LOGINAlexa tidak pernah menyangka, pengkhianatan dari kekasihnya justru menyeretnya ke dalam permainan berbahaya dengan sosok yang sama sekali tak terduga. Theo, guru privat yang dipercaya ibunya, sekaligus pria matang yang dingin, tegas, dan sulit disentuh. Hubungan mereka seharusnya sebatas murid dan guru. Tidak lebih. Namun semakin sering bertemu, semakin kuat pula rasa penasaran Alexa terhadap pria itu. Apalagi ketika luka hatinya membuatnya ingin membuktikan diri, bahwa ia bukan gadis kecil yang bisa diremehkan, bahwa ia cukup menggoda untuk diperhitungkan. Theo menolak sekaligus terpikat. Usia mereka terpaut jauh, tanggung jawabnya jelas, dan godaan itu seharusnya ia patahkan sejak awal. Tapi Alexa terus menantang, terus mengusik, hingga batas antara larangan dan keinginan melewati batas wajar. Namun, Alexa tidak tahu bahwa ada rahasia besar yang tersembunyi dibalik status Theo, akankah hal itu yang akan menghentikan Alexa mencintai pria yang lebih dewasa darinya?
View More"ALEXA!"
Teriakan lantang memecah keheningan kamar. Pintu terbuka kasar, dan Rose, wanita paruh baya dengan wajah tegang penuh emosi muncul sambil menghentakkan selembar kertas ke atas meja. "Bu, bisakah ibu tidak menggangguku? Aku sedang main game," keluh Alexa malas, tak melepaskan pandangannya dari layar. Namun Rose tak memberi kesempatan. Dengan sekali tarik, kabel komputer tercabut. Layar gelap seketika. Alexa mendengus kesal, melepaskan headphone dan berdiri. Belum sempat ia melawan, sang ibu sudah mengacungkan kertas itu di depan wajahnya. "Kau sudah delapan belas tahun, Lexa. Sebentar lagi sembilan belas! Tahun ini seharusnya kau lulus. Tapi dengan nilai seperti ini…" Rose menepuk keras kertas itu, "universitas mana yang mau menerima murid sepertimu?!" Alexa hanya memutar bola mata. "Bu, lulus atau tidak, aku tetap pewaris perusahaan ayah dan ibu. Aku anak satu-satunya. Tidak ada yang bisa merebut itu dariku." Ucapan itu membuat Rose menarik nafas panjang, berusaha menahan ledakan emosinya. "Siapa bilang kau otomatis jadi pewaris? Dengan sikapmu sekarang, perusahaan bisa hancur di tanganmu!" Alexa menyeringai sinis. "Lalu apa? Aku cuma menikmati hidupku. Main game, belanja, jalan-jalan. Apa itu salah?" "Itu justru masalahnya!" suara Rose meninggi, nadanya meledak. "Mulai besok, ibu tidak mau tahu lagi. Ujian tahun ini kau harus lulus dengan nilai bagus. Kalau tidak, kau akan kehilangan semua asetmu!" Alexa terbelalak. "Apa ibu akan mencoret namaku dari kartu keluarga?!" Rose menatap tajam. "Kalau kau terus begini, ya. Besok ada orang yang akan menjemputmu. Kau akan tinggal bersamanya sampai sikapmu menjadi lebih baik. Sementara waktu, semua aset atas namamu akan dibekukan, jadi tidak ada cara lain untukmu bisa bepergian sesuka hati lagi, Lexa!" Alexa tercekat. "Apa?! Ibu mau buang aku? Aku putri satu-satunya di keluarga ini!" Rose menempelkan kertas nilai itu tepat di wajah Alexa. "Dengan nilai seperti ini, kau bahkan tak pantas jadi asisten, apalagi pemimpin perusahaan!" Setelah mengucapkan ultimatum itu, Rose berbalik dan keluar, meninggalkan Alexa yang masih membeku di tempat. Detik berikutnya, Alexa menggertakkan gigi. "Dibuang? Tidak! Sebelum orang suruhan ibu datang, aku akan kabur!" Malam itu, dengan nekat ia mengemasi barang-barang berharganya. Menjelang tengah malam, ia melompat dari balkon kamar di lantai dua dan lari ke jalan gelap. Namun nasib sial segera menamparnya. Seorang pencopet merampas tas berisi uang dan pakaiannya. Alexa panik, mencoba mengejar, tapi sia-sia. Belum sempat bernafas lega, dua pria asing menghadangnya. Sorot mata mereka tajam, penuh niat buruk. Alexa mundur, tubuhnya gemetar karena ia tidak punya kemampuan beladiri yang bagus. "Pergi!" serunya, tapi tangan kasar sudah menyeretnya. Alexa menjerit minta tolong, tapi gelap malam menelan suaranya. Ketika situasi semakin mencekam dan membuat Alexa berpikir malam ini tamat riwayatnya, tiba-tiba seseorang muncul. Pertarungan singkat terjadi, pukulan, teriakan, langkah tergesa sebelum Alexa ditarik masuk ke sebuah mobil berwarna hitam. Ia terengah-engah, jantungnya berdebar tak karuan. Perlahan menoleh, dan pandangannya langsung terpaku. Seorang pria matang dengan tubuh berotot duduk di sampingnya. Aura maskulin, rahang tegas, dan tatapan tajam itu membuat Alexa nyaris lupa bernafas. "Anda baik-baik saja, Nona." suaranya berat, dalam, dan seksi. Alexa menelan ludah. Tidak disangka malam ini ia justru bertemu dengan pria yang sangat menggoda seperti ini, tanpa sadar lidahnya terceplos sebelum sempat berpikir. "Apa paman punya istri?" tanyanya. Pertanyaan yang sama sekali tak seharusnya ia ucapkan di malam penuh malapetaka itu.“Jujur saja, peningkatanmu dalam belajar itu melonjak drastis,” komentar Felix sambil meletakkan satu kaleng minuman di depan Alexa dan Gio. Ia lalu ikut duduk, menyandarkan punggung santai. “Dulu peringkatmu… yah, kita semua tahu kondisinya. Tapi sekarang? Kau membuktikan kalau diri sendiri tidak boleh diremehkan.” Gio mengangguk, senyumnya tulus. “Aku sempat kira aku salah lihat hasilnya. Nilaiku saja dibuat minder kalau dibandingkan lonjakanmu.” Alexa hanya tersenyum tipis, memainkan ujung kalengnya. “Aku perlu mengubah beberapa hal dalam hidupku. Kalau ingin mencapai tujuan, ya… harus serius.” Nada suaranya pelan, tapi tegas. “Selama perubahan itu ke arah yang benar, kami selalu dukung,” sahut Felix, memantapkan ucapan Gio. “Bagaimana kalau kita rayakan saja? Tidak perlu mewah,” usul Gio. Felix menatap Alexa, siap mengikuti keputusan apa pun. Namun Alexa terlebih dulu menggeleng. “Tidak perlu. Sore nanti aku harus bekerja. Tidak ada waktu.” “Kalau begitu… ulang tahunmu nanti,
Tidak ada balasan apa pun dari Alexa. Nafas gadis itu tersengal, air matanya jatuh satu per satu tanpa ia sadari. Theo yang masih memeluknya setelah ciuman singkat yang kacau barusan, perlahan menarik diri. Jemari pria itu terulur, menyapu air mata di pipi Alexa dengan lembut, terlalu lembut untuk seseorang yang selama ini menjaga jarak. Namun Alexa menepis tangannya. Tidak keras, tapi cukup tegas untuk membuat Theo membeku. “Jangan…” suara Alexa bergetar. “Jangan membuatku berharap lebih darimu, Paman.” Ia menunduk, kepalanya tertutupi rambut yang berantakan, seolah bersembunyi dari tatapan Theo. “Aku hanya seseorang yang kau anggap anak kecil. Aku tidak menarik untuk orang seperti paman.” Theo terdiam. Nafasnya terdengar berat, seperti menahan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. “Maaf,” ujar Theo akhirnya, lirih, namun jelas menusuk. “Aku tidak pernah berniat mempermainkanmu.” Alexa menegakkan kepala seketika, menatap Theo dengan mata yang masih basah. “Tidak mempermainkanku?
Kediaman Moore selalu tampak megah dan sunyi, tetapi beberapa bulan terakhir, keheningan itu punya arti lain, kosong. Sejak Alexa diusir demi alasan pendidikan, ia tak pernah sekalipun melangkah kembali ke rumah tempat ia tumbuh besar dalam kemanjaan. Namun bagi Rose, mengusir bukan berarti melepaskan. Alexa tetaplah satu-satunya permata yang ia miliki, dan tak ada batas yang tak akan Rose langgar demi melindunginya.Pagi itu, Rose menikmati sarapannya dengan anggun. Sendok kecilnya menyentuh piring porselen tanpa suara, sementara aroma teh melati memenuhi ruangan. Ketika langkah kaki lembut terdengar di belakang, Rose menoleh sedikit. Felix muncul, memberi hormat kecil sebelum duduk di seberangnya."Bagaimana kondisi Alexa, Felix?" suara Rose terdengar datar, tapi tatapannya memancarkan kecemasan yang tidak pernah benar-benar hilang."Kondisi Alexa sejauh ini baik, Nyonya," lapor Felix. "Dia bahkan… bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran."Rose berhenti sejenak. Bukan terkejut, l
Setelah dua malam tinggal di kamar hotel yang terasa asing, Alexa akhirnya berdiri di apartemen barunya. Ruangannya tidak besar, jelas tidak seperti rumah Theo atau kediaman keluarganya yang megah. Tapi di sinilah, di antara dinding yang masih berbau cat baru dan lantai yang masih dingin, dia merasa menemukan sesuatu yang selama ini hilang, kendali atas hidupnya sendiri.Sebagai gadis yang sejak kecil dimanja, ini adalah lompatan besar. Tidak ada lagi pelayan yang menyiapkan makanannya, tidak ada Theo yang dengan segala sikap dinginnya diam-diam selalu memperhatikannya. Di sini, dia hanya punya dirinya sendiri."Ini lebih baik," gumamnya sambil melemparkan tasnya ke sofa kecil. "Jauh lebih baik daripada harus setiap hari berhadapan dengan rasa malu karena ditolak berulang kali."Setiap kali ingatan itu menyelinap, dadanya sesak. Betapa bodohnya ia sampai berpikir bisa mendapatkan Theo dengan cara-cara kekanak-kanakannya.Alexa masuk ke kamar dan menjatuhkan diri ke kasur. "Aku harus b
Suasana kamar terasa kosong, hanya ada Alexa yang duduk bersandar di bahu ranjang dengan tangan memegangi kepalanya yang berdenyut. Ia terdiam, menahan pusing yang menerjang kepalanya saat bangun. Tidak berselang lama, pintu kamar terbuka, Alexa menoleh melihat Felix datang membawa obat pereda mabuk. "Minumlah, mungkin bisa membuat kepalamu tidak lagi pusing." Alexa tidak banyak bicara, ia langsung meneguk obat yang Felix berikan dan kembali terdiam. Felix memperhatikan dengan seksama, sampai akhirnya ia bertanya. "Kau dan guru privatmu ada masalah?" tanyanya. Alexa menatap kosong ke langit-langit, berkutat antara kemarahan dan rasa malu. Felix juga tidak mencecar pertanyaan sehingga ruangan menjadi hening sampai akhirnya Alexa membuka suara. "Apa kau tahu ada apartemen yang bisa kusewa?" ucapnya tiba-tiba, menghindari pertanyaan Felix. Felix menaikkan alisnya. "Tiba-tiba sekali, kenapa kau bertanya demikian?" "Aku tidak ingin tinggal lagi dengan paman Theo." jawab Alexa dengan
Film yang diputar di layar kini tak lebih dari noise yang hilang dalam gemuruh nafas dan desahan. Dunia mereka menyempit hanya pada ruang sempit di atas kasur angin, di mana setiap sentuhan berbicara lebih keras daripada dialog apa pun. Theo tak lagi bisa membohongi dirinya sendiri, keinginan yang dipendamnya sejak insiden di kolam renang akhirnya menemukan jalannya, meledak dalam bentuk ciuman dan rabaan yang semakin tak terkendali. Di bawah cahaya layar yang temaram, kulit Alexa yang mulus mulai dihiasi jejak kemerahan, strawberry marks yang ditinggalkan bibir Theo sebagai bukti keputusasaannya. Setiap erangan lembut yang keluar dari mulut gadis itu bagai bensin yang menyulut api dalam dirinya, mendorongnya untuk mengambil lebih jauh. "Paman," desis Alexa, dan kali ini suaranya berbeda, serak, penuh dengan permohonan dan keberanian yang membuat darah Theo mendidih. Matanya yang biasanya jernih, kini gelap oleh hasrat yang sama membara. Dengan gerakan tak lagi sabar, tangan Theo me






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments