Share

Bertemu Kembali

Alisha tak bisa lupa, bagaimana malam panas yang ia lewati bersama seorang pria asing jauh di Kota Paris lebih dari dua minggu yang lalu. Setiap inchi tubuhnya bahkan menolak lupa, bagaimana cara pria itu menyentuh dan memperlakukan dirinya.

Meski pertemuan mereka akibat pengaruh alkohol dan di bawah temaram lampu bar, Alisha tak mungkin lupa wajah pria yang sudah menikmati kesuciannya itu. Ia sempat menelisik wajah pria itu sebelum pergi.

Namun, yang tak Alisha pahami, mengapa pria itu berada di sini?

Bukankah pria yang ia temui melalui aplikasi kencan itu mengaku bahwa dia seorang pengangguran dan mencari uang dengan cara menghibur para wanita yang kesepian? Seperti halnya Alisha pada malam itu.

Lantas, bagaimana bisa ia tiba-tiba menjadi Creative Director baru di kantor tempat Alisha bekerja? Apa ini memang sebuah kebetulan?

‘Sial!’ umpat Alisha dalam hati.

Ia tak bisa diam saja dalam situasi seperti saat ini. Alisha tak pernah tahu, apakah pria itu mengingatnya atau tidak setelah malam panas yang mereka lewati.

Bagaimanapun, Alisha tak ingin identitasnya ketahuan. Apalagi pria itu berperan sebagai atasannya saat ini. Jelas, Alisha tak menginginkan hubungan mereka menjadi canggung.

‘Padahal aku sengaja tak mau berurusan lagi dengan pria itu. Kenapa dia justru muncul seperti hantu?’ bisik Alisha menjerit dalam hati.

Sepeninggalan Alisha dari hotel lebih dari dua minggu lalu, ia memang sengaja menghapus aplikasi kencan yang semula ia gunakan untuk mencari pasangan. Ia bahkan tak ada keinginan untuk mengunduh kembali aplikasi itu hanya demi menghilangkan jejak.

Meskipun, ada keinginan yang tak sanggup ia pikirkan dengan akal jernih setiap kali mengingat adegan pada malam itu.

Walaupun demikian, Alisha tak berniat mengulang kesalahan yang sama dan ingin meninggalkan semuanya di belakang. Itu akibat kebodohannya yang sudah dikuasi oleh alkohol dan tak ingin melakukan kebodohan yang sama untuk kedua kali.

Dengan cepat, Alisha menyambar kacamata yang sebelumnya tergeletak di atas meja kerja barunya. Ia juga menguncir rambut panjang sepinggangnya yang semula dibiarkan tergerai.

Perempuan itu tak mau mengambil risiko. Lebih berbahaya jika pria itu menyadari identitasnya dan membuat kekacauan yang tak Alisha inginkan. Hidupnya sedang kacau sekarang dan ia tak ingin perkara ini membuat hidupnya semakin berantakan.

“Bagaimana hari kalian pagi ini?” sapa seorang pria yang lebih tua kepada seluruh tim Creative Departement.

“Dia Pak Mahendra, Wakil Direktur Pixa Growth Advertising,” bisik Arlan yang tempat duduknya tak jauh dari Alisha.

Meskipun lelaki itu telah menduduki jabatan sebagai Creative Group Head, tapi ia tetap memilih duduk bersama staff yang lain. Ketimbang memilih tempat duduk yang telah disiapkan untuk Creative Group Head.

“Oh,” jawab Alisha singkat.

Sejujurnya, fokus perempuan itu tak lagi berada di tempat. Ia berdiri gemetar di tempatnya sambil sesekali melirik ke arah sang pria blesteran Prancis - Indo yang tampak dingin dan mengintimidasi di depan sana.

Setiap kali ada kesempatan, Alisha menundukkan kepala agar sorot mata mereka tak saling bertatapan. Satu hal yang benar-benar Alisha takutkan saat ini, pria itu mengenali dirinya.

“Kalian perlu tahu, Creative Director kita yang baru mulai bekerja hari ini. Pak Damian, silakan perkenalkan diri Anda.”

“Aku Damian Laith Maxime. Panggil apa pun yang kalian inginkan!”

Ucapan pria berbadan tegap dengan wajah tampan ditumbuhi cambang di sekitar pipinya itu, mendapat keluhan dari para staff yang lain. Bahkan kesan pertama perkenalan mereka sangat kaku dan dingin.

Dengan begitu saja, membuat para staff sudah dapat menebak, seperti apa cara kerja Damian ke depannya.

“Bau-baunya tipe atasan otoriter nih!” keluh salah satu staff dari tim lima disambut keluhan dari yang lain.

“Cih, tampang doang yang cakep!”

“Udah pasti bakal ribet nih urusan!”

“Haha … mending Pak Karno nggak sih, sekalipun beliau udah tua?”

Bisik-bisik di antara para staff lelaki yang kebanyakan berada di tim lima dan empat, semakin keras terdengar.

Di saat bersamaan, Damian meraih salah satu pensil dari meja terdekat dan melemparkannya ke arah staff yang baru saja mengeluh. Bahkan membandingkan dirinya dengan kepala Departemen Kreatif sebelumnya yang sudah lebih dulu pensiun.

Damian tak terima. Jelas ia memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan siapa pun yang berada dalam ruangan ini. Namun, mulut-mulut para bawahannya itu tak mengenal sopan santun dan memancing emosi Damian.

“Silakan buat surat pengunduran diri kalian jika tak bisa mengikuti aturan kerjaku!”

Ruangan mendadak sunyi. Baru hari pertama bekerja, kedatangan Damian sudah cukup membawa banyak perubahan. Terutama dampak buruk bagi tim kreatif yang selama ini dikenal sebagai divisi yang paling asyik dan ramai di perusahaan.

“Mulai bekerja. Aku ingin hasil kinerja kalian sebelum pukul sepuluh sudah ada di atas meja kerjaku!” tandasnya dengan nada dingin.

Bahkan wajah tampannya sama sekali tak menunjukkan ekspresi selain mimik muka datar.

“Tapi Pak, desain brief untuk hari ini masih berada di Departemen Media,” ucap Rini sebagai penanggung jawab tim kreatif satu; sekaligus staff paling senior di Departemen Kreatif.

“Lalu apa hal semacam itu juga perlu kupikirkan? Bukankah sebelumnya sudah ada kesepakatan dengan divisi lain sebelum kalian eksekusi?

“Kenapa untuk hal semacam ini masih saja kalian permasalahkan?”

“Masalahnya, kita masih perlu membicarakan ulang dengan tim media untuk iklan yang bakal kita eksekusi, Pak. Jadi, Anda harus lebih dulu mengikuti rapat dengan tim media.”

“Merepotkan! Apa begini cara kerja kalian selama ini? Membuang-buang waktu hanya untuk rapat?”

Tak ada yang berani menjawab pertanyaan Damian dengan lantang. Masing-masing dari mereka hanya menggerutu hampir tanpa suara.

Meski begitu, Damian tetap saja mendengar ucapan para anak buahnya. Kelima indra Damian memiliki tingkat kepekaan yang lebih tinggi dibandingkan manusia pada umumnya. Itu hasil dari latihan selama bertahun-tahun hingga ia menginjak usia tiga puluh lima tahun.

Hanya Alisha satu-satunya orang di ruangan tersebut yang tak memberikan reaksi apa pun. Ia bahkan hanya menundukkan kepala saat sang atasan tengah menatap dirinya.

Tentu saja hal itu mengusik perhatian Damian. Sejak awal, fokus pria itu tak teralihkan dari salah satu staff yang jelas-jelas tengah menghindari tatapannya.

Tidak hanya itu, melihat wajahnya yang tampak tegang, membuat Damian semakin curiga kepada si perempuan.

“Kau! Siapa namamu?” tunjuk Damian tanpa basa-basi ke arah Alisha.

Perempuan itu tersentak. Ia menatap sang atasan dengan raut muka horor.

“A-Alisha, Pak.”

“Ambil desain brief dari tim media dan segera kerjakan tugas kalian!”

Raut muka perempuan itu tampak bingung. Ini hari pertamanya bekerja dan ia belum tahu di mana letak ruang divisi media berada. Namun, suaranya tersekat di kerongkongan ketika ia hendak membuka suara.

“Ah, Pak. Dia anak baru dan baru malui bekerja hari ini, jadi ….” Arlan berusaha membela Alisha yang tampak kesusahan. Namun, Damian lebih dulu menyela sebelum lelaki itu menuntaskan ucapannya.

“Dia di sini untuk bekerja, bukan magang kan? Lantas mengapa kalau ini hari pertamanya mulai bekerja? Apa ada dispensasi untuk pegawai baru?”

Ruangan itu kembali sunyi. Menyisakan Alisha yang susah payah menelan ludahnya untuk membalas ucapan sang atasan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status