Home / Horor / Jerat Pemikat / benar benar

Share

benar benar

Author: Maey Angel
last update Last Updated: 2024-05-12 23:44:05

Benar-benar Miss kunkun nggak punya akhlak. Sudah diusir berulang kali masih saja ngeyel jadi bodyguard gratisanku. Napasku sampai ngos-ngosan karena berusaha berlari mendorong motorku yang dasarnya susah menyala. Aku sampai di kosan jam 20.30 malam. Kamar Hamzah yang ada di sebelahku juga masih gelap dan sepertinya Hamzah belum pulang.

Aku buka pintu kamarku perlahan dan masuk ke dalam kontrakan kecilku. Membayangkan kejadian demi kejadian yang aneh pada Hamzah membuatku benar-benar ingin mencari solusi untuk membebaskannya. Dibiarkan akan membuat dia semakin kasihan dan mungkin saja nasibnya tidak jauh dari Memet yang menjadi tumbal pesugihan. Meski ada perbedaan dengan kasus Memet dengan Hamzah, tapi aku rasa ini sama saja tindakkan perdukunan yang sangat riskan untuk dicari tahu.

Aku merebahkan diri di atas kasur. Ditemani suara berisik dari para lembut yang biasanya wara wiri melewati kontrakanku. Bagi mereka keluar masuk ke tempat-tempat seperti ini sudah biasa dan bahkan kadang mereka bisa menjahili ku yang sedang tidur.

Gimana, gimana, gimana. Terus saja otak ini berkata demikian. Saat mata hendak memejam suara kaki yang melangkah membuatku menyempitkan mata dan sedikit membukanya. Tidak ada siapa-siapa. Aku menarik selimut dan menutupi tubuhku. Namun, bisikan itu membuatku merasa kembali diperhatikan.

'jangan halangi aku.'

Oh dia lagi. Aku menyibak selimut lalu melihat sosok Mis kun kun yang sudah ada di depanku. Aku menengok pada air yang ada di sampingku lalu menyiramnya dengan air setelah aku bacakan bismillah. Dia langsung menghilang setelah menertawakanku.

Kunti nggak ada akhlak, batinku kesal.

Hampir jam satu dini hari aku tidak pula memejamkan mata. Entah kenapa tidak mau tidur padahal sudah berusaha untuk berpikir mesum, menonton video, bahkan membayangkan Syarifah aku kawini. Tetap saja, mata ini mengajak untuk terus begadang semalam suntuk.

Terdengar suara gesekan kaki kembali di sekitar sini beserta aroma Damen terbakar. Aku memutuskan untuk bangkit dan membuka pintu untuk melihat apakah itu suara Hamzah yang sudah pulang diantar lelembut atau hanya lelembutnya saja yang ingin mengajakku gelut. Mengingat ini sudah cukup malam dan bahkan sudah hampir pagi.

"Ham," panggilku. Lampu sudah menyala, aku pun menggedor kamarnya cukup kuat.

Tidak ada sahutan membuatku terus mengetuk pintu dengan cukup keras. Tak sabar, aku dobrak dan melihat Hamzah yang sedang tidur di atas lantai.

"Hamzah …"

Aku membawanya menuju ke atas ranjang. Tubuhnya sangat dingin. Bahkan, pucat pasi hampir seperti mayat. Aku mencari selimut agar bisa membuatnya hangat dan mencari minyak kayu putih untuk membaluri perutnya. Tak lupa, segelas air putih untuk menetralkan auranya yang mencekam.

Setelah semua aku dapatkan aku bacakan doa terlebih dahulu pada air itu lalu mengusapkannya kepada wajah dan seluruh tubuh Hamzah. Ada suara tertawa dan menangis di luar sana yang terdengar cukup nyaring tetapi aku berusaha untuk tidak mempedulikannya. Kondisi Hamzah sedang tidak baik-baik saja.

"Hamzah, nyebut zah. La … Ilaha illallah," bisikku di telinganya.

Lampu mendadak mati dan aku menggenggam tangan Hamzah seraya terus membacakan ayat kursi dan doa yang pernah aku hafalkan untuk mengusir gangguan-gangguan makhluk halus. Hawa mendadak semakin dingin dan suara memekik semakin dekat di telinga. Tawa, tawa yang sungguh menggetarkan telinga. Aku semakin kuat untuk membaca doa dan terus berikhtiar agar Allah mengirimkan bantuannya untuk menyelamatkan kami.

"Wa Bikalimatillahit-tammati lati la yujawizuhunna barrun wa fajrun, min syarri ma yanzilu minas-sama’i, wa min syarri ma ya’ruju fiha, wa min syarri ma dzara’a fil ardhi, wa min syarri ma yakhruju minha, wa min syarri fitanil laili wan nahari, wa min syarri thawariqil laili, wamin syarri kulli tharinin illa thariqan yathruqu bi khairin, ya rahman."

Doa terakhir yang aku hafalkan setelah ayat kursi dan falaq binnas yang tentu saja belum terlihat gangguan itu pergi. Aku mencengkeram tangan Hamzah agar tubuhnya tidak dibawa pergi kembali. Aku benar-benar merasakan tanganku seperti tercakar-cakar bahkan leherku seperti dicekik tetapi aku terus saja membaca doa. Seraya membaca doa terus saja aku berbisik di telinga Hamzah, memohon perlindungan pada Tuhan memberikan keselamatan untuk sahabatku ini.

Klik!

Lampu menyala. Hamzah masih ada di depanku, meski celana sudah tak terpakai lagi. Ya, tubuhnya sudah membiru dengan pakaian yang sudah terlepas. Oh my God. Pemandangan yang menggelikan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Pemikat   2-47

    Beberapa hari di rumah ini aku pun mulai merasa normal. Tak ada suara suara aneh yang aku dengar kala malam. Mamak dan Bapak pun terlihat sudah mulai beraktivitas seperti biasa.Asma dan aku sudah siap berangkat kuliah. Kuliah jam 9 pagi, Mamak juga sudah selesai dengan aktivitasnya dengan bapak di luar yang katanya berjualan. Aku diberi uang saku, lalu dibawakan bekal seperti anak TK.“Besok bukan mamak lagi yang siapin bekal, tapi istrimu. Takutnya mamak pulangnya gak selalu pagi,” ucap Mamak membuatku merenges. Aku yang belum terbiasa bermanja untuk urusan seperti ini tak banyak memprotes. “Iya, Mak.”Aku pun ke sekolah menaiki motor yang baru dibeli Bapak seminggu yang lalu. motor lamaku ada di rumah lama dan tak boleh dibawa pulang. Alasanya, tak ada gunanya dibawa karena akan membonceng Asma dan bawa dagangan.Kami tiba di kampus jam setengah sembilan.Aku menyapa beberapa mahasiswa lain yang melintas, tentu yang cantik cantik. Asma sampai mencubitku dan aku merenges saja.“Kat

  • Jerat Pemikat   2-46

    “Nggak apa apa. Mungkin wajah saya memang familiar,” ucap Kyai Hasanudin.“Mirip sama Ayahandanya Mak Nyai,” gumamku dan Pak Kyai Hasanudin hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Sungguh, wajahnya sangat mirip. "Hus! Jangan sembarangan ngomong, Gil," bisik Emak dan aku hanya mengangguk saja. Tapi memang agak kenal. Serius sangat mirip Ayahanda.Kami berbincang banyak hal, termasuk kegiatan para santri di pondok pesantren ini. Bahkan, Pak Kyai menawarkan aku dan Asma untuk tinggal di sini tetapi aku menolak. Aku tak ingin jauh dari mamak. Tentu selain tak bebas ada di pesantren yang orangnya tak aku kenal, aku juga tak tahu apakah Pak Kyai ini manusia betulan atau jadi jadian. “Ya sudah kalau tak mau menginap. Tapi setiap hari bantu Yai urus asrama, bisa?” tanyanya.“Insyaallah, bisa,” ucap Asma langsung.Aku pun melirik padanya. Dia tak menatapku kembali dan fokus berbincang dengan salah satu Ustadzah yang terlihat masih muda. Tadi dikenalkan sebagai istri dari salah satu Ustad di p

  • Jerat Pemikat   2-45

    ..Akhirnya kami tiba di Bandung. Kota kembang yang katanya memiliki banyak warga gadis yang cantik cantik di sini. Aku pun dibawa Bapak dan Mamak ke sebuah hunian sederhana di dekat pondok pesantren. Bukan pondoknya, tapi kawasannya memang religius sekali.“Nanti diturunkan semua, Gil,” ucap Mamak saat mobil sudah turun.Kedatangan kami disambut seorang nenek paruh baya yang langsung menyapa Mamak. Mereka sepertinya sudah kenal lama dan aku pun langsung membuka bagasi untuk menurunkan koper.“Kamar sudah nini bersihkan,” ucap nenek itu. “Oh iya, kenalkan saya Sudarsih. Panggil saja nini Darsih. Nenek angkat Ibu kamu.”Entah sejak kapan mamak punya nenek. Dari garis wajah tak ada yang sama, hanya sama gendernya saja dan lainnya blas nggak ada yang sama.“Gilang,” ucapku memperkenalkan diri pada Nini Darsih yang langsung bergantian kenalan dengan Asma.“Geulis, Neng. Pantes dipilih jadi mantunya anak Nini,” ucap Nini.“Alhamdulillah, Nini sehat sekali nampaknya. Senang berkenalan denga

  • Jerat Pemikat   2-44

    “Selamat ya, Gilang. Paman nitip Asma sama kamu. Kuliah yang bener di sana, kalau nggak mau repot jangan ada anak dulu. Kalian kan nikah untuk saling melindungi saja,” ucap Paman saat aku diminta membawa Asma ke Bandung.“Insya Allah, Paman,” jawabku singkat.“Nikah untuk ibadah tentunya, Zah. Masa buat melindungi saja. Ntar, kalau keduanya ngebet, berabe juga.” Bapak ikut menimpali.“Ya kan belum resmi, Fir. Mereka masih nikah siri, nggak ada kekuatan hukumnya. Gak apa apa tunda dulu, asal kalian berdua udah sah dan ke mana mana berdua nggak undang dosa. Apalagi jauh di sana.” paman Hamzah pun menjawabnya dengan serius.“Ya nggak bisa gitu, Ham. Anak gue laki sejati, mana bisa nahan lama lama. Udah, lo aman aja udah diam di sini kerja yang bener urus kebun, sawah dan peternakan. Awas aja kalau kerjanya di sini asal asalan,” omel mamak.“Peh, meski kita sahabatan juga kalau anak lo nggak becus jagain anak gue, gue murka lah. Pokoknya, Gilang harus jadi suami yang baik buat Asma. Jaga

  • Jerat Pemikat   2-43

    Kode mahar? Apakah hadiah dari Mamak kemarin adalah mahar yang akan aku berikan pada Asma?Aku merogoh saku dan melihat kotak hadiah dari mamak. Warnanya bukan merah melainkan putih. Aku pun menunjukkannya pada Bapak dan Bapak mengangguk.“Coba dibuka,” ucap Paman Hamzah yang juga ada di sisiku.Aku membuka surat emas yang ada di tanganku, lalu melihat tulisan 5 gram emas yang ada di surat pembelian cincin itu. Tak banyak, tapi sepertinya ini mahar yang akan diberikan pada Asma.“Nanti bacakan saja nominalnya, biar langsung sah,” bisik Paman. Aku baru sadar, posisi paman dan Bapak ada di sebelahku dan cukup mengagetkan karena aku malah dipaksa nikah sama Asma pagi ini juga.“Gilang, meski umur kamu masih muda, tapi tubuh dan jiwa kamu yang seperti ayahmu ini, maka Yai menyarankan untuk kamu menikah saja. Pagi ini setelah kamu melakukan i’tikaf, Yai sarankan untuk menikah. Apa sekiranya kamu berkenan?” tanya Pak Yai pelan dan ramah sambil menepuk bahuku.“Tapi, Yai, Gilang belum ad

  • Jerat Pemikat   2-42

    Setelah diberikan izin keluar pesantren, tujuanku saat ini adalah pulang ke rumah. Bapak sudah menjemputku, tak jauh di sana Namira adik bungsuku yang langsung minta turun dari gendongan Bapak dan berlari ke arahku.“Abang…”“Hai, bocil Abang yang comel. Kangennya,” ucapku.“Namila juga, Abang lama benel pulangnya. Namila jadi lama dititip di lumah Kak Ilma.”“Gak apa apa, dia seneng direpotin ngasuh kamu.”“Makasih ya, Irma, Hamzah, sudah mau dititipi Gilang. Kami pulang dulu, semoga setelah ini semuanya baik baik saja.”“Iya, Fir. Santai saja, anakmu sudah jinak di sini,” jawab Paman Hamzah.Aku tersenyum mendengarnya. Jinak katanya, padahal kalau bareng sama Asma kami bertengkar dan selalu bikin gaduh.Kami pulang berboncengan dan Namira begitu senang dengan kepulanganku seperti nya. Dia tak henti bercerita banyak hal tentang apa yang sudah dia lewati selama aku di rumah sakit. Aku juga senang karena Bapak ternyata baik baik saja, seperti tak ada kejadian apapun sebelum ini.“Aban

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status