Terkejut dengan siapa yang menghubunginya, Diva menautkan alisnya. Dari mana pria itu mendapatkan nomor rekening dan juga nomor teleponnya?!
Sesaat Diva kebingungan, tapi kemudian, dia mengingat latar belakang Elvan yang berkuasa dan tidak lagi heran. Dengan uang, segala hal bisa dibeli dan didapatkan, termasuk informasi pribadi seseorang.
“Kenapa kamu menghubungiku?” tanya Diva ketus.
“Aku ingin memberitahukan mengenai–”
“Imbalan atas pelecehan yang kamu lakukan?” potong Diva, masih merasa marah akan hal itu.
“Diva … aku–”
“Dengar, Tuan Elvan Wongso. Aku paham niatmu, dan aku akan menerima uang tutup mulutmu. Akan kujamin apa yang terjadi beberapa hari yang lalu menjadi rahasia. Oleh karena itu, berhenti menghubungiku … karena aku tidak ingin lagi terlibat denganmu!”
PIP!
Usai mengatakan itu, Diva memutus panggilan tanpa menunggu balasan Elvan. Dia yakin pria itu akan terus mengganggunya kalau uang tersebut tidak dia terima.
Diva terlalu paham cara bermain orang-orang kalangan atas. Sama persis seperti Nico, Farha, dan juga Nadya. Mereka mengira uang mengendalikan segalanya, dan orang kecil seperti Diva … tidak pantas untuk dipusingkan.
Di saat ini, sebuah suara mengejutkan Diva.
“Pagi, Diva!”
Sapaan itu membuat Diva menoleh, melihat wajah seorang wanita muda manis yang tersenyum ke arahnya. “Pagi, Intan,” balasnya sembari tersenyum.
Intan adalah teman terdekat Diva di kantor. Sama-sama berjuang melewati masa magang untuk menjadi pegawai tetap selama tiga bulan, ditambah dengan hobi dan kesukaan yang hampir sama, Diva dan Intan pun menjadi sangat dekat.
“Diva, Kamu tahu gak sih, katanya pesta pernikahan Pak Nico beberapa hari yang lalu sedikit kacau.”
Bisikan Intan membuat jantung Diva berhenti sesaat. Dia meletakkan ponselnya ke meja, melupakan tentang Elvan, lalu terfokus pada pembicaraannya dengan Intan.
“Oh … ya? Kok bisa?” Dia pura-pura tidak tahu, tidak ingin disangkut pautkan dengan masalah yang menurut Diva sudah lalu.
Intan menceritakan masalah yang terjadi di pernikahan Nico, bagaimana mantan pria itu datang dan menghadiahkan tikus kecil kepada kedua pengantin. Karena kaget, pengantin wanita jatuh dari panggung, diikuti dengan Nico sendiri yang berusaha menyelamatkan sang istri.
“Untung cepat diselesaikan, kalau tidak malu banget tuh pasti,” imbuh Intan mengakhiri ceritanya.
“Kamu tahu dari siapa, Tan? Seingatku nggak ada dari kita yang diundang ke acaranya, kecuali jajaran direksi?” balas Diva penasaran. Jangan-jangan ada yang mengenalinya di acara pernikahan kemarin!
“Kebetulan adikku teman dekatnya adik Pak Nico, jadi dia diundang dan lihat kejadiannya. Heboh deh pokoknya,” ucap Intan. “Apalagi istrinya Pak Nico bukan orang sembarangan. Pasti habis itu mantannya Pak Nico.”
Mendengar hal itu, Diva tersenyum kecut. ‘Ya, bukan orang sembarangan. Saking bukan sembarangannya dia bisa rebut pacar teman dekatnya sendiri!’ batinnya.
Walau Diva cukup dekat dengan Intan, tapi sesuai pesan Nico ketika mereka mulai berhubungan, tidak ada orang lain yang boleh tahu mereka berpacaran di kantor. Selaku pemimpin perusahaan, dia tidak ingin ada isu yang mengganggu nama baiknya.
‘Mengganggu nama baiknya … seharusnya sejak dia bilang itu, aku sadar dia tidak serius dengan hubungan kami,’ batin Diva dengan senyum pahit di bibir.
“Eh, eh! Cek grup sekarang!” Salah seorang teman kantor mendadak berseru keras. “Sore nanti habis balik kerja, Pak Nico ngundang kita makan-makan! Katanya mau kenalin kita ke istrinya! Lumayan nih makan enak di resto kelas atas.”
Diva yang penasaran langsung mengecek handphonenya. Benar saja, nanti akan ada acara yang sengaja dibuat oleh Nico di Restoran Ocean Sky.
“Gila, hari pertama balik dari bulan madu, langsung traktiran aja nih, Pak Bos!” ucap Intan sambil tertawa senang. Dia menatap ke arah Diva. “Kamu ikut ‘kan, Div?”
Ditanya begitu, Diva memaksakan sebuah senyum selagi menjawab, “Aku kayaknya gak ikutan deh, soalnya masih ada–”
“Ih, jangan ansos!” sahut Intan cepat. “Kamu tuh sering banget nolak ikut acara kantor! Lagian ya, jarang-jarang Pak Nico traktir kita, tahu? Dia itu kan ... pelit.” Intan tertawa setelah mengatakannya.
Nah, ternyata bukan cuma Diva saja yang berpikir Nico dan keluarganya itu pelit.
Akan tetapi, pun diiming-imingi makan gratis, Diva merasa enggan hadir di pesta itu. Bukan hanya malas bertemu mantan, tapi bisa-bisa kalau ketemu Nadya, wanita itu malah akan cari masalah dengannya.
Nggak cuma itu, kalau nanti orang-orang tiba-tiba tahu fakta orang yang mengacaukan pesta pernikahan Nico dan Nadya adalah Diva, mau ditaruh mana mukanya!? Bisa jadi bahan ghibah di kantor dia. Bakalan toxic abis lingkungan kerjanya nanti.
“Pak Nico ada undang beberapa klien penting, Div. Makanannya pasti enak!” Intan lanjut membujuk.
Mendengar hal itu, Diva termenung. ‘Klien penting?’ ulangnya dalam hati.
Kalau memang Nico mengundang klien penting, seharusnya dia akan memeringati Nadya untuk tidak macam-macam dan membuat ulah. Kalau ketahuan Nico sempat memacari Diva, orang yang berasal dari kelas menengah, bisa malu juga dia.
“Udah! Jangan kebanyakan mikir! Entar pulang aku anter juga deh, ‘kan rumah kita searah!” seru Intan, sama sekali tidak tahu bahwa alasan Diva ragu adalah karena hubungannya dengan Nico dan Nadya.
Setelah berpikir matang dan terus dibujuk Intan, akhirnya Diva pun menyerah. “Oke, oke. Aku ikut,” jawabnya sambil tersenyum tak berdaya. Dalam hati, dia membatin, ‘Seharusnya, nggak akan terjadi apa-apa, ‘kan? Cuma makan biasa aja ….’
**
Saat waktu pulang kerja pun tiba, semua orang langsung berbondong-bondong pergi ke restoran Ocean Sky, tempat Nico mengadakan acara.
Ruangan restoran yang disewa sangat besar, cukup untuk menampung banyaknya karyawan yang ikut ke acara ini. Hiasan antik dan suasana megah membuat keseluruhan acara terkesan mewah dan berkelas. Sesuatu yang sangat jarang Nico sediakan mengingat sifatnya yang pelit.
‘Sepertinya, sungguh akan ada klien penting yang hadir hari ini,’ batin Diva selagi mengunyah kudapan di pojok ruangan. Intan yang tadi meminta ditemani, tampak sedang sibuk berkeliling ke sana kemari untuk mengambil makanan dari buffet yang disediakan.
“Kuharap kali ini kamu tidak mengacau.” Suara yang sangat familier itu membuat Diva membalikkan badan, menatap wanita berambut hitam panjang dengan gaun merah menyalanya yang seksi itu.
Itu Nadya.
Diva menghela napas malas, lalu membalas dengan santai, “Tenang saja, aku sudah ikhlas kamu mengambil barang bekasku.”
Mendengar Diva merujuk pada Nico demikian, Nadya memasang wajah marah. “Kita lihat saja sampai kapan kamu bisa terus sombong seperti itu!” desisnya.
Diva memutar bola matanya malas, lalu berbalik untuk menjauh dari wanita tersebut. Akan tetapi, belum ada satu langkah, suara gelas pecah memekakkan telinga.
Dengan cepat Diva menoleh, menatap Nadya yang terjatuh dengan pecahan kaca di sekelilingnya. “Ah! Sakit sekali.” Dia menatap Diva. “Diva, kenapa kamu bersikap seperti ini!? Apa salahku padamu?!”
Seruan lantang Nadya membuat setiap pasang mata di ruangan itu beralih pada Diva, menatapnya seakan dia adalah penjahat utama.
Di sisi lain, suara langkah kaki berat terdengar mendekat. “Nadya!”
Itu adalah Nico.
“Nico!” panggil Nadya saat sang suami berusaha membantunya berdiri.
Melihat sang istri yang tidak berdaya, juga air mata yang menggenang di pelupuk mata Nadya, hati Nico membara. Dia menatap Diva penuh amarah. “Diva, apa yang kamu lakukan pada istri saya!?”
“Tadi saya lihat Diva mendorong istri Bapak!” seru seorang wanita berambut pendek yang berdiri tidak jauh dari sana. Itu adalah Mira, atasan langsung Diva yang tidak suka dengan kinerja baiknya.
Mendengar tudingan yang diarahkan padanya, Diva pun memasang wajah buruk. Ternyata, ini adalah balasan Nadya atas tindakan Diva mengacaukan pernikahannya.
Tangan Diva mengepal. ‘Dia … sengaja menjadikanku tokoh antagonis acara ini?’
Melihat perkara Diva dan Nadya, seisi ruangan langsung heboh. “Astaga, bukannya itu Diva dari departemen data analyst? Termasuk anak baru juga ‘kan dia?” “Iya! Berani banget dia bikin ulah! Sama istri bos pula!” “Fix, nggak lama lagi juga dia dipecat.” Komentar demi komentar berterbangan di seluruh penjuru ruangan, tapi tidak ada satu pun yang membela Diva. Semua hanya sibuk berspekulasi nasib buruk macam apa yang menimpanya lantaran yakin bahwa Diva yang salah, terlebih karena mengingat Nadya memiliki kedudukan lebih tinggi dari wanita itu. Menyadari betapa buruk situasinya, Diva berkata, “Istri Bapak jatuh sendiri, kenapa jadi menyalahkan saya?” Balasan itu membuat semua orang terperangah. Sudah salah, tapi tidak mau mengaku?! Pun dia tidak salah, beraninya wanita itu secara gamblang melawan si bos?! Dengan wajah marah, Nico membalas, “Mira jadi saksi kamu mendorong istri saya, dan kamu masih mengelak!?” Bentakan Nico membuat Diva agak tersentak. Satu tahun berpacaran, walau
Waktu seolah berhenti saat Diva melihat sosok Elvan menjulang di hadapannya. Satu tangan pria itu mencengkeram lengan petugas keamanan, selagi yang satunya lagi memegang tangan Diva, melindunginya. “Elvan …,” panggil Diva dengan agak kaget. Mendengar suara Diva, Elvan langsung menghempaskan tangan petugas keamanan dan berbalik menatap wanita itu. “Kamu nggak apa-apa? Ada yang luka?” Diva menggeleng. “Aku nggak apa-apa ….” Walau Diva menjawab seperti itu, tapi Elvan bisa melihat tangan wanita itu memegangi pergelangan tangannya sendiri yang memerah akibat cekalan Nico tadi. Hal itu membuat pancaran mata Elvan menggelap dan dia menghadap ke arah sang pemilik pesta. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” Elvan berkata dengan nada datar, tetapi suara itu terdengar seperti lonceng kematian. Nico terlihat sangat gugup dengan ucapan Elvan barusan, apalagi tatapan mata yang menghujam ke arahnya, seolah dia sedang berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa. Otaknya berputar, bingung lanta
Di dalam mobil yang berjalan itu, Diva hanya diam. Elvan sendiri juga tidak melakukan interupsi apa pun setelah dia bertanya alamat rumah Diva, sengaja memberikan ketenangan untuk wanita yang saat ini pasti sedang memikirkan begitu banyak hal. Selagi menyetir, Elvan menghela napas dalam hati. Pria itu tidak menyangka kalau ternyata wanita yang ada di sebelahnya ini sangat bodoh, bisa-bisanya dibohongi oleh orang-orang macam Nico dan Nadya. Dan lagi, walau mungkin benar Diva mengacaukan pernikahan dua orang itu, tapi harusnya dua orang itu sadar akan kesalahan mereka yang berselingkuh di belakang Diva dan meminta maaf, bukan malah mempermalukannya di depan seluruh pegawai kantor lainnya! ‘Seperti kata Diva, harta dan pendidikan tidak menunjukkan ‘kelas’ seseorang,’ batin Elvan. “Terima kasih, Elvan.” Ucapan itu membuyarkan lamunan Elvan, membuat pria itu melirik Diva melalui ekor matanya, kemudian kembali fokus ke depan. “Untuk?” “Terima kasih karena sudah membantuku.” Diva berka
Diva terdiam sesaat, memerhatikan wajah Elvan. Pria itu memang tidak melihat ke arah Diva, tapi dia bisa merasakan ucapan Elvan ini tidak main-main. Karena Diva tidak berbicara, Elvan pun melanjutkan, “Waktu itu, aku hanya fokus dengan tujuanku saja tanpa mempertimbangkan perasaanmu.” Saat itu juga, Diva menyadari kalau Elvan sedang membahas ciuman itu. Dia memalingkan wajah ke depan, menghindar dari menatap wajah Elvan karena wajahnya mulai memerah ketika mengingat kembali momen tersebut. “Selama kamu tidak melakukan hal gila lagi, kumaafkan.” Diva berkata singkat. Sebenarnya, bukan tanpa alasan Diva merelakan ciuman pertamanya begitu saja. Akan tetapi, kalau dirinya tidak mendapatkan bantuan dari Elvan tadi di pesta, mungkin dirinya sekarang akan menjadi cemoohan sekantor dan bisa dibayangkan betapa buruknya lingkungan kerjanya nanti. Bukan hanya Nadya semakin merajalela dan Nico mempersulit pekerjaannya, tapi bisa jadi orang-orang akan terus menggunjing dan menghinanya. Membay
“Kamu kenapa?” tanya Lukman, ayah Diva, saat melihat putri keduanya itu masuk ke dalam rumah dengan wajah merona. “A-ah? Nggak apa-apa, Yah. C-capek mungkin.” Diva menjawab dengan agak terbata. “P-Prisya mana, Yah? Kok nggak keliatan?” ucapnya, mengalihkan topik. Lukman memicingkan mata, tapi kemudian mengedikkan bahunya acuh tak acuh. “Tadi keluar sebentar, bilangnya mau beli sesuatu,” jawab Lukman seiring kembali fokus pada tontonannya. Mulut Diva membentuk huruf ‘O’, tapi tidak menimpali lagi. “Ya udah, Diva ke kamar dulu ya.” “Hmm.” Seperti yang sebelumnya sudah disebutkan oleh Nico, keluarga Diva bukan dari golongan kelas atas, mereka hanya keluarga menengah saja. Ayahnya seorang PNS, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa. Diva anak kedua dari empat bersaudara. Clarisa, sang kakak pertama, sudah menikah, sedangkan Ratri, anak ketiga, tidak tinggal di rumah karena sebuah alasan. Yang terakhir, Prisya, sudah bekerja, dan menjadi saudara yang paling dekat dengan Diva
Melihat putranya mematung di tempat, baru menyadari seberapa fatal kesalahannya, Hardan pun mendengus dan berbalik. “Sudah! Papa malas bicara sama kamu,” ucapnya. “Dibandingkan bahas hal ini, lebih baik kamu cari cara memperbaiki hubunganmu dengan Elvan. Kalau perlu, suruh Nadya yang jadi dalang masalah kemarin untuk minta maaf kepada Elvan!” “Loh, kok jadi Nadya, Pa?” tanya Nico bingung. “Kan Mira yang cari masalah sama Diva dan berujung membuat kita ditegur Elvan?” Hardan mendelik. “Apa kamu bodoh!? Kamu kira tanpa dorongan dari Nadya, pegawai kamu itu berani bertindak!? Pakai otakmu!” Setelah mengatakan itu, pria itu langsung pergi meninggalkan Nico sendiri di sana. Sebelum pergi, dia memaki dengan suara rendah, “Punya anak nggak punya otak!” Mendengar ucapan Ayahnya barusan membuat Nico mengepalkan tangan. Dia berusaha memikirkan kembali ucapan ayahnyat. Memang benar, Mira selaku seorang pegawai tidak mungkin akan bertindak sampai sejauh itu kalau tidak ada yang lebih kuat di
Keesokan paginya, pagi-pagi sekali Diva sudah tiba di kantor. Sengaja dia melakukan itu untuk merapikan semua barang-barang pribadinya, memasukkannya ke dalam box besar untuk dibawa pulang. Saat baru saja selesai, mendadak Diva menerima sebuah pesan. [Sudah selesai beresin barangnya?] Melihat pesan itu, tanpa sadar Diva tersenyum. Dia mengetikkan balasan. [Sudah. Sisa ngasih surat resign.] Tak sampai dua detik, Diva mendapatkan balasan. [Mau dijemput?] Membaca kalimat itu, Diva tertawa kecil. Dia cepat memberikan balasan lagi. [Nggak usah. Memangnya CEO L Tekno nggak ada kerjaan sampai bisa asal jemput-jemput karyawan perusahaan lain?] Usai mengirimkan balasan itu, Diva menggelengkan kepala. Sungguh tidak bisa dia sangka kalau dirinya bisa berakhir saling mengirimkan pesan sesantai itu dengan bujangan paling diincar satu negara. Ya, orang yang sedari tadi saling mengirimkan pesan dengannya adalah Elvan! Sejak blokirannya dibuka, Elvan terus mengiriminya pesan. Dan karena me
Nico terlihat panik. Dia membaca sekilas surat itu dan langsung terkejut. Diva sungguh ingin mengundurkan diri! Akan tetapi, dengan situasi hubungannya dengan Elvan, Nico tidak bisa membiarkan wanita itu berhenti sebelum semua masalahnya diberikan solusi! “Diva, kenapa kamu seperti ini, kamu masih sangat dibutuhkan di sini, kamu–” “Dibutuhkan kamu bilang?” ulang Diva dengan ekspresi mencemooh. Tidak percaya omong kosong seperti itu bisa keluar dari mulut Nico. "Setelah semua yang kamu lakukan, apa kamu kira kamu bisa memanfaatkanku lagi?" tanyanya. "Konyol!" maki Diva sebelum akhirnya membalikkan badannya dan melangkah pergi. “Diva tunggu!” Nico tidak terima Diva pergi begitu saja, dia kembali mencegah Diva dengan menarik tangannya. Hal tersebut membuat Diva kehilangan keseimbangan. Menyadari hal itu, Nico dengan cepat meraih pinggang Diva agar wanita itu tidak terjatuh ke lantai. Dengan posisi yang begitu dekat, Nico bertanya, “Kamu baik-baik saja?” Mata Diva mendelik. “Lep–”