mau tidur di sini? Tidak masalah, kalau begitu a-.”

Indira menarik dengan kasar tangan Arga, membuat Arga lantas mengibaskan tangan yang mencekal tangannya, menatap tajam manik mata yang mulai memerah itu.

“Kita perlu bicara!” sergah Indira yang nampak habis kesabaran.

“Ya, bicara saja!” Arga tampak tidak peduli, menyandarkan tubuhnya di sofa sambil memijit kening.

“Kita sudah menikah, aku isterimu, dan ki-.”

Please, tidak perlu kamu jelaskan lagi, aku sudah tahu!” potong Arga jemu.

Indira tercekat, sorot mata dan nada bicara itu sudah menjelaskan semuanya. Menjelaskan bahwa laki-laki ini sebenarnya tidak ada tempat sedikitpun di hati Arga untuk dirinya. Laki-laki yang sudah berstatus sebagai suaminya itu sama sekali tidak mencintai dirinya!

“Kamu masih mencintai dirinya?” tanya suara itu lirih.

“Ya!”

Sebuah jawaban singkat dan padat yang mampu membuat Indira melonjak terkejut. Matanya memanas. Sungguh sebuah pernikahan yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam bayangan Indira akan sedemikian pahit macam ini. Suaminya berterus terang perihal perasaan cintanya pada wanita lain?

“Siapa dia?” tanya Indira dengan tangis tertahan.

“Bukan urusanmu!” Arga bangkit, melangkah menuju pintu dan hendak menekan knop pintu, ia membalikkan badannya dan menatap Indira yang nampak menundukkan wajahnya.”Mau bilang ke mama papa? Silahkan. Aku akan berterima kasih kalau kemudian kita bercerai, In.”

Arga tersenyum sinis, menekan knop pintu lalu melangkah keluar dari kamar hotel itu.

***

Indira menatap pemandangan dari jendela kamar hotelnya. Hatinya pedih teringat obrolan apa yang baru saja terjadi antara dia dan sang suami. Tentang apa yang terjadi di malam yang seharusnya menjadi malam spesial untuk mereka berdua.

“Nikah nggak selamanya indah ternyata,” desis Indira dengan hati pedih, ia menyeka air mata yang menitik di pipinya itu.

Sia-sia sudah dia mempersiapkan diri separipurna mungkin untuk malam ini. Sia-sia sudah baju tidur berbahan satin yang ia beli dari Paris langsung melalui e-commers yang kini membungkus tubuhnya, semua tidak berarti.

Arga sendiri malah entah di mana Indira tidak tahu, padahal harusnya malam ini mereak mengarungi indah dan nikmat surga dunia itu berdua dengan halal selepas menikah tadi. Namun sayang, itu hanyalah ekspektasi Indira yang terlampau tinggi, karena realitanya tidak seindah yang Indira bayangkan.

“Siapa wanita itu? Kenapa bukan aku yang kamu cintai?” kembali air mata Indira menitik, sungguh hatinya begitu pedih.

Indira menyeka air matanya, melirik ponsel yang tergeletak di nakas yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Sudah pukul sebelas malam! Tidak ada tanda-tanda suaminya itu kembali ke kamar mereka, membuat Indira menghela nafas panjang dan melangkah menuju ranjang, ia merebahkan tubuhnya, menarik selimut dan menutupi separuh tubuhnya dengan selimut.

Malam ini, seharusnya jadi malam paling bersejarah dalam hidup Indira, namun apa daya, takdirnya tidak seindah apa yang ada dalam bayangannya. Menikahi laki-laki yang dia cintai ternyata tidak serta merta membuat dia bahagia. Sepertinya memang benar, seharusnya dia menikahi orang yang mencintai dirinya, bukan orang yang dia cintai.

***

Clara mengerjapkan matanya, ia seperti mendengar suara pintu diketuk, tapi siapa? Clara bangkit, melangkah keluar dari kamarnya guna menuju pintu. Ia merapikan rambutnya yang berantakan. Memutar kunci dan membuka pintu guna melihat siapa yang tengah malam begini mengetuk pintu rumah kontrakannya?

Clara belum sepenuhnya menangkap bayangan sosok itu ketika kemudian tangan kekar dan besar itu membekap mulutnya, menutup dan mengunci pintu rumah lantas menyeret Clara masuk ke dalam kamar.

‘Ya Allah, siapa dia? Apa yang hendak dia lakukan?’ rasanya Clara ingin menjerit sekencang-kencangnya, namun sayang bekapan tangan itu begitu kuat, membuat ia bahkan hampir kesulitan bernafas. Efek lampu kamar yang selalu dia matikan membuat Clara masih belum bisa melihat dengan jelas siapa yang membekap mulutnya ini.

Bau alkohol menguar, membuat perut Clara mual. Lelaki itu menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, saat tangan yang membekap mulutnya itu lepas, Clara ingin berteriak, namun sayang dia kalah cepat dnegan benda kenyal yang membungkap mulutnya. Bedan kenyal dan basah dan beraroma alkohol yang begitu mual.

Laki-laki itu dengan begitu beringas melumat bibir Clara, menyesap bibir itu dengan penuh nafsu, sebuah tindakan yang membuat Clara teringat akan seseorang. Ya ... ciuman ini seperti ... Clara berusaha melepaskan diri, namun sayang dia kalah tenaga. Ia tetap tidak bisa melakuka apa-apa ketika tangan-tangan besar dan kokoh itu bergerilya kemana-mana, menyentuh titik-titik sensitif Clara yang sukses membuat dokter cantik itu meremang dan menggeliat seketika.

‘Please, lepas!’ Clara mencoba bersuara, namun bibir itu tidak memberi Clara kesempatan sama sekali hingga kemudian, Clara merasakan pakaiannya sudah tanggal semua dari tubuhnya.

‘Tidak! Jangan!’

Sia-sia sudah semuanya, perlawan Clara tidak membuahkan hasil. Bibir itu dengan beringas masih menguasai bibirnya, tangan Clara yang memukul-mukul lengan kokoh yang masih terbungkus jaket itu makin menjadi-jadi ketika Clara merasakan benda besar dan hangat itu memaksa masuk ke dalam inti tubuhnya.

‘Jjjjaaangggaaann!’

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Putri
wau gejolak nikmat bercampur sakit
goodnovel comment avatar
irwin rogate
kacau benar situasinya
goodnovel comment avatar
Bumi
WAH PARAH IH.SIAPA AGRA?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status