Share

bab 5

Penulis: Maey Angel
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-12 23:42:26

“Kalau mau mati, nggak usah ngajak ngajak napa! Setan emang lo!” sungut Syarifah.

“Ya kan gue setia, apapun keadaannya lo selalu gue ajak.” Aku merenges saja. Syarifah nampak kesal, tapi rautnya mendadak bingung saat baru melihat area tempat kami turun.

“Eh, rumahnya yang mana?” tanya Sarifah. Baru kusadari ternyata kita sudah sampai di depan rumah Munaroh. Sepertinya sampai sekarang Bang Ocit belum datang. Soalnya rumahnya masih sepi kayak kuburan.

“Tuh,” tunjukku dengan dagu tanpa berani menunjuk dengan jari. Ada dua makhluk bermata besar yang mengawasi kedatangan kami. Jika sampai aku menunjukan jari, mereka akan menganggapnya ini ancaman dan mungkin akan membuat kami diburu sebelum mendekat ke rumah itu.

Rumah berlantai dua itu terlihat sangat mencekam dari auranya. Meskipun terkesan mewah karena berlantai dua, bagiku rumah ini cenderung angker jika dilihat dari indra ke-6 ku. Ada pohon asem di depan rumah itu dan banyak pohon pohon rindang yang menutupi sisi gerbang rumah Munaroh. Anehnya, kontrakan dia tak semenyeramkan rumahnya. Kontrakan yang aku tempati ini dikelola oleh Pak RT di mana Munaroh hanya akan datang untuk menagih pada Pak RT selaku pengelola. Selain di kontrakan yang aku tempati, Munaroh juga punya banyak kontrakan lain yang tersebar di beberapa desa.

“Serius ini rumahnya?” tanya Syarifah sambil mengusap tengkuknya.

“Iya, ini sih yang gue tahu. Pernah dikasih tahu sama Pak RT kalau rumahnya yang ujung ini.”

“Pulang aja yuk! Rumahnya kayak serem gini,” ajak Syariah.

“Tadi katanya mau masuk cari Hamzah. Gimana sih? Kalau si Hamzah itu kena gangguan mahluk halus, pasti seremnya tuh sampai sini,” tunjukku pada tengkuknya. “Kalau diganggu cewek culun dan resek kayak elu, baru deh. Nyampenya ke sini,” tunjukku ke arah dada.

Syarifah berdecak, lalu ikut turun bersamaku.

“Nggak jadi deh, Ran. Gue takut, lo pasti liat banyak penampakan kan?” Syarifah berubah pikiran.

“Oh, ya jelas. Mau gue absen?” kekehku.

“Jangan bercanda deh! Kita atur rencana lain. Kita pulang sekarang!” Syariah mengajakku kembali menaiki motor, memintaku menyalakan motor dengan cepat.

“Payah lo! Padahal tadi ada monyet kerdil yang kemarin jilatin celana dalam lo!” kekehku.

“Randu! Cepet jalan nggak?!” Aku digetok berkali kali oleh Syarifah dan akhirnya aku hanya bisa pasrah saat diajak kembali.

Makhluk seperti mereka tak akan mengganggu kalau kita tak mengganggu. Kecuali mereka mereka yang memang punya perjanjian dengan manusia untuk mengganggu seseorang yang memang ditujukan untuk diganggu. Seperti halnya aku yang beberapa kali didatangi Miss Kun kun yang hobi nongol tanpa diminta. Mungkin itu jelmaan Munaroh yang nggak bisa dapatin aku, lelaki gagah nan tampan tanpa obat yang hobinya main panco sama mahluk tak kasat mata.

“Berani nggak tidur sendiri?” tanyaku saat sudah sampai di kontrakan Syarifah.

“Berani lah, gue kan bukan elo yang bisa liat mahluk aneh aneh. Pulang sono! Besok kita bahas gimana bikin Hamzah bisa ceritakan semuanya,” ucap Syariah.

“Kalau udah makan belatungnya, mana sadar dia kalau udah di ena ena sama Munaroh. Lo besok bawakan bekalnya, kita tukar aja. Gimana?” tanyaku mencoba membantu Hamzah untuk tidak terlalu jauh dibuat tak sadar.

“Mana bisa? Gue nggak tahu apa bekal yang dia bawa.”

“Sama, ramen dengan kotak makan warna biru. Kita tukar dan kita buang ke pemakaman.”

“Kok pemakaman sih, Ran?” Syarifah pun memegangi tengkuknya.

“Di sana pusat energi astralnya, biar dikirim balik aja. Bisa?”

Syarifah terlihat nggak yakin. Namun, aku pun memeluknya spontan untuk menyemangatinya. Niatnya sih. Hanya saja, Syarifah mendorongku kuat hingga aku terjungkal ke belakang.

“Modus banget sih?” sungutnya.

“Hehehe, biar calon istri gue mau buatkan bekal dong. Sekalian, simulasi sebelum jadi istri babang tamvan ini,” selorohku.

“Tampan dari hongkong? Kalau tamvan nggak mungkin jomblo sampe jenggotan gitu,” ejeknya.

“Eits, jangan salah. Jenggot bukan sembarang jenggot. INi tuh bukti kalau gue setia hanya pada satu wanita saja. Makanya belum nikah sampai sekarang,” jawab aku penuh percaya diri.

“Siapa memangnya wanitanya?” Dia terlihat penasaran, padahal aku hanya bercanda saja.

“Kasih tahu nggak ya?” Aku pun mengusap daguku, menatap langit di mana ada sosok yang sedang menguping pembicaraan kami.

“Mau tahu nggak?” tanyaku.

Syarifah diam, tapi kemudian aku pun melirik lirikkan ke atas.

“Apa?” tanyanya.

Aku mendekat pada Syariah dan berbisik di telinganya. “Monyet kerdil ngikutin lo. Ati ati, celana dalam amankan,” bisikku membuat Syariah menendang kakiku dengan keras dan aku pun tertawa puas.

“Randu! Kampret lo ya?!” Aku berlari dengan riang gembira. Rasanya senang sekali mengerjainya. Aku pun naik kembali ke atas motor dan menyalakan mesin motornya. Hingga saat aku hendak mengegasnya, mendadak tak mau jalan padahal sudah sudah masuk gigi rodanya. Kugeber, tetap tak mau jalan hingga saat aku menengok, lagi lagi penampakan itu membuatku kesal.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Pemikat   2-47

    Beberapa hari di rumah ini aku pun mulai merasa normal. Tak ada suara suara aneh yang aku dengar kala malam. Mamak dan Bapak pun terlihat sudah mulai beraktivitas seperti biasa.Asma dan aku sudah siap berangkat kuliah. Kuliah jam 9 pagi, Mamak juga sudah selesai dengan aktivitasnya dengan bapak di luar yang katanya berjualan. Aku diberi uang saku, lalu dibawakan bekal seperti anak TK.“Besok bukan mamak lagi yang siapin bekal, tapi istrimu. Takutnya mamak pulangnya gak selalu pagi,” ucap Mamak membuatku merenges. Aku yang belum terbiasa bermanja untuk urusan seperti ini tak banyak memprotes. “Iya, Mak.”Aku pun ke sekolah menaiki motor yang baru dibeli Bapak seminggu yang lalu. motor lamaku ada di rumah lama dan tak boleh dibawa pulang. Alasanya, tak ada gunanya dibawa karena akan membonceng Asma dan bawa dagangan.Kami tiba di kampus jam setengah sembilan.Aku menyapa beberapa mahasiswa lain yang melintas, tentu yang cantik cantik. Asma sampai mencubitku dan aku merenges saja.“Kat

  • Jerat Pemikat   2-46

    “Nggak apa apa. Mungkin wajah saya memang familiar,” ucap Kyai Hasanudin.“Mirip sama Ayahandanya Mak Nyai,” gumamku dan Pak Kyai Hasanudin hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Sungguh, wajahnya sangat mirip. "Hus! Jangan sembarangan ngomong, Gil," bisik Emak dan aku hanya mengangguk saja. Tapi memang agak kenal. Serius sangat mirip Ayahanda.Kami berbincang banyak hal, termasuk kegiatan para santri di pondok pesantren ini. Bahkan, Pak Kyai menawarkan aku dan Asma untuk tinggal di sini tetapi aku menolak. Aku tak ingin jauh dari mamak. Tentu selain tak bebas ada di pesantren yang orangnya tak aku kenal, aku juga tak tahu apakah Pak Kyai ini manusia betulan atau jadi jadian. “Ya sudah kalau tak mau menginap. Tapi setiap hari bantu Yai urus asrama, bisa?” tanyanya.“Insyaallah, bisa,” ucap Asma langsung.Aku pun melirik padanya. Dia tak menatapku kembali dan fokus berbincang dengan salah satu Ustadzah yang terlihat masih muda. Tadi dikenalkan sebagai istri dari salah satu Ustad di p

  • Jerat Pemikat   2-45

    ..Akhirnya kami tiba di Bandung. Kota kembang yang katanya memiliki banyak warga gadis yang cantik cantik di sini. Aku pun dibawa Bapak dan Mamak ke sebuah hunian sederhana di dekat pondok pesantren. Bukan pondoknya, tapi kawasannya memang religius sekali.“Nanti diturunkan semua, Gil,” ucap Mamak saat mobil sudah turun.Kedatangan kami disambut seorang nenek paruh baya yang langsung menyapa Mamak. Mereka sepertinya sudah kenal lama dan aku pun langsung membuka bagasi untuk menurunkan koper.“Kamar sudah nini bersihkan,” ucap nenek itu. “Oh iya, kenalkan saya Sudarsih. Panggil saja nini Darsih. Nenek angkat Ibu kamu.”Entah sejak kapan mamak punya nenek. Dari garis wajah tak ada yang sama, hanya sama gendernya saja dan lainnya blas nggak ada yang sama.“Gilang,” ucapku memperkenalkan diri pada Nini Darsih yang langsung bergantian kenalan dengan Asma.“Geulis, Neng. Pantes dipilih jadi mantunya anak Nini,” ucap Nini.“Alhamdulillah, Nini sehat sekali nampaknya. Senang berkenalan denga

  • Jerat Pemikat   2-44

    “Selamat ya, Gilang. Paman nitip Asma sama kamu. Kuliah yang bener di sana, kalau nggak mau repot jangan ada anak dulu. Kalian kan nikah untuk saling melindungi saja,” ucap Paman saat aku diminta membawa Asma ke Bandung.“Insya Allah, Paman,” jawabku singkat.“Nikah untuk ibadah tentunya, Zah. Masa buat melindungi saja. Ntar, kalau keduanya ngebet, berabe juga.” Bapak ikut menimpali.“Ya kan belum resmi, Fir. Mereka masih nikah siri, nggak ada kekuatan hukumnya. Gak apa apa tunda dulu, asal kalian berdua udah sah dan ke mana mana berdua nggak undang dosa. Apalagi jauh di sana.” paman Hamzah pun menjawabnya dengan serius.“Ya nggak bisa gitu, Ham. Anak gue laki sejati, mana bisa nahan lama lama. Udah, lo aman aja udah diam di sini kerja yang bener urus kebun, sawah dan peternakan. Awas aja kalau kerjanya di sini asal asalan,” omel mamak.“Peh, meski kita sahabatan juga kalau anak lo nggak becus jagain anak gue, gue murka lah. Pokoknya, Gilang harus jadi suami yang baik buat Asma. Jaga

  • Jerat Pemikat   2-43

    Kode mahar? Apakah hadiah dari Mamak kemarin adalah mahar yang akan aku berikan pada Asma?Aku merogoh saku dan melihat kotak hadiah dari mamak. Warnanya bukan merah melainkan putih. Aku pun menunjukkannya pada Bapak dan Bapak mengangguk.“Coba dibuka,” ucap Paman Hamzah yang juga ada di sisiku.Aku membuka surat emas yang ada di tanganku, lalu melihat tulisan 5 gram emas yang ada di surat pembelian cincin itu. Tak banyak, tapi sepertinya ini mahar yang akan diberikan pada Asma.“Nanti bacakan saja nominalnya, biar langsung sah,” bisik Paman. Aku baru sadar, posisi paman dan Bapak ada di sebelahku dan cukup mengagetkan karena aku malah dipaksa nikah sama Asma pagi ini juga.“Gilang, meski umur kamu masih muda, tapi tubuh dan jiwa kamu yang seperti ayahmu ini, maka Yai menyarankan untuk kamu menikah saja. Pagi ini setelah kamu melakukan i’tikaf, Yai sarankan untuk menikah. Apa sekiranya kamu berkenan?” tanya Pak Yai pelan dan ramah sambil menepuk bahuku.“Tapi, Yai, Gilang belum ad

  • Jerat Pemikat   2-42

    Setelah diberikan izin keluar pesantren, tujuanku saat ini adalah pulang ke rumah. Bapak sudah menjemputku, tak jauh di sana Namira adik bungsuku yang langsung minta turun dari gendongan Bapak dan berlari ke arahku.“Abang…”“Hai, bocil Abang yang comel. Kangennya,” ucapku.“Namila juga, Abang lama benel pulangnya. Namila jadi lama dititip di lumah Kak Ilma.”“Gak apa apa, dia seneng direpotin ngasuh kamu.”“Makasih ya, Irma, Hamzah, sudah mau dititipi Gilang. Kami pulang dulu, semoga setelah ini semuanya baik baik saja.”“Iya, Fir. Santai saja, anakmu sudah jinak di sini,” jawab Paman Hamzah.Aku tersenyum mendengarnya. Jinak katanya, padahal kalau bareng sama Asma kami bertengkar dan selalu bikin gaduh.Kami pulang berboncengan dan Namira begitu senang dengan kepulanganku seperti nya. Dia tak henti bercerita banyak hal tentang apa yang sudah dia lewati selama aku di rumah sakit. Aku juga senang karena Bapak ternyata baik baik saja, seperti tak ada kejadian apapun sebelum ini.“Aban

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status