Melihat perkara Diva dan Nadya, seisi ruangan langsung heboh.
“Astaga, bukannya itu Diva dari departemen data analyst? Termasuk anak baru juga ‘kan dia?”
“Iya! Berani banget dia bikin ulah! Sama istri bos pula!”
“Fix, nggak lama lagi juga dia dipecat.”
Komentar demi komentar berterbangan di seluruh penjuru ruangan, tapi tidak ada satu pun yang membela Diva. Semua hanya sibuk berspekulasi nasib buruk macam apa yang menimpanya lantaran yakin bahwa Diva yang salah, terlebih karena mengingat Nadya memiliki kedudukan lebih tinggi dari wanita itu.
Menyadari betapa buruk situasinya, Diva berkata, “Istri Bapak jatuh sendiri, kenapa jadi menyalahkan saya?”
Balasan itu membuat semua orang terperangah. Sudah salah, tapi tidak mau mengaku?! Pun dia tidak salah, beraninya wanita itu secara gamblang melawan si bos?!
Dengan wajah marah, Nico membalas, “Mira jadi saksi kamu mendorong istri saya, dan kamu masih mengelak!?”
Bentakan Nico membuat Diva agak tersentak. Satu tahun berpacaran, walau tidak pernah seromantis itu, tapi pria tersebut tidak pernah bersikap kasar padanya. Sekarang, Nico malah membentaknya dan mempermalukannya di depan semua orang.
Haah … pria yang mudah dimanipulasi seperti ini, kenapa Diva bisa suka padanya dulu?
“Sayang, jangan marah-marah. Tidak enak sama semua tamu,” ucap Nadya sembari tersenyum pahit, seperti berusaha menahan tangis.
Melihat hal itu, Nico berkata dengan lembut, “Sayang, lengan kamu berdarah. Mana bisa aku diam saja kalau tahu penjahatnya siapa!” Pria itu melemparkan pandangan mematikan kepada Diva.
Alis Diva tertaut. “Saya tidak bersalah! Kalau ingin menyalahkan seseorang, salahkan istri Anda tidak berhati-hati!”
“Sudah sejauh ini, kamu masih ingin berbohong?!” tukas Nico. “Memang benar kata ibuku, ‘kelas’ bisa menunjukkan perangai seseorang! Dan kamu! Hanya wanita kelas rendah!”
Wajah Diva langsung pucat mendengar hal itu. Hatinya sakit, dan matanya agak berkaca-kaca, benar-benar bukan Nico yang selama ini dia kenal.
“Cepat panggil keamanan!” Nico berkata dengan kilatan kemarahan.
Tidak lama, petugas keamanan pun datang. “Hadir, Pak!”
“Seret wanita ini keluar!” titah Nico dengan keji.
Melirik Diva, petugas keamanan langsung menjulurkan tangan untuk mencekalnya. Akan tetapi, tepat sebelum tangan petugas keamanan menyentuh Diva, sebuah tangan lain langsung menghentikannya!
“Sekali kamu menyentuhnya, maka jangan salahkan aku mematahkan tanganmu!”
Terkejut, semua orang pun menoleh ke arah pemilik suara, mencari tahu siapa yang berani menghadang petugas keamanan yang diperintahkan Nico.
Namun, begitu melihat sosok yang membelanya, Diva langsung terperangah. “Elvan ….”
*Beberapa saat sebelumnya*
Di lorong kantor Tekno in Tower, terlihat seorang pria bertubuh tegap dengan jas hitam dan kemeja putih membalut tubuhnya, tengah berjalan beriringan dengan sekretaris pribadinya. Semua orang yang dia lewati membungkuk hormat, menunjukkan posisinya yang tinggi dan dihormati.
“Pak Elvan, nanti sore kita masih ada acara untuk menghadiri undangan pesta perayaan Nico Mahardika, apa Bapak akan hadir?” tanya Dania, sekretaris Elvan, saat mereka berjalan masuk ke ruang kerja pria itu usai sebuah meeting.
“Nico Mahardika?” Elvan mengerutkan keningnya. “Siapa?“
“Dari aplikasi ‘Keranjangku’, Pak,’ jelas Dania lagi.
“Seingatku kita tidak ada hubungan dengan ‘Keranjangku’,” balas Elvan lagi, paling tidak suka menghadiri acara ramai semacam itu.
“Ini … sebenarnya Tuan Hartono yang meminta Bapak untuk menghadirinya, menggantikan Beliau yang ada urusan penting dengan Nyonya Radiah,” jelasnya lagi.
Mendengar itu, Elvan menghela napas kasar. Dia baru ingat tentang pesan sang kakek yang mengharuskannya datang ke sebuah pesta.
“Oke, kirimkan saja alamatnya beserta detail acara, saya akan pergi sendiri untuk malam ini.”
“Baik, Pak.”
Beberapa jam setelah itu, Elvan pun pergi menuju restoran tempat pesta diadakan, Ocean Sky. Dia sengaja sampai lima belas menit lebih lambat agar tidak perlu hadir lama dalam pesta.
Melangkah masuk ke dalam ruang pesta, kehadiran Elvan langsung menarik perhatian banyak orang.
“Bukankah itu Elvan Sabil Wongso? Cucu dari Hartono Wongso, pendiri Lux Tech Group!?”
“Wah, dia tampan sekali! Persis artis!”
Komentar-komentar itu terus bertebaran, tapi Elvan tidak menggubrisnya. Matanya tengah menyapu sekeliling untuk mencari sang ‘tuan rumah’ yang mengadakan pesta agar dia bisa mengucapkan selamat dan pergi sesegera mungkin.
Namun, “misi” Elvan mendadak terhenti karena sebuah teriakan.
“Ah! Sakit sekali. Diva, kenapa kamu bersikap seperti ini!? Apa salahku padamu?!”
Mendengar nama ‘Diva’, kening Elvan langsung berkerut. Nama itu adalah nama yang beberapa waktu ini susah payah dia lupakan lantaran terus menghantui pikirannya.
Kesal, pria itu menoleh ke arah sumber suara, lalu melihat seorang wanita yang terjatuh dan juga seorang wanita lain yang berdiri dengan wajah terkejut.
Wajah wanita kedua itu adalah wajah yang sangat familier, wajah yang beberapa hari ini terus terbayang di benaknya.
Diva!
Elvan melihat bagaimana seorang pria berlari menghampiri wanita yang terjatuh di hadapan Diva. Dia mengenali pria tersebut sebagai Nico Mahadirka, pria yang mengadakan acara malam ini.
“Nadya!” teriak Nico seraya membantu istrinya berdiri. Dia kemudian menatap Diva marah. “Diva, apa yang kamu lakukan pada istri saya!?”
Bentakan yang diikuti dengan makian Nico kepada Diva langsung membuat seisi ruangan ricuh. Hal tersebut menyebabkan alis Elvan tertaut.
Sebagai orang yang telah menyelidiki sejumlah hal perihal Diva, Elvan langsung paham bahwa Nico adalah mantan kekasih yang menyelingkuhi Diva. Sedangkan Nadya, istri dari Nico, adalah sahabat baik yang mengkhianati Diva.
Namun, walau Elvan tahu mengenai semua hal ini, apa urusan permasalahan tersebut dengannya?
Tidak ingin ikut campur dalam masalah, Elvan pun hanya melipat kedua tangannya dan mendengar perdebatan panas Diva dan Nico.
“Saya tidak bersalah! Kalau ingin menyalahkan seseorang, salahkan istri Anda tidak berhati-hati!” teriak Diva dengan wajah diselimuti keyakinan.
“Sudah sejauh ini, kamu masih ingin berbohong?!” tukas Nico. “Memang benar kata ibuku, ‘kelas’ bisa menunjukkan perangai seseorang! Dan kamu! Hanya wanita kelas rendah!”
Mendengar kalimat terakhir Nico yang membuat wajah Diva berubah diselimuti ekspresi terluka, pelipis Elvan berkedut. Hatinya terasa panas dan tangannya tanpa sadar mengepal.
“Cepat panggil keamanan!” seru Nico yang kemudian mendatangkan dua petugas keamanan. “Seret wanita ini keluar!” titah Nico dengan keji.
Melihat tangan kasar petugas keamanan terjulur ke arah Diva, tubuh Elvan bergerak sendiri untuk mencengkeram lengan petugas keamanan tersebut. Hal tersebut membuat Nico terkejut dan menatap Elvan dengan wajah terkejut, langsung mengenali identitas pria tersebut.
“T-Tuan Elvan? Anda–”
Wajah Elvan tampak buruk dan diselimuti amarah mendalam. Dengan aura membunuh yang kental, pria itu berkata dengan suara dalam berbahaya, “Sekali kamu menyentuhnya, maka jangan salahkan aku mematahkan tanganmu!”
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa