Keesokan paginya, Adrienne bangun dengan keadaan suhu tubuh yang meninggi. Semalam, Drew nyaris merenggut kesuciannya setelah pria itu mencumbu setiap inci tubuhnya dengan posisi ia yang masih terikat rantai. Tersiksa berat Adrienne, meronta, menjerit, berteriak dan meraung, memohon sedikit belas kasihan pada Drew agar tidak melakukannya. Beruntunglah bantuan datang melalui dering telepon yang membuat Drew langsung meninggalkan Adrienne tanpa sepatah kata pun.
Matanya yang dulu masih memancarkan kilau kini redup sempurna, penuh dengan luka yang tak terlihat. Hatinya hancur berkeping-keping, setiap bagian dari dirinya menjerit dalam kesedihan yang tak terperi. Dia merasa seolah-olah dunia telah berpaling darinya, meninggalkannya dalam kegelapan yang tak berujung. “Kenapa selalu aku?” Adrienne menjerit dalam hati, kepalanya tertunduk, bahunya berguncang, ia mulai menangis. Adrienne merasa sangat lemah saat ini. Tak memiliki semangat barang secuil pun. Takdir seakan selalu mengejarnya dengan kejam, menempatkannya dalam situasi yang selalu menyakitkan. Setiap harapan yang pernah ia miliki terasa hancur, setiap mimpi yang pernah ia bangun runtuh menjadi debu. Ia meremas ujung gaunnya dengan erat, seakan mencari kekuatan dari kain yang lemah itu. Tubuhnya terasa berat, seolah beban dunia menindih pundaknya. Napasnya tersengal-sengal, dada terasa sesak. Ia sudah pasrah, benar-benar pasrah akan apa yang terjadi dengannya setelah ini. Tidak ada lagi kekuatan untuk berlari, tidak ada lagi semangat untuk melawan. Pintu red room terbuka. Manusia yang nyaris merenggut kesucian Adrienne muncul dengan setelan kantor. Terlihat sangat keren pun gagah, tapi di mata Adrienne, Drew tak ubah seperti iblis mengerikan. Tatapan Adrienne yang tadinya sendu berubah menjadi dingin. Drew yang melihat itu nyaris tak sanggup menahan diri untuk tidak menarik sudut bibirnya ke atas. “Pergi! Pergi kau dari sini!” usir Adrienne melempar bantal pada Drew. Pria matang nan tampan itu menaikkan sebelah alisnya. Ia menghindari lemparan Adrienne sambil terus berjalan dengan kedua telapak tangan bersembunyi di balik sak celana hitamnya nan licin pun bermerk. “Kau merasa ini rumahmu?” tanya Drew terdengar arogan. “Kau merasa tubuhku milikmu hingga kau bebas melakukan apapun terhadapku?” Adrienne balik membalas. Matanya melotot galak. Kali ini Drew tidak bisa menahan kekehannya, mengudara bebas begitu saja. Dia akui bahwa keberanian Adrienne sangat memukau. Semalam, begitu ia melepas rantai Adrienne, dirinya langsung dihadiahi tumbukkan kuat di rahangnya oleh telapak tangan Adrienne sebanyak tiga kali dan hanya Adrienne yang berani melakukan itu padanya. Hingga Drew yang tengah penat akan kerjaan, kian tersulut emosi dan kembali merantai Adrienne sebelum akhirnya dia mencumbu tak tersisa tubuh gadis itu. “Aku telah membelimu dari Bondar.” Drew semakin memangkas jarak. Seringainya tampak mengerikan. Terulur telapak tangan besarnya mengusap pipi Adrienne. “Maka kau, hidupmu, tubuhmu dan semua yang ada padamu adalah ... milikku, Angel.” Plak! Dengan berani, Adrienne melayangkan tamparan di pipi Drew. “Kau adalah pria paling brengsek yang pernah kutemui! Aku bukan barang yang bisa diklaim sesuka hati manusia. Kau pikir perempuan adalah objek pemuas birahi lelaki?” seru Adrienne sedikit meninggikan suara. Drew tertoreh ke samping, ia memejam singkat. Menunduk lalu memiringkan kepala, menatap sayu redup Adrienne dan kekehan rendahnya kian mengudara. “Bukankah sebagai slave kau terlalu berani huh?” kekeh Drew menggerakkan rahangnya. “I don’t give a damn, bastard!” “Ssstt ....” Drew meletakkan jari telunjuk di depan bibir Adrienne. “Jangan mengumpatiku. Kecuali kau ingin aku meluluh merengut kesucianmu itu!” “Kill me! Kill me, now!” teriak Adrienne menitihkan air mata. Sungguhlah mati lebih baik daripada selamanya dia menjadi budak seorang pria seperti Drew dan semua itu karena ayahnya yang keparat. “Menikah denganku, lahirkan keturunan untukku, kupastikan kebahagiaanmu!” Adrienne membelalakkan mata mendengar permintaan Drew yang tak mengindahkan dirinya pun terdengar amat memaksa tanpa ingin dibantah. Matanya melotot lebar-lebar seakan ingin melompat keluar dari tempat. “K-kau gila?” pekik Adrienne. Gila? Rasanya memang Drew sudah gila. Bagaimana bisa dia menginginkan Adrienne untuk mengandung dan melahirkan keturunan untuk Drew sementara di luar sana banyak wanita berkelas nan setara dengannya pun menginginkan pria matang itu. Seharusnya Drew bisa memilih salah satu dari mereka untuk dijadikan pendamping hidup dan melahirkan penerus agar Drew bisa menjadi kepala keluarga Hidalgo yang saat ini masih diduduki oleh sang ayah, Dalton Hidalgo. Namun, lihatlah, pria tersebut justru memilih Adrienne. Adrienne kesal dan marah karena Drew tak kunjung menjawab pertanyaannya. Pria berusia 30 tahun itu justru menatap lekat dirinya tanpa berkedip dengan sorot mata yang tidak bisa Adrienne artikan. “Kuberikan kau waktu satu hari untuk berpikir. Namun, aku tidak menerima jawaban selain ya atau iya!” Setelah mengucapkan itu, Drew berlalu meninggalkan Adrienne di red room tersebut. Adrienne terperangah dengan Drew, mulutnya terbuka kecil, matanya pun kembali melotot. Ia berlari ingin mengejar Drew, tetapi pintu kamar lebih dulu dikunci oleh pemilik ruangan hingga yang mampu Adrienne lakukan hanyalah berteriak serta mengamuk di ruangan itu, dan Drew tidak peduli akan sehancur apa kamar tersebut. Bukankah lelaki memang seperti itu? Membiarkan perempuan melakukan apapun yang diinginkan asal kemauannya terpenuhi? “Maaf, Sir. Bukankah dia terlalu keras kepada Anda?” Drew menaikkan sebelah alisnya pada Walter yang baru saja bertanya. Lalu Drew terkekeh rendah. “Gadis sepertinya yang aku butuhkan untuk melahirkan keturunanku. Aku butuh keturunan yang keras dan gila,” balas Drew. “Saya tidak bermaksud lancang kepada Anda. Tapi jika hanya keturunan yang Anda butuhkan, Anda bisa menjadikannya slave tanpa terikat pernikahan, Sir. Bukankah Anda sudah-” Walter melipat bibirnya cepat-cepat pun menundukkan kepala tatkala atasannya melemparkan tatapan dingin.Malam semakin larut, Drew tak kunjung kembali ke rumah. Adrienne duduk di tepi ranjang dengan perasaan yang sulit digambarkan. Pikirannya penuh dengan berbagai macam perasaan yang saling bertubrukan. Dia merasakan kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan yang tak tertahankan. Sambil memandang keluar jendela, batinnya bertanya-tanya, “Bagaimana nasibku kedepannya?” Haruskah dia terus bertahan dalam pernikahan ini, atau tetap sesuai rencana awal, nekad pergi dengan konsekwensi yang mungkin akan lebih menyakitkan?Bagaimana mungkin dia bisa bertahan dalam pernikahan seperti ini? Semua impiannya dulu tentang masa depan bersama Drew, seolah lenyap. Dia merasa terjebak dalam perangkap yang tidak bisa dia hindari. Mencoba lari pun, tak ada jalan.“Aku tahu ini sulit, Adrienne. Tapi kamu harus ingat bahwa kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Jangan biarkan mereka mengendalikan hidupmu. Kamu punya hak untuk bahagia dan bebas,” ucapnya dengan mata terpejam. Dia berusaha menguatkan dirinya. Dia ya
“Aku sudah mengatakan sejujurnya. Jika kau ingin aku cepat hamil, buat aku selalu merasa bahagia. Karena dengan meningkatnya hormon endorfin pada diriku, akan mempercepat kemungkinan pembuahan hasil!” jelas Adrienne dengan begitu percaya diri. padahal dia sendiri tidak tahu apakan itu ada hubungannya kah tidak. Dia hanya berbohong untuk meluluhkan lagi hati Drew yang malam-malam begini kembali membahas perihal anak. “Ck! Itu hanya alasan untuk menutupi ketidakmampuanmu agar cepat hamil, bukan?!” cerca Drew. “Oke, terserah! Aku sudah mengatakan yang sebenarnya!” Mereka terus saja berdebat tentang penyebab Adrienne tak kunjung hamil Keduanya sama-sama tak ingin mengalah dan justru saling menyalahkan. Hingga perdebatan itu akhirnya terhenti, saat seorang ajudan tiba-tiba menghampiri mereka berdua. “Kau! Kenapa lancang sekali masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu?!” cerca Drew yang terlihat tidak suka dengan kedatangan ajudannya. “Maaf, Sir. Ada tamu yang mencari Anda,” jawab ajudan te
Drew menatap pemandangan kota dari jendela kantornya dengan perasaan campur aduk. Suara hiruk-pikuk dari jalanan yang biasanya memberinya sedikit ketenangan kini justru terasa mengganggu. Segala sesuatu di luar sana terlihat normal, sementara di dalam dirinya, segala sesuatunya berantakan. Ia merasakan tekanan yang terus meningkat dari berbagai sisi: perusahaan yang sedang diguncang serangan siber, desakan dari ayahnya untuk segera memiliki anak, dan ketegangan yang terus memuncak dalam rumah tangganya dengan Adrienne.Dia tahu, untuk menjaga segalanya tetap berjalan, dia tidak bisa membiarkan emosinya menguasai dirinya. Namun, setiap kali dia berpikir tentang situasi di rumah—tentang Adrienne dan apa yang diharapkan darinya—Drew merasa seperti berada di ambang ledakan. Ini bukan hanya tentang pewaris keluarga atau mempertahankan kendali atas perusahaan. Ini adalah tentang menjaga fasad yang selama ini dia bangun; bahwa dirinya adalah pria yang memegang kendali penuh, baik dalam bis
Drew terdiam sejenak setelah mendengar ucapan Adrienne. Napasnya yang tadi memburu perlahan mulai mereda, namun tatapannya tetap tajam. Dia melepaskan cengkeramannya dari rahang Adrienne tanpa melepas penyatuan keduanya. “Kau pikir kau bisa mengaturku?” Suaranya rendah, tapi mengandung ancaman yang jelas.Adrienne mendorong perut Drew, mencoba menciptakan jarak sejauh mungkin dari Drew. Matanya masih dipenuhi ketakutan, tapi dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya lebih dari ini. Dia harus kuat, untuk dirinya sendiri.“Aku hanya ingin kau memilih, Drew. Aku istrimu,” katanya dengan suara serak. “Bukan alat untuk melahirkan anak saat kau mau.”Drew mendengus, semakin kesal hatinya hingga ia kembali bergerak. Memenui Adrienne sedalam mungkin dan lingkar mata Adrienne semakin memerah. “Jangan berpikir kau bisa mengatur hidupku. Anak itu harus ada, dan kau yang akan memberikannya padaku.”Adrienne menatapnya tanpa berkata apa-apa. Dia tahu percuma berdebat sekarang. Drew akan selalu men
Keesokan harinya, Adrienne dikejutkan dengan kedatangan ayah mertuanya di mansion secara tiba-tiba. Dalton Hidalgo bertolak bersama kedua ajudan yang setia berjalan di belakangnya. Adrienne yang belum siap dengan kehadiran Dalton, langsung buru-buru memastikan penampilannya agar tak buruk sekali di hadapan paruh baya itu. Sementara Drew yang sedang berkutat dengan layar monitor dengan kepala berdenyut sakit, turut terkejut karena Dalton tidak mengabarinya sama sekali. Ia bergegas keluar menghampiri ayahnya. “Selamat datang, Dad,” sapa Drew berpelukan singkat dengan Dalton. Singkat Dalton menepuk punggung Drew. “Mana menantuku?” tanyanya. “Aku membuatnya kelelahan hingga pagi buta. Rien masih di kamar,” balas Drew dengan tenang. Seolah jawaban dari pertanyaan Dalton sudah direncanakan. Begitulah piciknya Drew. “Sopan bicara seperti itu sama orang tua?” Drew terkekeh rendah melihat mata Dalton yang memicing sinis. Ia mengajak Dalton ke ruang kerja setelah meminta maid agar menyiap
Adrienne memutuskan untuk pergi ke ruang santai dan mencoba mengalihkan perasaannya dengan hal lain. Setibanya di ruang bersantai, ia meraih remote televisi dan menyalakan layar, meskipun dia tidak benar-benar tertarik pada apa yang sedang terpampang di layar televisi kini. Dia hanya butuh sesuatu untuk membuat pikirannya tetap sibuk. Namun, suara dari televisi justru terasa samar, tidak bisa menandingi kegelisahan yang terus mengganggu pikirannya.Tak lama kemudian, suara langkah Drew terdengar mendekat. Adrienne segera berusaha mengatur ekspresinya, berusaha agar terlihat biasa saja. Drew masuk datang dengan rambut setengah basah, mengenakan kaos polo putih dan celana santai krem.“Kau di sini,” kata Drew datar sambil sesekali menatap layar ponsel.“Iya,” jawab Adrienne singkat, tanpa menoleh ke arahnya.Drew tidak banyak bicara, lalu duduk di sofa, tak jauh dari tempat Adrienne berada. Suasana di antara mereka terasa sedikit canggung, tetapi Adrienne berusaha mengabaikannya.Drew