Berhenti mengunyah, pria atletis itu menoleh, Langit menatap Bumi bingung.
“Maksudmu?” tanyanya ganti bertanya kemudian duduk di samping Bumi.
“Itu,” jawab Bumi menunjuk kemeja Langit yang masih berantakan.
Segera Langit meletakkan wadah berisi ketela goreng. Menelan sebagian ketela yang masih ada di mulut dan meminum air putih. Menatap horor da** bidangnya. Yang ada di pikirannya hanya satu, apakah Dara memberikan cetakan cumbuannya di sana? Sekilas kelihatannya aman, tidak ada bekas merah di sana.
Sikap Langit yang aneh jelas mengakibatkan Bumi memandangnya makin penuh selidik.
“Mas Langit kenapa, sih?” tanyanya heran.
Mencoba tenang, Langit mengancingkan kemejanya, mengatur deru nafas yang mendadak membuatnya merasa panas di hadapan Bumi. Kenapa jadi panik begini?
Senyap menggantung. Merasa Langit diam, Bumi berdiri, lebih baik ia ke tempat Bude Siti dan segera memilih bunga yang akan dibaw
Hai, ada adegan dewasanya. Bijak memilih bacaan, yuk...Jangan lupa love dan kasih bintang dan komen, ya.Follow juga ig @elangayu22Terimakasih dan selamat membaca...@@@“Habis ini aku urus motormu.”Suara itu lagi, menjelagakan otak waras Langit. Ia bergegas mengeluarkan ponsel dan menulis pesan untuk seseorang di sana. Harus bergerak cepat, meskipun kemarin ia sudah menghubungi. Sekarang, ia tak mau kalau didahului lelaki yang membangkitkan amarah itu.“Rangkaian bunga, kutranfer.”Hampir meledak suara Langit mendengarnya.“Makasih.”Suara Bumi.“Lho kok segini, Ga?”Bumi lagi.“Buatmu.”Lelaki brengs*k!“Nggak, ah.”“Buatmu, eh lukamu gimana?”Dasar! Sok perhatian. Umpatan-umpatan kasar ingin dikeluarkan Langit, tapi dicoba ditahannya
Lalu seperti ada yang mengingatkan, Bumi duduk tegak, menatap mata elang di depannya dalam.“Kita...”“Ya, tanpa komitmen,” sahut Langit menahan diri, kesal. Tak bisakah ia menuntut lebih? Bagaimana berkomitmen sedangkan Bumi tak pernah menginginkan komitmen itu?Bumi bergeming, dahinya berkerut, bibir bawah digigitnya. Pemandangan yang mampu mendirikan keremangan tersendiri bagi seorang CEO macam Langit. Baginya, madu sekali melihat keindahan tersaji jelas meskipun sekali lagi, tak ada ikatan apapun di antara keduanya.Mata indah itu terus memandang intens, tertunduk beberapa saat. Tidak, ia tidak boleh begini. Gadis eksotis itu mengangkat bahu, dieratkannya pelukan ke Langit. Menarik tangan kanan Langit keluar dari area sensitif yang terjeda beberapa detik. Mencium bibir tampan itu dengan liar. Langit meresponnya cepat, sampai kewalahan meladeni cumbuah Bumi. Lalu tiba-tiba, Bumi menghentikan sesaat ketika Langit ke
Tak menunggu waktu lama, lelaki berhidung mancung itu mengecup pucuk kening Bumi. Tangan yang bergerak di bagian d*** ditarik ke atas mengelus pipi Bumi.“M... Mas,” desis Bumi lirih tak kuasa.Di bahu, Langit menyentuh pundak polos Bumi beberapa kali. Mencumbunya beberapa saat, menghirup aroma segar tubuh gadis madu itu dalam dan mencium aroma rambut Bumi yang memabukkan kelelakiannya.Bibirnya bergerak ke bibir, mencium pelan, membuat Bumi makin meremang. Tubuh seakan lemas seketika. Sungguh keadaan seperti ini sangat susah untuk menolaknya. Yang ada, ia malah menikmatinya. Mata Langit sudah berkabut, melihat ke bawah, bagian candu yang sangat dinikmatinya. Meski tak terlihat, ia tahu puncaknya sudah mengeras. Diusapnya pelan, menekannya terlampau pelan, sangat pelan. Bumi yang tak kuasa, menekan tangan Langit lebih keras, posisi yang menguntungkan Langit, ia meremasnya beberapa saat, sampai lenguhan lolos dari bibir mungil Bumi.&ldqu
Saat bibirnya hampir menyatu ke bibir Bumi, Bumi terhenyak, ia mendorong dada Raga pelan, lalu kuat. Tubuh jangkung itu mundur.“Stop, Ga!” katanya segera, mengusap wajahnya beberapa kali. Ia salah dalam kondisi sekarang ini.Raga tercenung, ditatapnya gadis di hadapannya itu dengan keinginan penuh. Ia tahu Bumi, tapi ia tahu juga pengkhianatan membuat Bumi berubah sedingin ini.“Maaf,” kata Raga kemudian menghela nafas dalam-dalam. Keduanya masih saling berhadapan, ketika suara mobil terdengar berhenti di depan toko. Tanpa mengucap sepatah kata apapun, Bumi keluar. Ia melihat pick up-nya di depan toko telah terparkir rapi berdampingan mobil milik Raga. Sebuah sepeda motor datang tak lama kemudian.Seorang lelaki turun dai pick up, tersenyum ramah ke Bumi.“Mbak, saya disuruh bos anterin mobil,” kata lelaki itu ramah.“Owh, ya, makasih,” sahut Bumi tak kalah ramahn
Hai, ada adegan dewasanya ya, harap bijak memilih bacaan.Selamat membaca...Kaget, sekujur Bumi menegang, bulu kuduknya meremang berjamaah. Seperti terkena sengatan listrik triliyunan watt, tubuh semampai itu lemas seketika.“Kau masuk, aku yang ngurusin,” titah Langit, menarik jemarinya dari pucuk kekenyalan nan memabukkan itu setelah meremas dan menatap Bumi tajam. Mengecup bibir ranum dan mungil itu sejenak, melepaskan dengan cepat kemudian menarik Bumi menjauh dari pintu untuk mendudukkannya ke sofa. Bumi nurut, masih terbengong untuk beberapa saat atas perlakuan sang CEO.Lelaki tampan itu kembali ke toko dan membuka toko tepat ketika ketukan di pintu terdengar.“Mau ambil pesanan ya, Bu?”Terkejut, ibu yang berdiri di depan toko malah memperhatikan Langit dari atas ke bawah, lanjut bawah ke atas.“Lhoh, Mbak Buminya mana?” tanyanya keheranan.“Oh, Bumi sedang
Menguasai Dara, Langit makin mengeratkan pelukannya. Melihat gelagat lelaki tampan itu menurutnya luruh, Dara tersenyum kesenangan. Ia membelai pipi lelaki bertubuh atletis dengan lembut dan membisikkan sesuatu di sana.“Aku pasrahkan semuanya untukmu, Dear.”Ditatapnya mata elang Langit.“Semuanya,” tegas Dara mempererat pelukan.“Kau yakin?” tanya Langit menghentikan aktivitas.“Nggak ada yang kuragukan lagi, Dear, kau milikku selamanya.”“Kau tak menyesal?”“Buat apa menyesal?”“Aku nggak yakin kau mempercayaiku.”Dara tersenyum, mengecup bibir Langit dalam, tubuh bagian atasnya telah menempel sempurna ke da** bidang sang Langit. Dikungkungnya wajah tampan itu mendekat ke wajahnya.“Lakukan semua maumu, hanya padaku,” kata Dara lirih, penuh penekanan dan kem
Entah untuk yang keberapa kalinya lelaki dengan rahang kuat dan tatapan yang mampu membuat banyak wanita meleleh itu menghubungi Bumi. Hasilnya nihil. Ada satu panggilan yang diangkat, tapi hanya sesaat, setelahnya dimatikan Bumi. Ratusan pesan dikirimkan Langit dengan perasaan campur aduk. Hasilnya, terbaca oleh Bumi tapi tak ada yang terbalas satupun. Dalam keadaan online pun, Bumi bergeming.Kemarahan memuncak, itulah kesimpulan Langit.Namun, namanya Langit, ia memiliki banyak cara untuk menemukan keberadaan gadis madunya itu. Banyak orang yang disebar untuk urusan pribadinya. Hanya dia yang tahu, hanya dia yang mengerti siapa orang-orang kepercyaannya. Sayang, untuk kali ini hasilnya masih belum ada hilal mencerahkan.Masih di dalam ruang makan, Langit bergerak hilir mudik tak tentu arah. Puntung rokok sudah penuh di asbak yang ia sambar saja dari rak. Bau rokok memenuhi ruangan, meskipun pintu belakang terbuka lebar, tetap saja tak bisa m
Aku akan menunggu, menunggumu, Bumi.Beberapa saat berdiri mematung, Langit kembali ke dalam mobil, duduk di belakang kemudi. Meminum air mineral yang tersedia di mobil, membuka sedikit jendela dan menyalakan rokok. Ia baru melihat ada tulisan di ujung pagar, kecil tak begitu kentara. Tertulis di sana Vila Bumi. Apakah vila itu milik Bumi?Entah sampai jam berapa, bulan temaram, hanya suara jangkerik terdengar jelas. Sepanjang malam, hanya ada satu dua kendaraan roda dua yang lewat. Seingat Langit, hanya ada dua mobil ke arah lebih atas lagi. Memang setelah vila mungil, jalanan super menanjak. Lelaki bermata elang itu sempat keluar dan berjalan ke atas, masih terlihat dua rumah. Selanjutnya pepohonan alami lereng pegunungan. Saat bulan tak tertutup awan, akan tampak jelas berderat pinus seolah berada di belakang rumah mungil, yang lebih tepatnya vila super mungil yang ditempati Bumi. Pegunungan terlihat sangat jelas dan dekat.&nb