Seumur-umur Karin tidak pernah tertarik untuk bersaing dengan gadis manapun, karena tanpa bersaing pun hidupnya sudah diperebutkan oleh banyak lelaki hingga membuatnya muak. Namun sepertinya Karin mulai memiliki firasat jika Tanya bisa saja menjadi saingan atau musuhnya. Hal ini dikarenakan entah Katon yang memang memiliki dua calon pengantin, atau Tanya yang sangat mendambakan Katon hingga berbohong menjadi calon pengantinnya.
"Karin!" tegur Dewi, karena Karin dari tadi hanya diam sambil menatap Tanya dengan tatapan kosong."Oh iya, kamu kenal Erna? Dia harusnya sih satu angkatan dengan kita karena dibawa kesini dua minggu sebelum aku," Karin mengalihkan topik pembicaraan.Dewi terdiam sambil mengingat-ingat."Erna? Maksudmu Erna yang ditolak calon suaminya?""Apa? Dimana dia sekarang?""Dia kayaknya di kelas sebelah deh," Tak butuh waktu lama bagi Karin untuk segera berlari menuju kelas sebelah yang dimaksud Dewi."Karin!" panggil Dewi, lari tergopoh-gopoh menyusul Karin yang lebih dulu sampai di kelas sebelah."Erna!" teriak Karin dengan bola mata memutar sekeliling mencari sosok Erna.Salah seorang siswi yang duduk di pojok belakang spontan berdiri dan berlari kecil menghampiri Karin. Matanya membelalak tak percaya dengan apa yang ada di depannya sekarang."Karin Nevada? Kamu Karin yang seangkatan sama aku? Yang ditaksir Erik?" cecarnya tak percaya.Karin mengangguk cepat, senang sekali. Tak terasa air matanya menetes dan tanpa ragu memeluk Erna erat. Dia merasa tenang dan aman setelah melihat keadaan Erna yang tetap utuh dan baik-baik saja.* * *"Dia menolakku tepat di hari kedatanganku," aku Erna sembari menyeruput jus buah yang ada di depannya."Ha? Kok bisa?""Ya, dia bilang dia sudah menemukan cintanya yang sama-sama bangsawan iblis. Katanya dia tidak membutuhkan pewaris karena keluarganya tidak kaya.""Kalau dia tidak membutuhkanmu, kenapa kamu dijemput?""Rin, setiap gadis warga Alfansa yang memiliki tato calon pengantin pasti akan dijemput," jelas Erna."Terus sekarang kamu gimana? Kamu nggak kembali ke Alfansa?"Erna menunduk lemas, "Dalam setahun aku harus menemukan calon suami pengganti atau aku harus mati."Karin menggeleng tak percaya. Matanya berkaca-kaca, merasa sangat kasihan dengan dilema yang dihadapi Erna saat ini. Bagaimana mungkin dia bisa menemukan pengganti hanya dalam setahun?"Kalau gitu, aku bakal bantu kamu," tawar Karin mantap."By the way Rin, siapa calon suamimu?"Karin terdiam, "Nanti bakal kukasih tahu.""Kenapa nggak sekarang aja?""Kamu nggak kenal.""Ya nggak apa-apa, Rin. Nggak semua cewek seberuntung Tanya bisa menjadi calon pengantin Katon penguasa negeri ini.""Ngomong-ngomong, siapa Katon?" tanya Karin mendadak ingin tahu."Katon Bagaskara, calon pewaris keluarga Bagaskara yang berkuasa di negeri ini. Beberapa hari lalu asrama dibuat heboh dengan kedatangan Tanya yang mengaku calon pengantin Katon.""Kamu pernah melihatnya?"Erna mengangguk dengan mata yang tak lepas dari sepotong pizza di depannya, "Pernah sekali.""Bagaimana wajahnya?""Hmm, yang jelas dia tampan. Namun wajahnya dingin menakutkan. Saat dia datang, semua orang pasti minggir nggak ada yang berani mendekat."Karin mengangguk dengan banyak pikiran di kepalanya. Dia sangat yakin James bilang jika dia calon pengantin Katon Bagaskara, namun kenapa ada Tanya?"Er, apakah mungkin seorang iblis punya dua calon pengantin?""Nggak mungkin Rin. Mereka hanya bisa menikah sekali. Kalau di tengah pernikahan mereka menyukai orang lain, mereka harus melepaskan yang lama," Erna menjelaskan pada Karin dengan bersemangat."Tapi Rin ... ""Kenapa?""Kok aku nggak pernah tahu Katon nyamperin Tanya. Padahal satu sekolah.""Katon sekolah di sini juga?""Iya. Walaupun katanya dia ke sekolah cuman menghabiskan waktu luang, nggak kayak kita yang benar-benar belajar.""Katon datang!" seru salah seorang siswi yang duduk bergerombol di sebelah tempat duduk Karin dan Erna. Semua orang yang mendengarnya langsung berhamburan pergi meninggalkan kantin untuk menuju tempat dimana Katon berada."Rin, Katon datang! Kamu mau lihat dia nggak?""Mau!" jawab Karin lantang. Kemudian Erna bergegas mengajak Karin kembali ke gedung kelas, bergabung dengan kerumunan.Saat mereka sudah berada di kerumunan, ternyata kerumunan orang-orang tersebut berada di depan kelas Karin. Karin dan Erna segera mendekat, dan Karin dapat melihat seorang laki-laki tinggi sedang berada di dalam kelasnya atau lebih tepatnya sedang membungkuk menggeledah laci mejanya."Karin, kenapa Katon menggeledah lacimu?" seru salah seorang teman sekelas Karin, yang disambut seruan dari banyak siswa yang berkerumun. Bahkan Erna terlihat sangat kaget hingga tak sadar memundurkan langkahnya menjauhi Karin."Jadi kamu Karin Nevada, calon istriku?" ucap suara berat yang tiba-tiba saja sudah di depan Karin. Matanya tajam dan dingin seakan bisa menghunus hati Karin kapanpun.Semua seketika hening. Kerumunan yang semula berisik seperti perkumpulan lebah menjadi sunyi senyap tak ada yang berani bersuara. Laki-laki itu mendekat dan sedikit membungkuk untuk berhadap-hadapan langsung dengan wajah Karin. Wajah mereka berdua terlampau sangat dekat hingga Karin bisa merasakan hembusan nafasnya yang dingin."Selamat datang. Semoga kamu menikmati rumahmu yang baru," ucapnya pelan. "Aku Katon Bagaskara, calon suamimu."Karin dapat melihat bola mata Katon yang berwarna hitam legam saat mereka berdua berdekatan, namun saat Katon mulai menjauh, mata itu berubah warna kehijauan seperti batu zamrud."Aku ingin bicara berdua saja denganmu," ajak Karin. Bukannya merasa takut seperti yang lain, Karin justru merasa sangat kesal saat melihat Katon. Akhirnya Karin melihat wajah orang yang membuat hidupnya selalu apes."Tentu saja," Katon memutar tubuh dan mulai berjalan diikuti Karin di belakangnya.Tanpa diminta kerumunan para siswa segera memberi jalan kepada Katon dan Karin. Dan salah satu orang di tengah kerumunan itu adalah Tanya, yang menatap Karin dengan tatapan tak percaya.* * *"Ada apa?" tanya Katon setelah mereka berdua saja di atas atap sekolah yang kosong."Kenapa kau memilihku?""Hanya itu yang ingin kau tanyakan?" ejek Katon."Ya.""Karena kau memang yang terpilih.""Pasti ada alasan."Katon tersenyum simpul. Dia berjalan mendekati Karin lalu mendorong tubuh gadis itu ke dinding. Katon menggapai pipi kiri Karin, mengusapnya dengan lembut."Harusnya kau senang aku sudah memilihmu.""Aku lebih memilih jadi warga Alfansa.""Oh ya? Jadi kau ingin pergi dari sini?" Katon menggenggam wajah Karin dengan kedua telapak tangannya. Bola matanya berubah hitam legam."Aku masih bisa melepaskanmu kalau kau mau. Tapi konsekuensinya kau harus mati jika tak mendapatkan penggantiku," bisik Katon tepat di telinga Karin. "Bagaimana? Kau bersedia?"Segalanya telah berubah. Dan harus berubah. Karin tak perlu diingatkan akan hal itu, karena dia cukup tahu diri. Segala kengerian yang terjadi dua hari yang lalu, membuatnya sadar jika hidupnya tak akan pernah tenang di sini. Menjadi pengantin bangsawan iblis tertinggi memang bukan pilihannya, namun Karin tahu, dia tak bisa menghindari takdirnya sendiri.Dan hari ini adalah hari terakhir baginya. Bukan hari terakhir untuk hidup, tapi hari terakhirnya untuk belajar di sekolah Sofia, karena Katon tak ingin hal mengerikan itu terjadi lagi, meski Stefani kini sudah menghilang selamanya.“Aku janji, aku tidak lama,” Karin mengacungkan jari kelingkingnya.Katon tampak menolak. “Aku tetap harus ikut,”“Aku harus menyerahkan surat ini pada kepala sekolah,”“Ya. Dan aku ikut,”“Tak perlu, Katon,”“Kenapa?” tanya Katon curiga. “Apa kamu mau menemui seseorang lagi?”Karin buru-buru menggeleng. Namun dia juga tak hendak menjawab. Ekspresinya kikuk, nampak bingung menyusun kata-kata.Katon pun men
“Siapapun yang menyakiti Erna, akan mati malam ini … “ Ancaman Hendery tak perlu digaungkan dua kali, karena dalam satu helaan nafasnya yang menderu dan murka itu saja, sudah membuat ciut nyali siapapun yang mendengar.Salah seorang siswi telah menjadi korban, kini terkulai mati kaku dengan luka tusukan belati di jantung. Semua mulai mundur. Kemudian Hendery melempar kembali belatinya ke siswi lain, yang dari pikirannya bisa Hendery baca, jika dia menjadi salah satu yang merundung Erna.Dua orang mati begitu saja, tanpa mengucapkan kalimat terakhir, atau setidaknya mohon pengampunan. Sementara tubuh Erna sudah babak belur dipukuli, tapi Hendery justru melirik Erna sekilas, dan mulai sibuk dengan aksinya sendiri.Di sisi lain, Karin yang lemas dan kedinginan mulai meringkuk menghangatkan tubuhnya ke dalam dekapan Katon, yang seakan enggan untuk melepas pelukan.“Maafkan aku, karena tak bisa melindungimu,” Katon tampak amat menyesal, sekali lagi mengelus rambut Karin dan makin memelukny
“Berhenti menghasutku!! Aku tidak akan luluh kali ini,” sergah Erna, kesal luar biasa setelah mendengar pengakuan Hendery.“Kapan aku pernah menghasutmu? Kamu sendiri yang bersedia menolong Karin di hutan terlarang,” Hendery balik bertanya. “Aku memberitahumu, karena jika sampai Katon tahu ini semua ulahmu, dia tak akan membiarkanmu hidup,”“Memang aku sebentar lagi mati,” dalih Erna, sama sekali tak terpengaruh. Klik! Dia memutus sambungan, tak peduli jika Hendery masih punya seribu topik yang ingin dia pakai untuk membujuk Erna agar berhenti. Tapi satu hal yang pasti, ketika Erna mengarahkan matanya ke tempat Karin, temannya itu sudah tak ada di tempat. Justru Tanya tiba-tiba muncul dengan raut puas di depan Erna.“Harus kuakui, ternyata kamu ada gunanya juga,” komentar Tanya, tersenyum licik sekaligus meremehkan.“Dimana Karin?”“Justru itu aku ke sini karena ingin mengajakmu menemuinya,” sahut Tanya, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan telinga Erna. “Stefani sudah memasang segel
“Er, Erna!” panggil Aldo, hendak berlari menghampiri Erna, sebelum gadis itu berlari sekencang kilat.Kini Aldo telah sampai di dekat Tanya. Tatapan matanya mendelik, penuh murka.“Apa yang sudah kamu katakan padanya?” hardik Aldo.Tanya gelagapan. “Aku hanya bicara jujur,”“Bukan hakmu untuk mengatakan padanya,” cela Aldo. “Kalau sampai terjadi apa-apa pada Karin, kamu yang akan kukejar lebih dulu,” Ancaman Aldo yang tak pernah peduli pada gosip apapun di sekolah, membuat Tanya sedikit gentar. Bahkan setelah menjadi pelindung Karin, Aldo tak pernah marah pada siapapun.***Brakk!!Erna menendang, membanting dan merusak apapun di depannya. Dia meraung, berteriak, tak peduli menjadi bahan tontonan teman-teman sekelas Edo. Sementara Edo, lelaki itu duduk diam dan pasrah di bangkunya sendiri, tak berkutik meski bangku-bangku di sekitarnya telah roboh oleh amukan Erna.“Kenapa? Hah! Kenapa harus Karin?” teriak Erna. “Dia istri petinggi di sini, dan dia SAHABATKU,” Erna menjerit, meronta m
Erna memutuskan untuk tak masuk ke sekolah keesokan harinya, karena kondisinya yang masih penuh luka dan tak tahan jika harus mendengarkan gosip serta cemoohan dari para siswi, karena berita perkelahiannya dengan Stefani telah tersebar luas ke seluruh penjuru sekolah Sofia.Setelah disembuhkan oleh Hendery, meskipun lukanya telah menutup dan tak mengalami pendarahan, namun bekasnya tetap saja belum mengering seratus persen, sehingga dia harus membalut kedua lengannya dengan perban. Erna tak ingin memberi bahan bagi para siswi tukang gosip di sekolah, dengan kemunculannya. Maka dia memilih untuk istirahat di dalam kamar, untuk sehari saja.“Er, boleh aku masuk?” Erna sampai hampir melompat, karena tak percaya telah mendengar suara Karin, begitu jelas dari balik pintu kamarnya. Dia lalu balik berteriak, meminta Karin untuk masuk karena tidak dikunci. Maka Karin pun segera membuka pintu, muncul dengan raut khawatir bersama Aldo di belakangnya.“Kukira kamu sendirian, Rin,” ujar Erna, se
“Kenapa dia harus salah paham?” Wajah Hendery mulai tak enak setelah mendengar ucapan Erna.“Sekarang kami berkencan, sesuai rencana awal kita,” jelas Erna. “Kamu tahu sisa waktuku hanya 5 bulan lagi. Aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini,”Hendery melipat tangan ke depan dada, berjalan perlahan mendekati Erna.“Dan kenapa dia harus salah paham?” ulang Hendery. “Tak ada yang terjadi pada kita, kan?”Erna mengangguk cepat. Dia kira, Hendery akan menolak karena tak ingin hubungannya dengan Erna merenggang, tapi ternyata, itu semua hanya dalam kepala Erna. Hendery sama sekali tak peduli.***Karin mulai gerah dengan tatapan orang-orang di sekitarnya, yang terus saja menatap tajam ke arah Karin, kapanpun mereka ada kesempatan. Hari ini, Aldo dan Rama sengaja tak datang untuk menjaga Karin, karena Karin merasa sedikit tidak nyaman dengan pengawasan dua orang itu. Belajar dari pengalaman Erna, Karin tak ingin ada orang lain lagi yang iri padanya hanya karena dia memiliki dua bangsawan