"Papi?"
Seketika Misya panik, reflek berdiri lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan berisik itu. Dia menjadi parno sendiri—merasa diawasi oleh sang papi.
"Gimana ini?" Misya memandang ponsel yang ada di genggaman, ragu menjawab sebab tak ingin papinya menaruh curiga. Sementara ponselnya terus berdering. "Aku keluar dulu, deh."
Tak ingin sang papi mendengar suara berisik di tempat itu, akhirnya Misya memutuskan untuk pergi keluar. Perempuan itu berlari secepat mungkin, dan baru berhenti ketika tiba di pintu masuk kelab.
Sejenak mengatur napas dan irama jantung yang saling berkejaran, Misya lantas segera menjawab panggilan tersebut. "Halo, Pi?" Dia melangkah keluar, menuju parkiran kelab.
'Lama banget jawab teleponnya.' Suara Gunawan terdengar cukup kesal dari ujung sana.
"Maaf, Pi. Tadi Misya baru selesai mandi. Ada apa, Pi? Tumben telepon malem-malem." Misya berjalan mondar-mandir, sambil menggigit bibir bawahnya karena sudah berbohong.
'Kamu jam segini baru mandi?'
"Iya, Pi. Misya baru pulang dari toko," kata Misya kembali berbohong. Padahal, hari ini dia sengaja pulang cepat dari toko roti miliknya karena ada janji di tempat ini. "Papi belum jawab pertanyaan Misya, loh."
Pak Gunawan tak segera menjawab, dia seperti sedang berpikir.
Misya berhenti berjalan mondar-mandir, lalu menegur papinya yang tak kunjung menjawab. "Pi?"
'Kapan kamu bawa calon suami? Ini sudah hari ke lima. Waktu dari papi sudah berkurang. Tinggal dua hari.' Gunawan begitu bersemangat saat mengingatkan Misya akan kesepakatan mereka.
Misya menghela panjang sambil memejam sejenak. 'Aku pikir mau ngomong apa? Ternyata cuma mau ingetin itu.' Dia menggerutu dalam hati.
'Misya?' Gunawan tidak sabar.
"Iya-iya, Pi. Misya tau, kok. Papi tenang aja. Misya udah nemuin calon suami yang cocok. Mungkin lusa baru Misya kenalin ke Papi. Kami juga butuh perkenalan dulu 'kan, Pi? Gak bisa gegabah." Misya memijat pelipis yang mendadak berdenyut.
'Beneran udah dapet?'
"Papi gak percaya sama anak sendiri? Papi ngeraguin pesona anak papi yang montok ini?"
Gunawan terkekeh di ujung sana. 'Bukannya papi gak percaya. Papi takut kalo kamu salah pilih lagi. Papi gak mau anak papi yang montok dan ginuk-ginuk patah hati dua kali.'
"Papi doanya yang baik-baik, dong."
'Iya-iya. Papi doain, semoga calon suamimu kali ini cocok sama papi.'
"Papiiii…" Misya mencebik. "Nikahnya itu sama Misya bukan sama Papi."
Gunawan terbahak, lantas memutuskan untuk menyudahi obrolan absurd ini. 'Oke-oke. Papi tungguin kedatangan calon menantu papi. Kamu harus lebih teliti, jangan salah orang lagi. Yang kemarin suami orang, terus jangan-jangan yang besok buronan.'
"Papiiii …" teriak Misya, karena sang papi selalu saja meremehkan.
'Bercanda. Bercanda. Udah dulu. Papi mau lanjut main catur sama Salim.' Gunawan mengakhiri panggilan.
Misya langsung menarik napas dalam-dalam, dan menggerutu. "Punya orang tua nyinyir banget sama anak sendiri. Untung sayang, kalo enggak udah dari dulu kukutuk. Eh, kebalik, ya."
Misya memutuskan untuk kembali masuk. Namun, baru beberapa langkah, seseorang memanggilnya.
"Misya!"
Langkah Misya berhenti, kemudian dia berbalik. "Mami?"
Mami Kumala yang baru saja turun dari mobil langsung mengenali Misya dan buru-buru memanggilnya. Dia menghampiri, lalu bertanya, "Kok kamu di sini? Nungguin mami, ya?"
"Ah, enggak, kok, Mi. Misya barusan abis teleponan," jawab Misya, menunjukkan ponsel yang ada di tangan.
"Oh … Abis teleponan."
Misya tersenyum, lalu celingukan mencari seseorang yang katanya akan diperkenalkan dengannya. "Loh, mana orangnya, Mi?"
"Siapa?"
"Cowok yang mau Mami kenalin ke Misya."
Mami Kumala tersenyum. "Orangnya udah ada di sini, kok. Mungkin lagi nungguin kamu juga."
Kening Misya mengerut, dan menunjuk pintu masuk. "Ada di dalem?"
Mami Kumala mengangguk dan tersenyum. "Dia lantas mengajak Misya masuk. "Ayo, langsung ke ruangan mami aja. Nanti biar mami telepon orangnya."
Keduanya masuk bersamaan, sedangkan perasaan Misya semakin tak keruan. Jantungnya kembali berdebar-debar tanpa alasan.
~~~
"Orangnya pergi? Ke mana?" tanya Dika waktu Glenn kembali dengan botol air mineral yang belum sempat diberikan ke Misya.
"Gak tau." Glenn menduduki stolbar, dengan wajah tertekuk masam. Pikirannya masih tertuju pada Misya yang tahu-tahu menghilang.
Azka dan Dika memerhatikan Glenn yang nampak lesu. Mereka saling pandang dan mengangkat bahu.
"Padahal gue belum sempet minta nomor hapenya." Glenn bergumam, sambil memandangi botol mineral warna hijau di tangan. Terselip rasa sesal karena dia belum sempat meminta nomor Misya.
"Siapa namanya?" tanya Dika.
"Misya."
"Gue perhatiin kayaknya dia bukan tante-tante," kata Dika, yang sempat memerhatikan Misya sekilas.
"Emang bukan." Glenn menghela panjang. "Mungkin belum ada tiga puluhan. Kulitnya aja masih kenceng semua," cicitnya, seraya membayangkan kecantikan Misya yang sulit dilupakan.
Azka dan Dika saling pandang lagi. Tingkah Glenn sungguh membuat kedua cowok itu bingung.
"Elu kenapa jadi sedih gitu?" Akhirnya Dika terpaksa bertanya karena sudah tidak tahan lagi dengan tingkah sahabatnya.
Glenn tak menjawab, malah menghela panjang. Dia sendiri tidak tahu alasannya bertingkah seperti ini. Ponselnya tiba-tiba berdering. Glenn bergegas menjawab panggilan itu.
"Iya, Mi."
'Kamu masih di kelab 'kan?' tanya mami Kumala.
"Masih, Mi."
'Cepetan dateng ke ruangan mami. Udah ada yang nungguin kamu,' titah mami.
"Siap, Mi. Siap." Glenn berdiri.
'Cepet, yaa.' Mami Kumala mengakhiri panggilan.
Dika yang penasaran langsung bertanya, "Mau ke mana, lu?"
"Gue di suruh ke ruangannya mami." Glenn menjawab sambil merapikan penampilannya. "Oh, iya. Elu gak usah nungguin gue."
Dika mengangguk, dan Glenn bergegas menuju ke ruangan mami Kumala.
"Dapet pelanggan baru kayaknya," kata Azka, memandang Glenn yang sudah menghilang di balik pintu.
"Mungkin."
🌼🌼🌼
Bersambung...
'
Di rumah Glenn~Bu Daniar dan putri bungsunya sedang menyantap makan malam dalam suasana hati yang dilanda sedih. Kini dan esok hari hanya mereka berdua yang mengisi meja makan ini, dan mungkin untuk beberapa Minggu ke depan. Tak pernah rumah sesepi ini, kendati Glenn sering pulang larut malam karena bekerja sampingan. Rumah akan kembali ramai kalau Glenn pulang, dan akan makan bersama di pagi harinya. Meski anak lelakinya itu hanya bekerja di luar kota, dan berjanji akan mengusahakan untuk pulang setiap sebulan sekali. Hati Bu Daniar tetap tidak rela ditinggal jauh-jauh oleh Glenn. Untuk pertama kalinya beliau berjauhan dengan jarak yang cukup jauh, karena itu rasanya belum sanggup. 'Glenn akan usahakan pulang sebulan sekali, Bu. Kalau gak bisa sebulan ya, dua bulan sekali.' Itu yang dikatakan oleh Glenn saat di dalam taksi sepulang dari rumah sakit. Bu Daniar mengusap cairan bening yang menetes di pipi dengan tisu. Selera makannya lenyap. Pikirannya terus saja tertuju pada putra
Suasana di ruangan mendadak panas. Padahal keduanya hanya saling melempar pujian. Bukan pertama kalinya Misya dipuji cantik oleh seorang pria. Dulu, mantan pacarnya yang penipu itu seringkali memujinya apabila ada maunya. Ujung-ujungnya meminjam uang dengan alasan untuk modal usaha. Mengingat itu, sepasang alis Misya naik perlahan. Kecurigaan jika Glenn pun akan melakukan hal yang sama tahu-tahu timbul di pikirannya. 'Muji-muji cantik. Nanti ujung-ujungnya mau minjem duit. Semua cowok sama aja. Gak ada yang bisa dipercaya.' Benak Misya sibuk menduga-duga sikap Glenn yang barusan memujinya. Bahkan tak sadar jika dia sedang diperhatikan oleh pemuda itu. Merasa ada yang janggal, Glenn segera menyadarkan Misya dari lamunannya. "Misya? Misya?" panggilnya seraya melambaikan tangan di hadapan muka Misya yang datar. Misya terhenyak sejenak, mengerjap, lalu buru-buru menyeruput air es dari gelasnya. Bisa-bisanya dia punya pikiran buruk pada Glenn yang jelas-jelas mau bekerja sama memb
Beberapa menit kemudian~ Mungkin Misya sedang tidak sadar jika saat ini dia sedang menggandeng tangan Glenn, dan menuntunnya masuk ke ruangannya. Entah atas dasar apa perempuan dua puluh delapan tahun itu mendadak menjadi posesif. Sementara Glenn senyum-senyum sendiri dengan sikap posesif calon istrinya ini. Bukannya dia tidak tahu, jika di luar tadi dia menjadi bahan perbincangan para betina. Karena itu, Glenn sengaja menggoda Misya. "Cieee... kalo kayak gini Misya keliatan kayak calon istri yang lagi cemburu." Cekalan tangan Misya buru-buru dilepas karena perkataan Glenn barusan. Dia berbalik, dan memicing ke arah Glenn. "Jangan ge-er, ya! Misya tuh cuma gak pengen ada keributan di toko ini gara-gara kamu," sahutnya, menampik. "Masa, sih?" Glenn menahan senyum. Lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kerja Misya yang wanginya sudah mirip roti sungguhan. Aroma macam-macam kue mendominasi ruangan minimalis itu. Rapi sekaligus bersih. 'Lagian siapa suruh sih ke sini dengan
Beberapa jam sebelum tiba di toko~ Dari rumah, Glenn menumpangi taksi online menuju ke sebuah tempat terlebih dahulu sebelum dia menemui Misya di tempat yang sudah mereka sepakati. Untuk sandiwara yang dia jalani, Glenn memang harus semaksimal mungkin supaya tidak menimbulkan kecurigaan pihak-pihak lain, yang akan terkait dalam drama pernikahan kontrak ini. Professional menjadi pegangan Glenn ketika dia sudah berurusan dengan para pelanggannya. Dan Misya adalah termasuk pelanggan VIP bagi Glenn. Pemuda itu tidak bisa sembarangan. Dia harus lebih teliti dan hati-hati. Karena itu, Glenn yang dibantu Mami Kumala sengaja menyewa sebuah apartemen mewah yang berada di kawasan elit. Kata mami—apartemen tersebut sebagai penunjang Glenn yang mengaku sebagai model. Tak hanya apartemen. Mami Kumala juga meminjamkan salah satu koleksi mobilnya kepada Glenn. 'Pakek aja mobil mami. Kamu harus keliatan kayak orang kaya beneran, Glenn. Biar papinya Misya gak curiga. Mami juga udah sewain
Isi rumah sederhana milik Bu Daniar kini bisa dibilang sangat lengkap. Semua barang-barang yang dibeli oleh Glenn kemarin sangat berguna bagi sang ibu. Sekarang, pemuda itu bisa merasa tenang meninggalkan rumah tersebut. Rencananya, dia akan pergi siang ini menemui Misya di suatu tempat. Lalu malamnya, Misya hendak mengajaknya menemui papinya. Glenn sungguh sangat gugup meski semua yang mereka lakukan hanyalah sebuah sandiwara. Di kamar berukuran sederhana itu Glenn terlihat sedang mengemasi barang-barangnya. Memasukkan beberapa pakaian ke dalam koper. Sebenarnya, Misya melarangnya agar tidak membawa apa-apa karena dia yang akan membelikannya ketika sudah tinggal serumah. Namun, Glenn tetap memaksa. Dia tetap membawa barang-barangnya agar sang ibu tidak curiga. Akan terlihat aneh jika dia tidak membawa apa pun sementara yang ibunya tahu kalau Glenn hendak pergi ke luar kota. Semuanya sudah beres. Glenn keluar dari kamar sambil menyeret gagang koper berukuran sedang. "Bu..." pan
Setelah malam itu, Misya dan Glenn memutuskan untuk bekerja sama. Keduanya sepakat akan menikah secara kontrak selama dua tahun. Namun, sebelum Misya memperkenalkan Glenn pada papinya, dia membiarkan calon suami bayarannya itu membereskan masalah di rumah. Hari ini, Glenn yang sudah mantap menerima tawaran Misya, hendak bicara pada sang ibu. Kemungkinan besar dia pun akan kembali membuat kebohongan, sebab tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Glenn tidak mungkin mengaku pada sang ibu jika dia mendapat tawaran sebagai suami bayaran dari seorang perempuan kaya. Bisa-bisa ibunya tidak akan setuju. Oleh sebab itu, Glenn terpaksa mengarang cerita supaya sang ibu memberinya restu. Kebetulan hari ini adalah jadwal Bu Daniar cuci darah, dan seperti biasa Glenn yang mengantar dan menemani di rumah sakit hingga selesai. Proses cuci darah memakan waktu cukup lama. Tiga jam yang dibutuhkan untuk sekali sesi, karena bu Daniar tergolong pasien pengidap gagal ginjal kronis. Bu Dania