Karin berusaha keras untuk menjauh dari Katon, namun cengkeraman lelaki itu lebih kuat dari apapun. Bahkan tubuh Karin tidak bisa bergerak dan hanya bisa pasrah Katon sendiri sepertinya enggan untuk melepaskan Karin dan ingin Karin tetap duduk dipangkuannya. Dia memandangi gadis itu lamat-lamat hingga membuat Karin jengah.
"Bisa nggak kau lepaskan aku?" suruh Karin.
"Nggak."
"Apa maumu?"
"Aku sedang meneliti calon istriku."
Diam-diam Karin mencuri pandang pada mata hijau zamrud milik Katon yang indah. Dia amati struktur wajah Katon, begitu tegas dan dingin. Tidak ada yang membedakannya dengan warga Alfansa biasa, kecuali warna matanya yang bisa berubah.
"Kenapa kau memilihku?"
"Kenapa kau tanya itu lagi?"
"Karena aku ingin tahu. Kau tak mungkin memilihku begitu saja, pasti ada alasan dibalik semuanya."
Katon tersenyum, "Terkadang kami memang memilih calon pengantin kami secara acak. Makanya ada beberapa calon pengantin yang berakhir mati karena ditolak oleh kami."
"Kau memilihku secara acak?"
Katon terdiam dengan sedikit menundukkan kepalanya. Saat Karin perhatikan, bola matanya telah berubah hitam legam.
"Kau marah?"
"Aku, Katon Bagaskara, tidak mungkin memilih istriku secara acak," ucap Katon tegas. "Tapi kau tak perlu tahu kenapa."
Dia melepaskan tubuh Karin dan beranjak berdiri. Sepersekian detik ada perasaan kecewa dari Karin karena Katon telah melepaskan Karin dari pangkuannya. Mata Katon mendelik mengawasi Karin, dengan senyum tipis yang dingin dan penuh maksud.
"Kau kecewa?"
"Kau membaca pikiranku?!" protes Karin tak terima bercampur malu. Dia tak menyangka Katon akan membaca isi hatinya secara gamblang.
"Tapi aku harus pergi. Sampai jumpa lagi," Katon berjalan menuju pintu kamar Karin.
"Sampai kapan?" tanya Karin tanpa diduga.
"Entahlah. Jangan menungguku. Cukup persiapkan saja dirimu untuk pernikahan kita nanti," jawab Katon. "Namun perlu kuingatkan, cobaanmu disini akan lebih berat. Kau harus bertahan."
"Apa maksudmu?"
"Kau akan tahu," jawab Katon singkat sembari tak lupa melempar senyum tipis nan misterius. Dan kali ini dia benar-benar pergi, meninggalkan Karin yang di lubuk hatinya yang terdalam masih ingin Katon berada disini.
* * *
Karin berjalan melewati koridor sekolah saat dia mulai menyadari jika para siswa mulai berbicara di belakangnya. Saat Karin melintas, mereka berbisik-bisik dengan tatapan tajam ke arahnya, seakan Karin baru saja terlibat skandal yang tak termaafkan. Apakah ini yang dimaksud Katon dengan cobaan?
"Karin!" panggil Tanya yang berlari menuju arah Karin. Senyumnya sangat lebar pagi ini.
"Mana Erna?" tanyanya.
"Nggak tahu. Gedung asrama kita nggak sama."
"Karin Nevada?" tegur seorang siswa bertubuh jangkung dengan kacamata. Dia membawa sebuah bingkisan dengan paper bag warna coklat.
"Iya."
"Aku Aldo, ketua OSIS di sekolah ini," Dia menawari Karin untuk berjabat tangan.
"Disini juga ada OSIS?" tanya Karin terkagum-kagum.
"Well, ya," Aldo menjawab ragu. "Memang kenapa?"
"Nggak," Karin menggeleng kuat karena dia dengan cepat menyadari jika Aldo adalah salah satu bangsawan iblis.
"Ini ada titipan untuk kamu dari Katon.," Aldo menyerahkan bingkisan itu pada Karin.
"Ini apa?" Karin mengamati bingkisan itu di setiap sudut untuk menebak isinya.
"Sepertinya ponsel?" tebak Tanya.
"Yap. Katon memberimu ponsel supaya kalian bisa mudah berkomunikasi."
Karin lagi-lagi terkagum karena tak menyangka kehidupannya di Alfansa sama saja dengan disini. Aldo menawari Karin untuk membuka bingkisan itu dan mengatur ponsel baru Karin supaya bisa langsung dipakai.
"Ngomong-ngomong, kamu yang ngaku jadi pengantin Katon kan?" tanya Aldo pada Tanya dengan muka datar tanpa rasa bersalah.
Tanya yang semula wajahnya penuh senyum berubah kecut dan merah karena malu. Dia gelagapan hingga salah tingkah.
"Nggak malu ya temenan sama Karin?" seloroh Aldo lagi tanpa beban.
"Aldo, stop. Aku yang nyuruh dia temanan sama aku," pinta Karin.
"Oke, maaf ya Rin," Aldo kembali fokus pada ponsel baru milik Karin sambil sesekali melirik Tanya.
"Siapa calon pengantinmu?" tanya Aldo sekali lagi pada Tanya.
"Apa pedulimu?"
Aldo angkat bahu, "Aku cuma penasaran kenapa kamu malu mengakuinya."
"Kalau kamu siapa Do?" seloroh Karin nimbrung.
"Nggak punya. Aku masih menikmati kebebasan dan memang itulah enaknya jadi bangsawan biasa sepertiku. Kita tak punya beban untuk segera mencari calon pengantin."
"Do... aku boleh ngomong sesuatu nggak?" Terbata-bata Karin bertanya pada Aldo.
"Kenapa?" Aldo masih sibuk mengutak-atik ponsel Karin. Dia adalah salah satu murid yang merangkap sebagai asisten Katon. James dan Aldo menjadi satu-satunya orang kepercayaan Katon.
"Kamu mau nggak ... "
"Nggak!" Belum sempat Karin menyelesaikan kalimatnya, Aldo dengan cepat menyela.
"Aku tahu kamu bakal nyuruh aku kenalan dengan dia kan?" Kepala Aldo menunjuk pada sosok Erna yang berjalan cepat menuju ke arah Karin.
Karin hanya bisa nyengir karena mungkin satu sekolah sudah tahu jika mereka berdua bersahabat. Persahabatan yang sangat konyol, antara calon pengantin Katon yang notabene sosok paling disegani dengan calon pengantin yang ditolak pasangannya.
"Ada apa Rin?" tanya Erna setelah dia mendekat. Erna menatap Karin dan Aldo bergantian.
"Kenapa kamu disini?" tanyanya.
"Nggak lihat apa?" Aldo ketus, sembari melanjutkan kesibukannya mengatur ponsel Karin.
"Kasihan banget yang bakal jadi calon pengantinmu," gerutu Erna.
"Dan untungnya aku nggak nyari," Setelah beres, Aldo segera menyerahkan ponsel itu dan bergegas pergi. Dia hanya pamit pada Karin dan tak menghiraukan Erna maupun Tanya. Mereka berdua menggerutu dongkol pada sikap Aldo yang memang terkenal culas pada siapapun.
Karin mengamati ponsel barunya yang entah bagaimana, telah terpasang wallpaper wajah Katon disana. Sepertinya Aldo sengaja mengerjai Karin atau memang disuruh oleh Katon. Dalam hati Karin mengomel, namun tersirat senyum tipis di bibirnya.
"Gila ya, kenapa dia iseng banget naruh foto Katon di wallpaper ponselmu?!" seru Erna, membuyarkan lamunan singkat Karin yang indah.
"Masa sih?" Tanya ikut nimbrung ingin melihat wallpaper itu.
Karin segera memasukkan ponselnya ke saku, "Mungkin Katon yang nyuruh dia."
"Nggak nyangka Katon senarsis itu."
"Aku harus pergi." pamit Katon ketika dia dan James sudah ada di depan pintu gerbang masuk negeri bangsawan iblis. "Apakah wajib bagi Tuan Katon untuk mencari Deswita?" "Nona ... " ralat Katon. James hanya menunduk cepat, namun tak berniat meralat ucapannya. "Sebentar lagi aku akan menikah, dan aku ingin dia datang," jelas Katon. "Aku juga ada urusan lain." James bisa membaca pikiran siapapun, kecuali para bangsawan iblis yang kedudukannya lebih tinggi darinya. Maka ketika Katon sengaja membuka pikirannya untuk dibaca James, lelaki paruh baya itu terperanjat kaget, "Tuan yakin?" "Ya," "Tapi Tuan tidak wajib menghukum Bondan. Biar cerberus yang menanganinya," "Dia telah mengusik wanita yang salah ... " Katon benar-benar pergi meninggalkan James yang masih tampak ragu dan tak rela meninggalkan Katon sendirian, keluar dari gerbang utama menuju dunia warga Alfansa. Namun sebagai asisten yang setia yang telah menemani Katon hampir 150 tahun lamanya, James hanya bisa berharap keputus
Stefani Maura, salah satu keturunan bangsawan iblis Maura yang memiliki kedudukan tertinggi ketiga setelah bangsawan Bagaskara dan Damon. Ketiga keluarga bangsawan iblis yang paling berkuasa di seluruh negeri, termasuk Alfansa. Stefani tentu tak pernah merasakan kekurangan apapun dalam hidupnya. Terlahir abadi dan punya kemampuan luar biasa, serta paras yang menawan. Namun dibalik segala hal baik yang didapatnya, ada satu yang membuat Stefani iri dari manusia biasa. Rahim. Ya, semua bangsawa iblis perempuan tak akan pernah bisa memiliki keturunan dan itulah mengapa dia tidak bisa memilih siapa yang bisa dia cintai. Termasuk ketika dia berhubungan puluhan tahun dengan Katon, dia harus merelakan lelakinya itu dengan penduduk Alfansa karena Bagaskara membutuhkan keturunan untuk terus bertahan. Aldo menceritakan semua tentang Stefani pada Karin, lebih karena dia ingin Karin mengetahui banyak hal mengenai Katon sebelum mereka menikah nanti. "Dan sekarang dia pengen ketemu kamu," ucap Ald
"Aku nggak bakal sudi liat muka si Tyo lagi," geram Erna, merebahkan kepalanya ke bangku milik Karin. Setelah kejadian semalam, dia enggan berada terlalu lama di kelasnya sendiri dan memilih pergi ke kelas Karin jika sedang tak ada guru. Melihat wajah Tyo yang apesnya satu kelas dengannya membuat Erna muak, mengingat kejadian semalam yang mempermalukannya. Erna merasa menjadi orang bodoh yang sempat senang ketika Tyo mengajaknya kencan semalam. "Kenapa dia nggak nyari calon penganti di Alfansa?" "Rin, bisa nggak kita nggak usah bahas Tyo lagi?" pinta Erna dengan muka kesal. Karin mengangguk dan meminta maaf. "Karin Nevada?" panggil seseorang dari arah pintu kelas Karin. Spontan dia dan Erna menoleh, begitu pula teman-teman sekelasnya yang lain. Tampak seorang lelaki dengan muka bengal berjalan masuk menghampiri Karin, diikuti seorang perempuan berambut sebahu yang sangat cantik. Wajahnya dingin sedingin porselen, bahkan matanya yang sendu tampak ingin menghunus siapapun yang tan
"Kamu tahu nggak, kalo cewek-cewek ngomongin kamu di belakang?" ujar Erna saat dia bersama Karin di kantin sekolah. Karin angkat bahu, "Emang aku peduli?" Erna menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada yang menguping pembicaraan mereka, "Tapi Rin, kamu nggak bisa remehin ini gitu aja," "Dulu waktu kamu belum datang dan Tanya masih mengaku calon pengantin Katon, cewek-cewek bekerja sama untuk melenyapkan Tanya. Tapi belum sempat mereka mengeroyok Tanya, kamu datang," Karin melebarkan matanya, "Maksudmu?" "Mungkin karena sekarang aku temanmu, mereka nggak ngasih tahu aku rencana mereka," bisik Erna masih dengan sikap waspada. "Siapa yang punya ide brutal kayak gitu?" tanya Karin. Dia mendekatkan wajahnya ke telinga Erna, "Stefani?" Erna menggeleng keras, "Aku nggak tahu," "Karin ... " Suara itu tiba-tiba ada di samping Karin dan Erna yang masih serius mengobrol. Betapa kagetnya mereka saat tahu Katon entah dari mana tiba-tiba muncul. Karin bahkan sampai mengelus dadanya kare
Benar saja, James sudah ada di depan pintu kamar Karin ketika gadis itu mendengar bunyi bel pukul setengah 7 malam. Mendapati James dengan sikapnya yang formal, membuat Karin gelagapan. Dia belum siap, karena tidak menyangka James akan menjemputnya tepat di depan kamar. Seperti basa-basi pada umumnya, Karin mempersilahkan James untuk masuk karena bagaimana pun lelaki itu lebih tua darinya. "James, aku sekarang punya ponsel, kenapa nggak nelepon dulu?" protes Karin menyiapkan tempat duduk untuk James. "Aku tidak pernah pakai ponsel," "Terus bagaimana caramu berkomunikasi?" James memandang Karin keheranan, "Apakah aku perlu menjelaskannya?" Karin awalnya mengangguk, namun melihat James mengerutkan kening membuatnya tersadar. Dia sedang berurusan dengan makhluk abadi. "Jadi Katon memiliki ponsel hanya untuk berkomunikasi denganku?" James mengangguk, menyuruh Karin lebih cepat bersiap-siap. Karin segera menata rambutnya dan memasukkan barang yang perlu dia bawa. "Sepertinya kau per
Karin tak pernah tahu jika seorang bangsawan iblis seperti Katon menikmati makanan layaknya manusia biasa sepertinya. Pantas saja saat ini terhidang sepiring besar spageti, lengkap dengan garlic bread dan salad sayur. Tak lupa di sana juga tersedia minuman kesukaan Karin, jus semangka. "Di sini ada semangka?" ujar Karin nyaris tertawa. Katon tersenyum lalu mempersilakannya duduk, "Apapun untukmu pasti ada," Pandangan Karin masih berkeliling pada jamuan makan malam yang luar biasa mewah, karena seumur hidup dia tidak pernah dijamu seperti ini. Selain karena kesulitan ekonomi keluarga, selama di Alfansa hidup Karin juga tak pernah tenang akibat kejaran dari para lelaki yang haus akan dirinya. Ingatan kelam itu tiba-tiba muncul, membuat rasa takjub yang sempat menyelimuti hati Karin berubah menjadi pandangan kosong yang nanar. "Apakah pantas aku menikmati semua ini?" gumamnya pada Katon. "Penderitaanmu di Alfansa sudah berakhir. Aku akan menjagamu di sini," Pandangan Karin masih nan
Karin tak pernah tahu jika seorang bangsawan iblis seperti Katon menikmati makanan layaknya manusia biasa sepertinya. Pantas saja saat ini terhidang sepiring besar spageti, lengkap dengan garlic bread dan salad sayur. Tak lupa di sana juga tersedia minuman kesukaan Karin, jus semangka. "Di sini ada semangka?" ujar Karin nyaris tertawa. Katon tersenyum lalu mempersilakannya duduk, "Apapun untukmu pasti ada," Pandangan Karin masih berkeliling pada jamuan makan malam yang luar biasa mewah, karena seumur hidup dia tidak pernah dijamu seperti ini. Selain karena kesulitan ekonomi keluarga, selama di Alfansa hidup Karin juga tak pernah tenang akibat kejaran dari para lelaki yang haus akan dirinya. Ingatan kelam itu tiba-tiba muncul, membuat rasa takjub yang sempat menyelimuti hati Karin berubah menjadi pandangan kosong yang nanar. "Apakah pantas aku menikmati semua ini?" gumamnya pada Katon. "Penderitaanmu di Alfansa sudah berakhir. Aku akan menjagamu di sini," Pandangan Karin masih nan
"Aku nggak nyangka ada juga yang berani ngintipin kita," sindir Stefani dengan pandangan ditujukan pada Tanya yang mematung ngeri. Tanya menggigit bibirnya, "Maaf, Stef ... " Stefani berjalan mendekati Tanya dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Matanya menelusuri tubuh Tanya dari atas sampai bawah, "Oh jadi kamu yang ngaku sebagai calon pengantin Katon?" Kemudian dia balik menatap Karin, "Dan kamu berteman dengan calon pengantin Katon yang asli?" Stefani tersenyum licik penuh maksud, sambil melambaikan tangan dia kembali menghampiri Katon yang semenjak tadi masih duduk santai di tempatnya. Tak ada kata yang keluar dari mulut maupun penjelasan yang ingin dia lontarkan pada Karin. Sedangkan Karin, tubuhnya panas dingin, menahan kecewa dan marah menjadi satu namun tak bisa dia lampiaskan. Dia hanya ingin respon dari Katon, respon apapun. Mungkin terkejut atau panik. Tapi Katon tidak merespon, dan hanya balik merengkuh tubuh indah Stefani seakan kehadiran tiga onggok manusia bias