Diva keluar dari lift dan berjalan di lobi dengan pikiran yang berkecamuk. Kata maaf ini sangat menakutkan untuk Diva. Memikirkan hal itu, membuat Diva sangat kesal. “Hei Div!” Seseorang menepuk pundaknya dan membuat Diva sangat terkejut nyaris berteriak karenanya “Maaf!” Reni muncul di hadapan Diva. “Ah, kamu ini hampir saja aku teriak.” Diva berkata dengan menghela napasnya. “Kamu jalan bengong gitu, kayak orang banyak pikiran aja!” Reni berkata santai padanya. “Belum pulang Ren?” tanya Diva heran, karena Reni adalah orang yang paling duluan keluar dari ruangan mereka saat itu. “Belum, Aku lagi nungguin adikku yang katanya mau jemput aku, tadi bilangnya dia sudah di bawah ternyata dia bohong!” Reni menggerutu. “Eh, tadi aku ketemu sama pacarnya Winda! Ganteng loh, sepertinya dia orang kaya.” Reni memulai gosip dengan Diva. “Iya, tadi dia bilang emang dijemput sama pacarnya, pacarnya itu sedang nungguin dia di lobby." Diva menanggapi ucapan Reni barusan. "Terus, kamu udah kenal
Reni dan Diva mengawasi dari tempat mereka untuk melihat interaksi antara Deska dan Elvan yang cukup serius, lalu tiba-tiba saja wajah Deska berubah menjadi cerah. “Terima kasih banyak Pak Elvan sudah mau membantu kami. Saya tidak tahu bagaimana cara membalas budi ini.” Deska berkata pada Elvan. Gelombang Ssara Deska terdengar sampai ke telinga keduanya. Reni dan Diva saling lempar pandang. Setelah mengatakan hal itu, Deska berjalan dengan cepat keluar gedung ini. Sedangkan mereka berdua harus diam di tempat karena sesaat setelahnya Elvan melihat keduanya dengan tatapan yang cukup tajam. Pria itu berjalan mendekati Reni dan Diva. “Div, mati kita!” Reni berseru dengan suara berbisik dan pandangan yang menunduk sedangkan Diva, dia hanya diam dan malah membalas tatapan tajam Pria itu. “Kalian belum pulang?” Datar seperti biasa Elvan berbicara. “Be-belum, Pak, saya sedang menunggu jemputan.” Reni menjawab dengan nada takut-takut. “Kalau kamu?” tanya Elvan pada Diva. “Saya juga sam
Diva benar-benar terkejut dengan tindakan Elvan barusan. “Van, lepasin nanti diliatin orang, hei!” Diva berkata dengan nada panik. “Tidak ada orang lagi, aku sudah melihat sekitar.” Elvan berkata dengan tegas. “Kamu … lepasin dulu.” Diva masih berontak saat ada di dalam lift. “Tidak, kalau aku lepas nanti kamu kabur.” Elvan berkata datar. “Mana mungkin aku kabur dari tempat tertutup ini!” Diva berseru. Elvan menggelengkan kepalanya. Diva hanya bisa pasrah. Saat melewati koridor ke ruangan Elvan, semua sudah nampak sepi, tidak ada satupun orang yang tersisa termasuk Dania. “Sudah cepetan ambil apa yang kamu bilang penting tadi.” Diva berkata dengan suara panik. Bukan apa-apa dalam keadaan sepi seperti ini dan mereka hanya berdua saja, pikiran Diva sudah melayang kemana-mana. Elvan lalu membuka filling kabinet yang ada di belakang meja kerjanya, Dia melihat Diva yang cukup gelisah terlihat lucu. “Diva, kamu tenang saja, aku tidak akan berbuat hal yang tidak masuk akal di sini.”
Anggala mengendarai kendaraannya membelah jalanan dengan cukup kencang. Marissa, wanita itu mengajaknya untuk bertemu di sebuah komplek pergudangan di pinggiran kota, dia mengatakan bahwa tempat itu cukup jauh dari keramaian, hal itu juga untuk berjaga-jaga setelah mempertimbangkan kemungkinan untuk bertemu orang yang mengenali dirinya, Anggala berpikir ini pilihan yang tepat, daripada mereka harus bertemu di area publik yang terbuka. “Apa kamu sudah sampai?” tanya Anggala dalam panggilan teleponnya, dia melirik jam yang ada di dasboard, pria itu sadar saat ini sudah lebih dari sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan. “Ya, tentu saja, aku orang yang tepat waktu. Kira-kira berapa lama lagi aku akan menunggumu? Kalau tidak, aku akan membatalkan tawaran menarikku ini.” Suara Marissa terdengar tenang. “Dalam 15 menit lagi.” Anggala menjawab seadanya. “Baiklah, lebih dari itu, tawaran menarikku ini tidak akan berlaku lagi.” Dia cukup yakin Anggala memang sangat perlu aliansi sekarang
Diva merasa bahwa Elvan benar-benar sudah melakukan banyak hal untuknya, mulai dari hal kecil sampai hal yang tidak terduga. Bahkan saat ini tidak hanya untuk dirinya tapi juga untuk keluarganya. Genggaman tangan Elvan juga membuat Diva merasa kalau saat ini dia sangat dilindungi. “Van, terima kasih.” Suara Diva terdengar rendah. “Tidak perlu sungkan, aku sangat bisa diandalkan, kamu tenang saja, Hehm?” “Aku … tidak tahu apa yang harus aku katakan lagi, aku tidak menyangka kalau Ratri setidaknya bisa mendapatkan keadilan.” Diva memandang lurus ke depan, menghela napas berat. “Ratri itu, anak yang baik, dia dulu pernah mengikuti ajang kecantikan setelah tamat sekolah menengah. Saat itu aku menganggapnya sangat beruntung, karena selain dia dianugerahi tubuh yang bagus, wajah yang cantik dan juga kecerdasan yang ada di atas rata-rata dia juga mewakili negara dalam ajang kecantikan tersebut. Walaupun dia tidak membawa predikat juara, setidaknya dia merupakan runner up ketiga di acara
Elvan mendapatkan tatapan tajam dari Diva. Wanita ini sangat kesal karena Elvan dengan sangat mudah mengatakan hal seperti ini. Nada yang tidak serius dan terdengar main-main ini membuat Diva merasa kalau dia seperti sedang mempermainkan ucapan sakral itu. “Van, bisa tidak bicara yang seperti ini di kondisi yang tepat dan jangan dengan bercanda.” Diva berkata dengan nada datar dan serius. Elvan diam, dia sadar sepertinya ucapannya barusan membuat wanita ini marah. “Maaf, tapi aku juga sebenarnya tidak sedang bercanda.” Elvan memang benar, ucapannya memang tidak bercanda, dia saat ini sedang mengeluarkan apa yang menjadi keinginannya. Akan tetapi, seperti yang dikatakan Diva, mungkin waktunya kurang tepat dan suasananya juga tidak mendukung. Ingat dengan tujuan awalnya dia mengajak Diva, Elvan segera mengesampingkan urusan pribadinya terhadap Diva. “Diva sebenarnya aku ingin membahas hal yang serius denganmu.” Elvan berkata dengan suaranya yang memang terdengar sungguh-sungguh ka
Jelas sekali rasa bahagia itu menyelimuti hati Diva, siapapun tidak mungkin, tidak makin luluh dengan perlakuan Elvan. Dia memang masih sedikit meragukan tentang ketulusan Elvan, tetapi saat seperti ini apa mungkin pria ini hanya mendekatinya karena rasa penasaran saja? Bahkan sepertinya banyak waktu yang dikerahkan oleh Elvan hanya untuk membuatnya bahagia.Namun, tiba-tiba saja Diva sadar akan satu hal dan langsung bertanya, “Kamu … bisa dapat rekam medis ini dari mana? Ini rahasia dan kamu juga bukan keluarga, harusnya kamu tidak bisa ….” Ingat kalau Elvan bukan orang biasa Diva kemudian menghela napas dan menepuk keningnya. “Aku lupa kalau kalian bisa melakukannya.” Ucapan Diva barusan membuat Elvan merasa bersalah. “Sudah kukatakan tadi padamu beberapa kali kalau aku bersalah dan aku minta maaf.” Elvan berkata dengan nada rendah. Hal ini membuat hati Dova merasa tidak tenang saat mendengat ucapan Elvan barusan. Segera Diva menetralisirnya dengan berkata, "Tidak masalah kalau i
“Aku kenapa? Aku mengatakan hal yang serius, Apa kamu tahu kalau kamu luar biasa?” Diva berkata dengan menyipitkan matanya melihat ke arah pria itu. “Roro Jonggrang kamu bilang?” Elvan mengulang ucapan Diva. Diva mengangguk cepat, “Ya tentu saja! Apa kamu baru tahu istilah hits satu ini?” Elvan tidak menjawab dia hanya menaikkan sebelah alisnya sebagai syarat kalau dia ingin tahu ceritanya. “Ini istilah kalo bos nyuruh hal yang mustahil untuk dikerjakan dalam waktu singkat, jadi kami sering mengatakan hal seperti ini. Sudah jangan terlalu memikirkannya, kamu juga tidak akan mengerti bagaimana rasanya menjadi karyawan biasa dan mengerjakan sesuatu yang besar dalam waktu mepet tetapi masib dituntut untuk tetap sempurna." Diva menjelaskan istilah itu pada Elvan. Elvan mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi Diva tahu dia tampak memikirkan sesuatu. “Kamu melamun? Mikirin apa lagi?” tanya Diva padanya. “Aku sedang memikirkan hubungannya, tapi menurutku istilahmu ini kurang tepat, kar