Bibir perempuan itu tak berhenti mengeluh. Ia masih saja syok dengan perintah sang atasan yang diberikan kepadanya.
“Gila, aku pasti sudah gila!” keluh Alisha berulang kali.“Bisa-bisanya orang yang kukencani, sekarang justru menjadi atasanku! Apa aku keluar saja, mumpung ini masih terlalu awal?“Dia pasti tak akan mengenaliku kan? Cih, siapa yang mengira kalau dia ternyata pria yang kejam!” gumam perempuan itu seorang diri.Beruntung tak ada orang lain di sekitarnya yang bisa mendengar gumaman Alisha. Kalau saja ada orang lain di sekitarnya, pasti apa yang ia ucapkan akan menjadi rumor dalam sekejap.“Ck, lagian bisa-bisanya dia meminta anak baru yang belum tahu kondisi kantor untuk meminta berkas?”Sudut bibir Alisha tersenyum miring.“Huh, lagipula pertemuan kalian hanyalah sebatas urusan ranjang! Memang kau tahu seperti apa pria itu hanya dengan sekali tidur dengannya?” benak Alisha penuh dengan umpatan yang ditujukan kepada sang atasan.“Aku pasti akan membuat perhitungan!” tekadnya sambil mengepalkan tangan.Akibat ulah atasan barunya itu, ia harus tersesat di lantai dua saat mencari keberadaan ruangan Departemen Media.Belum lagi, ia harus menghadapi kepala divisi Departemen Media yang mengajukan berbagai macam pertanyaan dengan wajah menyebalkan.“Jadi, kepala departemenmu meminta desain brief tanpa mau membahasnya dalam rapat lebih dulu?” tanya sang kepala Departemen Media untuk kedua kalinya.Alisha mengangguk pasrah. “Iya, Pak.Meski begitu, jawaban itu masih tak memuaskan sang kepala Departemen Media dan terus mengucapkan kalimat yang tak perlu.“Sombong sekali dia. Apa dia sudah yakin mampu menjabarkan keinginan klien?”Ingin rasanya Alisha berteriak saat itu juga. Namun, mulutnya tetap terkunci dan berdiri lesu di hadapan sang kepala Departemen Media.Ia bukanlah anak kemarin sore yang baru terjun di dunia periklanan. Apalagi dengan bekal sebelumnya sebagai Art Director.Dengan membaca desain brief yang sebelumnya sudah disusun bersama tim Client Service Departement seharusnya sudah cukup jelas untuk mengetahui keinginan klien. Apalagi tim media sudah menentukan di mana mereka mendistribusikan iklan sesuai keinginan klien.Apa pentingnya menyelenggarakan rapat untuk urusan sepele seperti itu?Ya, untuk satu hal itu, Alisha sepakat dengan sang atasan yang berpikiran rasional. Meski ia tetap saja kesal akibat harus menanggung beban untuk meminta desain brief dari tim Departemen Media.Meski pada akhirnya mereka menyerahkan juga desain brief yang nantinya akan dieksekusi oleh tim Creative Departement.‘Bisa-bisanya aku sial di hari pertama kerja!’ umpat perempuan itu ketika kembali ke lantai tiga sambil menunggu lift yang entah mengapa terasa begitu lama.Hingga selang beberapa menit kemudian, Alisha kembali ke ruangannya dengan wajah kusut. Ditambah sang atasan barunya sudah menunggu di ruang kerjanya.“Gimana, aman? Udah ditungguin Pak Damian,” ucap Rini tampak khawatir sekaligus was-was ketika Alisha muncul dari balik pintu ruangan mereka.“Aman, Mbak,” ucap Alisha datar sambil menunjukkan tumpukan dokumen di tangannya.Lantas melewati meja kerja wanita itu untuk sampai di sebuah pintu yang menghubungkan dengan ruangan Damian.Rini tampak prihatin pada Alisha yang tengah mengetuk pintu ruangan atasan baru mereka. Wanita itu mengepalkan tangan di depan dada sambil berbisik pelan.“Semangat!”Alisha hanya membalasnya dengan senyuman canggung ketika mendengar suara Damian dari dalam ruangan.“Masuk!”“Permisi, Pak. Saya membawakan desain brief yang Anda minta,” ucap Alisha sambil menundukkan wajah. Perempuan itu masih menghindari bertemu tatap dengan sang atasan.“Letakkan di meja!” perintah Damian dengan nada dingin.Menggetarkan kembali sisi-sisi dalam diri Alisha yang pernah sempat terbuai oleh suara seksi pria itu.‘Sial! Bukan saatnya memikirkan hal yang tak penting, Alisha!’ bisik perempuan itu dalam hati. Ia beringsut ke kanan setelah meletakkan dokumen yang diinginkan Damian.Sementara fokus pria itu tak teralihkan dari layar komputer di depannya. Namun, dengan cepat ia menahan Alisha yang hendak pergi dari ruangannya setelah memohon pamit.“Tunggu!” cegah Damian dengan suara beratnya.“Duduk!” perintahnya kemudian.Ragu-ragu, Alisha mengikuti perintah sang atasan. Ia tak bisa duduk tenang dan terlihat gelisah di hadapan Damian.“Angkat wajahmu!” perintah pria itu sekali lagi.Perempuan itu pasrah. Tak ada yang bisa ia lakukan sekarang selain mengangkat wajahnya. Mata mereka bersitatap dan dengan cepat Alisha memutus kontak mata di antara mereka.“Kenapa kau menghindari tatapanku?” tanya Damian tanpa basa-basi.Semakin lama, ia merasa semakin aneh dengan sikap si perempuan yang kini duduk di depannya. Tidak ada satu pun wanita yang sanggup menolak pesona pria itu.Justru mereka menghalalkan segala cara untuk menarik perhatian Damian. Tidak sedikit di antara mereka yang melemparkan tubuhnya pada Damian hanya untuk menarik perhatian sang pria.Namun, sikap Alisha seolah-olah menunjukkan bahwa perempuan itu tak ingin bersinggungan dengannya. Akibat benci atau … jijik?Ya, tampak seperti itulah arti tatapan Alisha bagi Damian. Perempuan itu seakan jijik apabila bersinggungan dengan Damian. Hal itu pula yang membuatnya merasa terganggu dan mau tak mau menanyakan langsung pada si perempuan.“Tidak. Saya tidak menghindari tatapan Anda, Pak!” jawab Alisha dengan tegas meski terkesan terburu-buru dan tanpa berpikir panjang.“Benarkah? Kalau gitu, coba tatap aku!”Permintaan Damian justru membuat Alisha semakin gelisah. Jika tatapan mereka bertemu bukan tidak mungkin pria itu akan mengenalinya sebagai perempuan yang sudah tidur dengannya.“Lihat, kau tidak berani menatapku bukan?”“Bu-bukan begitu, Pak.”“Lalu, kau jijik padaku?”Pertanyaan Damian membuat Alisha menelan ludahnya dengan kasar. Dari semua kata yang dapat dipilih kenapa justru kata jijik?!“Ji-jijik?” Alisha mengulang ucapan Damian yang membuat dirinya tercengang.‘Bagaimana bisa pria itu berpikir kalau aku menatapnya dengan … jijik?’ bisik perempuan itu dalam hati.Ketimbang jijik, Alisha justru berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengingat malam panas yang mereka lewati bersama.Biar bagaimanapun yang terjadi di antara mereka adalah yang pertama bagi Alisha dan perempuan itu tak bisa melupakannya begitu saja. Meskipun setelah kejadian tersebut, ia merasa menyesal.Untuk itulah ia tak ingin bersinggungan dengan Damian. Siapa yang menyangka jika semesta justru mempertemukan mereka di tempat ini.Lantas, bagaimana bisa Damian justru beranggapan bahwa dirinya menatap pria itu dengan pandangan jijik?Tanpa sadar, sudut bibir Alisha tersenyum sinis. Mungkin justru inilah kesempatan bagi dirinya agar bisa menjaga jarak dengan sang atasan.Tanpa pernah tahu bahwa cara yang ia gunakan hanyalah upaya bunuh diri bagi dirinya sendiri.“Ya, mungkin begitulah kesan pertama saya pada Anda, Pak. Sikap Anda memang membuat saya muak.“Anda tahu, tak ada lagi senioritas di tempat kerja saat ini. Tapi, sikap Anda seolah-olah menunjukkan bahwa Andalah yang lebih tahu segalanya ketimbang orang lain di tempat ini.“Cara Anda memerintah pun, sangat buruk hingga membuat saya bergidik ngeri!”Mulut Alisha tak berhenti mengkritik sang atasan yang kini menatapnya dengan sorot dingin. Hingga tatapan yang cukup mematikan itu, membungkam mulut Alisha untuk lagi bicara.“Apa kita pernah bertemu sebelumnya, Nona?” tanya Damian membuat Alisha bungkam seketika.Perempuan itu tergagap. Degup jantungnya begitu keras mendapati pertanyaan yang tak terprediksi. Alisha sama sekali tak menduga pertanyaan dari sang atasan yang cukup mengejutkan.Kalau saja ia tak menutupi penampilannya dengan kacamata dan mengikat rambutnya di sela perkenalan Damian, mungkin dengan mudah pria itu akan mengenalinya. Meski begitu, tetap saja ia susah payah menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak kering ketika mendengar pertanyaan Damian. Beruntung hal itu tak berlangsung lama. Alisha dengan cepat dapat mengendalikan ekspresi wajahnya. "Tidak, Pak. Kita belum pernah bertemu sebelumnya!" jawab Alisha dengan tegas. Meski sebenarnya, degup jantung di balik tulang rusuk perempuan itu tak juga bisa dikendalikan. Sepasang alis Damian yang hampir saling menyentuh ujungnya, tampak berkerut mendengar jawaban perempuan itu. Sorot mata pria itu menatap tajam sang perempuan yang kini terlihat semakin gelisah. "Kalau gitu, kenapa kau berani mengkritikku?"
Rahang Damian seketika mengeras begitu mendengar penuturan lugas sang karyawan baru. Tangannya mengepal. Kalau saja Alisha bukan perempuan, ia pasti telah memberikan peringatan kejam. Sebuah cengkeraman di kerah bajunya, sepertinya cukup untuk memberinya pelajaran. Lagipula bisa-bisanya perempuan itu mengucapkan sebuah kata dengan begitu ringan. Sementara ketika berada di dalam ruangan Damian, ia sangat gemetar ketakutan. Apa perempuan itu beranggapan bahwa sang atasan tak akan berani macam-macam ketika di hadapan banyak orang? Seringai dingin membingkai wajah Damian. Ia mendekati si perempuan yang kini menutup mulut dengan kedua tangan. "Kau menyebutku manusia salju?" tanya Damian dengan nada dingin dan menjadikan ruangan makin mencekam. "Ti-tidak, Pak. Bu-bukan begitu maksud sa-saya." Alisha tergagap. Ia kesulitan mengatur napas ataupun tempo bicaranya akibat terlalu gemetar. "Lalu?""Sa-saya ...." Alisha tergagap. Ia tak sanggup lagi mengucapkan sepatah kata pun dan hanya m
Arlan membalas senyum Damian tak kalah sinis. "Kalau itu yang Anda inginkan, Pak. Saya tidak masalah," ucap Arlan begitu santai.Tantangan Damian, disambut begitu saja oleh lelaki itu. Tanpa diketahui Arlan, bahwa Damian dikenal sebagai pria berhati dingin. Dalam benaknya, beragam skenario untuk mempersulit langkah Arlan, sudah mulai dipikirkan. Damian bahkan tak melewatkan bagian sekecil apa pun. Ia tak akan segan menghukum siapa pun yang berusaha menghalangi jalannya. Termasuk memberikan pelajaran kepada Alisha yang telah menerobos garis batas tak kasatmata yang selama ini digariskan Damian. Apalagi Arlan yang notabene seorang lelaki dan jelas-jelas ikut campur dalam urusan mereka. Damian paling tidak suka, kesenangannya diusik. Lantas, bisa-bisanya Arlan bersikap seolah menjadi pahlawan di saat yang sama sekali tak tepat. Maka, ia pun akan melihat, seberas apa kemampuan yang dimiliki oleh lelaki itu. Untuk melindungi apa yang dimiliki. Dimiliki? Damian tersenyum sinis saat k
Langkah Damian berhenti di balik pintu. Ia baru saja menerima panggilan yang membutuhkan privasi khusus ketika kembali ke ruangannya. Seseorang yang baru saja meneleponnya memberikan informasi penting yang ia cari selama dua minggu terakhir. Seharusnya ia merasa lega begitu kembali ke ruang kerjanya. Namun, perasaan Damian memburuk seketika. Saat itu indra pendengarannya menangkap suara bising dari balik pintu ruangannya berada. Senyum sinis seketika membingkai wajah sang pria. Di mana pun, semua anak buah sama saja. Mereka pasti akan membicarakan atasannya di belakang. Begitu juga para staf creative departement yang resmi dikepalai Damian mulai hari ini. Padahal, ia sudah rela meninggalkan kota tempat dirinya tinggal sekarang.Hanya demi membantu sang teman yang merupakan pimpinan perusahaan untuk memajukan perusahaan periklanan tersebut. Namun, anak buah yang harusnya bisa diajak bekerja sama, memiliki mental pengecut. Bagaimana bisa perusahaan ini mencapai target bahkan melamp
Lirikan sesama karyawan begitu mendengar ucapan sang direktur utama, membuat Damian sigap membawa pria berkacamata itu ke dalam ruangannya. Sebelum semua orang semakin gempar akibat pengakuan sang pria yang terkadang suka lepas kontrol itu. Memang itulah susahnya memiliki partner besar mulut yang suka membicarakan hal-hal tak terduga seperti Devano. "Lanjutkan pekerjaan kalian!" ucap Damian sambil mendorong punggung sang direktur utama. "Alisha, tolong bawakan minuman untuk kami," imbuhnya lagi tanpa menunggu tanggapan dari perempuan yang menatapnya dengan raut tidak percaya. Damian tak hendak peduli. Ia harus menyelamatkan diri sebelum si pria berkacamata itu semakin bicara omong kosong di hadapan para staf. "Apa aku membuat kesalahan?" ucapnya begitu Damian menutup pintu di belakang punggungnya. Pria itu membuang napas geram. Tangannya sudah mulai mengepal dan bersiap melayangkan pukulan ke wajah Devano. Sang direktur utama yang menyeretnya ke tempat ini. Kalau bukan hubunga
Langkah Alisha berhenti tepat di pintu sang atasan. Tangannya sibuk menahan berat nampan ketika hendak mengetuk pintu kaca tersebut. Ia cukup kesulitan. Harusnya ia terima saja bantuan dari Arlan ataupun Rini yang menawarkan untuk mengetukkan pintu untuknya. Sementara ia membawa nampan berisi dua buah cangkir berisi kopi yang baru saja seduh. Hanya saja, Alisha tak ingin merepotkan siapa pun. Terlebih Arlan yang sudah dibuat repot akibat terlibat perdebatan dengan Damian setelah berusaha menolongnya. Sebenarnya, mereka pun melarang Alisha melakukan pekerjaan yang bukan menjadi tugasnya. Namun, demi menghindari amukan sang atasan, ia memilih mengalah.Meski tidak membenarkan perilaku Damian yang memintanya untuk membuat minuman. Mungkin ia perlu menegaskan pada Damian, bahwa dirinya bukan bekerja sebagai office girl ataupun asisten pribadi pria itu. Melainkan menjadi graphic designer untuk divisi creative department Pixa Growth Advertising. Untuk saat ini, Alisha hanya ingin tugas
Devano terus mendesak Damian begitu mereka telah kembali ke dalam ruangan. "Kau tertarik padanya kan?"Sudut bibir Damian tersenyum kecut mendapati pertanyaan itu. "Jangan ngaco! Aku sudah mengatakan dengan jelas. Jangan membuatku mengulang pembicaraan!""Heh, aku kenal kamu sudah sejak lama, Bung! Apa menurutmu waktu puluhan tahun tak cukup bagiku untuk menebak kau tertarik atau tidak pada, Alisha?"Sudut bibir Damian kembali tersenyum sinis. Ia tak tertarik memberikan tanggapan dari ocehan Devano yang kini tengah menikmati secangkir kopinya. "Ini enak. Dia pandai sekali membuat kopi. Tapi, apa kau tidak kelewatan? Kau membiarkan seorang desain grafis membuat secangkir kopi. "Apa kau beranggapan dia asisten pribadimu?"Ucapan Devano kali ini hanya masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Pikiran Damian berkecamuk. Ada sesuatu yang menganggu dirinya sejak pagi.Damian bukanlah orang yang mudah tertarik pada perempuan. Pria yang tahun ini memasuki usia ketiga puluh tujuh i
Suasana di antara mereka tampak tegang. Hampir tak ada percakapan di antara keduanya. Bukan hanya hampir, tapi memang tak ada percakapan sama sekali antara Alisha dengan sang atasan. Baik Alisha ataupun Damian sibuk tenggelam dalam pikiran masing-masing. Terlebih bagi Alisha yang sengaja tak ingin identitasnya diketahui sang atasan. Ia sengaja menghindari percakapan dengan Damian di luar urusan pekerjaan. Membicarakan urusan pekerjaan saja sudah membuat Alisha naik darah, bagaimana mereka bisa membicarakan hal lain? Rasanya tak mungkin mereka bakal menjadi teman ngobrol satu sama lain. Lebih dari itu, tanpa berbincang dengan sang atasan saja sudah membuat jantung Alisha berdegup kencang. Apalagi saat ia merasakan tatapan yang mengintimidasi dari sosok pria yang berdiri di belakangnya sambil bersandar pada dinding elevator. Degup jantung Alisha makin kencang dengan berbagai kemungkinan yang ia pikirkan dalam benaknya. 'Kenapa dia serius gitu sih? Tidak mungkin dia tahu siapa aku