Share

Bertemu Kembali

Author: Yoru Akira
last update Last Updated: 2023-11-03 16:20:38

Alisha tak bisa lupa, bagaimana malam panas yang ia lewati bersama seorang pria asing jauh di Kota Paris lebih dari dua minggu yang lalu. Setiap inchi tubuhnya bahkan menolak lupa, bagaimana cara pria itu menyentuh dan memperlakukan dirinya.

Meski pertemuan mereka akibat pengaruh alkohol dan di bawah temaram lampu bar, Alisha tak mungkin lupa wajah pria yang sudah menikmati kesuciannya itu. Ia sempat menelisik wajah pria itu sebelum pergi.

Namun, yang tak Alisha pahami, mengapa pria itu berada di sini?

Bukankah pria yang ia temui melalui aplikasi kencan itu mengaku bahwa dia seorang pengangguran dan mencari uang dengan cara menghibur para wanita yang kesepian? Seperti halnya Alisha pada malam itu.

Lantas, bagaimana bisa ia tiba-tiba menjadi Creative Director baru di kantor tempat Alisha bekerja? Apa ini memang sebuah kebetulan?

‘Sial!’ umpat Alisha dalam hati.

Ia tak bisa diam saja dalam situasi seperti saat ini. Alisha tak pernah tahu, apakah pria itu mengingatnya atau tidak setelah malam panas yang mereka lewati.

Bagaimanapun, Alisha tak ingin identitasnya ketahuan. Apalagi pria itu berperan sebagai atasannya saat ini. Jelas, Alisha tak menginginkan hubungan mereka menjadi canggung.

‘Padahal aku sengaja tak mau berurusan lagi dengan pria itu. Kenapa dia justru muncul seperti hantu?’ bisik Alisha menjerit dalam hati.

Sepeninggalan Alisha dari hotel lebih dari dua minggu lalu, ia memang sengaja menghapus aplikasi kencan yang semula ia gunakan untuk mencari pasangan. Ia bahkan tak ada keinginan untuk mengunduh kembali aplikasi itu hanya demi menghilangkan jejak.

Meskipun, ada keinginan yang tak sanggup ia pikirkan dengan akal jernih setiap kali mengingat adegan pada malam itu.

Walaupun demikian, Alisha tak berniat mengulang kesalahan yang sama dan ingin meninggalkan semuanya di belakang. Itu akibat kebodohannya yang sudah dikuasi oleh alkohol dan tak ingin melakukan kebodohan yang sama untuk kedua kali.

Dengan cepat, Alisha menyambar kacamata yang sebelumnya tergeletak di atas meja kerja barunya. Ia juga menguncir rambut panjang sepinggangnya yang semula dibiarkan tergerai.

Perempuan itu tak mau mengambil risiko. Lebih berbahaya jika pria itu menyadari identitasnya dan membuat kekacauan yang tak Alisha inginkan. Hidupnya sedang kacau sekarang dan ia tak ingin perkara ini membuat hidupnya semakin berantakan.

“Bagaimana hari kalian pagi ini?” sapa seorang pria yang lebih tua kepada seluruh tim Creative Departement.

“Dia Pak Mahendra, Wakil Direktur Pixa Growth Advertising,” bisik Arlan yang tempat duduknya tak jauh dari Alisha.

Meskipun lelaki itu telah menduduki jabatan sebagai Creative Group Head, tapi ia tetap memilih duduk bersama staff yang lain. Ketimbang memilih tempat duduk yang telah disiapkan untuk Creative Group Head.

“Oh,” jawab Alisha singkat.

Sejujurnya, fokus perempuan itu tak lagi berada di tempat. Ia berdiri gemetar di tempatnya sambil sesekali melirik ke arah sang pria blesteran Prancis - Indo yang tampak dingin dan mengintimidasi di depan sana.

Setiap kali ada kesempatan, Alisha menundukkan kepala agar sorot mata mereka tak saling bertatapan. Satu hal yang benar-benar Alisha takutkan saat ini, pria itu mengenali dirinya.

“Kalian perlu tahu, Creative Director kita yang baru mulai bekerja hari ini. Pak Damian, silakan perkenalkan diri Anda.”

“Aku Damian Laith Maxime. Panggil apa pun yang kalian inginkan!”

Ucapan pria berbadan tegap dengan wajah tampan ditumbuhi cambang di sekitar pipinya itu, mendapat keluhan dari para staff yang lain. Bahkan kesan pertama perkenalan mereka sangat kaku dan dingin.

Dengan begitu saja, membuat para staff sudah dapat menebak, seperti apa cara kerja Damian ke depannya.

“Bau-baunya tipe atasan otoriter nih!” keluh salah satu staff dari tim lima disambut keluhan dari yang lain.

“Cih, tampang doang yang cakep!”

“Udah pasti bakal ribet nih urusan!”

“Haha … mending Pak Karno nggak sih, sekalipun beliau udah tua?”

Bisik-bisik di antara para staff lelaki yang kebanyakan berada di tim lima dan empat, semakin keras terdengar.

Di saat bersamaan, Damian meraih salah satu pensil dari meja terdekat dan melemparkannya ke arah staff yang baru saja mengeluh. Bahkan membandingkan dirinya dengan kepala Departemen Kreatif sebelumnya yang sudah lebih dulu pensiun.

Damian tak terima. Jelas ia memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan siapa pun yang berada dalam ruangan ini. Namun, mulut-mulut para bawahannya itu tak mengenal sopan santun dan memancing emosi Damian.

“Silakan buat surat pengunduran diri kalian jika tak bisa mengikuti aturan kerjaku!”

Ruangan mendadak sunyi. Baru hari pertama bekerja, kedatangan Damian sudah cukup membawa banyak perubahan. Terutama dampak buruk bagi tim kreatif yang selama ini dikenal sebagai divisi yang paling asyik dan ramai di perusahaan.

“Mulai bekerja. Aku ingin hasil kinerja kalian sebelum pukul sepuluh sudah ada di atas meja kerjaku!” tandasnya dengan nada dingin.

Bahkan wajah tampannya sama sekali tak menunjukkan ekspresi selain mimik muka datar.

“Tapi Pak, desain brief untuk hari ini masih berada di Departemen Media,” ucap Rini sebagai penanggung jawab tim kreatif satu; sekaligus staff paling senior di Departemen Kreatif.

“Lalu apa hal semacam itu juga perlu kupikirkan? Bukankah sebelumnya sudah ada kesepakatan dengan divisi lain sebelum kalian eksekusi?

“Kenapa untuk hal semacam ini masih saja kalian permasalahkan?”

“Masalahnya, kita masih perlu membicarakan ulang dengan tim media untuk iklan yang bakal kita eksekusi, Pak. Jadi, Anda harus lebih dulu mengikuti rapat dengan tim media.”

“Merepotkan! Apa begini cara kerja kalian selama ini? Membuang-buang waktu hanya untuk rapat?”

Tak ada yang berani menjawab pertanyaan Damian dengan lantang. Masing-masing dari mereka hanya menggerutu hampir tanpa suara.

Meski begitu, Damian tetap saja mendengar ucapan para anak buahnya. Kelima indra Damian memiliki tingkat kepekaan yang lebih tinggi dibandingkan manusia pada umumnya. Itu hasil dari latihan selama bertahun-tahun hingga ia menginjak usia tiga puluh lima tahun.

Hanya Alisha satu-satunya orang di ruangan tersebut yang tak memberikan reaksi apa pun. Ia bahkan hanya menundukkan kepala saat sang atasan tengah menatap dirinya.

Tentu saja hal itu mengusik perhatian Damian. Sejak awal, fokus pria itu tak teralihkan dari salah satu staff yang jelas-jelas tengah menghindari tatapannya.

Tidak hanya itu, melihat wajahnya yang tampak tegang, membuat Damian semakin curiga kepada si perempuan.

“Kau! Siapa namamu?” tunjuk Damian tanpa basa-basi ke arah Alisha.

Perempuan itu tersentak. Ia menatap sang atasan dengan raut muka horor.

“A-Alisha, Pak.”

“Ambil desain brief dari tim media dan segera kerjakan tugas kalian!”

Raut muka perempuan itu tampak bingung. Ini hari pertamanya bekerja dan ia belum tahu di mana letak ruang divisi media berada. Namun, suaranya tersekat di kerongkongan ketika ia hendak membuka suara.

“Ah, Pak. Dia anak baru dan baru malui bekerja hari ini, jadi ….” Arlan berusaha membela Alisha yang tampak kesusahan. Namun, Damian lebih dulu menyela sebelum lelaki itu menuntaskan ucapannya.

“Dia di sini untuk bekerja, bukan magang kan? Lantas mengapa kalau ini hari pertamanya mulai bekerja? Apa ada dispensasi untuk pegawai baru?”

Ruangan itu kembali sunyi. Menyisakan Alisha yang susah payah menelan ludahnya untuk membalas ucapan sang atasan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Cinta Sang CEO Berdarah Dingin   Bukan Akhir, Justru Inilah Awal ...

    Dua bulan kemudian ... Hall tempat pernikahan antara Alisha dan Damian berhias mewah warna putih dan kuning gading. Tamu undangan tampak memenuhi aula. Meskipun di antara mereka ada saja yang melirik nyinyir ke arah mempelai perempuan. Itu akibat perut Alisha sudah terlihat mulai buncit di balik gaun pengantin yang ia kenakan. Sebenarnya, Alisha ingin melakukan pemberkatan saja. Tanpa pesta meriah seperti yang berlangsung saat ini. Namun, mana mungkin Harvey mengizinkan? Sekalipun pria itu keras pada awalnya, seiring berjalannya waktu dia mulai melunak dan bersikap hangat kepada Alisha. Tentu saja setelah mengetahui bahwa Alisha mengandung cucunya. Dan, sebagai orang yang dikenal memiliki bisnis yang cukup besar, pria itu tak bisa abai begitu saja atas pernikahan anaknya. Sekalipun mendapat cibiran akibat pengantin perempuannya sudah lebih dulu mengandung. Namun, Harvey seolah justru merasa bangga, sebab kualitas bibit anaknya tak bisa diragukan lagi. Di samping semua it

  • Jerat Cinta Sang CEO Berdarah Dingin   Pulanglah Bersamaku

    Damian tampak bingung dengan ucapan Alisha. Tidak banyak yang tahu jika sebelumnya ia memang tidak berencana menikah jika itu tidak dengan Amber. Kalaupun menikah, ia tak ingin memiliki anak, sebab tak ingin bocah tak berdosa itu akan berakhir seperti dirinya. Biar bagaimanapun, Harvey tak akan membiarkan garis keturunannya begitu saja. Pria itu tetap membutuhkan pewaris sampai kapan pun. Oleh sebab itu, Damian tak berpikir untuk memiliki anak jika dirinya menikah kelak. Namun, semua angan itu berubah saat tahu fakta bahwa Alisha mengandung benih miliknya. Damian tidak hanya ingin bertanggung jawab. Tapi juga memiliki keinginan yang baru dalam hidupnya. Bahwa ia ingin memiliki keluarga kecilnya sendiri. Tanpa campur tangan sang ayah. Baik di masa kini ataupun masa depan. "Dari mana kamu tahu kalau aku tidak tertarik untuk menikah?" Damian mengajukan pertanyaan. Selain angannya di masa lalu, ada banyak hal yang harus ia ungkapkan pada Alisha sekarang. Itu penting, jika i

  • Jerat Cinta Sang CEO Berdarah Dingin   Bimbang

    Damian mengusap wajahnya. Ia tak terkejut. Namun, setelah mendengar sendiri pengakuan Alisha membuatnya merasa bersalah. Juga gelisah. Pria itu menautkan jari-jarinya dan menunduk untuk mengambil jeda. Dengan gerakan dramatis, ia menyugar rambutnya yang semakin berantakan. Damian tak tahu harus dari mana memulai percakapan setelah mendengar pengakuan Alisha. Sementara perempuan itu, diam-diam menikmati momen yang terjadi saat ini. Kalau saja boleh jujur, ia ingin pria itu mengakui janin dalam kandungannya sebagai anak. Bertanggung jawab penuh sebagai seorang ayah. Sebab, biar bagaimanapun Alisha mulai tertarik pada sang mantan atasan. Entah sejak kapan. Namun, mengingat pembicaraan Damian dan Devano di ruangannya beberapa waktu lalu, membuatnya sangsi. Alisha tak ingin memaksakan kehendaknya yang egois. Lebih dari itu, ia tak ingin dianggap wanita murahan. Cukup lama jeda di antara mereka berlangsung. Keduanya sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga suara b

  • Jerat Cinta Sang CEO Berdarah Dingin   Pengakuan Alisha

    Raut muka Damian tampak tegang. Pria itu mondar-mandir di depan ruang gawat darurat rumah sakit. Sudah sekitar satu jam Alisha mendapat penanganan, tapi belum ada satu pun perawat ataupun dokter yang memberinya kepastian. Hanya setengah jam lalu, seorang perawat mengabarkan jika kondisi Alisha cukup buruk. Dokter sedang berusaha menyelamatkan perempuan itu. Kemungkinan terburuk, mungkin Damian harus mendengar kabar jika dia bakal kehilangan calon bayinya. Atau justru keduanya. Setelah mendengar ucapan sang perawat, langkah pria itu tak bisa diam. Ia terus mondar-mandir di depan ruang gawat darurat dengan raut muka cemas. Padahal rencananya, ia akan kembali ke area gudang tua untuk memastikan keselamatan Amber. Pria itu memang tidak mengenai bagian vital yang membuat si wanita dalam bahaya. Meski begitu tetap saja ada rasa khawatir yang menyusup dalam hatinya. Juga rasa bersalah sekaligus menyesal. "Tuan," panggilan Jonathan membuat Damian menoleh ke arah sumber suara.

  • Jerat Cinta Sang CEO Berdarah Dingin   Pertemuan Menegangkan

    Sepasang mata Alisha tak berhenti berkedip. Tatapannya terpaku pada sosok pria yang kini merunduk di atasnya. Melindungi dirinya dari suasana mencekam yang masih terus saja terjadi. 'Mimpi?!' bisiknya dalam hati. Dari semua kemungkinan yang ia pikirkan, tak sekalipun terlintas jika Damian yang akan muncul. Menyelamatkannya dari situasi mengerikan. Meski tak bisa ia mungkiri, kecil harapan itu sempat muncul dalam benaknya. Namun, Alisha menyadari jika hal itu mustahil terjadi. Ia tak bisa lupa sorot benci Damian yang menuduhnya. Juga rasa sakit yang begitu memeram jiwanya. 'Tidak. Ini pasti cuma halusinasi.' "Kamu aman sekarang. Jangan takut!" bisikan itu terasa begitu nyata. Tubuh gemetar Alisha berada dalam dekapan erat Damian. Ia bahkan tak bisa lagi membedakan mana mimpi atau kenyataan. Suara itu begitu dekat dan membuat dirinya terjebak dalam sensasi yang memabukkan. Itu kan yang membuatnya menyerahkan diri seutuhnya pada Damian saat pertemuan pertama mereka?! "K

  • Jerat Cinta Sang CEO Berdarah Dingin   Dalam Bahaya

    Alisha tersadar jika hari mulai malam saat penjaga kafe menegurnya. Ia buru-buru melihat jam dan tampak kaget saat hari sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Astaga, maaf, Kak. Saya benar-benar lupa waktu," ucap perempuan itu kepada seorang pelayan lelaki yang terlihat lebih tua darinya. "Ya, Kak. Nggak papa. Kami bisa maklum. Banyak pelanggan yang memang merasa nyaman ketika di sini." Alisha tampak salah tingkah. Ia merasa tersindir. Meski sebenarnya ia memang benar-benar tidak bermaksud menyusahkan orang lain seperti sekarang. "Ah, saya benar-benar minta maaf," imbuh Alisha sambil membungkuk sopan. Ia merasa tak enak pada penjaga kafe karena telah menetap terlalu lama hingga menjelang tutup. Sementara hanya sedikit makanan yang ia pesan. Sejak menjelang sore, perempuan itu memang sengaja menghabiskan waktu di kafe tak jauh dari tempat tinggalnya yang baru. Sekalian beraktivitas setelah ia memilih tidur seharian begitu sampai tempat kosnya yang baru siang tadi. Saat p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status