Damian kehilangan kata ketika Alisha menunjukkan laman chat dengan seorang pria dari sebuah aplikasi kencan. Meski begitu, tidak menyurutkan amarah yang sudah terlanjur menguasai dirinya. Justru sebaliknya, ia semakin geram akibat menyadari kebodohan perempuan di depannya. Siapa yang mengira perempuan yang tampak polos dan belum pernah melakukan hubungan intim, justru memberikannya pada pria asing yang bersedia dibayar. 'Apa dia sudah sinting?!' bisik Damian dalam benaknya. Pria itu tak bisa memahami jalan pikiran Alisha yang dianggapnya sungguh gila. Bagaimana jadinya jika perempuan itu justru bertemu dengan pria yang diajaknya berkencan melalui dating app? Bukankah itu justru semakin berbahaya? Mengingat banyaknya orang jahat di dunia ini. Bagaimana jika perempuan itu justru berakhir tinggal namanya saja, ketika si pria asing yang ditemuinya di aplikasi kencan, ternyata seorang psikopat gila? Apa perempuan itu beruntung bertemu dirinya? Tidak juga. Karena bertemu dengan Damian
Harusnya, Damian menghukum Alisha begitu tahu bahwa perempuan itulah yang telah menghinanya dengan menganggap dirinya sebagai pria panggilan. Namun, saat melihat wajah pucat si perempuan, timbul perasaan tak tega dalam diri sang pria. Perlahan ia menjauhkan diri dari Alisha dan menatap perempuan itu dengan perasaan yang bahkan dirinya sendiri tak sanggup mengartikan. Hanya saja, melihat betapa pucat dan ketakutannya si perempuan menidurkan kembali monster yang hendak menguasai dirinya. Ini tak pernah terjadi pada Damian sebelumnya. Di negara yang menjadi tempat tinggalnya sebelumnya pun, ia dikenal sebagai pria berdarah dingin. Itu karena ia tak pernah pandang bulu ketika menghukum seseorang yang telah menghina dirinya. Jangankan menghina, melakukan kesalahan kecil pun, bakal membuat Damian naik pitam dan melenyapkan orang tersebut. Tidak peduli ia laki-laki ataupun perempuan. Tua, muda, anak-anak sekalipun. Bagi dirinya, orang yang telah melakukan kesalahan harus mendapatkan bal
Alisha baru saja hendak memasuki unit apartemennya ketika terdengar ledakan dari sisi kanan gedung apartemen meski tidak terlalu keras. Perempuan itu cukup kaget hingga menoleh ke arah sumber suara dan mendapati api sudah menjalar dari salah satu unit yang berada di lantai tiga. Tak lama kemudian, terdengar bunyi alarm tanda bahaya yang cukup memekakkan telinga. Disusul alat pemadam api otomatis yang nyalanya tak seberapa. Ia seketika panik. Alih-alih melarikan diri, ia justru bersimpuh si depan pintu unit apartemennya tanpa sanggup bergerak. Hingga seseorang dari salah satu unit di lantai yang sama keluar dengan wajah panik. Lelaki itu berhenti di hadapan Alisha ketika melihat kondisi si perempuan. "Mbak, Mbak nggak apa-apa? Ada unit yang terbakar, Mbak. "Kita mesti keluar dulu!" ucap lelaki itu sambil berjongkok di depan Alisha. Alisha tak segera mendapatkan kembali kesadarannya. Ia hampir sepenuhnya tenggelam dalam bayangan kelam ketika melihat api yang dengan cepat menyebar
Sejak pagi Alisha telah disibukkan dengan aktivitasnya di dapur. Akibat titah sang atasan yang mengatakan bahwa ia harus menyiapkan bekal untuk pria itu. Jadilah ia sudah sibuk sejak pagi. Sebenarnya, bisa saja Alisha mengabaikan ucapan sang atasan. Ia tak harus membuat bekal bagi pria dingin itu. Apalagi setelah insiden semalam. Lewat tengah malam, api baru berhasil dipadamkan. Beruntung tak ada kerusakan yang cukup parah pada unit hunian yang lain, hingga masih bisa ditempati dengan nyaman. Tubuh Alisha terasa lelah. Itu pun, ia tak bisa langsung tidur akibat bayangan kebakaran yang mengusik pikirannya. Namun, pagi-pagi buta ia harus terbangun ketika mengingat pesan sang atasan sebelum dirinya turun dari mobil pria itu semalam. Lebih dari itu, Alisha ingin membalas perbuatan baik tetangganya yang telah menyelamatkan dirinya semalam. Ibunya pernah mengajarkan untuk membalas perbuatan baik orang lain sekecil apa pun bantuan yang telah diberikan. Termasuk berbagi makanan. Jadi,
Hingga pada hari kelima setelah permintaan Damian untuk membuatkannya bekal, pria itu tak juga terlihat di kantor. Ruangan sang pria yang biasanya tak pernah sepi dari makian, kini mendadak sunyi. Keriuhan justru terjadi di ruangan staff yang dipisahkan oleh dinding-dinding kayu di antara satu sama lain. Ada saja pembicaraan yang mereka lontarkan. Mulai dari pembicaraan sepele hingga membicarakan sang atasan yang tak juga masuk kantor setelah lima hari izin. Asumsi mereka semakin tak terkendali. Ada saja yang mereka bicarakan tentang Damian. Termasuk kemungkinan bahwa pria itu telah dibebastugaskan alias dirumahkan alias dipecat. Meski rumor itu sama sekali tak berdasar. Tetap saja kabar tentang pemecatan kepada sang direktur kreatif selalu berembus seperti angin segar. Acara makan-makan setiap kali jam istirahat pun lebih sering digelar. Berawal dari Alisha yang membawa bekal pada hari pertama untuk Damian dan berakhir di atas meja pantry akibat makanan itu tak lagi bertuan. Se
Pagi ini terasa asing bagi Alisha. Ia belum terbiasa dengan pemandangan ruangan kosong milik sang atasan. Padahal sudah lebih dari lima hari berlalu. Bisa dibilang mereka pun baru terlibat dalam beberapa hari terakhir. Itu pun tak memiliki kesan satu sama lain. Bahkan kerja sama tim pun tak terbentuk kuat di antara keduanya. Justru Damian sering kali memaki hasil kinerja Alisha yang dirasa kurang ini, kurang itu. Tidak jarang si pria dingin itu meminta Alisha merevisi hasil kinerjanya. Hingga si perempuan mengeluhkan perilaku kejam sang atasan. Meski begitu, seakan ada ruang kosong dalam diri Alisha yang membuatnya merasa hampa, ketika menatap ruangan Damian yang sudah tak berpenghuni lebih dari lima hari. "Huft!" Tanpa sadar Alisha menghela napas panjang. Tepat ketika Erika memasuki ruangan disusul Arlan yang berjalan di belakangnya. "Sha, desain yang diminta perusahaan coklat itu udah beres kan? Klien minta kita ketemu pagi ini buat liat desainnya." Wajah Erika tampak panik ke
"Ah, benar. Tentu Anda sekalian sudah mengenal CEO kami. Beliau juga membantu di Pixa belum lama ini. "Jadi, saya rasa tak perlu perkenalkan lebih jauh di antara kita." Pria yang semula menjemput Alisha dan Erika di lobi kantor, membuyarkan keterkejutan sekaligus suasana tegang di antara mereka. Lalu, meminta para tamunya untuk masuk ke ruangan sang CEO yang urung meninggalkan ruangan. Alisha masih tertegun. Hampir seminggu ia tak bertemu dengan pria berwajah dingin yang kini duduk di depannya. Suasana di antara keduanya menjadi canggung. Tak hanya berpura-pura tak kenal, Damian juga tampak lebih dingin dibandingkan saat terakhir kali mereka bertemu. Padahal, sudah jelas sebelumnya bahwa asisten pria itu - atau siapa pun pria yang sebelumnya menjemput Alisha dan Erika - mengatakan bahwa dirinya pernah bekerja untuk Pixa. Sementara Alisha kehilangan kata. Cukup banyak kalimat tanya yang berdesakan dalam benak Alisha. Namun, tak satu pun di antaranya yang sanggup diucapkan pada s
Napas Alisha masih naik-turun ketika meninggalkan ruangan sang CEO. Sungguh, ia tak ingin berurusan lagi dengan pria itu. Bertemu dengannya hanya membuat Alisha merasa frustrasi. Padahal bisa kan, seharusnya menggunakan kalimat yang lebih manusiawi ketika berbincang dengan rekan bisnisnya? Damian justru menggunakan kalimat paling kasar yang pernah Alisha dengar. Bagaimana ia tak stres mendadak jika menghadapi klien yang memiliki tipikal seperti Damian. Kalau saja Alisha tak menyadari posisinya sebagai pegawai baru di Pixa, ia pasti akan menumpahkan segala serapah yang sudah menumpuk di ujung lidahnya. Sayangnya, Alisha harus tetap bertahan dengan pekerjaannya saat ini hingga ingin bertahan hidup. Setidaknya sampai rekening tabungannya kembali aman setelah ia gunakan berfoya-foya selama beberapa hari di Paris. "Sha, kamu nggak apa-apa?" tanya Erika yang membuntuti Alisha dari belakang. Tanpa sadar, Alisha berjalan cepat hingga meninggalkan ketua timnya itu di belakang. Perempuan