Karin mendorong tubuh Katon menjauh darinya. Nafasnya tersengal menahan amarah yang serasa sudah menumpuk di tenggorokan dan jika tidak segera dikeluarkan, bisa saja dia berteriak histeris dan menampar Katon.
"Ayahku meninggal karenamu," ucap Karin penuh kebencian.
Katon hanya tersenyum tipis, "Untuk apa aku mengirim cerberus jika ingin ayahmu mati?"
"Cerberus?"
"Ya, anjingku," Katon berdiri tegap, kembali mendorong tubuh Karin ke dinding. Kali ini dia mencengkeram bahu Karin dengan erat hingga tak ada sela bagi Karin untuk berontak.
"Ini semua sudah takdirmu, Karin Nevada. Kau harus menerima atau mati. Semua ada di tanganmu," Mata hitam legam Katon kembali muncul kapanpun dia berada dekat dengan Karin.
Sementara Karin hanya terdiam karena tidak bisa melakukan apapun. Semarah apapun dia, saat ini dia sudah terjebak di dalam dunia Katon. Hal yang terbaik baginya adalah terus memerankan perannya sebagai calon pengantin Katon agar tak ada yang bisa mencelakainya.
"Aku harus pergi," ucap Katon seraya merapikan kerah bajunya. "Aku akan menemuimu nanti malam."
"Untuk apa?" Pertanyaan Karin sukses menghentikan langkah kaki Katon. Dia yang semula sudah meninggalkan Karin di belakang, dengan cepat memutar langkah mendekati Karin.
"Kau tetap tidak mengerti posisimu ya?"
"Aku tidak ingin bertemu denganmu nanti malam."
"Well, sepertinya kau memang butuh disiplin. Aku akan ke kamarmu nanti malam," Senyum Katon begitu penuh maksud hingga membuat bulu kuduk Karin tak terasa berdiri.
Kemudian lelaki itu benar-benar pergi meninggalkan Karin yang masih memiliki seribu kekesalan di hatinya.
* * *
Banyak siswa yang saat ini sedang berkerumun di depan kelas Karin dan saat mereka melihat Karin kembali, mereka langsung berbisik-bisik satu sama lain dengan pandangan tak lepas dari Karin. Sedangkan Karin hanya bisa pasrah dan lanjut berjalan masuk ke dalam kelasnya dengan perasaan yang masih dongkol.
"Karin!" Erna yang ternyata menunggu di kelasnya sedari tadi tiba-tiba berlari menghampiri Karin.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Erna dengan mata melebar.
Karin menggeleng dengan kesal.
"Dia nggak nyakitin kamu kan?"
"Nggaklah!" jawab Karin ketus. Erna menarik tangan Karin untuk duduk di pojok belakang dan membisikinya sesuatu.
"Kamu harus lihat wajah Tanya. Dia malu banget karena ketahuan bohong. Ternyata calon suaminya hanya bangsawan biasa yang nggak terkenal."
"Kenapa dia berbohong?"
Erna angkat bahu, "Mungkin dia ingin disegani disini. Tapi ternyata justru kamulah pengantin Katon. Kenapa kamu nggak bilang dari awal?"
"Nggak ada yang bisa dibanggakan dari menikahi dia. Yang jelas hidupku berantakan karena Katon."
"Well, Karin. Aku nggak tahu apa yang terjadi dan aku takut untuk bertanya. Tapi yang jelas kita sekarang hanya bisa mengandalkan satu sama lain," Erna mengelus pundak Karin untuk memberinya semangat. Karin yang semula melipat dahi perlahan mulai tersenyum dan membalas Erna dengan pelukan hangat.
* * *
"Rin kamu malam ini mau makan dimana? Gimana kalau kuajak keliling kuliner malam?" tanya Erna di tengah perjalanan mereka pulang sekolah dan kembali ke asrama.
"Oh ya? Mereka juga punya sentra kuliner kayak di tempat kita?"
"Iya Rin!" Erna tampak sangat bersemangat. "Dan makanannya juga sama kayak makanan warga Alfansa."
Karin berteriak kegirangan, tak menyangka jika kehidupannya di sini sama sekali tak ada bedanya dengan saat dia hidup di Alfansa. Namun kegirangan itu hanya bertahan beberapa menit, karena dia tiba-tiba saja teringat dengan ucapan Katon.
"Tapi malam ini aku nggak bisa, Er," ucapnya lesu.
"Kenapa?" protes Erna.
"Katon bilang dia akan datang ke asramaku."
Mendengar jawaban Karin, Erna langsung menganga lebar dan terkikik.
"Kalian mau ngapain berduaan aja?"
Karin langsung merengut melihat respon Erna, "Jangan mikir aneh-aneh deh! Aku baru ketemu dia sekali, jadi nggak mungkin!"
Erna mengangguk masih dengan terkikik pelan. Dia melingkarkan tangannya di lengan Karin dan mereka berdua berjalan penuh semangat menuju asrama. Namun dibalik kesenangan mereka, Tanya diam-diam membuntuti Karin dan Erna dengan wajah penuh kekesalan. Dia mengepalkan tangannya erat seakan ingin membalas dendam.
"Karin!" Tanya memanggil Karin tepat saat mereka bertiga tiba di depan gerbang asrama. Spontan Karin dan Erna menoleh ke belakang.
"Tanya? Ada apa?"
Tanya berjalan menghampiri Karin, "Sebenarnya aku malu sih menemuimu sekarang."
"Terus kenapa kamu menemuinya?" seloroh Erna santai.
"Er!" tegur Karin, menyuruh Erna untuk diam.
"Maafkan aku udah ngaku sebagai calon pengantin Katon," ucap Tanya sambil menundukkan kepala, sangat terlihat jika dia malu menatap Karin.
"Haha!" Erna tiba-tiba terbahak.
"Er!"
"Kamu lucu banget ya Nya? Semua orang disini menggantungkan hidup sebagai calon pengantin walaupun mereka semua nggak pernah tahu nasibnya akan gimana. Dan kamu, kamu bisa seenaknya bohong dan nggak mengakui calon suamimu sendiri. Seharusnya kamu bersyukur."
Erna tak bisa menahan emosinya. Fakta jika Tanya menyepelekan calon suami aslinya sungguh membuat Erna yang telah dicampakkan merasa tersinggung.
"Kamu nggak tahu posisiku kan? Aku harus mati jika nggak ada yang mau menikahiku!" seru Erna tepat di depan wajah Tanya.
Karin berkali-kali menyuruh Erna tenang, namun ditepis. Sedangkan Tanya hanya terdiam memandangi Erna dengan mata bergetar. Dia baru tahu jika Ernalah cewek yang digosipkan semua orang sebagai cewek buangan.
"Ayo Rin!" Erna menarik tangan Karin meninggalkan Tanya yang terdiam pasrah. Setelah kedua temannya pergi diam-diam Tanya kembali mengepalkan kedua tangannya erat.
"Er, kamu kelewatan banget!"
"Biarin aja Rin. Dia harusnya bersyukur nggak dibuang calon suaminya."
"Er, tapi kita semua sama. Bahkan aku sendiri pun bisa aja tiba-tiba dibuang sama Katon."
Erna yang sedari tadi tersulut emosi mendadak diam setelah mendengar ucapan Karin. Ya, benar. Semua gadis disini memiliki resiko yang sama.
"Rin aku nggak ngerti sama kamu."
"Kenapa?"
"Cewek lain pasti bakal bangga banget saat tahu Katon calon suami mereka. Tapi kamu malah takut dia nggak bakal memilihmu."
"Seperti yang pernah kubilang, aku lebih suka kehidupanku di Alfansa. Jadi nggak ada alasan bagiku untuk membanggakan Katon."
Erna mengangguk kecil. Setelah mengobrol sedikit, mereka berdua memutuskan untuk kembali ke kamar masing-masing. Namun ketika Karin melihat fakta jika pintu kamarnya sedikit terbuka, dia langsung berlari untuk melihat apa yang terjadi. Sosok Katon sudah rebahan di ranjang kecil milik Karin, sambil sesekali memainkan boneka kelinci kecil, yang mana merupakan pemberian Albert, ayah Karin.
"Darimana kau dapat itu?" tegur Karin setelah menutup pintu dan meletakkan tasnya sembarangan.
"James mengambilnya dari rumahmu. Kau tidak senang?"
"Makasih," ucap Karin singkat.
Katon tersenyum tipis, kemudian beranjak bangkit dan duduk di tepi ranjang Karin. Sorot matanya saat ini berwarna hijau zamrud yang indah, hingga tanpa sadar Karin telah memandangi Katon begitu lama.
"Kau menyukai mataku?" tebak Katon.
Karin terperanjat, "Nggak! Aku hanya ... hanya nggak sengaja menatapmu."
Katon hanya mengangguk dan berjalan mendekati Karin, "Setelah menikah nanti kau bisa memandangi mataku setiap hari. Tapi sekarang aku butuh mengenalmu lebih dalam."
Tanpa aba-aba Katon meraih tubuh Karin, menggendongnya. Karin berteriak minta dilepaskan tapi tak diindahkan Katon. Lelaki itu kembali duduk di ranjang dengan Karin duduk di pangkuannya. Karin bisa melihat warna mata Katon tetap hijau zamrud tak berubah.
"Matamu berubah hitam saat marah?" tanya Karin terbata, karena posisinya saat ini benar-benar membuatnya kikuk. Kenapa Katon harus menyuruh Karin duduk di pahanya?
"Masih sehari, tapi kau sudah tahu hal terpenting dariku." jawab Katon dengan suaranya yang berat. "Aku tak salah memilihmu."
Karin berusaha keras untuk menjauh dari Katon, namun cengkeraman lelaki itu lebih kuat dari apapun. Bahkan tubuh Karin tidak bisa bergerak dan hanya bisa pasrah Katon sendiri sepertinya enggan untuk melepaskan Karin dan ingin Karin tetap duduk dipangkuannya. Dia memandangi gadis itu lamat-lamat hingga membuat Karin jengah. "Bisa nggak kau lepaskan aku?" suruh Karin. "Nggak." "Apa maumu?" "Aku sedang meneliti calon istriku." Diam-diam Karin mencuri pandang pada mata hijau zamrud milik Katon yang indah. Dia amati struktur wajah Katon, begitu tegas dan dingin. Tidak ada yang membedakannya dengan warga Alfansa biasa, kecuali warna matanya yang bisa berubah. "Kenapa kau memilihku?" "Kenapa kau tanya itu lagi?" "Karena aku ingin tahu. Kau tak mungkin memilihku begitu saja, pasti ada alasan dibalik semuanya." Katon tersenyum, "Terkadang kami memang memilih calon pengantin kami secara acak. Makanya ada beberapa calon pengantin yang berakhir mati karena ditolak oleh kami." "Kau memil
"Aku harus pergi." pamit Katon ketika dia dan James sudah ada di depan pintu gerbang masuk negeri bangsawan iblis. "Apakah wajib bagi Tuan Katon untuk mencari Deswita?" "Nona ... " ralat Katon. James hanya menunduk cepat, namun tak berniat meralat ucapannya. "Sebentar lagi aku akan menikah, dan aku ingin dia datang," jelas Katon. "Aku juga ada urusan lain." James bisa membaca pikiran siapapun, kecuali para bangsawan iblis yang kedudukannya lebih tinggi darinya. Maka ketika Katon sengaja membuka pikirannya untuk dibaca James, lelaki paruh baya itu terperanjat kaget, "Tuan yakin?" "Ya," "Tapi Tuan tidak wajib menghukum Bondan. Biar cerberus yang menanganinya," "Dia telah mengusik wanita yang salah ... " Katon benar-benar pergi meninggalkan James yang masih tampak ragu dan tak rela meninggalkan Katon sendirian, keluar dari gerbang utama menuju dunia warga Alfansa. Namun sebagai asisten yang setia yang telah menemani Katon hampir 150 tahun lamanya, James hanya bisa berharap keputus
Stefani Maura, salah satu keturunan bangsawan iblis Maura yang memiliki kedudukan tertinggi ketiga setelah bangsawan Bagaskara dan Damon. Ketiga keluarga bangsawan iblis yang paling berkuasa di seluruh negeri, termasuk Alfansa. Stefani tentu tak pernah merasakan kekurangan apapun dalam hidupnya. Terlahir abadi dan punya kemampuan luar biasa, serta paras yang menawan. Namun dibalik segala hal baik yang didapatnya, ada satu yang membuat Stefani iri dari manusia biasa. Rahim. Ya, semua bangsawa iblis perempuan tak akan pernah bisa memiliki keturunan dan itulah mengapa dia tidak bisa memilih siapa yang bisa dia cintai. Termasuk ketika dia berhubungan puluhan tahun dengan Katon, dia harus merelakan lelakinya itu dengan penduduk Alfansa karena Bagaskara membutuhkan keturunan untuk terus bertahan. Aldo menceritakan semua tentang Stefani pada Karin, lebih karena dia ingin Karin mengetahui banyak hal mengenai Katon sebelum mereka menikah nanti. "Dan sekarang dia pengen ketemu kamu," ucap Ald
"Aku nggak bakal sudi liat muka si Tyo lagi," geram Erna, merebahkan kepalanya ke bangku milik Karin. Setelah kejadian semalam, dia enggan berada terlalu lama di kelasnya sendiri dan memilih pergi ke kelas Karin jika sedang tak ada guru. Melihat wajah Tyo yang apesnya satu kelas dengannya membuat Erna muak, mengingat kejadian semalam yang mempermalukannya. Erna merasa menjadi orang bodoh yang sempat senang ketika Tyo mengajaknya kencan semalam. "Kenapa dia nggak nyari calon penganti di Alfansa?" "Rin, bisa nggak kita nggak usah bahas Tyo lagi?" pinta Erna dengan muka kesal. Karin mengangguk dan meminta maaf. "Karin Nevada?" panggil seseorang dari arah pintu kelas Karin. Spontan dia dan Erna menoleh, begitu pula teman-teman sekelasnya yang lain. Tampak seorang lelaki dengan muka bengal berjalan masuk menghampiri Karin, diikuti seorang perempuan berambut sebahu yang sangat cantik. Wajahnya dingin sedingin porselen, bahkan matanya yang sendu tampak ingin menghunus siapapun yang tan
"Kamu tahu nggak, kalo cewek-cewek ngomongin kamu di belakang?" ujar Erna saat dia bersama Karin di kantin sekolah. Karin angkat bahu, "Emang aku peduli?" Erna menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada yang menguping pembicaraan mereka, "Tapi Rin, kamu nggak bisa remehin ini gitu aja," "Dulu waktu kamu belum datang dan Tanya masih mengaku calon pengantin Katon, cewek-cewek bekerja sama untuk melenyapkan Tanya. Tapi belum sempat mereka mengeroyok Tanya, kamu datang," Karin melebarkan matanya, "Maksudmu?" "Mungkin karena sekarang aku temanmu, mereka nggak ngasih tahu aku rencana mereka," bisik Erna masih dengan sikap waspada. "Siapa yang punya ide brutal kayak gitu?" tanya Karin. Dia mendekatkan wajahnya ke telinga Erna, "Stefani?" Erna menggeleng keras, "Aku nggak tahu," "Karin ... " Suara itu tiba-tiba ada di samping Karin dan Erna yang masih serius mengobrol. Betapa kagetnya mereka saat tahu Katon entah dari mana tiba-tiba muncul. Karin bahkan sampai mengelus dadanya kare
Benar saja, James sudah ada di depan pintu kamar Karin ketika gadis itu mendengar bunyi bel pukul setengah 7 malam. Mendapati James dengan sikapnya yang formal, membuat Karin gelagapan. Dia belum siap, karena tidak menyangka James akan menjemputnya tepat di depan kamar. Seperti basa-basi pada umumnya, Karin mempersilahkan James untuk masuk karena bagaimana pun lelaki itu lebih tua darinya. "James, aku sekarang punya ponsel, kenapa nggak nelepon dulu?" protes Karin menyiapkan tempat duduk untuk James. "Aku tidak pernah pakai ponsel," "Terus bagaimana caramu berkomunikasi?" James memandang Karin keheranan, "Apakah aku perlu menjelaskannya?" Karin awalnya mengangguk, namun melihat James mengerutkan kening membuatnya tersadar. Dia sedang berurusan dengan makhluk abadi. "Jadi Katon memiliki ponsel hanya untuk berkomunikasi denganku?" James mengangguk, menyuruh Karin lebih cepat bersiap-siap. Karin segera menata rambutnya dan memasukkan barang yang perlu dia bawa. "Sepertinya kau per
Karin tak pernah tahu jika seorang bangsawan iblis seperti Katon menikmati makanan layaknya manusia biasa sepertinya. Pantas saja saat ini terhidang sepiring besar spageti, lengkap dengan garlic bread dan salad sayur. Tak lupa di sana juga tersedia minuman kesukaan Karin, jus semangka. "Di sini ada semangka?" ujar Karin nyaris tertawa. Katon tersenyum lalu mempersilakannya duduk, "Apapun untukmu pasti ada," Pandangan Karin masih berkeliling pada jamuan makan malam yang luar biasa mewah, karena seumur hidup dia tidak pernah dijamu seperti ini. Selain karena kesulitan ekonomi keluarga, selama di Alfansa hidup Karin juga tak pernah tenang akibat kejaran dari para lelaki yang haus akan dirinya. Ingatan kelam itu tiba-tiba muncul, membuat rasa takjub yang sempat menyelimuti hati Karin berubah menjadi pandangan kosong yang nanar. "Apakah pantas aku menikmati semua ini?" gumamnya pada Katon. "Penderitaanmu di Alfansa sudah berakhir. Aku akan menjagamu di sini," Pandangan Karin masih nan
Karin tak pernah tahu jika seorang bangsawan iblis seperti Katon menikmati makanan layaknya manusia biasa sepertinya. Pantas saja saat ini terhidang sepiring besar spageti, lengkap dengan garlic bread dan salad sayur. Tak lupa di sana juga tersedia minuman kesukaan Karin, jus semangka. "Di sini ada semangka?" ujar Karin nyaris tertawa. Katon tersenyum lalu mempersilakannya duduk, "Apapun untukmu pasti ada," Pandangan Karin masih berkeliling pada jamuan makan malam yang luar biasa mewah, karena seumur hidup dia tidak pernah dijamu seperti ini. Selain karena kesulitan ekonomi keluarga, selama di Alfansa hidup Karin juga tak pernah tenang akibat kejaran dari para lelaki yang haus akan dirinya. Ingatan kelam itu tiba-tiba muncul, membuat rasa takjub yang sempat menyelimuti hati Karin berubah menjadi pandangan kosong yang nanar. "Apakah pantas aku menikmati semua ini?" gumamnya pada Katon. "Penderitaanmu di Alfansa sudah berakhir. Aku akan menjagamu di sini," Pandangan Karin masih nan